Satu bulan kemudian ….Akhirnya sidang perceraian itu tiba setelah satu bulan menunggu Afifa cukup sembuh dari operasi. Vega dan Dara juga ikut hadir di sana. Kebanyakan seorang wanita yang akan menghadapi perceraian dengan suami pasti akan merasa sedih, tapi berbeda dengan Afifa, ia terlihat ceria dan bahagia seperti beban hidupnya akan terlepas begitu saja. karena tidak ada perlawanan dari Endara dan Afifa, proses ketok palu berjalan dengan cepat dan sekarang mereka berdua remi berpisah. Seperti yang Endara ucapkan satu bulan yang lalu, setelah perceraian terjadi Afifa langsung keluar dari rumah Endara dan menempati rumah yang Endara berikan untuknya.Setelah persidangan cerai selesai, Afifa langsung keluar untuk mencari udara segar menikmati kebebasannya dari sebuah hubungan rumah tangga yang sangat toxic baginya.Afifa merentangkan ke dua tangannya menikmati kebebasan untuk pertama kalinya. Akhirnya Afifa bisa bebas seperti sebelum ia belum menikah dengan Endara.“Mbak Afifa terli
Keesokan harinya, hari pertama di mana tidak ada Afifa di dalam rumah itu. Dara dan Vega menjalankan aktifitas seperti biasanya, membuat sarapan dan sarapan bersama di meja makan. Ketiadaaan Afifa membuat keadaan menjadi berubah, yang semula ramai, kini sepi tidak ada suara wanita itu. Dara dan Vega merasakan jelas kehilangan sosok Afifa di sana. Mereka semua berharap Afifa akan bahagia dengan keputusannya itu.“Dara, nanti kamu cek kandungan bersama saya ya,” kata Endara, memecahkan keheningan yang terjadi di depan meja makan.“Iya Mas,” jawab Dara, tanpa ada perlawanan sedikit pun.“Mas nanti aku juga mau pergi ya,” kata Vega, yang tidak mau sendirian di dalam rumah. kesedirian membuat Vega sangat bosan dengan keadaan. Jadilah Bega memutusan untuk pergi setelah Dara dan Endara pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kandungan.“Kamu mau pergi kemana?” tanya Endara, menatap Vega penuh selidik. Tidak biasanya Vega pergi sendiri tanpanya membuat Endara menaruh curiga pada wanita itu.“Aku
Sesampainya Endara dan Dara di rumah sakit, mereka berdua langsung menuju ruangan dokter yang sebelumnya sudah membuat janji dengan Endara. Tidak menunggu waktu lama Dara langsung diperiksa oleh dokter untuk mengetahui perkembangan janin dan kondisi sang ibu.“Waahh, sepertinya ini sang Ibu bahagia ya,” puji sang dokter, tersenyum hangat ke arah Dara dan juga Endara. Sang dokter ikut bahagia melihat ibu dan janin sangat bahagia. Melihat perkembangan janin yang sangat baik membuat sang dokter juga senang melihatnya.“Iya Dok, kalau mintanya tidak dituruti pasti marah,” kata Endara, ikut bercanda agar suasana tidak terlalu tegang.Mendengar ucapan Endara membuat ke dua pipi Dara merona. Ternyata selama ini Endara juga memperhatikannya? Itulah pertanyaan yang ada di dalam pikiran Dara saat ini. Dara tidak menyangka ternyata lelaki itu juga peduli kepadanya, meskipun kepeduliannya itu lebih banyak kepada si janin yang ada di dalam kandungan Dara.“Memang seperti itu Pak, jadi mohon dimak
Setibanya Endara dan Dara di restoran, ke duanya langsung memilih menu makanan untuk di pesan dan tidak berselang lama makanan pun datang. Dara melihatnya dengan semangat, sebab ia sudah mulai kelaparan. Sepertinya janin yang ada di dalam kandungan Dara sangat senang makan, jadilah Dara yang selalu lapar di setiap saat.“Pelan-pelan Dara, makannya berantakan sekali,” kata Endara, sambil mengusap sudut bibir Dara yang terdapat sebutir nasi di sana. Endara tidak habis pikir dengan cara makan Dara yang sangat belepotan, padahal tadi sebelum ke rumah sakit sudah makan terlebih dahulu.“Namanya juga laper Mas,” kata Dara, dengan suara yang tidak terlalu jelas karena mulutnya terisi penuh dengan nasih. Alhasil ada beberapa butir nasi yang keluar dari mulutnya membuat Endara meringis jijik.“Sudah saya bilang pelan-pelan makannya dan kalau makan jangan sambil ngomong jadi keluar semua kan nasinya,” omel Endara, sambil membersihkan meja yang terdapat nasi bekas dari mulut Dara. Meskipun sedik
Dara menunggu Endara dengan perasaan cemas di dalam kamarnya. Melihat amarah dan kekecewaan yang terpancar jelas di wajah lelaki itu tadi membuat Dara merasa was-was, takut jika Endara akan menghajar Vega habis-habisa. Tidak berselang lama pintu kamar Dara pun terbuka, masuklah Endara dengan emosi yang masih ampur aduk.“Mas.” Dara membantu Endara untuk duduk di tepian ranjang milik Dara. Wanita itu mengambil segelas air putih miliknya untuk Endara agar amarah lelaki itu sedikit reda.“Terima kasih,” kata Endara, kemudian meneguk habis air putih yang Dara berikan hanya tinggal gelasnya saja.Dara pun mengembalikan gelas itu ke tempat semula. Tangan kanan Dara digunakan untuk mengusap punggung Endara agar emosi lelaki itu sedikit reda. Dara melihat ke dua mata Endara merah sepertinya lelaki itu baru saja menangis. Menurut Dara sangat wajar terjadi, karena Vega adalah wanita yang paling Endara cintai, namun malah cintanya dibalas dengan pengkhianatan.“Kenapa ini terjadi padaku, Dara? K
Satu minggu telah berlalu dan kini proses perceraian Endara dan Vega sedang dilaksanakan. Meskipun Vega mengemis meminta maaf kepada Endara, namun tetap lelaki itu tidak akan pernah mengubah keputusannya untuk segera menceraikan Vega. Bagaimanapun juga perselingkuhan tidak bisa dibenarkan apa lagi dilakukan secara sadar. Sebenarnya Endara masih sayang dan mencintai Vega, tapi sayangnya kepercayaan itu malah dipandang sebelah mata oleh Vega. Pernikahan yang sudah dibina selama puluhan tahun harus berakhir tragis seperti ini.Endara keluar dari ruang persidangan dengan perasaan yang entah lelaki itu tidak bisa merasakannya. Antara lega, sedih, kecewa, dan berat tentunya, namun semua ini sudah ia putuskan untuk kebaikan dirinya sendiri.“Mau langsung pulang Mas?” tanya Dara, dengan suara lirih. Ia juga sedih melihat keadaan Endara yang semakin hari semakin menyedihkan. Di tambah lagi lelaki itu terlihat sedikit kurus karena memang beberapa hari ini makannya sangat tidak teratur. Bahkan E
Dara kembali membawa baskom yang sudah ia isi dengan air hangat dan handuk kecil yang ia ambil dari kamar Vega. Sementara tubuh Endara semakin menggigil parah dan suhu tubuhnya juga semakin tinggi sampai Dara dibuat panik oleh lelaki itu.“Kecilkan sedikit ACnya Dara,” kata Endara, dengan suara bergetar menahan dingin yang luar biasa menusuk sampai ke tulang-tulangnya.Dara bergegas mengambil remot AC dan mengecilkan suhunya agar tidak terlalu dingin untuk Endara. Setelah itu Dara mencelupkan handuk kecil dan memeras sampai airnya menyusut sempurna kemudian menempelkan handuk kecil hangat itu di kening Endara.“Kalau besok demamnya belum turun juga kita ke rumah sakit saja ya Mas,” ucap Dara, raut wajahnya terlihat sangat panik sebab melihat Endara semakin pucat dan mengigil hebat.Dara mengambil tambahan selimut di dalam lemarinya, membentangkan selimut itu untuk menutupi seluruh tubuh Endara kecuali area kepala. Dara terus memeriksa handuk kecil yang ada di kening Endara, jika sudah
Tiga hari sudah Endara berada di rumah sakit, semakin hari kondisi lelaki itu terus membaik sampai pada akhirnya tepat di hari ini Endara sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. kabar tersebut membuat Endara sangat senang karena akhirnya bisa terbebas dari penjara rumah sakit yang cukup menyiksanya.“Ayo Dara, saya ingin cepat pulang,” kata Endara, sejak tadi terus berucap seperti itu padahal Dara baru saja menyelesaikan bayaran administrasi dan belum lagi membereskan barang-barang milik Endara.“Iya Mas, sabar, kan Dara baru saja dari bawah,” kata Dara, sambil membereskan barang Endara dengan gerakan seribu. Lelaki itu memang benar-benar sangat bawel sekali, apakah Endara tidak tahu betapa repotnya Dara saat ini?“Ahh, kamu ini lelet sekali, saya ingin segera pulang agar bisa terbebas dari kamar yang bau obat ini.” Endara terus mengomel tidak jelas, mentang-mentang kondisi lelaki itu sudah cukup baik memperlakukan Dara seenaknya.Dara berdecak kesal, tapi wanita itu memili
Beberapa hari setelah acara aqiqah Brian, Afifa dan Riy kembali pada aktivitas masing-masing apa lagi kalau bukan bekerja dari pagi sampai malam, namun entah mengapa pagi ini bos yang ada di kantor Afifa meminta agar Afifa libur saja padahal sebelumnya bosnya itu tidak pernah meminta Afifa libur. Karena Afifa sangat bosan pagi ini, ia pun memutuskan ke dapur untuk membuat makanan sebagai cemilannya hari ini kebetulan sekali di dalam kulkas masih ada sayuran untuk dijadikan bakwan. Afifa memotong kol dengan senandung kecil yang keluar dari bibirnya, namun tiba-tiba saja ponselnya berdering.“Hao, Roy.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. Tumben sekali Roy pagi-pagi sudah menelepon?“Aku tidak berangkat kerja, bos meminta aku untuk libur,” jawab Afifa.“Oh, tentu sangat boleh. Bawa saja Jasmin ke sini, aku juga tidak ada teman di rumah. Iya, sama-sama.”Kemudian sambungan telepon dimatikan. Sangat kebetulan sekali hari ini dirinya sedang libur dan Jasmin tidak ada teman d
Satu minggu sudah usia buah hati Dara dan Endara dan sekarang mereka berdua akan menggelar acara aqiqah untuk sang putra sekaligus memberikan nama untuk buah hatinya itu.“Persiapannya sudah selesai semua, Mas?” Dara bertanya saat suaminya masuk ke dalam kamar. Selama beberapa hari ini Dara hanya berada di dalam kamar karena takut meninggalkan sang putra sendirian di sana. Dara takut jika putranya harus dirinya tidak ada di dekatnya.“Sudah sayang, semuanya sudah selesai kok. Mulai dari makanan dan lain sebagainya. Kamu tidak usah khawatir, kamu fokus saja mengurus si Dedek yah,” kata Endara, lelaki itu duduk di tepian ranjang memperhatikan sang putra yang sedang asyi meminum asi dari sumbernya. Melihat sang putra begitu menikmati asi dari sumbernya itu membuat Endara menelan ludah karena ia juga ingin merasakan.“Hayo, lagi mikirin apa.” Dara melambaikan tangannya di depan sang suami, sebab wajah sang suami terlihat sangat mencurigakan.“Emangnya Mas nggak boleh nyoba ya sayang? Mas
Afifa terdiam haru pada saat melihat seorang bayi yang sedang tertidur pulas di atas pangkuan Dara. Bayi laki-laki itu baru saja tertidur pulas setelah minum asi yang Dara berikan. Afifa tidak bisa menahan air matanya, wanita itu benar-benar sangat terharu.“Dara, apa boleh Mbak menggendong anakmu?” tanya Afifa dengan sangat hati-hati. Ia takut jika Dara akan marah jika anaknya digendong olehnya karena biasanya seorang wanita yang baru saja merasakan menjadi ibu akan sangat sensitif jika anaknya digendong oleh orang lain.“Tentu saja boleh Mbak,” kata Dara, dengan senyum mengembang di wajahnya.Mendengar persetujuan dari Dara membuat Afifa bahagia sampai rasanya tidak bisa dijelaskan. Wanita itu duduk di tepian brankar rumah sakit memposisikan tubuhnya senyaman mungkin agar ia nyaman menggendong bayi laki-laki tersebut. Ke dua matanya terus menatap bayi yang sedang ada di dalam pangkuannya, rasanya Afifa seperti punya bayi kecil sekarang.“Dia sangat imut sekali,” kata Afifa, tanpa sa
Sekarang Endara sedang berada di ruangan bersalin, karena Dara ingin lahiran secara normal, jadilah Endara harus bersiap mendengar jeritan sang istri. Sebenarnya Endara tidak mau melihat Dara kesakitan seperti ini, tapi istrinya itu adalah perempuan yang keras kepala.“Atur napasnya ya Ibu, soalnya belum pembukaan sempurna,” kata sang dokter yang akan membantu proses Dara bersalin kali ini.“Tapi saya sudah tidak tahan Dok, rasanya ingin mengejan,” kata Dara, tangan kanannya ia gunakan untuk memegang pinggiran brankar rumah sakit dan tangan yang satunya lagi setia menggenggam tangan suaminya dan tentunya bukan hanya sekedar genggaman saja tangan Endara nyaris berdarah karena Dara terlalu kencang memegangnya.“Ditahan sayang, tunggu pembukaannya lengkap dulu baru kamu boleh mengajan,” kata Endara, lelaki itu terus berada di samping Dara meskipun dirinya sendiri nyaris pingsan karena terus mendapat siksaan secara fisik oleh istrinya.“Pokoknya Dara nggak mau hamil lagi Mas, ini sakit ba
Beberapa bulan kemudian ….“Aduh sayang, kan sudah aku bilang jangan naik turun tangga, perut kamu sudah besar banget itu,” kata Endara, lelaki itu meringis ngilu melihat Dara yag sejak tadi hanya naik turun tangga saja padahal perut wanita itu sudah sangat besar. Di usia kehamilan Dara yang sudah sembilan bulan itu membuat Endara sangat ketat menjaga gerak istrinya itu, tapi Dara tetap lah Dara yang ingin melakukan semua hal sendirian. “Habisnya kalau Dara di kamar terus nggak enak Mas, bosen,” kata Dara. “Lagian kata dokternya juga harus banyak gerak supaya biar cepat kontraksi dan pembukaannya,” sambung Dara. “Tapi kan kau bisa minta tolong sama aku.” Endara menghampiri Dara yang masih berada di tengah-tengah anak tangga lelaki itu membantu sang istri untuk naik dan mengantarkan ke kamar. “Mulesnya belum rutin sayang?” Endara bertanya sambil mengusap perut Dara yang terlihat sangat buncit dan besar. semalam Endara harus begadang karena kata Dara perutnya sudah sesekali mengalam
Makan malam bersama dengan keluarga Roy pun sedang berlangsung, tidak ada percakapan di sana yang terdengar hanyalah denting sendok dan piring yang sesekali beradu. Afifa merasa sangat terharu karena akhirnya ia kembali merasakan kehangatan yang namanya keluarga. Jika orang tuanya masih ada pasti ia akan sering melakukan makan bersama seperti ini.“Afifa, ditambah lagi itu nasinya,” ujar Aryan, kepada Afifa. sejak tadi lelaki itu melihat Afifa seperti ada yang sedang dipikirkan terkadang tatapan mata wanita itu terlihat kosong.“Iya Om, ini saja nasinya masih banyak,” kata Afifa, dengan senyum di wajahnya. Afifa kembali terlihat baik-baik saja meskipun sebenarnya di dalam hati wanita itu menjerit ingin menumpahkan semuanya.“Afifa.” Mariam menyentuh bahu Afifa karena kebetulan posisi duduk Mariam dan Afifa hanya bersebelahan saja.“Kamu kenapa? Dari tadi Tante perhatikan wajah kamu sedih.” Mariam melihat jelas bahwa wanita yang berada di sampingnya itu sedang dalam keadaan tidak baik-
Setelah mobil Roy selesai diperbaiki, lelaki itu langsung pulang ke rumah orang tuanya dan membawa Afifa ikut bersama. Bukan tanpa alasan Roy membawa Afifa ke rumah orang tuanya, karena tadi Jasmin bilang mau bertemu dengan wanita itu katanya kangen. Wajar saja, karena sudah beberapa hari tidak bertemu.Sekarang Roy dan Afifa sudah sampai di kediaman ke dua orang tua Roy. Afifa sangat disambut baik oleh Mariam dan suami. Meskipun suami Mariam belum pernah bertemu dengan Afifa sebelumnya, tapi lelaki itu bisa sudah seperti mengenal Afifa cukup lama. Aryan, adalah nama papa Roy.“Selama kamu bersama dengan anak ini dia tidak macam-maca kan sama kamu?” tanya Aryan lelaki itu menatap Roy tajam. Bagaimana bisa putranya itu sangat ceroboh membawa seorang wanita menginap di hotel di dalam kamar yang sama? sangat gila sekali bukan? Aryan tahu Roy sudah lama menduda, tapi tidak seperti ini cara melampiaskannya.“Memangnya Papa berpikir seperti apa? Roy tidak segila itu,” kata Roy, menatap sang
Roy dan Afifa masih berada di tempat yang sama, meskipun hari sudah larut malam, tapi acara di tempat pesta itu masih terlihat ramai oleh tamu yang datang. Sejak tadi Afifa tidak pernah jauh dari Roy, wanita itu terus berada di sisi Roy karena tidak mau hal buruk terjadi padanya. Pandangan mata lelaki yang berada si sekitar Afifa masih sama, masih menatap penuh minat. Sampai-sampai membuat Afifa risih dan ingin secepatnya pergi dari tempat itu.“Apa kita masih lama di sini?” tanya Afifa dia sudah bernar-benar tidak betah berada di sana. Bukan karena banyak orang yang berkerumun, tapi tatapan mata lelaki hidung belang yang penuh minat itu seolah Afifa adalah seorang perempuan yang bisa dibawa dengan mudah.“Kamu mau pulang sekarang?” tanya Roy lelaki itu bisa melihat jelas Afifa sedang dalam keadaan gelisah. Wajar saja, karena memang sejak tadi banyak laki-laki yang memandangi Afifa. Roy tidak menyangka ternyata pesona Afifa bisa menarik perhatian para lelaki yang hadir di sana. Pesona
Tiga hari telah berlalu …. Afifa sedang mempersiapkan diri untuk istirahat karena besok ia harus semangat untuk bekerja. Pada saat wanita itu ingin memposisikan tubuhnya untuk tiduran di kasur, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan ada telepon masuk. “Iya, halo.” Afifa menyapa seseorang yang ada di seberang sana. “Afifa, apakah besok kamu ada acara?” Roy bertanya dengan suara yang cukup tenang. Ya, yang menelepon Afifa malam-malam adalah Roy, entah kepentingan apa yang membuat lelaki itu menghubungi Afifa di saat jam tidur seperti ini. “Seperti biasa berangkat kerja,” jawab Afifa, terdengar santai. Sesekali wanita itu menahan kantuk yang sudah mulai menyerangnya, Afifa berharap Roy akan segera mengakhiri panggilannya agar Afifa segera mengistirahatkan tubuhnya. “Besok malam ada acara pesta salah satu rekan bisnis saya, saya berniat untuk mengajak kamu untuk menghapus rumor bahwa saya adalah laki-laki penyuka sesama jenis,” jelas Roy sebenarnya lelaki itu malu mengatakan hal yang