Bayaran setelah bercinta adalah sebuah mobil membuat Stella sebenarnya sudah mulai mengerti arti dirinya di hadapan pria yang sedang bersamanya ini. Jika mau dibayar, dia hanya berharga 13.000$, tidak lebih dan tidak kurang.Stella tahu, dari dulu dia hanya menjadi seorang wanita yang tidak berharga di mata pria ini. Mungkin dengan mengandung anaknya, maka akan menjadi penghargaan paling besar. Stella tak tahu, kenapa dia mau dan mau ingin padahal semua itu adalah hal yang tidak masuk akal. "Sudahlah, mau memikirkannya juga tidak ada gunanya sekarang. Kenapa aku harus menyesalinya berulang kali padahal aku tahu kalau semua itu tidak akan bisa ku perbaiki lagi. Dari awal aku menikah dengannya sebenarnya sudah hancur saja sekarang masa depanku. Kenapa aku harus memikirkan tentang hal yang tak bisa kulakukan, aku bisa memikirkannya."Stella memperhatikan Bian yang sedang membeli beberapa makanan di cafe tempat mereka berhenti. Dia sebenarnya sudah malas untuk ikut tapi tetap harus ada t
Bian tahu kalau Stella adalah seorang wanita yang sangat sadar diri dan tidak pernah melampaui batas. Wanita ini tidak akan pernah tenang dan tidak akan pernah diam tentang pembahasan yang sama setiap hari selama dia belum setuju dan itu hanya akan membuatnya kesal kalau terus-terusan dibahas.Bukan salah Stella juga dengan bersikap seperti ini karena dari awal Bian yang sudah mau doktrinnya untuk menjadi seseorang yang tidak penuntut terhadap pernikahan mereka. Ditambah lagi setelah memang bukan seorang gadis yang sengaja menjual dirinya untuk mendapatkan sesuatu secara instan, membuatnya tahu kalau dia yang sudah terlalu kelewatan di dalam urusan ini."Aku akan urus setelah ini. Ke depannya bisa kau berhenti membahasnya? Tidak perlu mengajariku untuk urusan yang kuketahui." Bian berkata datar membuat Stella menghela napas dan mengangguk.Dia tak bicara lagi setelah itu membuat Bian juga kehilangan kata-kata karena tak tahu bagaimana cara membuka pembicaraan. Keduanya diam seperti ta
Selama beberapa hari ke depannya setelah Stella mengatakan kata-kata itu, dia sebenarnya kesal hanya saja tahu kalau cara itu yang dimiliki oleh Stella untuk tetap bertahan dengan sikapnya yang berubah-ubah seperti ini. Bagaimanapun juga Stella adalah seorang wanita yang tetap takut dengan sebuah harapan palsu yang tak ada kejelasan, sementara itu Bian memang tak ada memberikannya kejelasan apapun selain hanya untuk keuntungannya sendiri."Anda mau makan bersama dengan Nyonya Stella lagi, Tuan?" Saat jam makan siang asistennya kembali bertanya dan itu membuat Bian tersenyum kecil.Dia bersandar di kursinya dan terlihat memejamkan matanya, berpikir selama beberapa saat untuk memastikan apa yang dia ingin lakukan. Rasanya makan dengan Stella juga tidak ada salahnya tapi selama beberapa hari ini dia tidak lagi melakukannya karena mendengar ucapan dari wanita itu kemarin. Terlihat sangat jelas kalau Stella sengaja dan tidak mau berharap banyak padanya karena memang tidak ada harapan. Wani
Stella mencoba untuk menenangkan diri, menatap wajahnya yang terlihat agak lelah. Padahal beberapa hari ini dia sama sekali tidak ada melakukan apapun, makanya dia heran kenapa tubuhnya lemah. Dia tampak menghela napas, lalu memutuskan untuk keluar karena dia lapar. Sebaiknya nanti dia memesan testpack saja atau membelinya secara langsung, dia sudah punya mobil jadi dia akan mudah mau membeli apa saja.Keluar dari dalam kamar, Stella berjalan pelan ke arah dapur dan menatap Bian yang sudah duduk di sana lebih dulu. Bian menatap wajah Stella yang sudah menarik kursi, hingga dia tersenyum pelan."Kau bekerja?"Stella mengangguk mendengarnya hingga dia menghela napas dan menatapnya. "Kenapa?""Tidak ada, nanti malam Mama mau mengajak kita makan malam." Bian berkata. "Jangan pulang terlalu lama."Stella mengangguk tanpa banyak bicara, dia menghela napasnya dan menatap wajah Bian. Beberapa hari ini Bian sebenarnya melembut padanya, tak ada lagi mencari masalah dan selalu bersifat lebih per
Entah benar-benar bahagia atau tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Stella padanya, Bian langsung membooking satu lantai khusus untuk pemeriksaan kehamilan dan dokter abgyn terbaik yang ada di kota itu.Stella merasa ini terlalu berlebihan, anak yang dikandung oleh seorang wanita miskin sepertinya tidak harus membuat Bian sampai mengeluarkan uang sebanyak itu, 'kan? Untuk apa? Hanya sekedar cek hamil atau ada cek yang lain?Saat sedang berada di mobil berdua, Stella memberanikan diri dan bertanya pada Bian yang sedang mengemudi dengan serius dan hati-hati."Apakah surat pernyataan dari klinik itu tidak cukup untuk meyakinkanmu kalau anak ini benar-benar ada?"Bian menatap wajahnya sekilas lalu tersenyum kecil. "Belum cukup, aku ingin ada pemeriksaan yang lebih spesifik karena bagaimanapun juga ini adalah hal pertama dan aku tidak boleh langsung lengah seperti tidak terjadi apa-apa," ucapnya yakin membuat Stella menghela napasnya."Apakah kau juga ingin melakukan pemeriksaan DN
Setelah dari rumah sakit, Stella tak lagi izinkan oleh Bian untuk datang ke cafenya. Dia hanya bisa duduk diam di rumah, sementara pria itu pergi mengurus pekerjaannya. Stella tak tahu apakah pria itu akan pulang cepat atau tidak tapi yang pasti di sini dia hanya berdua dengan Amber yang sudah sigap melayaninya sejak tadi."Nona mau makan apa? Mau jus? Atau apa? Biar saya buatkan?"Stella menghela napas dan menggeleng. "Aku sedang tidak mau apa-apa. Kau istirahat saja dan tidak usah lakukan apapun. Aku mau istirahat saja karena kepalaku sakit," gumamnya lalu berjalan pergi dari ruangan depan.Dia melangkah ke arah kamarnya, merasa pusing tiba-tiba. Entah ini efek kehamilan atau tidak tapi yang pasti dia merasa tidak nyaman, tubuhnya merasa lebih cepat lelah dan itu membuatnya malas memikirkan apa-apa."Bagaimana nanti tanggapan Mama saat aku hamil? Aku bahkan tidak tahu bagaimana harus menghadapinya." Stella membaringkan tubuhnya di atas ranjang, lalu memejamkan matanya dan merasa ti
Stella turun ke lantai bawah untuk mengambil air minum karena sejak tadi dia memanggil Amber sama sekali Gadis itu tidak ada masuk ke dalam kamarnya. Jadi dia memutuskan untuk turun sendiri dan mengambil apa yang dia mau, selama kehamilan ini dia berniat untuk menjadi seseorang yang lebih kuat, agar tidak merepotkan Bian. Kabarnya seorang wanita hamil akan jauh lebih sensitif dan mudah tersinggung, dia takut malah membuat semuanya berantakan dan Bian akan lebih banyak keberatan."Kau sudah bangun? Amber bilang kau tidur."Baru saja dia akan memasuki dapur, suara Bian terdengar membuatnya berhenti. Pria itu menatapnya dengan alis terangkat, hingga Stella menghela napasnya dan mengangguk."Ya, aku tadi mau mengambil air minum." Stella berkata seraya berjalan ke arah rak penyimpanan gelas. "Kenapa kau sudah pulang? Biasanya juga lebih sore."Bian tersenyum kecil dan menoleh ke arahnya yang sedang menuangkan air. "Aku memang pulang cepat karena aku memutuskan untuk mengurangi jadwalku ka
Hamil tidak harus membuat semuanya berubah, bukan? Setidaknya, itulah yang dipikirkan oleh Stella. Kenapa Bian harus berubah seperti itu hanya karena dia mengandung anaknya? Bian seharusnya tidak perlu seefort itu, hanya untuk anak yang dikandung wanita miskin sepertinya.Mengusap perutnya seraya duduk merenung di atas ranjang, Stella tidak mengerti apa sebenarnya yang diinginkan oleh pria itu. Kenapa sikapnya berubah-ubah sesuka hatinya? Memangnya Stella tidak bisa merasa kesal? Bian harusnya tetap berada di tempatnya dan tidak usah mencari masalah atau memberi perhatian padanya, Stella termasuk seorang wanita yang mudah untuk luluh. Dia takut jatuh cinta pada pria itu."Kalau aku jatuh cinta padanya aku yakin dia pasti tidak akan suka dan dia juga tidak akan membalas perasaanku. Dia hanya menjadikan semuanya permainan dari awal, dia tidak akan pernah benar-benar menyukai dan mencintaiku. Apa yang bisa diharapkan dari semua itu?"Stella menghela napas, rasanya dia makan bingung bagai
"50% saham hanya untuk bercinta denganku? Apakah kau merasa itu semua masuk akal?" Masih diposisi yang sama, Stella tak bisa lepas dari kungkungan Bian karena pria ini terlihat begitu serius ingin melakukannya. "Bukankah kau yang meminta syarat itu? Aku hanya berusaha untuk menurutinya supaya mendapatkan apa yang aku mau, sekaligus kau tidak merasa rugi dengan permintaanku." Bian menjawab dengan santai membuat Stella menarik napasnya tak percaya. "Bian, tidak ada untungnya-" "Ada, apakah kau meremehkan hasrat seorang pria sepertiku? Aku punya istri dan aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa karena dia tidak percaya padaku dan masih sakit hati, jadi aku hanya berusaha untuk menggapai hatinya. Apapun akan kulakukan untuk itu, masih tidak percaya?" Stella terdiam, dia ingat sesuatu yang pernah dikatakan orang termasuk wanita-wanita yang pernah menikah. Mereka mengatakan kalau suami mereka rela melakukan apa saja jika sudah ingin melakukan hubungan suami istri. Bahkan ketika mer
Stella menatap wajah Bian yang sepertinya tak ada niatan untuk melepaskannya. Wanita itu sudah mencengkram selimut saat merasakan Bian menyapa bagian lehernya dengan ciuman dan kecapan mesra. "Bian ..." Bian mengangkat kepalanya, lalu menatap dalam wajah Stella yang sudah menggeleng. "Aku tidak bisa melakukan itu." "Kenapa?" Bian menciumnya dengan lembut. "Bukankah sudah bersedia untuk lebih menerima hubungan ini dan semua perhatianku?" Stella menelan ludahnya. "Tetapi bukan dengan bercinta, 'kan?" ucapnya pelan. "Aku tidak ada mendengar ucapan itu." Bian terdiam, sadar kalau selama ini dia terbawa perasaan sendiri padahal Stella tetap menganggap semuanya sama seperti pertama kali. "Bian ... aku sangat lelah." Bian tersenyum pelan lalu mengusap kepalanya. "Sudah berapa bulan kita tidak melakukannya, kau tidak merindukanku?" Stella menatapnya dengan tatapan tak paham membuat Bian tersenyum lagi. Gila, dia yang terbawa perasaan sendiri dengan hubungan dan kedekatan yang
Stella memijat kepalanya perlahan lalu keluar dari dalam mobil dan menatap Bian yang sudah membuka pintu rumah dan menyambutnya yang baru datang. Wanita itu diam selama beberapa saat tapi kemudian dia berjalan saat melihat Bian yang sedang tersenyum padanya."Kau mau pergi?"Bian menaikkan alisnya. "Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyanya seraya merangkul tubuh Stella, membawanya masuk ke rumah. "Emm, karena aku melihatmu keluar dari rumah saat aku sampai tadi. Kupikir kau bukan mau menyambutku tapi mau pergi ke suatu tempat seperti yang biasa kau lakukan dulu. Dulu bukankah kau biasanya selalu pergi? Kenapa sudah tidak pernah lagi keluar dan nongkrong atau menyendiri?"Bian mengajaknya duduk di sofa lalu tersenyum lembut menatap wajah istrinya itu. "Untuk apa? Aku lebih baik di rumah daripada keluar tanpa manfaat seperti itu. Aku tidak begitu punya teman, hanya ada beberapa rekan kerja. Kalau aku di rumah aku bisa membantu menjaga dan memberikan perhatian padamu. Kehamilan
Beberapa bulan berlalu setelah kehamilan Stella dan dia tetap mendapati sikap penuh perhatian dan juga segala hal yang diberikan Bian mulai lebih terlihat banyak dan berkembang.Pria angkuh dan kaku itu bahkan seolah sengaja untuk menjadi dirinya yang lebih baik, tidak lagi bermulut pedas, tidak lagi bertampang datar dan dingin, tidak lagi menjadi sosok yang menyebalkan.Stella menikmati semua perubahannya tapi juga dia masih berusaha menjaga jarak. Dia tidak bisa kalau harus membiarkan pria itu melakukan sesuatu padanya semakin jauh, tapi dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menghalanginya hingga hanya bisa menerima."Maaf, aku terlambat datang. Tadi aku meeting dulu dengan klien baru setelahnya aku datang ke sini karena itu klien yang cukup penting. Dia sudah datang jauh-jauh dari luar negeri, makanya aku layani dulu," ucap Bian begitu masuk ke cafe Stella.Wanita berdress hitam itu menoleh ke arah Bian, lalu diam selama beberapa saat. "Kau bicara seolah menjadi gigolo saja," uja
Setelah pulang, tak ada lagi pembicaraan yang dilakukan oleh Bian dan Stella. Keduanya masuk ke dalam rumah dan disambut Amber, tapi karena tak ada yang dikatakan dan dibicarakan oleh kedua majikannya jadi Amber juga hanya diam dan berniat untuk memasak makan siang sebab sebentar lagi sudah harus makan. Stella masuk ke kamarnya dan memutuskan untuk beristirahat sambil berpikir. Dia merasa sifat Bian saat ini sudah terlalu jauh, pria itu sudah tak sama lagi dan itu membuatnya khawatir. Besar kemungkinan jika seperti ini maka mereka tidak akan berpisah sesuai dengan harapan pria itu. "Tidak ada dasar yang kuat kenapa dia berubah dan berniat untuk mempertahankanku. Aku bukan orang yang tidak punya hati sampai mengabaikan apa yang dia lakukan dan dia inginkan, tapi kalau dia tidak memiliki dasar yang kuat untuk mempertahankan pernikahan ini maka dia akan bisa mengabaikannya dengan mudah ke depannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjadi dirinya sendiri, karena bagaimanapun semua ini
Stella menoleh ke arah Bian saat pria itu sengaja meletakkan lauk di piringnya. Padahal dia tidak memintanya sama sekali tapi pria ini memang sengaja melakukannya dan menggunakan Calista yang ada dihadapan mereka untuk semakin berpura-pura.Saat ini mereka sedang makan pagi bersama dan Bian terlihat seperti seorang suami dan calon ayah yang baik. Dia tak tahu bagaimana harus menolaknya tapi saat ini dia hanya bisa diam saja dan memakan makanan itu tanpa banyak bicara."Makanlah yang banyak, agar kandunganmu sehat." Calista bersuara membuat Stella mengangguk tanpa menatapnya.Dia malas untuk banyak berbasa-basi saat ini, terlalu melelahkan. Sepertinya jika dia kembali ke rumah atau ke kamarnya yang ada di cafe akan lebih baik, dia tidak akan menyinggung atau membuat siapapun harus terusik. Dia bukan orang yang hebat dan bahkan dia selalu menjadi orang yang terhina.Stella menghela napas panjang lalu duduk di kursi dan melihat Bian serta Calista yang sedang bicara. Sejak tadi dia tahu m
"Aku mau." Stella menatap Bian dengan wajah datar. "Mau apa?" Bian melihat Stella dari atas sampai bawah, berulang-ulang membuat wanita itu memalingkan wajahnya dengan tatapan datar yang tak berubah. Dia sudah tahu apa yang dimaksudkan oleh pria ini, rasanya seperti tak masuk akal karena Bian bisa-bisanya meminta secara terang-terangan begini. "Apa yang kau pikirkan sebenarnya? Sadar tidak sih kalau aku sedang hamil?" "Memangnya kalau hamil tidak bisa melakukannya?" tanya Bian dengan wajah tak percaya. "Apa yang kau rasakan? Ada yang sakit lagi?" Stella menghela napasnya dalam-dalam lalu berjalan ke arah ranjang dengan rasa malas. "Aku belum fit, kalau kita lakukan malah beresiko. Itu bukan hal yang kuinginkan, aku mau mempertahankan anak ini. Apapun keadaannya, aku tidak akan membuatnya kenapa-napa. Kau harus tahu, keguguran pertama kali bisa membuat resiko macam-macam, salah satunya mungkin tidak akan bisa hamil lagi. Jadi, berhenti meminta sebelum keadaanku membaik." "O
Stella yang melihat Bian terdiam hanya bisa menelan makanannya sebelum bersuara. "Makanan ini sudah cukup untukku jadi kau tidak perlu merasa harus menegur mereka. menjalankan tugas dari kau tidak perlu melakukan sesuatu kesalahan yang malah membuat mereka merasa takut. Mereka sudah lebih lama menjadi pelayan kalian dibandingkan aku yang menjadi istrimu. Jangan lakukan apapun yang membuat mereka merasa bersalah," balasnya membuat Bian menarik napasnya dalam-dalam.Nyatanya ada banyak hal yang membuat Stella tak mau menerimanya dengan mudah. Dian sudah melakukan banyak kesalahan yang tak termaafkan hanya karena pernikahan itu tadi yang tidak dia inginkan. "Maaf ..." ucapnya lirih membuat Stella menghela napas."Tidak perlu minta maaf. Aku sudah mengalami selama beberapa bulan terakhir saja menjadi istrimu. Sekarang dan dulu juga tidak ada bedanya bagiku, kau tidak perlu khawatir karena aku juga mengerti apa yang kau inginkan hanya untuk kebaikanmu. Tetapi, apakah nanti anak ini akan m
Stella benar-benar enggan meninggalkan ranjang hari ini, dia hanya duduk seharian sambil membaca buku kehamilan dan segala macam artikel tentang kehamilan yang ada di ponselnya."Menyusui ... tidak, aku tidak harus menyusui bayi ini ketika dia lahir nanti karena aku akan langsung pergi begitu saja. Jadi, aku tidak harus mempelajarinya karena anak ini pasti akan mendapatkan susu formula berkualitas tinggi dan terjamin daripada air susuku." Stella bergumam sambil menatap gambar ibu yang sedang menunggu bayinya sambil menyusui itu.Dia juga ingin menjadi Ibu yang murni, yang benar-benar melakukan semua hal untuk anaknya. Tetapi keadaan saat ini memaksanya untuk tidak melakukan itu karena memang tidak bisa. Hubungan dia dan Bian terlalu retak dan parah untuk diperbaiki dan dia sama sekali tidak ada niatan untuk memperbaikinya.Sekali seorang pria menjadi brengsek dan jahat seperti ini maka kedepannya di dalam pernikahan yang lebih pasti nanti maka dia besar kemungkinan dia akan melakukan