Rapat sedang berlangsung... Barra duduk di ujung meja rapat, menatap para karyawan yang duduk berbaris disisi meja. Rapat berjalan dengan lancar, para karyawan menyampaikan ide dan strategi mereka dengan lebih percaya diri. Barra terus mengawasi dan memberikan arahan, memastikan bahwa proyek film ini akan menjadi sukses besar yang akan mengangkat nama perusahaannya menjadi lebih tinggi di industri entertainment. Namun yang tak bisa Barra hindari sedari tadi, berkali-kali dirinya melirik jam tangan. ‘Kenapa siang terlalu lama?’ gerutunya dalam hati. Saat karyawan fokus mendengar kepala bagian marketing menyampaikan ide dan gagasannya, Barra membuka ponsel. Rasa ingin tahu tentang apa yang sedang istrinya lakukan dirumah saat ini, membuatnya tak tahan untuk melihat rekaman cctv rumah. Barra tanpa sadar, tersenyum melihat Olivia yang berada didapur. Istrinya itu terlihat seperti sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri. Tampak Olivia menatap ke kamera cctv, seolah tahu jika
“Kita jalan sekarang?” Tanya Barra antusias. “Ayo.” Olivia mengangguk, berusaha tampak antusias didepan Barra. “Kamu mau kita kemana?” “Aku ikut kemana anda bawa, soalnya aku gak begitu tau tempat-tempat yang biasa orang datangi.” jelas Olivia, apa adanya. Barra mengerti. Kehidupan istrinya itu tidak seperti para gadis lainnya sejak dulu, yang bisa hanging out bersama keluarga dan teman, atau bebas keluar rumah jalan-jalan menghabiskan masa remaja, melakukan banyak hal produktif. Jika tak sekolah, istrinya sehari-hari disamakan dengan asisten rumah tangga, mengerjakan sebagian pekerjaan mereka demi menghemat pengeluaran rumah tangga. “Kita berbelanja dulu seperti janji saya tadi pagi.” Barra memutuskan. Olivia diam sejenak, hingga mengiyakan. Terserah suaminya itu saja. °°° Pusat perbelanjaan... Mall yang ramai dengan pengunjung menjadi saksi betapa pasangan Barra dan Olivia menarik perhatian banyak orang. Barra seperti biasa dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, ber
“Kamu haus?” Tanya Barra setelah mereka keluar dari arena permainan. Olivia merasa sudah cukup puas bermain dan mengajak suaminya keluar dari tempat itu. “Iya nih. Aku rasanya pengen es krim...” Olivia menunjuk stand es krim yang berada tak jauh dari sana. “Saya akan pergi membelikan es krimnya Pak.” Jefri hendak beranjak. “Tidak perlu Jef. Kamu bawa saja hadiah-hadiah ini ke mobil. Biar aku saya yang kesana membelinya!” Tukas Barra. “Baik Pak.” Jefri mengambil banyaknya hadiah yang diperoleh Olivia dari permainan yang dimenangkan Barra tadi, membawanya ke mobil untuk disimpan agar tak mengganggu gerak dan langkah bebas mereka. “Kamu tunggu disini, duduk saja. Saya belikan dulu es krimnya.” Ucap Barra pada Olivia setelah Jefri pergi. “Aku bisa pergi sendiri membelinya.” Olivia merasa tak enak hati merepotkan Barra. “Tidak Olivia, tunggulah disini! Saya hanya sebentar!” Titah Barra, tak ingin sang istri kelelahan. “Baiklah.” Olivia tersenyum, manut saja pada perintah suaminya.
“Hai Oliv.” Sapa Elgard lebih mendekat pada Olivia yang mulai resah. Ia lirik Barra di seberang sana. Suami tampan dan posesifnya itu ternyata tengah menatap tajam ke arahnya dan Elgard sembari melangkah menuju tempatnya berada. Olivia tahu Barra tak akan suka melihat dirinya didekati Elgard.“Oh hai Elgard. Aku duluan ya.” Olivia cepat-cepat beranjak dari hadapan mantan suaminya itu, akan mendekati Barra yang berwajah menakutkan di seberang sana.“Olivia sebentar!” Elgard menghadang langkah Olivia, tak ingin lagi kehilangan kesempatan untuk bicara berdua setelah beberapa kali gagal.“Ada apa?” Tanya Olivia sedikit kaget, namun matanya masih tertuju ke belakang Elgard, tepatnya ke arah Barra disana yang tampak menahan amarah melihat Olivia tak dibiarkan pergi oleh seorang pria yang pernah menjadi masa lalu istrinya itu.“Olivia, aku cuma mau bilang ke kamu. Tolong jauhi Barra Malik Virendra.” Ucap Elgard to the point, mengejutkan Olivia.“Maksudnya?” Olivia menelan ludah. Ia baru inga
“Lho, Elgard, Olivnya mana?” Clarissa yang baru saja datang, mencari keberadaan Olivia di dekat Elgard, namun tak ada. Elgard masih diam terpaku, belum bisa menormalkan perasaannya. “Lo kenapa? Berantem sama Oliv? Lo bilang apa sama dia? Jangan bilang lo nyakitin perasaan dia lagi makanya dia pergi gitu aja!” Clarissa curiga, baru sebentar ia tinggal pergi. Olivia sudah tak ada. “Gue harus tanya papa soal ini kak!” Elgard tak menjawab pertanyaan Clarissa. Ia langsung beranjak pergi dengan perasaan tak menentu, tergesa-gesa, hanya untuk memastikan kebenaran kabar pernikahan Barra dan Olivia yang belum diketahui semua orang. Berharap itu tidak benar. “Dia mau nanya apa ke papa?” gumam Clarissa tak mengerti, Elgard pergi begitu saja meninggalkannya. °°° “Pak Barra...” Olivia menghentikan langkahnya, menahan lengan Barra yang berjalan sambil menggenggam tangannya. Barra ikut berhenti dan menatap Olivia, wajahnya masih tampak dingin. “Maafkan aku... Aku gak bermaksud lancang mendah
Mata Olivia tiba-tiba tak sengaja melihat ke arah pakaian tidur wanita yang dipajang pada manekin, tampak dari kaca besar sebuah toko khusus pakaian tidur wanita dewasa yang ada di lantai mall tempat mereka berada sekarang. Berbagai macam lingerie, terpajang cukup menarik perhatian para pengunjung yang melewati toko itu. Terutama baju dinas malam bertema cosplay anime yang lucu dan gemas. Olivia menyipitkan mata, tak habis pikir. ‘Kenapa toko itu harus memajang pakaian seperti itu di depan? Gimana kalau laki-laki yang otaknya kotor, sampai berpikir yang enggak-enggak?’ ‘Kalau ada istri mah enak, bisa dibeliin dan minta istrinya pake didepan dia. Nah kalau gak punya istri, ya bisa gawat...’ Olivia bermonolog dengan hatinya sendiri. Dirinya saja merasa malu melihat pakaian-pakaian yang seharusnya cukup privasi itu, di pajang dengan mudahnya dibalik kaca besar toko tersebut, sehingga bisa dilihat oleh siapa saja germasuk anak dibawah umur. Ya, namanya juga toko khusus pakaian seper
“Anda juga sering ke pantai seperti ini?” Tanya Olivia. Ia yakin jika ini bukan pertama kalinya Barra membawa wanita bersamanya menikmati suasana pantai yang eksotis. Bersama Azalea dulu, pasti Barra sering kesini. “Waktu masih kecil, bersama Mommy dan Daddy. Tapi setelah dewasa, tidak pernah lagi. Baru ini saya ke pantai lagi setelah sekian lamanya, bersama kamu.” Jawab Barra jujur, masih menatap keindahan senja di depan mereka. Olivia terpana, “Benarkah?” tanyanya sulit mempercayai. “Menurut kamu saya punya waktu hanya untuk sekedar menghabiskan waktu sendirian di sini?” Olivia terdiam. Apa itu artinya Barra dan Azalea tidak pernah ke pantai menghabiskan waktu bersama? ‘Mungkin mereka keluar kota, atau keluar negeri kalau mau quality time ya.” batinnya, menerka. “Kenapa diam? Kamu tidak percaya saya baru datang ke pantai lagi setelah seusia ini?” “Hem, ya! Kayaknya gak mungkin. Pasti ada beberapa kali atau satu kali aja anda ke sini menikmati pantai yang cantik bersama Bu Az
Olivia semakin mendekati Barra, “Jadi selama ini anda sebenarnya _ngefans ya sama aku!” lanjutnya dengan tatapan penuh kecurigaan, wajah Barra terlihat gugup tetapi lucu. “Fans?” Barra yang sempat berdebar-debar menanti apa yang ingin Olivia katakan, spontan terpana. Ternyata istrinya malah berpikir seperti itu. Tadinya ia pikir Olivia sudah tahu sesuatu yang begitu sulit ia ungkapkan dari hati terdalamnya, tepatnya perasaannya yang semakin ia sadari setelah malam pertama mereka. “Hem, kalau ngefans, kenapa gak bilang? Pake alasan mau ambil gambar sunsetnya. Padahal isinya foto aku semua!” Olivia melipat kedua tangannya di dada, menyipitkan mata dengan senyum menggoda Barra. “Siapa bilang saya ngefans sama kamu? Yang benar aja! Tadi sudah saya katakan, saya hanya membantu mengambil foto kamu yang sedang menikmati sunset. Itu foto untuk kamu juga, bukan untuk saya!” Barra meraih ponselnya ditangan Olivia, namun dengan cepat wanita itu tahan. “Tapi aku gak pernah minta difotoin, an
“Kami semua paham dengan penderitaan kamu, Nak. Kami tau betapa beratnya apa yang sudah kamu lalui_” “Kalian gak tau! Gak usah sok baik, merasa paling paham! Manda tau, di belakang Manda, semua menyalahkan Manda karena memisahkan Oliv dari Barra.” Amanda memotong ucapan Tuan Rawless. “Ok, mungkin memang Barra sudah menyadari kesalahannya. Tetapi siapa yang bisa menjamin kalau di kemudian hari dia gak akan menyakiti Oliv lagi?” “Papa yakin Barra setia dan sangat mencintai Oliv, Manda!” Tuan Rawless meyakinkan Amanda. “Halah! Papa tau, dulu Abian sangat mencintai Manda. Sampai Oliv lahir dan berusia empat tahun, hidup keluarga kecil kami begitu sempurna dan bahagia.” Amanda tergelak sinis, muak. “Tetapi setelah Helen hadir di antara kami, malapetaka datang. Oliv berumur lima tahun, Abian berselingkuh di belakang Manda. Dia berubah begitu drastis. Kami selalu bertengkar karena dia tidak lagi mempedulikan istri dan anaknya. Sampai akhirnya Manda tau dia ternyata sudah menjalin hubung
Olivia bersenandung ringan. la baru saja mengeringkan rambut panjangnya dengan hair dryer, selesai keramas. Rasanya begitu segar. Kaki indah Olivia melangkah ke lemari pakaian, akan mengambil baju rumahannya untuk dipakai. Ceklek! Pintu kamar dibuka dari luar, tampak Barra masuk dengan mata tak berkedip ke arahnya yang masih mengenakan handuk singkat membalut tubuhnya sebatas dada dan pangkal paha. Barra berjalan mendekati Olivia yang menutup pintu lemari setelah mendapatkan daster santai yang ia pilih. “Mas, udah selesai meetingnya? Kok cepat?” Olivia terheran. Suaminya sudah masuk kamar saja. Barra tak menjawab. Tangannya langsung meraih tubuh Olivia, menarik pinggang istri cantiknya itu ke dalam dekapannya. Hug! “M-Mas...” Olivia terkesiap, tatapan Barra membuat tubuhnya meremang. Kedua tangan pria itu memeluk kencang pinggangnya hingga tubuh mereka menempel rapat. “Rindu kamu Sayang!” Ungkap Barra untuk pertama kalinya memanggil Olivia dengan mesra, langsung di depan yan
Mobil Amanda tiba di PT. LV-RAWLESS ENERGY. Vincent membantu membukakan pintunya, mempersilahkan sang Nyonya turun. “Ibu ada beberapa jadwal rapat sampai sore. Kamu bisa pulang saja dulu Vincent, temani Adnan bermain ya,” Ucap Amanda setelah turun dari mobil. “Terimakasih, Bu,” Vincent menatap Amanda melangkah pergi bersama para staff perusahaan yang dari tadi telah menunggu Pimpinan sebenarnya PT. LV-RAWLESS itu di depan lobbi. la buang napas kasar. Sejak tadi rasanya begitu tegang dan sesak. Hatinya tak tenang. Jika pengkhianat seperti Margaretha dan Helen diperlakukan seperti tadi, bagaimana dengan dirinya dan Nia nanti? Mereka masih aman karena belum ketahuan telah mengkhianati kepercayaan sang Nyonya. Jika sampai ketahuan, bisa habis mereka berdua, terutama Nia yang sangat ia khawatirkan. Drrt... Ponsel Vincent tiba-tiba bergetar saat dirinya sedang larut dalam kekhawatiran. la terkejut, cepat-cepat menerima panggilan masuk tersebut. “Ini siapa?” Lirihnya dengan mengernyi
“Tunggu! Apa maksudnya ini? Aku mau diapakan Manda!!” pekik Margaretha, histeris dengan tubuh bergetar hebat. “Kamu maling! Hukuman untuk maling ada pada tangannya!” Jawab Amanda menegaskan. “Kamu kejam!!!” Teriak Margaretha, tak mau. “Aku memang kejam! Dan bukan hanya tangan, tetapi sedikit demi sedikit bagian tubuh lainnya juga akan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya!” Amanda berwajah bengis, menyeramkan. “Mandaaa... Jangan lakukan itu...” Margaretha menjerit-jerit, ketakutan. “Lakukan di sini, sekarang juga. Biar wanita pengkhianat itu bisa melihat langsung!” Tunjuk Amanda pada Helen yang menggigil. “Baik, Bu!” dua wanita penjaga menarik kasar Margaretha, mendudukkannya di kursi dengan mengikat masing-masing pergelangan tangannya di pegangan kursi. Margaretha berteriak, meraung-raung, histeris saat pembalasan Amanda disegerakan. Amanda tersenyum sinis, dirinya begitu puas bisa memberikan pelajaran pada istri Laksmana ini atas apa yang telah dilakukannya. Tatapanny
“Ada apa, Pa?” Elgard terheran melihat Haris Nugroho tiba-tiba mendatanginya ke ruang wakil Presiden direktur. “Kamu dari mana? Kenapa baru ada jam segini di kantor,” Haris Nugroho mendengus kesal. “Dari rumah sakit. Tadi nemani Chelsea cek kandungan.” “Hah, dia lagi!” Haris Nugroho selalu muak jika sudah mendengar nama menantunya itu. Elgard menatap sang Ayah. Haris Nugroho memang tak peduli sedikit pun pada calon bayinya di kandungan Chelsea. Tak pernah menanyakan keadaannya. “Tadi Papa datang ke rumah Paman Abraham Rawless untuk berkunjung sekaligus kembali menjalin hubungan baik dengan keluarga Rawless.” Ungkap Haris Nugroho to the point. “Benarkah? Kenapa Papa gak ajak Elgard?” Elgard seketika excited. “Papa aja habis disemprot karena gak menjaga Olivia dengan baik. Apalagi kamu yang udah nyia-nyiain cucunya. Bisa mati kamu!” Elgard terhenyak, benar juga. “Seharusnya kita dan keluarga Rawless adalah dua gabungan keluarga besar yang luar biasa. Tetapi gara-gara kamu, kita
“Sudah tau di mana Oliv?” Amanda bertanya, namun tatapannya tetap fokus pada tangannya yang menandatangani beberapa berkas di atas meja kerjanya. Vincent diam sejenak, sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Nyonya majikannya masih diliputi amarah yang besar. “Belum, Bu. Pak Jefri tidak pernah pergi ke suatu tempat yang diduga sebagai kediaman baru Pak Barra. Kami sudah mengawasi kemana pun dia pergi. Dia hanya ke UD Entertainment, lalu pulang ke rumah Tuan Rawless. Penthouse Pak Barra pun kosong setelah orang kita menyelidiki ke sana. Dan Pak Barra tidak ke Kantor sehingga kita tidak bisa mengikuti kemana dia pulang. Kami kehilangan jejaknya,” Jelas Vincent, hati-hati. Aura Amanda begitu dingin, membuat suasana di dalam ruang kerja wanita itu tegang mencekam. Amanda mengepal kuat jari jemarinya, tengah menahan amarah. “Dia pintar sekali. Putriku pasti disekap di suatu tempat. Aku tidak tau bagaimana keadaan Oliv sekarang di tengah kehamilan mudanya. Barra memisahka
“Jadi sekarang Dokter rajin memperdalam ilmu agama?” Tanya Barra serius.“Ya. Saya kan imam untuk istri dan anak-anak saya, jadi saya harus bisa memimpin mereka dengan cara selalu upgrade diri dengan ilmu agama yang luas,” Jelas Dokter Andrew.“Kalau Dokter punya waktu, bisa ajak saya sekalian ikut belajar ke ustadz-nya Dokter,” Barra berinisiatif. Ucapan dokter di hadapannya ini, membuka pikirannya tentang seorang pemimpin dalam rumah tangga yang harus berilmu.“Tentu, dengan senang hati. InsyaAllah saya kabari kapan ada kajian rutin dengan ustadz ya,” Dokter Andrew menyambut denganantusias.Barra benar-benar puas. Baru ini ia menemukan teman yang asik diajak mengobrol dan berbagi cerita.“Nah, itu istri saya,” Dokter Andrew menunjuk ke arah seorang wanita anggun berhijab yang sedang menyapa Olivia dengan ramah. ltu Dokter Anita, istrinya.Keduanya mendekati para istri, ikut bergabung.“Udah selesai praktek polinya, Sayang?” Tanya Dokter Andrew pada sang istri.“Udah, Mas. Sekarang
Barra kembali mendekati Dokter Andrew, sedang Olivia duduk dengan dijaga bodyguard yang siaga. “Bagaimana kabar Dokter? anda terlihat luar biasa,” Ungkapnya. “Alhamdulillah, namanya juga udah berkeluarga, udah ada istri yang menemani dan mengurus semua kebutuhan saya. Ditambah sudah punya dua orang jagoan. Hati jadi selalu senang, hidup penuh semangat,” Dokter Andrew berseri-seri. “Jadi anak anda sudah dua, keduanya laki-laki?” Barra lagi-lagi takjub. “Ya, Muhammad Azzam Daniel, dan Muhammad Izzam Daniel. Dua jagoan kebanggaan saya!” Dokter Andrew begitu bangga. Anak-anaknya adalah cucu kebanggaan Sultan Daniel. “Hem, luar biasa. Berapa umur mereka sekarang?” Barra cukup antusias sebagai seorang calon ayah, dirinya ikut senang mendengar kebahagiaan Dokter Andrew. Akan merasakan hal seperti itu juga tak lama lagi. “Alhamdulillah sekarang Azzam sudah tujuh tahun. Sudah SD kelas satu. Kalau Izzam, masih tiga tahun. Lagi lucu-lucunya,” Dokter Andrew begitu bangga menceritakan ke
“Sebenarnya berhubungan suami istri juga memberikan manfaat. Ada yang namanya Hormon Oksitosin yang dilepaskan secara alami saat berhubungan intim, dimana dapat merangsang ikatan dan keintiman yang baik antara ibu hamil dan suami. Lebih tepatnya mempererat bonding selama kehamilan.” Tambah Dokter Anita Iagi, semakin membuat Barra bersemangat. ‘Harus dengan cara yang tepat, hem.’ Gumamnya dalam hati. la lirik Olivia yang masih mengobrol dengan Dokter Anita, senyum samar terbit di wajahnya yang biasanya selalu tampak datar. ‘Bersiaplah, Sayang!’ Barra membatin, sudah tak sabar untuk segera menagih jatah dari istrinya itu. Terlebih Olivia belum sempat ia beri pelajaran yang tak terlupakan karena telah pergi meninggalkan dirinya selama satu bulan lebih. Hari ini istri cantiknya itu tak akan bisa lepas lagi. °°° “Duh, Mas, foto USG-nya diliatin mulu...” Goda Olivia mengulum senyum. Barra sejak keluar dari ruang Dokter tadi, seakan tak mau berhenti menatapi gambar janin dari print-an