Arumi menutup pintu, setelah Dewa masuk. Untuk pertama kalinya lelaki tampan itu menatap ke semua penjuru ruang kamar yang terlihat sederhana tapi terasa sangat hangat. "Apakah ini kamar mu Arumi?" Dewa melontarkan satu pertanyaan memecah keheningan dan suasana canggung di antara mereka berdua. Arumi terlihat sangat gugup, tapi ia berusaha untuk tetap tenang lalu menjawab. "Iya, ini kamar ku ada yang ingin aku katakan pada mu tuan Dewa," jelas Arumi memulai topik pembicaraan dengan perasaan ragu. Dewa berjalan melihat-lihat isi kamar Arumi sembari memberi perintah agar Arumi to the point untuk mengatakan beberapa hal yang ingin di sampaikan. "Mengajak aku sampai ke kamar pribadi mu sebenarnya apa yang ingin di bicarakan?" bisik Dewa menyeringai. Arumi mengerutkan kening, saat melihat ekspresi wajah Dewa yang terlihat seperti tengah sengaja meledek dirinya. Tapi wanita cantik itu berusaha untuk tetap tenang lalu mengungkapkan beberapa hal yang membuatnya sangat kecewa. "
Arumi menelan saliva menahan rasa takut yang ada di dalam hati, saat mendengar perkataan dan tatapan tajam penuh penekan, setelah Dewa baru tahu ternyata Daniel adalah mantan kekasihnya. "Tuan Dewa! Lepaskan aku sakit!" Arumi menepis tangan Dewa saat lelaki itu tanpa sadar mencengkram erat lehernya. Dewa tersentak, dengan cepatnya ia melepaskan tangan dan memastikan keadaan Arumi yang hampir tercekik. Dia juga tidak sungkan untuk mengingatkan jika Arumi tidak di perbolehkan lagi untuk bergaul atau pun berkomunikasi dengan pria lain atau pun mantan pacarnya karena akan mempengaruhi statusnya sebagai seorang cucu menantu keluarga Wijaya. Bahkan tanpa sungkan Dewa meraih dan melempar bingkai foto yang istrinya peluk dan membuangnya ke luar jendela. Melihat sikap Dewa yang sangat marah, Arumi tersentak lalu dia mulai protes. "Tuan Dewa! apa yang kamu lakukan? jangan hanya karena orang kaya bisa bersikap semena-mena pada orang lain!" protes Arumi kesal sampai membuat manik mata c
Siang berganti malam, setelah acara keluarga Rania terlihat masih kesal saat mengingat acara pentingnya dengan Daniel tertunda karena keluarga Wijaya lebih dulu membahas tentang status pernikahan Arumi dan Dewa. "Mah, gara-gara Yumna acara ku gagal malah semua orang memuji dia hanya karena tuan Dewa kaya dan banyak membawa beberapa emas kawinnya. Mana jumlahnya banyak di bandingkan dengan mas Daniel jauh banget," rengek Rania. Yang sangat iri dan tak terima. Marisa menegur putrinya, agar berbicara pelan karena dia tidak ingin suaminya mendengar obrolan mereka berdua. "Hust! Rania! pelankan suara mu sedikit jangan membuat ayah mendengar mu," peringat nya Rania menutup mulut dengan kedua tangannya, lalu duduk dan menatap semua barang-barang mewah milik Arumi yang telah di berikan pada Pak Harun. "Habis aku kesal Bu, kenapa sih dia selalu mendapatkan yang lebih. Apa lagi sekarang dia mendapatkan pria seperti tuan Dewa. Pokonya aku tidak ingin Arumi lebih beruntung dari aku Bu,"
"Ayah! kenapa bengong?" Pertanyaan Marisa membuyarkan pak Harun yang terlihat sangat di lema dengan janji yang telah dia buat dan janjikan "Ah iya Bu, ayah dengar. Tentu saja nanti kita bicarakan lagi. Sekarang ayah sedikit tenang karena ternyata pria yang bersama Arumi malam itu tuan Dewangga. Setidaknya keluarga Wijaya akan menjadi masa depan yang cerah untuk Arumi," Ungkap Pak Harun bernafas lega. Rania dan Marisa saling menatap kesal, saat membahas tentang Arumi yang membuat mereka muak dan tidak senang. Apa lagi sekarang keberuntungan seolah tengah berpihak padanya Arumi. Membuat Marisa tak sungkan untuk mengingatkan sang suami untuk menepati semua janjinya pada Rania dan Daniel. "Ayah! Rania juga putri ku kan? ibu harap ayah tidak ingkar janji dengan perkataan ayah. Rania rela menjadi pengganti Arumi untuk Daniel jadi saham perusahaan sudah tepat untuk menjadi kado pernikahan mereka," peringat Marisa dengan nada sinis dan meninggi. Pak Harun menghela nafas panjang,
Tangan mungil Arumi masih mengalung erat di rahang tegas Dewa, begitu juga dengan Dewa yang masih memeluk erat pinggang ramping sang istri. Suasana di antara mereka berdua terasa canggung. Dengan cepatnya Arumi melepaskan tangannya, lalu segera menjaga jarak. "Maafkan aku tuan, karena sudah ceroboh," sesal Arumi yang tak berani menatap wajah Dewa. Dewa menghela nafas kasar, saat mengingat jelas bagimana tadi Arumi hampir terjatuh, dan membuatnya benar-benar sangat sulit untuk mentolerir nya. "Bisakah kamu berhati-hati? jangan sampai terjadi apa-apa pada calon bayinya," Dewa berdecak kesal, hampir saja tadi Arumi jatuh dia tidak bisa membayangkan entah apa yang akan terjadi jika dirinya tidak sigap. Arumi tertegun, dia baru sadar di balik sikap arogan Dewa ternyata terselip sebuah perhatian namun sayangnya, ia mulai berpikir jika perhatian itu hanya untuk calon bayinya yang ada di dalam kandungannya bukan untuk dirinya. "Arumi! sebaiknya kamu jangan berpikir yang tidak-tidak
Daniel mencerna semua perkataan Rania yang ada benarnya, dan akan menjadi keuntungan mereka berdua. "Kamu benar sayang, aku akan menekan om Harun lagi, dan dia akan merasa bersalah karena Arumi terang-terangan mengkhianati ku," seringai Daniel dengan rencana liciknya. "Tepat sekali sayang, itu maksud ku," Rania tersenyum lalu dia menyodorkan kedua gelas wine yang ada di atas meja mereka. Lalu kedua insan itu pun bersulang untuk merayakan rencana mereka berdua yang tinggal satu langkah lagi akan berhasil. Ciiis! Dua gelas wine saling beradu, mereka meneguknya sampai habis tanpa menyisakan satu tetes pun. Terlihat wajah bahagia dari mereka. "Sayang, aku tidak mengerti kenapa Arumi bisa tidur dengan Dewa. Bukankah kamu sendiri yang menyuruh pria itu untuk meniduri Arumi tapi ko bisa dia bersama Dewa?" Daniel terheran. Rania berpikir sejenak padahal dia juga Masih ingat jelas jika waktu itu memberikan kartu dan kunci kamar hotel yang benar yang sengaja dia booking. "Entahl
Dewa menatap tajam pada Arumi, membuat wanita cantik itu pun seketika terdiam. Karena dia paham jika pria yang sudah menjadi suaminya itu seolah menunjukkan jika dirinya tidak senang. "Pelayan! tolong kamu siapkan beberapa menu terbaik di Resto ini," Titah Dewa dengan nada bariton yang terdengar angkuh dan dingin. Dengan sigap, Rasti pun segera melaksanakan perintah tamu VIP yang begitu di segani di resto mereka. "Baik, tuan nyonya. Makanan akan segera tersaji beberapa menit lagi," ujar Rasti yang segera undur diri. Setelah tidak ada orang lagi di meja mereka, Dewa tanpa Ragu menegur Arumi atas sikapnya tadi. "Arumi! aku harap kamu tidak lupa dengan peran mu saat ini, sebagai nyonya dan cucu menantu keluarga Wijaya. Aku tidak suka kamu begitu mudah untuk bergaul dengan sembarang orang jadi tolong jaga image mu!" peringat Dewa kesal. Arumi tersentak, saat mendengar kata-kata Dewa yang terdengar tidak enak di dengar. "Maaf tuan Dewa, aku tahu sekarang aku sedang menyandang st
Tangan Arumi gemetar, saat memutar video Daniel dan Rania yang terlihat berbicara tentang dirinya yang selama ini tidak pernah ia bayangkan. "Tentu saja, Aku ingin harga yang setimpal setelah menyuruh mu menjadi pacar Arumi selama dua tahun ini," ucap Rania dalam video itu. Hati Arumi terasa sangat sesak dan pedih saat mendengar perkataan Rania yang begitu tega jika ternyata mereka berdua memang sudah sengaja merencakan jebakan untuk dirinya. "Jadi sebenarnya, mas Daniel dan Rania sudah berpacaran dan mereka sengaja mengunakan aku untuk mencapai tujuannya? Benar-benar keterlaluan mereka," geram Arumi kesal. Rasti ikut sedih, dia juga tidak menyangka jika ternyata Daniel dan Rania sengaja bekerja sama untuk mencapai obsesi mereka. "Arumi, aku ingin minta maaf. Aku kira kamu dan Daniel masih bersama makanya aku merekam itu mereka baru pergi dari sini sekitar satu jam lalu," Jelas Rasti. Arumi menghela nafas panjang, dia berusaha untuk tetap kuat dan tegar saat mengetahu
Setelah para wanita tadi pergi Arumi sedikit lega, Dewa yang dari tadi sangat cemas dan khawatiir setelah melihat Arumi keluar membuat i segera menghampiri. "Ternyata kamu dari tadi di dalam? kenapa tidak menyahut ku?!" cecar Dewangga bertanya sembari menatap tajam dan memegang bahu Arumi dengan kedua tangannya, mereka saling menatap satu sama lain dengan tatapan dalam. "Sudah tahu kenapa masih tanya, lain kali jangan sampai tuan Dewa sebagai seorang pimpinan perusahaan nekad masuk ke dalam toilet seorang wanita itu tidak baik," jelas Arumi yang sekaligus menegur Dewa tapi dia tidak berani menatap wajah suaminya. Untuk pertama kali, Dewa melihat sikap Arumi yang sedikit berbeda terdengar sinis dan juga seolah sengaja menghindari dirinya. Tapi dia berusaha menjelaskan. "Arumi, aku tahu kamu marah dengan apa yang telah terjadi tadi. Tapi aku bisa menjelaskannya," kata Dewa yang berusaha membujuk. "Menjelaskan bagaimana tuan? bukankah semuanya sudah jelas. Ternyata anda masi
Clarisa sedikit cemas saat melihat ekspresi wajah Arumi, saat melihat Laura yang memeluk Dewa di depan banyak orang sebagai sesama wanita ia merasa tidak nyaman. Dewa yang tak sengaja melihat Arumi dia merasa sedikit khawatir, dengan apa yang di lakukan Laura di depan. "Laura! apa yang kamu lakukan? kita sedang berada di tempat umum tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini," tegur Dewa yang perlahan melepaskan tangan kekasih lamanya itu. Mendengar perkataan Dewa, Laura sangat kecewa dan kesal. Karena baru kali ini lelaki yang selama ini selalu mencintai dan selalu memanjakannya seolah ingin menepis tentang kedekatan mereka. "Mas Dewa! kenapa kamu begitu dingin pada ku? kita sudah berpacaran sangat lama, kamu juga selalu senang jika aku selalu memberikan kejutan untuk mu," Protes Laura yang sangat kesal saat melihat Dewa yang malah pergi di depan semua orang. Dewa terpaksa meninggalkan pekerjaannya sejenak, dia tidak ingin jika sampai kondisi Arumi terganggu hanya karena ke
Clarisa terdiam, saat mendengar pertanyaan Arumi yang sungkan untuk dia jawab. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang Dewa dan beberapa mantan kekasihnya. "Kenapa diam, dari tadi nona Clarisa begitu bersemangat membahas tentang mas Dewa," Arumi masih menanti. Seketika Clarisa merasa tidak enak hati, saat melihat Arumi yang masih menunggu jawaban. Clarisa pun berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Aku hanya bercanda Arumi, sebenarnya Dewa adalah tipikal pria yang sulit untuk jatuh cinta, hanya wanita yang beruntung saja bisa dia cinta, dan termasuk kamu jadi istrinya," kata Clarisa berusaha menghibur Arumi. "Benarkah, aku sangat penasaran kira-kira wanita seperti apa yang jadi cinta pertama mas Dewa, aku sangat penasaran sekali," lirih Arumi. seraya diam-diam menatap Dewa yang saat ini tengah sibuk membahas beberapa keunggulan project barunya. Clarisa menatap Arumi yang merasa jika wanita yang ada di sampingnya, terasa sangat begitu tulus pada Dewa. Sebagai sahaba
"Apa dia istri mu? ko wanitanya beda lagi Dewa? Pertanyaan wanita yang ada di depannya dengan Dewa, membuat kening Arumi berkerut penuh keheranan. Karena dia tidak mengerti maksudnya. Wajah Dewa memerah seperti udang rebus, saat Clarisa meledek dirinya tepat di depan Arumi. "Diam, kamu ini sudah datang terlambat bicara ngawur lagi," bentak Dewa menatap tajam, sepi memberi kode pada sahabat wanitanya itu agar tidak membahas tentang kisah asmaranya. Tapi bukan Clarisa jika tidak julid dengan sahabat kecilnya, bahkan dengan sengaja wanita bertubuh sek-si itu, sengaja melontarkan pertanyaan pada Arumi. "Hay! aku Clarisa, kamu pasti Arumi kan? bagaimana rasanya jadi istri Dewa? jengkel tidak dia banyak ngatur dan banyak bicara bukan?" tanya Clarisa meledek sembari menyeringai. "Clarisa! kamu bicara apa? jangan bicara sembarangan lihat tempat!" tegur Dewa dengan nada membentak. Arumi sama sekali tidak mengerti apa hubungan Dewa dan wanita itu, membuatnya malah ikut pusing d
"Aku sudah membelikan mu buah-buahan, ayo sekarang di makan dulu," Ajak Dewa yang sengaja merangkul bahu Arumi tepat di depan Adrian dengan sangat mesra. Namun sebelum Dewa pergi, dia juga tak lupa mengingatkan Adrian, Agar menunggunya bersama rekannya yang lain dengan tatapan dan nada sinis. Arumi merasa tidak enak hati dengan sikap Dewa yang terlihat jelas tidak suka pada Kaka seniornya dulu. Andrian hanya memancarkan senyum getir seraya menggelegkan kepala, saat melihat sikap Dewa yang seolah sedang mengajak perang dingin dengannya. Setelah sampai di tempat duduk yang ada di area pembangunan hotel itu, Dewa menyuruh Arumi untuk duduk dan makan buah-buahan yang dia beli. "Silahkan Nona Arumi, bukankah tadi kamu ingin makan ini? sekarang ayo makanlah yang banyak," Sindir Dewa kesal menatap tajam istri kontraknya itu. Sebagai seorang pria, entah kenapa setelah cape-cape mencari apa yang di inginkan oleh Arumi, ternyata setelah kembali malah tengah asik mengobrol dengan reka
"Kenapa hanya diam? apa yang aku katakan benarkan?" Dewa menghela nafas kasar, saat mendengar pertanyaan yang terus dilontarkan oleh Laura dengan nada penuh penekanan. Tak ingin berdebat di dalam telepon Dewa sengaja mencari waktu yang tepat untuk berbicara empat mata dengan pikiran yang jernih dan tenang. "Laura, aku masih ada pekerjaan penting setelah pekerjaan ini selesai lebih baik kita bertemu secara langsung," tegas Dewa mematikan sambungan telepon. Lalu kembali mengemudikan mobilnya ke arah Mini market. Laura semakin marah, saat Dewa semakin jauh darinya sampai mematikan panggilan telepon sebelum dia puas bertanya. "Aakkkh, mas Dewa keterlaluan, aku tidak terima jika dia benar punya akan dari ja-lang itu," Teriak Laura yang sedikit frustasi. Sebagai seorang wanita yang lebih dulu mengisi hari Dewa, Laura tidak ingin membiarkan Arumi menjadi seorang ibu dari anak lelaki yang sangat dia cintai. Seketika wanita itu mempunyai sebuah ide. Dengan penuh amarah, Laira pe
Dewa benar-benar tak habis pikir dengan keinginan seorang wanita hamil, membuat ia tidak bisa di tolak apa lagi di depan pria yang pernah menjadi senior Arumi. Kalau Dewa menolak di kiranya bukan suami siaga, terlebih lagi di sana juga banyak para tetua yang spontan memberikan pendapat juga padanya agar keinginan istri sedang hamil tidak boleh di abaikan. "Tuan, istri kalau sedang hamil di turuti keinginannya. Takutnya nanti Bayi-nya ileran kalau kemauan ibunya tidak terpenuhi." "Iya benar tuan, ayo semangat beli buah-buahan untuk istrinya." Ujar beberapa rekan Dewa dengan selorohnya. Arumi yang awalnya hanya ingin mengalihkan perhatian sang suami, agar tidak berdebat dengan Adrian, tapi tanpa ia pikirkan akan menjadi pusat perhatian semua orang di sana. "Aduh! gawat, kenapa aku asal bicara ya? jadinya malah begitu," batin Arumi merutuki diri sendiri karena merasa sang bersalah. Dewa tidak ingin di bilang menjadi pria yang tidak perhatian pada sang istri, kini ia pun me
Suara dering ponsel Dewa membuat Arumi yang sedang membereskan beberapa dokumen project baru merasa terganggu, karena dari tadi tidak berhenti-berhenti. Membuat wanita cantik itu memberanikan diri untuk mengingatkan. "Tuan, itu kenapa tidak di angkat teleponnya?" tanya Arumi terheran. Dewa menelan ludah setelah tadi mengintip nama id yang ada di ponselnya dari Laura, agar tidak membuat Arumi sedih Dewa berusaha mencari alasan yang tepat. "Ini dari teman ku, nanti saja tidak terlalu penting juga, sekarang apa kamu sudah siapkan semua kontrak kerja sama dengan Adrian?" jelas Dewa yang sengaja berbalik tanya. Dengan sikap disiplin dan penuh tangung jawab, Arumi pun mengatakan jika semuanya sudah beres, tinggal kedua belah pihak menandatanganinya. "Bagus, ternyata kamu juga lumayan berpengalaman pekerjaan." Sanjung Dewa, ia juga bertanya dari mana Arumi memiliki pengalaman kerja. Arumi terdiam, saat mendengar pertanyaan Dewa. Sekilas ia Dejavu saat bekerja dengan Daniel
Hera terkejut, saat melihat ada beberapa pria berjas hitam tengah berada ruang resepsionis, dia begitu penasaran hingga perlahan menghampiri. Baru saja akan bertanya, salah satu dari pria berjas hitam itu menghampirinya, lalu menjelaskan jika bos mereka telah membayar lunas semua biaya pengobatan. Membuatnya sangat kecewa karena tidak bisa mencurangi-nya. "Nyonya, biaya pengobatan pak Harun sudah di lunasi tuan Dewa berpesan agar anda tidak lagi menelpon dan mengirim pesan pada nona Arumi, jika ada hal lain lagi anda bisa menghubungi kami," peringat salah satu dari ke empat pengawal Dewa. Hera menggangguk dan mengiyakan semua perintah pria itu, bahkan dia juga mengucapkan terima kasihnya pada pria kepercayaan Dewa. Setelah perintah sang tuan di laksanakan, para pengawal itu pergi. Hera yang masih mematung terlihat sangat kecewa karena tidak bisa menyelipkan uang biaya rumah sakitnya. "Sial, kenapa tidak Arumi yang datang ke sini, setidaknya aku bisa berbohong dan meminta