Akhirnya Endara berhasil membawa Afifa ke rumah sakit setelah puluhan kali mencoba membujuk wanita itu. Sekarang Endara sedang berbincang dengan dokternya langsung untuk mengetahui kondisi Afifa lebih lanjut.“Jadi, tidak ada cara lain selain mengangkat rahimnya Dok?” tanya Endara, kabar itu masih saja membuat Endara terkejut. Sayang sekali, sampai akhir hayat Afifa tidak akan bisa merasakan mempunyai keturunan. Tidak memiliki sanak saudara yang dekat, orang tuanya juga sudah meninggal, Afifa tinggal sebatang kara di sini.“Betul dan harus secepatnya melakukan tindakan,” kata si dokter, setelah menjelaskan panjang lebar memberikan solusi yang terbaik untuk keselamatan Afifa.“Baik Dok, secepatnya lakukan tindakan operasi,” kata Endara, yang sudah setuju Afifa diangkat rahimnya.“Silahkan anda ke ruang administrasi untuk menandatangani dokumennya,” kata si dokter.“Baik dok.”***Dara yang ikut ke rumah sakit menunggu Endara dengan cemas. Sementara Vega, wanita itu sedang berada di dal
Tiba lah di mana hari Afifa akan dioperasi, tidak hanya Endara, Vega, dan Dara yang menemani, tapi Julian juga ikut menemani. Meskipun wanita paruh baya itu terkenal judes di mata keluarga, tapi jika keibuannya sungguh sangat luar biasa.“Mah, sebaiknya Mama istirahat saja dulu,” kata Endara, karena tidak tega melihat wajah sang mama sepertinya sangat kelelahan.“Diamlah, aku sedang tidak ingin istirahat,” kata Julian, dengan nada Julian yang judes, meskipun begitu wanita paruh baya itu sangat perhatian.“Dari pada kamu menyuruh Mama istirahat, lebih baik kamu saja sana yang istirahat. Kantung mata kamu sudah sangat hitam akibat beberapa hari tidak bisa istirahat dengan tenang,” sambung Julian, nadanya sedikit lembut.“Endara belum bisa istirahat sebelum operasinya selesai, Mah.” Ya, semalam penuh Endara tidak bisa tidur karena memikirkan Afifa. Memikirkan bagaimana operasinya, berjalan lancar atau tidak, semua berkecamuk di dalam pikiran Endara menyerang tanpa henti.“Semuanya akan b
Operasi berjalan dengan lancar dan sekarang Afifa sudah dipindahkan ke ruang rawat inap. Setelah beberapa jam terpengaruh obat bius kini Afifa sudah sadarkan diri. Wanita itu untuk sementara waktu tidak boleh bergerak dulu, karena luka jahitan yang masih basah takut terjadi apa-apa. Yang sedang menemani Afifa hanya lah Dara, sementara Endara, Vega, dan Julian sedang pulang ke rumah.“Mbak butuh apa?” tanya Dara, saat melihat gelagat Afifa yang sedang menginginkan sesuatu.“Minum Dara,” jawab Afifa, dengan suara serak. Tenggorokannya terasa kemarau, karena Afifa belum bisa banyak bergerak jadilah wanita itu meminta bantuan Dara untuk mengambilkan air minum untuknya.“Ini Mbak, biar Dara bantu,” kata Dara. Membantu Afifa untuk minum, setelah selesai Dara mengembalikan gelas berisikan air putih itu pada tempatnya.“Kamu tidak istirahat Dara?” Afifa tahu betul Dara kekurangan istirahat, ia menjadi tidak enak hati karena sudah membuat Dara kelelahan padahal saat ini Dara sedang mengandung.
Tiga hari sudah Afifa berada di rumah sakit dan kondisinya kini sudah semakin membaik. Luka jahitan bekas operasi juga semakin mengering dan sekarang ia Afifa diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. kabar tersebut membuat Afifa sangat bahagia, karena selama berada di rumah sakit Afifa merasa tidak nyaman, tempat tidur kurang nyaman dan makanan tidak enak terasa hambar.“Benar sudah merasa baikan?” tanya Endara, yang baru saja masuk ke ruang rawat setelah menyelesaikan biaya administrasi selama Afifa di rawat di rumah sakit.“Iya Mas, lebih baik pulang aja, lagian Afifa juga nggak betah di sini terus,” ucap Afifa.“Kalau masih ada yang sakit sebaiknya ditambah menginap di sini supaya dokter juga bisa memantau dengan mudah.” Endara menghampiri Afifa yang sedang duduk di atas brankar rumah sakit. lelaki itu menatap wanita yang ada di depannya dengan lekat, entahlah, Endara tidak mengerti mengapa ada wanita seperti Afifa. Wanita yang sudah tidak ia anggap, tapi tidak pernah sedikitpu
Setelah selesai makan malam, Endara memutuskan untuk ke kamar Afifa menjenguk dan melihat kondisi wanita itu. Afifa benar-benar mendengar ucapan Endara, tidak sedikitpun wanita itu keluar dari kamarnya. Jika butuh sesuatu ia akan meminta tolong kepada Vega atau pun Endara.“Belum istirahat?” tanya Endara sambil berjalan kearah Afifa yang sedang duduk di ranjang dengan buku bacaan di tangannya.“Belum Mas,” jawab Afifa, tersenyum kearah suaminya. Afifa meletakkan buku yang sedang ia baca setelah Endara duduk di tepian ranjang. Terjadi keheningan untuk beberapa saat di sana, membuat Afifa bingung dengan situasi yang ada.Endara melirik kearah nakas yang ada di dekatnya ternyata makan malam yang ia antarkan untuk Afifa tadi sudah habis tidak tersisa. Diam-diam Endara tersenyum di dalam hatinya. Rasanya senang sekali makanan yang ia antar dilahap habis oleh Afifa.“Kenapa Mas Endara tiba-tiba datang ke kamar Afifa?” sempat merasa heran Endara tiba-tiba saja main ke kamarnya karena jarang
Keesokan harinya, setelah Vega menahan selama semalam penuh akhirnya sekarang wanita itu bisa menemui Afifa dan bertanya langsung tentang maksud dan tujuan Afifa minta cerai dari Endara. Kebetulan sekali sekarang Afifa baru saja selesai sarapan, jadi Vega bisa bertanya-tanya tentang banyak hal.“Dek, lagi sibuk nggak?” Vega memasuki kamar Afifa dan tidak lupa kembali menutup pintunya. Wanita itu berjalan ke arah ranjang milik Afifa dan duduk di tepiannya.“Nggak kok Mbak, abis minum obat tadi setelah sarapan,” jawab Afifa, dengan senyum manis yang mengembang di wajahnya. Wajah Afifa sudah tidak terlalu pucat seperti kemarin-kemarin, sekarang sudah lebih terlihat rona merah segar di wajahnya.“Dek, Mbak mau tanya sesuatu boleh?” Vega berkata dengan sangat hati-hati takut menyakiti hati Afifa yang sedang tidak baik-baik saja. hati Afifa masih saja sensitif mengakibatkan Vega harus pandai memilih kata-kata yang akan ia ucapkan nanti.“Apa benar semalam kamu bilang ingin cerai dari Mas En
Endara masuk ke dalam kamar Afifa membawa berkas perceraian yang sudah ia urus sebelumnya. Endara tidak akan menyerahkan berkas itu begitu saja, lelaki itu akan bertanya terlebih dahulu kepada Afifa tentang keputusan yang sudah dibuat wanita itu.“Sedang sibuk tidak?” tanya Endara, kemudian menutup pintu kamar Afifa tidak lupa menguncinya. Endara berjalan kearah ranjang dan duduk di tepinya sementara Afifa duduk di tengah-tengah ranjang.“Tidak Mas,” jawab Afifa.“Apa itu Mas?” tanya Afifa, sambil menatap map coklat yang ada di tangan kanan Endara. Afifa menatapnya dengan kening mengkerut.“Ini adalah berkas perceraian. Tapi, sebelum saya memberikannya sama kamu, saya ingin bertanya terlebih dahulu,” kata Endara, dengan raut wajah yang terlihat sangat serius.“Tanpa apa Mas?” Afifa memposisikan dirinya siap menjawab semua pertanyaan Endara.“Kamu benar-benar dengan keputusan kamu itu?”Afifa mengangguk tanpa beban, bahkan di wajahnya terlihat ada guratan senyum di sana menandakan Afif
Satu bulan kemudian ….Akhirnya sidang perceraian itu tiba setelah satu bulan menunggu Afifa cukup sembuh dari operasi. Vega dan Dara juga ikut hadir di sana. Kebanyakan seorang wanita yang akan menghadapi perceraian dengan suami pasti akan merasa sedih, tapi berbeda dengan Afifa, ia terlihat ceria dan bahagia seperti beban hidupnya akan terlepas begitu saja. karena tidak ada perlawanan dari Endara dan Afifa, proses ketok palu berjalan dengan cepat dan sekarang mereka berdua remi berpisah. Seperti yang Endara ucapkan satu bulan yang lalu, setelah perceraian terjadi Afifa langsung keluar dari rumah Endara dan menempati rumah yang Endara berikan untuknya.Setelah persidangan cerai selesai, Afifa langsung keluar untuk mencari udara segar menikmati kebebasannya dari sebuah hubungan rumah tangga yang sangat toxic baginya.Afifa merentangkan ke dua tangannya menikmati kebebasan untuk pertama kalinya. Akhirnya Afifa bisa bebas seperti sebelum ia belum menikah dengan Endara.“Mbak Afifa terli
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Setelah mobil Roy selesai diperbaiki, lelaki itu langsung pulang ke rumah orang tuanya dan membawa Afifa ikut bersama. Bukan tanpa alasan Roy membawa Afifa ke rumah orang tuanya, karena tadi Jasmin bilang mau bertemu dengan wanita itu katanya kangen. Wajar saja, karena sudah beberapa hari tidak bertemu.Sekarang Roy dan Afifa sudah sampai di kediaman ke dua orang tua Roy. Afifa sangat disambut baik oleh Mariam dan suami. Meskipun suami Mariam belum pernah bertemu dengan Afifa sebelumnya, tapi lelaki itu bisa sudah seperti mengenal Afifa cukup lama. Aryan, adalah nama papa Roy.“Selama kamu bersama dengan anak ini dia tidak macam-maca kan sama kamu?” tanya Aryan lelaki itu menatap Roy tajam. Bagaimana bisa putranya itu sangat ceroboh membawa seorang wanita menginap di hotel di dalam kamar yang sama? sangat gila sekali bukan? Aryan tahu Roy sudah lama menduda, tapi tidak seperti ini cara melampiaskannya.“Memangnya Papa berpikir seperti apa? Roy tidak segila itu,” kata Roy, menatap sang
Roy dan Afifa masih berada di tempat yang sama, meskipun hari sudah larut malam, tapi acara di tempat pesta itu masih terlihat ramai oleh tamu yang datang. Sejak tadi Afifa tidak pernah jauh dari Roy, wanita itu terus berada di sisi Roy karena tidak mau hal buruk terjadi padanya. Pandangan mata lelaki yang berada si sekitar Afifa masih sama, masih menatap penuh minat. Sampai-sampai membuat Afifa risih dan ingin secepatnya pergi dari tempat itu.“Apa kita masih lama di sini?” tanya Afifa dia sudah bernar-benar tidak betah berada di sana. Bukan karena banyak orang yang berkerumun, tapi tatapan mata lelaki hidung belang yang penuh minat itu seolah Afifa adalah seorang perempuan yang bisa dibawa dengan mudah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy lelaki itu bisa melihat jelas Afifa sedang dalam keadaan gelisah. Wajar saja, karena memang sejak tadi banyak laki-laki yang memandangi Afifa. Roy tidak menyangka ternyata pesona Afifa bisa menarik perhatian para lelaki yang hadir di sana. Pesona
Tiga hari telah berlalu …. Afifa sedang mempersiapkan diri untuk istirahat karena besok ia harus semangat untuk bekerja. Pada saat wanita itu ingin memposisikan tubuhnya untuk tiduran di kasur, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. “Iya, halo.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. “Afifa, apakah besok kamu ada acara?” Roy bertanya dengan suara yang cukup tenang. Ya, yang menelepon Afifa malam-malam adalah Roy, entah kepentingan apa yang membuat lelaki itu menghubungi Afifa di saat jam tidur seperti ini. “Seperti biasa berangkat kerja,” jawab Afifa, terdengar santai. Sesekali wanita itu menahan kantuk yang sudah mulai menyerangnya, Afifa berharap Roy akan segera mengakhiri panggilannya agar Afifa segera mengistirahatkan tubuhnya. “Besok malam ada acara pesta salah satu rekan bisnis saya, saya berniat untuk mengajak kamu untuk menghapus rumor bahwa saya adalah laki-laki penyuka sesama jenis,” jelas Roy sebenarnya lelaki itu malu mengatakan hal yang