"Aku tidak pantas marah, aku hanya sensitif saja." Stella berkata pelan lalu menghela napasnya. "Tidak pantas sekali aku merasa marah padamu."Bian menggeleng, lalu mengambil kedua tangannya, menggenggamnya dengan lembut. "Kau sedang hamil, wajar jika sensitif. Aku saja yang tidak bisa memberikan pengertian untukmu. Harusnya aku mengatakan kata-kata tadi dengan lebih baik dan jelas. Agar kau tidak salah paham. Maaf, aku terlalu sering menyakitimu dulu jadi kata-kataku sekarang juga membuatmu merasa tidak bahagia. Aku tidak begitu ahli dalam mengucapkan kalimat-kalimat yang manis. Namun, aku janji akan lebih memperhatikan kata-kataku ke depannya."Stella menatap Bian dengan wajahnya yang terlihat sedih. "Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak menyukaiku jadi wajar saja jika kamu mengatakan kata-kata seperti itu yang bisa dikatakan kasar. Aku tidak menyalahkanmu, jika aku dipaksa untuk menikah dengan seorang pria yang tidak berguna juga mungkin aku akan mengatakan kata-kata yang sama.
Stella merasa mual tiba-tiba begitu dia selesai minum susu. Bian sendiri sudah tidak ada di kamar, setelah pembicaraan mereka tadi Bian pergi karena tak kunjung mendapatkan jawaban.Mungkin saja pria itu marah, Stella tak peduli dan biarkan saja pria itu pergi. Dia tidak tahu sebenarnya apa yang diinginkan oleh Bian, semuanya masih terlalu ambigu untuk diteruskan dan dia bisa menjadi pribadi yang terlalu banyak berharap sementara pria itu tidak ada binatang untuk memberikan yang lebih.Mengusap bawah bibirnya yang basah, Stella menatap wajahnya yang agak pucat di kaca kamar mandi. Dia menghela napas pelan, kembali duduk ke atas ranjang dan hanya bisa diam saja di sana. Bian mengatakan kalau Amber akan membawa makanan untuknya, jadi dia tidak perlu keluar kamar dan itu membuatnya cukup terbantu karena dia malas kemana-mana. "Kau tidak bisa menyiksa Ibu begini, Nak. Tumbuhlah dengan baik di dalam, jangan buat ibu merasa mual." Stella bergumam sambil menarik napasnya.Dia tahu kalau men
Bian menunggu Stella bangun dan tak pergi lagi setelah pulang tadi. Dia menyiapkan banyak hal yang dibutuhkan istrinya, bahkan dia sengaja meminta asistennya untuk membelikan lilin yang aroma terapi, beberapa pengharum ruangan beraroma terapi dan juga meminta Amber menyiapkan beberapa makanan untuk Stella agar setelah dia bangun nanti, dia bisa langsung makan kalau dia merasa lapar.Bian sudah memutuskan untuk mempertahankan wanita itu dalam hidupnya, walaupun dia tahu kalau Stella pasti menolak karena dia yang selama ini sudah bersikap jahat pada wanita itu. Dia tahu, kalau apa yang dilakukan memang salah makanya dia tidak mau memaksakan wanita itu terlalu banyak."Kenapa dia belum bangun juga," gumam Bian seraya bangkit dan menghampiri Stella yang masih tidur. "Apakah dia baik-baik saja?"Bian menyentuh lengan Stella, lalu merasai dahinya dengan lembut dan tak menemukan Stella demam atau sejenisnya. Dia tak mengerti kenapa istrinya ini bisa lama sekali bangunnya, seperti tidak baik-b
Stella berbalik dengan kaget mendengar ucapan itu. Tadi dia menemukan Bian dalam keadaan sedang menonton televisi dan tidak menyadari kalau dia turun. Makanya dia kaget ketika pria ini menghampirinya ke dapur."Ah, aku tadinya agak haus. Aku memanggil Amber tapi dia tidak menjawab makanya aku turun." Stella berkata pelan lalu terdiam. Untuk apa dia menjelaskannya sampai sedetail itu? Stella menunduk pelan lalu kembali menghadap kulkas dan mengambil air dingin. Dia menoleh ke arah Bian yang sudah mengambil alih botol itu, lalu menuangkannya ke dalam gelas dan menyerahkannya pada Stella dengan lembut."Duduklah untuk meminumnya."Stella diam dengan wajah kaku, dia masih belum terbiasa menghadapi Bian yang memberikannya perhatian seperti ini. Namum dia tetap menurut dan berjalan ke arah kursi ketika pria itu menuntunnya. Dia minum air di gelas perlahan, lalu menoleh ke arah Bian yang sedang membuka kulkas dan mengambil dessert. "Makanlah," ucap Bian sambil duduk dan meletakkan dessert
Stella menatap Bian dengan wajahnya yang kaget. "Apa?"Bian tersenyum, bergerak mendekatinya. "Bermesraan, Sayang. Sudah kukatakan, kalau mungkin aku akan melakukan beberapa hal padamu. Aku hanya ingin bermesraan, kurasa itu tidak salah."Stella menghela napasnya, dia tahu kalau Bian pernah mengatakannya. "Untuk apa? Kenapa harus denganku?" tanyanya hingga Bian tersenyum. "Kau seharusnya bisa melakukannya dengan wanita-wanita yang ada di luar sana, 'kan? Mereka tidak akan pernah menolakmu."Bian mengangguk. "Benar, hanya saja aku tidak mau dengan mereka. Bukankah ada istriku? Kenapa harus dengan wanita lain?" tanyanya santai membuat Stella tak habis pikir.Dia tak mengerti apa sebenarnya yang dikatakan oleh Bian. Padahal dengan uang yang dia punya dia bisa mendapatkan dan melakukan apapun yang dia mau. Biar bagaimanapun, Bian adalah salah satu pengusaha ternama. tidak akan ada yang mau menolaknya kalau dia mencari seperti itu, tapi entah kenapa harus dengannya seperti sengaja ingin me
Stella tertidur lagi dengan lebih pulas saat ini. Dia memunggungi Bian, tapi pria itu dengan santai memeluknya dari belakang walau Stella belum menjawab tentang permintaan maafnya.Paginya, barulah Stella bangun dengan perasaan yang lebih baik. Dia tak tahu apakah dia benar-benar sakit atau tidak tadi malam, walaupun dia memang tadi malam melepaskan infus dari tangannya dan itu sudah cukup untuk menjadi sebuah bukti kalau dia benar-benar sakit."Sepertinya kehamilan ini tidak mudah kujalani, andaikan saja aku menjalaninya dengan suami yang benar-benar mencintaiku, pasti akan jauh lebih mudah. Dengan Bian yang lebih dulu menyakitiku seperti itu, ingin bermanja dengannya juga bukan sebuah hal yang baik. Biar bagaimanapun, dia tetaplah Bian yang dulu, yang tidak suka denganku." Stella merasa kalau pria ini pun mungkin menyukainya karena dia hamil, semata-mata untuk anaknya. Biar bagaimanapun, Stella tetaplah seorang anak orang miskin yang tidak layak untuk Bian seperti yang dikatakan ol
Bian menatap Stella yang terlihat duduk tenang di belakang rumah. Sejak tadi wanita itu ada disana, setelah dia selesai makan pun dia tetap di sana dan tak beranjak sama sekali. Hal itu membuat Bian sebenarnya agak khawatir tapi karena melihat Stella yang sepertinya suka menikmati suasana asri di halaman rumah, membuatnya tidak mau menganggu untuk saat ini."Dia masih saja menjauhiku padahal dia bisa melakukan apa saja kalau dia mau. Aku tidak akan menolak permintaannya tapi itu memang menjadi sebuah ganjalan besar. Terkadang seseorang ditawarkan itu akan lebih malas untuk melakukan dan mengambil penawarannya dibanding seseorang yang tidak ditawarkan." Bian bergumam lalu menghela napas.Satu hal yang masih disesalinya di saat ini adalah kebodohannya dulu. Kenapa dia harus menyakiti perasaan Stella berulang-ulang? Sekarang meyakinkan wanita itu jauh lebih sulit daripada dia harus mengalahkan rekan bisnisnya di dalam urusan saham."Bian ..."Pria itu menoleh ke arah Stella yang sudah be
Bian duduk di salah satu kursi cafe milik Stella dan memperhatikan sekitarnya. Cafe ini memiliki interior yang cukup segar dengan nuansa anak muda dan tidak begitu mencolok. Cream dan putih adalah warna dasarnya sehingga membuat semuanya terlihat begitu alami ditambah lagi ada beberapa tanaman hidup di dalamnya dan lukisan-lukisan serta coretan tembok yang sepertinya dibuat oleh sosok yang iseng.Bian sudah menikah dengan Stella selama beberapa bulan tapi baru kali ini dia datang dan duduk di sini. Itu karena selama ini dia adalah seorang pria yang menyebalkan dan tak pernah menghargai setelah sama sekali padahal wanita itu juga tak pernah menyusahkannya.Stella justru seorang wanita yang memiliki tekad dan semangat kerja keras yang cukup tinggi. Bian tahu kalau cafe ini dibuka oleh Stella saat mereka baru menikah dan itu menunjukkan kalau Stella tidak mengharapkan uang darinya untuk hidup. Wanita itu lebih memutuskan untuk membangun bisnis sendiri dan menyibukkan dirinya dibandingkan
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O
Stella yang melihat Bian terdiam hanya bisa menelan makanannya sebelum bersuara. "Makanan ini sudah cukup untukku jadi kau tidak perlu merasa harus menegur mereka. menjalankan tugas dari kau tidak perlu melakukan sesuatu kesalahan yang malah membuat mereka merasa takut. Mereka sudah lebih lama menjadi pelayan kalian dibandingkan aku yang menjadi istrimu. Jangan lakukan apapun yang membuat mereka merasa bersalah," balasnya membuat Bian menarik napasnya dalam-dalam.Nyatanya ada banyak hal yang membuat Stella tak mau menerimanya dengan mudah. Dian sudah melakukan banyak kesalahan yang tak termaafkan hanya karena pernikahan itu tadi yang tidak dia inginkan. "Maaf ..." ucapnya lirih membuat Stella menghela napas."Tidak perlu minta maaf. Aku sudah mengalami selama beberapa bulan terakhir saja menjadi istrimu. Sekarang dan dulu juga tidak ada bedanya bagiku, kau tidak perlu khawatir karena aku juga mengerti apa yang kau inginkan hanya untuk kebaikanmu. Tetapi, apakah nanti anak ini akan m
Stella benar-benar enggan meninggalkan ranjang hari ini, dia hanya duduk seharian sambil membaca buku kehamilan dan segala macam artikel tentang kehamilan yang ada di ponselnya."Menyusui ... tidak, aku tidak harus menyusui bayi ini ketika dia lahir nanti karena aku akan langsung pergi begitu saja. Jadi, aku tidak harus mempelajarinya karena anak ini pasti akan mendapatkan susu formula berkualitas tinggi dan terjamin daripada air susuku." Stella bergumam sambil menatap gambar ibu yang sedang menunggu bayinya sambil menyusui itu.Dia juga ingin menjadi Ibu yang murni, yang benar-benar melakukan semua hal untuk anaknya. Tetapi keadaan saat ini memaksanya untuk tidak melakukan itu karena memang tidak bisa. Hubungan dia dan Bian terlalu retak dan parah untuk diperbaiki dan dia sama sekali tidak ada niatan untuk memperbaikinya.Sekali seorang pria menjadi brengsek dan jahat seperti ini maka kedepannya di dalam pernikahan yang lebih pasti nanti maka dia besar kemungkinan dia akan melakukan