Entah benar-benar bahagia atau tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Stella padanya, Bian langsung membooking satu lantai khusus untuk pemeriksaan kehamilan dan dokter abgyn terbaik yang ada di kota itu.Stella merasa ini terlalu berlebihan, anak yang dikandung oleh seorang wanita miskin sepertinya tidak harus membuat Bian sampai mengeluarkan uang sebanyak itu, 'kan? Untuk apa? Hanya sekedar cek hamil atau ada cek yang lain?Saat sedang berada di mobil berdua, Stella memberanikan diri dan bertanya pada Bian yang sedang mengemudi dengan serius dan hati-hati."Apakah surat pernyataan dari klinik itu tidak cukup untuk meyakinkanmu kalau anak ini benar-benar ada?"Bian menatap wajahnya sekilas lalu tersenyum kecil. "Belum cukup, aku ingin ada pemeriksaan yang lebih spesifik karena bagaimanapun juga ini adalah hal pertama dan aku tidak boleh langsung lengah seperti tidak terjadi apa-apa," ucapnya yakin membuat Stella menghela napasnya."Apakah kau juga ingin melakukan pemeriksaan DN
Setelah dari rumah sakit, Stella tak lagi izinkan oleh Bian untuk datang ke cafenya. Dia hanya bisa duduk diam di rumah, sementara pria itu pergi mengurus pekerjaannya. Stella tak tahu apakah pria itu akan pulang cepat atau tidak tapi yang pasti di sini dia hanya berdua dengan Amber yang sudah sigap melayaninya sejak tadi."Nona mau makan apa? Mau jus? Atau apa? Biar saya buatkan?"Stella menghela napas dan menggeleng. "Aku sedang tidak mau apa-apa. Kau istirahat saja dan tidak usah lakukan apapun. Aku mau istirahat saja karena kepalaku sakit," gumamnya lalu berjalan pergi dari ruangan depan.Dia melangkah ke arah kamarnya, merasa pusing tiba-tiba. Entah ini efek kehamilan atau tidak tapi yang pasti dia merasa tidak nyaman, tubuhnya merasa lebih cepat lelah dan itu membuatnya malas memikirkan apa-apa."Bagaimana nanti tanggapan Mama saat aku hamil? Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menghadapinya." Stella membaringkan tubuhnya di atas ranjang, lalu memejamkan matanya dan merasa ti
Stella turun ke lantai bawah untuk mengambil air minum karena sejak tadi dia memanggil Amber sama sekali Gadis itu tidak ada masuk ke dalam kamarnya. Jadi dia memutuskan untuk turun sendiri dan mengambil apa yang dia mau, selama kehamilan ini dia berniat untuk menjadi seseorang yang lebih kuat, agar tidak merepotkan Bian. Kabarnya seorang wanita hamil akan jauh lebih sensitif dan mudah tersinggung, dia takut malah membuat semuanya berantakan dan Bian akan lebih banyak keberatan."Kau sudah bangun? Amber bilang kau tidur."Baru saja dia akan memasuki dapur, suara Bian terdengar membuatnya berhenti. Pria itu menatapnya dengan alis terangkat, hingga Stella menghela napasnya dan mengangguk."Ya, aku tadi mau mengambil air minum." Stella berkata seraya berjalan ke arah rak penyimpanan gelas. "Kenapa kau sudah pulang? Biasanya juga lebih sore."Bian tersenyum kecil dan menoleh ke arahnya yang sedang menuangkan air. "Aku memang pulang cepat karena aku memutuskan untuk mengurangi jadwalku ka
Hamil tidak harus membuat semuanya berubah, bukan? Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh Stella. Kenapa Bian harus berubah seperti itu hanya karena dia mengandung anaknya? Bian seharusnya tidak perlu seefort itu, hanya untuk anak yang dikandung wanita miskin sepertinya.Mengusap perutnya seraya duduk merenung di atas ranjang, Stella tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan oleh pria itu. Kenapa sikapnya berubah-ubah sesuka hatinya? Memangnya Stella tidak bisa merasa kesal? Bian harusnya tetap berada di tempatnya dan tidak usah mencari masalah atau memberi perhatian padanya, Stella termasuk seorang wanita yang mudah untuk luluh. Dia takut jatuh cinta pada pria itu."Kalau aku jatuh cinta padanya aku yakin dia pasti tidak akan suka dan dia juga tidak akan membalas perasaanku. Dia hanya menjadikan semuanya permainan dari awal, dia tidak akan pernah benar-benar menyukai dan mencintaiku. Apa yang bisa diharapkan dari semua itu?"Stella menghela napas, rasanya dia makan bingung bagai
"Aku sudah membuatkan susu hamil untukmu."Stella terbangun agak siang hari ini karena tadi malam dia lumayan sulit tidur sebab rasanya tidak nyaman. Memang dia tidak mengalami mual atau muntah seperti ibu-ibu hamil pada umumnya, tapi tetap saja dia merasa tidak nyaman seperti ada yang berbeda dengan tubuhnya dan itu bisa dikatakan hormon yang mulai berubah. Syukurlah tidak begitu parah dan dia hanya salat tidur makanya dia cukup menghabiskan waktu dengan menonton video di ponselnya dan kemudian matanya merasa lelah barulah dia ketiduran sendiri. Dan ketika dia bangun hari ini, dia sudah mendapatkan kata-kata sambutan dari Bian yang tengah bersiap untuk bekerja."Kenapa harus kau yang membuatnya? Mana Amber?" tanyanya membuat Bian menyodorkan gelas itu dan tersenyum kecil."Dia aku minta untuk belanja bahan-bahan makanan yang baru karena sudah seminggu lebih kulkas itu diisi. Aku mau memastikan kau makan makanan yang sehat dan fresh, nanti juga akan ada koki dan ahli gizi yang akan me
"Aku tidak pantas marah, aku hanya sensitif saja." Stella berkata pelan lalu menghela napasnya. "Tidak pantas sekali aku merasa marah padamu."Bian menggeleng, lalu mengambil kedua tangannya, menggenggamnya dengan lembut. "Kau sedang hamil, wajar jika sensitif. Aku saja yang tidak bisa memberikan pengertian untukmu. Harusnya aku mengatakan kata-kata tadi dengan lebih baik dan jelas. Agar kau tidak salah paham. Maaf, aku terlalu sering menyakitimu dulu jadi kata-kataku sekarang juga membuatmu merasa tidak bahagia. Aku tidak begitu ahli dalam mengucapkan kalimat-kalimat yang manis. Namun, aku janji akan lebih memperhatikan kata-kataku ke depannya."Stella menatap Bian dengan wajahnya yang terlihat sedih. "Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak menyukaiku jadi wajar saja jika kamu mengatakan kata-kata seperti itu yang bisa dikatakan kasar. Aku tidak menyalahkanmu, jika aku dipaksa untuk menikah dengan seorang pria yang tidak berguna juga mungkin aku akan mengatakan kata-kata yang sama.
Stella merasa mual tiba-tiba begitu dia selesai minum susu. Bian sendiri sudah tidak ada di kamar, setelah pembicaraan mereka tadi Bian pergi karena tak kunjung mendapatkan jawaban.Mungkin saja pria itu marah, Stella tak peduli dan biarkan saja pria itu pergi. Dia tidak tahu sebenarnya apa yang diinginkan oleh Bian, semuanya masih terlalu ambigu untuk diteruskan dan dia bisa menjadi pribadi yang terlalu banyak berharap sementara pria itu tidak ada binatang untuk memberikan yang lebih.Mengusap bawah bibirnya yang basah, Stella menatap wajahnya yang agak pucat di kaca kamar mandi. Dia menghela napas pelan, kembali duduk ke atas ranjang dan hanya bisa diam saja di sana. Bian mengatakan kalau Amber akan membawa makanan untuknya, jadi dia tidak perlu keluar kamar dan itu membuatnya cukup terbantu karena dia malas kemana-mana. "Kau tidak bisa menyiksa Ibu begini, Nak. Tumbuhlah dengan baik di dalam, jangan buat ibu merasa mual." Stella bergumam sambil menarik napasnya.Dia tahu kalau men
Bian menunggu Stella bangun dan tak pergi lagi setelah pulang tadi. Dia menyiapkan banyak hal yang dibutuhkan istrinya, bahkan dia sengaja meminta asistennya untuk membelikan lilin yang beraroma terapi, beberapa pengharum ruangan beraroma terapi dan juga meminta Amber menyiapkan beberapa makanan untuk Stella agar setelah dia bangun nanti, dia bisa langsung makan kalau dia merasa lapar. Bian sudah memutuskan untuk mempertahankan wanita itu dalam hidupnya, walaupun dia tahu kalau Stella pasti menolak karena dia yang selama ini sudah bersikap jahat pada wanita itu. Dia tahu, kalau apa yang dilakukan memang salah makanya dia tidak mau memaksakan wanita itu terlalu banyak. "Kenapa dia belum bangun juga," gumam Bian seraya bangkit dan menghampiri Stella yang masih tidur. "Apakah dia baik-baik saja?" Bian menyentuh lengan Stella, lalu merasai dahinya dengan lembut dan tak menemukan Stella demam atau sejenisnya. Dia tak mengerti kenapa istrinya ini bisa lama sekali bangunnya, seperti tidak
Stella sebenarnya mengatakan semua itu dengan sangat santai pada Bian tapi entah mengapa karena menyebut kata 'ibuku', Bian adi perasaan sendiri teringat dengan kesalahannya. Namun, meski begitu dia tetap meminta pelayan untuk membuatkan makanan yang diinginkan oleh Stella, pelayan itu datang dari rumah utama alias tempat ibunya tinggal dan membawa makanan yang diinginkan Stella. Sebenarnya semua ini dirasa terlalu berlebihan, padahal Stella sudah bilang kalau dia bisa membuatnya sendiri. Namun, Bian menyebalkan dengan kata posesif yang ada di dalam dirinya. Membuat Stella juga tak bisa membantah dan memutuskan untuk langsung makan saja karena dia sudah lapar. "Apakah ini yang namanya mengidam? Kudengar, seorang ibu hamil biasanya akan menyukai makanan-makanan random. Kau mendadak menginginkan makanan asia seperti ini, kau sedang mengidam?" tanya Bian sambil menyuapkan satu potong daging ke mulutnya. "Mungkin saja, aku juga tidak begitu tahu karena Ini pertama kalinya aku hami
Stella memejamkan matanya, merasa lelah dengan segala permintaan Bian yang selalu dia dapatkan. Setiap hari, pria ini pasti akan selalu mengungkit tentang itu dan memintanya untuk tidak pergi. Dengan sikapnya yang berubah-ubah, Stella justru takut dengan kenaikan yang diberikan Bian padanya. "Aku tidak meminta banyak, aku hanya meminta supaya kau tidak pergi meninggalkan kami. Aku sudah berjanji akan memberikan separuh sahamku kepadamu, kenapa sulit sekali bagimu untuk membuat keputusan kecil itu jika aku bisa memberikanmu sesuatu yang besar?" Selepas mandi habis melakukan percintaan itu, Bian kembali bertanya dengan duduk di atas ranjang yang sama dengannya. Sementara Stella sudah terbaring dengan dua bantal yang dia sadari hingga tubuhnya terlihat nyaman. "Kau tahu, seumur hidup itu tidak sebentar." Stella memulai ucapannya dengan lembut, tak mau berdebat dan tak memancing emosi pria ini. "Kau memintaku tetap bertahan setelah kita bercinta, hampir setiap hari memintaku melakuk
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O