“Kumpulkan semua handphone kalian! Tidak ada satupun yang boleh membawa alat komunikasi selama berada di pulau itu!” Ujar ketua pada para anggotanya. Semua patuh, segera mengumpulkan ponsel milik mereka kepada sang ketua meski dengan berat hati. Tak terkecuali Vincent. Ia mengeluarkan ponsel miliknya, ikut menyerahkan ponselnya pada sang ketua. “Kita akan segera berangkat malam ini juga ke tempat Amanda Rawless selama ini disembunyikan. Perjalanan tidak mudah dan memakan waktu cukup lama, karena kita akan mendatangi sebuah pulau pribadi milik Tuan Rawless yang sekarang di kuasai Bos Laksmana!” Ujar sang ketua. Vincent dan empat anggota yang akan dibawa, menyimak dengan seksama apa yang disampaikan ketua mereka itu. ‘Kenapa dia tidak menyebutkan nama pulaunya?’ batinnya, penasaran. ‘Setidaknya, sebelum perjalanan ke sana, aku bisa memberitahu Pak Barra dulu apa nama pulau pribadi itu, supaya dia dan orang-orangnya bisa secepatnya menyusul. Hufft.’ Vincent merasa kesal. Na
Pukul 03.30 wib...Olivia membuka matanya. Rasanya malam ini dirinya cukup lama tertidur, tidak seperti biasanya. Dari arah jam dinding yang sejajar dengan posisi tidurnya miring ke kanan, waktu telah menunjukkan hampir memasuki subuh ternyata. Olivia bisa merasakan sebuah beban di badannya, tangan seorang pria tengah melingkar posesif di pinggangnya dari belakang. ‘Jadi aku masih aman ya? Kami benar-benar cuma tidur...’ dirinya membatin, lega. Barra ternyata hanya tidur bersamanya, tidak melakukan hal yang lebih. Ia merasa tubuhnya begitu segar karena tidurnya cukup berkualitas. Tak pernah sebelumnya Olivia tidur senyenyak ini di malam hari. Apa karena di pelukan hangat seorang Barra? Perlahan, Olivia yang tadinya tidur membelakangi Barra, bangkit untuk duduk. Ia akan mempersiapkan diri menyambut subuh seperti biasanya. Tangan Barra yang ada di pinggangnya, dengan penuh kelembutan Olivia singkirkan dari sana. “Mau kemana hem!!” Eh! Olivia yang terkejut, kembali terbaring pada
“Bu Amanda kenapa tidak tidur?” Tanya suster yang baru saja masuk ke dalam kamar Amanda. Suster tersebut langsung berjalan ke arah jendela. Amanda memang tak bisa tidur, pikirannya sejak tadi tertuju pada istri muda Laksmana. Ia melihat pintu kamar terbuka, perlahan bangkit dari duduknya saat suster tengah menutup gorden kamar yang belum di tutup sejak semalam. Tanpa sepengetahuan suster, Amanda beringsut pergi, keluar dari kamar dengan mengendap-endap. Sementara itu... “Hei kamu!” Panggil seorang wanita pada salah seorang penjaga yang sedang duduk berjaga didepan. “Ya, Nyonya?” Penjaga tersebut berlari mendekati Nyonya mudanya. “Kamu punya handphone?” Penjaga diam sesaat, “Ada Nyonya.” Jawabnya. “Kemarilah...” Wanita itu meminta si penjaga mendekatinya. Penjaga dengan sedikit menundukkan kepala, menghampiri sang Nyonya yang hanya memakai baju tidur begitu minim, belahan dada dan pahanya terekspos nyata. Pria mana yang tak akan bernafsu? “Ada apa Nyonya Azalea?” Tanya penja
“Kenapa dikeluarkan di dalam??!!” Tanya Olivia begitu marah, Barra tak mendengar ucapannya yang selama mereka bergumul panas tadi, berkali-kali sudah ia peringatkan untuk bermain aman karena keduanya sama-sama tak menggunakan pengaman. Barra dengan napas masih ngos-ngosan, menarik tangan Olivia agar ikut berbaring bersamanya sambil berpelukan di bawah selimut, “Olivia...” Ucapnya lembut. “Aku tanya, kenapa gak dikeluarin di luar?” Olivia menepis tangan Barra, minta penjelasan. Barra membuang napas kasar, istrinya marah besar, “Saya tidak suka mengeluarkan di luar.” Jawabnya begitu enteng. “Hanya karena gak suka?? Egois!!” Olivia mengambil baju tidurnya, cepat-cepat memasang ke tubuhnya yang telah dipenuhi cukup banyak tanda cinta dari Barra. “Kamu mau kemana?” Barra menahan Olivia yang hendak turun dari ranjang. Olivia melepas tangannya dari genggaman Barra, tak mau disentuh. Barra telah mengingkari janji. Olivia berjalan dengan cepat ke kamar mandi, meninggalkan Barra y
Pukul 06.20 wib.Olivia sudah menyiapkan pakaian kantor untuk Barra. Dia memilih satu set kemeja dan celana panjang, serta mengambil dasi berwarna lebih gelap namun masih senada dengan kemeja yang dipilih.Barra mendekati Olivia perlahan. Pria itu baru saja selesai mandi, masih memakai bathrobe putih.Olivia menoleh sekilas pada suaminya tersebut, raut wajahnya masih dingin. Barra tahu Olivia masih marah padanya gara-gara kesengajaannya yang bisa membuat wanita itu mengandung benihnya.Tadi subuh, Olivia mengajaknya sholat berjamaah. Tetapi dengan berbagai alasan, dirinya tak sampai menjadi imam istrinya itu, alhasil Olivia sholat sendiri.Entah mengapa, dirinya merasa tak pantas. Sisi kelamnya yang tak diketahui orang lain termasuk Olivia istrinya sendiri, membuatnya merasa tak pantas menghadap Tuhannya. Dirinya berjiwa kejam, tak segan menyiksa bahkan menghabisi nyawa orang yang tak ia suka. Apa masih boleh menjalankan ibadah suci tersebut? Begitu pikirnya.“Ini pakaian kantor anda.
“Kamu bilang apa?” Tanyanya untuk lebih memastikan, kenapa istrinya ini tidak protes?“Aku ikut apa aja yang suami aku katakan. Semua juga demi kebaikan aku kan?” Jawab Olivia, tak ada ekspresi keberatan yang ia tunjukkan.Barra cukup excited mendengar jawaban Olivia, wanita itu mau menuruti keinginannya? Tak protes apalagi merasa kesal.Perasaannya begitu lega, Olivia bersedia menjadi ibu rumah tangga saja. Seketika muncul di benaknya bayangan tentang keluarga bahagia yang harmonis, dilengkapi anak-anak yang lucu.Dadanya berdebar, namun senyumnya masih ditahan-tahan. Sejujurnya ia ingin langsung salto saat ini juga saking girangnya.“Bagus! Saya senang kalau kamu jadi istri yang nurut pada suami!” Barra membelai rambut panjang Olivia, wanita itu membuat hatinya selalu tentram. Olivia mengangguk. Ia tahu Barra mengkhawatirkan dirinya karena Laksmana pasti sedang mengincar nyawanya. Patuh dan taat pada apa yang suaminya katakan, maka itu yang akan ia lakukan meski tak bisa lagi beker
“Itu benar. Ini yang saya maksud kemarin bahwa kamu tinggal tunggu tanggal mainnya. Orang-orang akan tau tentang hubungan kita sebentar lagi karena resepsi pernikahan kita akan segera dilangsungkan. Kamu sudah siap kan?” Barra begitu excited.Olivia masih dipenuhi banyak pertanyaan di benaknya, masih sulit mempercayai. “Kenapa diadakan resepsi? Bukankah kita sepakat untuk merahasiakan pernikahan ini?” Tanyanya butuh penjelasan, apa tujuan Barra sebenarnya?“Sepertinya memang tidak akan bisa dirahasiakan lagi Olivia. Orang memang harus tahu kalau kita sudah menikah. Tidak perlu menunggu Mommy dan Daddy kembali, resepsinya akan segera dilangsungkan!” Ujar Barra penuh keyakinan.Olivia tertegun. Mimpi apa dirinya? Apa itu artinya Barra telah membatalkan kesepakatan di awal bahwa pernikahan mereka akan berakhir setelah Azalea kembali.Apakah Barra telah menyadari bahwa sebuah pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral, tidak boleh dipermainkan. Sehingga pria itu ingin serius membina r
“Kamu diam. Artinya kamu tidak akan komplain lagi.” Ucap Barra memecah keheningan sesaat yang terjadi. “Aku gak akan membantah lagi. Terserah anda saja. Maaf...” Jawab Olivia, pasrah. Barra merasa tak senang dengan ketidak-antusiasan Olivia, hanya dirinya saja yang semangat untuk menunjukkan hubungan mereka pada semua orang. Wanita itu begitu terpaksa. Jefri menatap satu persatu wajah Barra dan Olivia. Entah mengapa, ia seakan merasa ada yang salah disini. Apakah sedang terjadi miss komunikasi di antara majikannya ini? Sang Nyonya muda menangkap, Barra mempublikasikan hubungan mereka hanya untuk menakut-nakuti lawannya yaitu Laksmana Sanjaya, agar tak berani lagi macam-macam. Ia pun merasa bimbang dan tak yakin dengan keputusan suaminya karena terkesan pria itu hanya ingin melangsungkan resepsi pernikahan, hanya untuk melindunginya semata, bukan untuk sesuatu yang lebih dari sekedar tentang seorang Laksmana. Tentang masa depan berdua, misalnya? Sedang sang Bos dari sikap istriny
“Kita jalan sekarang?” Tanya Barra antusias. “Ayo.” Olivia mengangguk, berusaha tampak antusias didepan Barra. “Kamu mau kita kemana?” “Aku ikut kemana anda bawa, soalnya aku gak begitu tau tempat-tempat yang biasa orang datangi.” jelas Olivia, apa adanya. Barra mengerti. Kehidupan istrinya itu tidak seperti para gadis lainnya sejak dulu, yang bisa hanging out bersama keluarga dan teman, atau bebas keluar rumah jalan-jalan menghabiskan masa remaja, melakukan banyak hal produktif. Jika tak sekolah, istrinya sehari-hari disamakan dengan asisten rumah tangga, mengerjakan sebagian pekerjaan mereka demi menghemat pengeluaran rumah tangga. “Kita berbelanja dulu seperti janji saya tadi pagi.” Barra memutuskan. Olivia diam sejenak, hingga mengiyakan. Terserah suaminya itu saja. °°° Pusat perbelanjaan... Mall yang ramai dengan pengunjung menjadi saksi betapa pasangan Barra dan Olivia menarik perhatian banyak orang. Barra seperti biasa dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, ber
Rapat sedang berlangsung... Barra duduk di ujung meja rapat, menatap para karyawan yang duduk berbaris disisi meja. Rapat berjalan dengan lancar, para karyawan menyampaikan ide dan strategi mereka dengan lebih percaya diri. Barra terus mengawasi dan memberikan arahan, memastikan bahwa proyek film ini akan menjadi sukses besar yang akan mengangkat nama perusahaannya menjadi lebih tinggi di industri entertainment. Namun yang tak bisa Barra hindari sedari tadi, berkali-kali dirinya melirik jam tangan. ‘Kenapa siang terlalu lama?’ gerutunya dalam hati. Saat karyawan fokus mendengar kepala bagian marketing menyampaikan ide dan gagasannya, Barra membuka ponsel. Rasa ingin tahu tentang apa yang sedang istrinya lakukan dirumah saat ini, membuatnya tak tahan untuk melihat rekaman cctv rumah. Barra tanpa sadar, tersenyum melihat Olivia yang berada didapur. Istrinya itu terlihat seperti sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri. Tampak Olivia menatap ke kamera cctv, seolah tahu jika
“Kamu diam. Artinya kamu tidak akan komplain lagi.” Ucap Barra memecah keheningan sesaat yang terjadi. “Aku gak akan membantah lagi. Terserah anda saja. Maaf...” Jawab Olivia, pasrah. Barra merasa tak senang dengan ketidak-antusiasan Olivia, hanya dirinya saja yang semangat untuk menunjukkan hubungan mereka pada semua orang. Wanita itu begitu terpaksa. Jefri menatap satu persatu wajah Barra dan Olivia. Entah mengapa, ia seakan merasa ada yang salah disini. Apakah sedang terjadi miss komunikasi di antara majikannya ini? Sang Nyonya muda menangkap, Barra mempublikasikan hubungan mereka hanya untuk menakut-nakuti lawannya yaitu Laksmana Sanjaya, agar tak berani lagi macam-macam. Ia pun merasa bimbang dan tak yakin dengan keputusan suaminya karena terkesan pria itu hanya ingin melangsungkan resepsi pernikahan, hanya untuk melindunginya semata, bukan untuk sesuatu yang lebih dari sekedar tentang seorang Laksmana. Tentang masa depan berdua, misalnya? Sedang sang Bos dari sikap istriny
“Itu benar. Ini yang saya maksud kemarin bahwa kamu tinggal tunggu tanggal mainnya. Orang-orang akan tau tentang hubungan kita sebentar lagi karena resepsi pernikahan kita akan segera dilangsungkan. Kamu sudah siap kan?” Barra begitu excited.Olivia masih dipenuhi banyak pertanyaan di benaknya, masih sulit mempercayai. “Kenapa diadakan resepsi? Bukankah kita sepakat untuk merahasiakan pernikahan ini?” Tanyanya butuh penjelasan, apa tujuan Barra sebenarnya?“Sepertinya memang tidak akan bisa dirahasiakan lagi Olivia. Orang memang harus tahu kalau kita sudah menikah. Tidak perlu menunggu Mommy dan Daddy kembali, resepsinya akan segera dilangsungkan!” Ujar Barra penuh keyakinan.Olivia tertegun. Mimpi apa dirinya? Apa itu artinya Barra telah membatalkan kesepakatan di awal bahwa pernikahan mereka akan berakhir setelah Azalea kembali.Apakah Barra telah menyadari bahwa sebuah pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral, tidak boleh dipermainkan. Sehingga pria itu ingin serius membina r
“Kamu bilang apa?” Tanyanya untuk lebih memastikan, kenapa istrinya ini tidak protes?“Aku ikut apa aja yang suami aku katakan. Semua juga demi kebaikan aku kan?” Jawab Olivia, tak ada ekspresi keberatan yang ia tunjukkan.Barra cukup excited mendengar jawaban Olivia, wanita itu mau menuruti keinginannya? Tak protes apalagi merasa kesal.Perasaannya begitu lega, Olivia bersedia menjadi ibu rumah tangga saja. Seketika muncul di benaknya bayangan tentang keluarga bahagia yang harmonis, dilengkapi anak-anak yang lucu.Dadanya berdebar, namun senyumnya masih ditahan-tahan. Sejujurnya ia ingin langsung salto saat ini juga saking girangnya.“Bagus! Saya senang kalau kamu jadi istri yang nurut pada suami!” Barra membelai rambut panjang Olivia, wanita itu membuat hatinya selalu tentram. Olivia mengangguk. Ia tahu Barra mengkhawatirkan dirinya karena Laksmana pasti sedang mengincar nyawanya. Patuh dan taat pada apa yang suaminya katakan, maka itu yang akan ia lakukan meski tak bisa lagi beker
Pukul 06.20 wib.Olivia sudah menyiapkan pakaian kantor untuk Barra. Dia memilih satu set kemeja dan celana panjang, serta mengambil dasi berwarna lebih gelap namun masih senada dengan kemeja yang dipilih.Barra mendekati Olivia perlahan. Pria itu baru saja selesai mandi, masih memakai bathrobe putih.Olivia menoleh sekilas pada suaminya tersebut, raut wajahnya masih dingin. Barra tahu Olivia masih marah padanya gara-gara kesengajaannya yang bisa membuat wanita itu mengandung benihnya.Tadi subuh, Olivia mengajaknya sholat berjamaah. Tetapi dengan berbagai alasan, dirinya tak sampai menjadi imam istrinya itu, alhasil Olivia sholat sendiri.Entah mengapa, dirinya merasa tak pantas. Sisi kelamnya yang tak diketahui orang lain termasuk Olivia istrinya sendiri, membuatnya merasa tak pantas menghadap Tuhannya. Dirinya berjiwa kejam, tak segan menyiksa bahkan menghabisi nyawa orang yang tak ia suka. Apa masih boleh menjalankan ibadah suci tersebut? Begitu pikirnya.“Ini pakaian kantor anda.
“Kenapa dikeluarkan di dalam??!!” Tanya Olivia begitu marah, Barra tak mendengar ucapannya yang selama mereka bergumul panas tadi, berkali-kali sudah ia peringatkan untuk bermain aman karena keduanya sama-sama tak menggunakan pengaman. Barra dengan napas masih ngos-ngosan, menarik tangan Olivia agar ikut berbaring bersamanya sambil berpelukan di bawah selimut, “Olivia...” Ucapnya lembut. “Aku tanya, kenapa gak dikeluarin di luar?” Olivia menepis tangan Barra, minta penjelasan. Barra membuang napas kasar, istrinya marah besar, “Saya tidak suka mengeluarkan di luar.” Jawabnya begitu enteng. “Hanya karena gak suka?? Egois!!” Olivia mengambil baju tidurnya, cepat-cepat memasang ke tubuhnya yang telah dipenuhi cukup banyak tanda cinta dari Barra. “Kamu mau kemana?” Barra menahan Olivia yang hendak turun dari ranjang. Olivia melepas tangannya dari genggaman Barra, tak mau disentuh. Barra telah mengingkari janji. Olivia berjalan dengan cepat ke kamar mandi, meninggalkan Barra y
“Bu Amanda kenapa tidak tidur?” Tanya suster yang baru saja masuk ke dalam kamar Amanda. Suster tersebut langsung berjalan ke arah jendela. Amanda memang tak bisa tidur, pikirannya sejak tadi tertuju pada istri muda Laksmana. Ia melihat pintu kamar terbuka, perlahan bangkit dari duduknya saat suster tengah menutup gorden kamar yang belum di tutup sejak semalam. Tanpa sepengetahuan suster, Amanda beringsut pergi, keluar dari kamar dengan mengendap-endap. Sementara itu... “Hei kamu!” Panggil seorang wanita pada salah seorang penjaga yang sedang duduk berjaga didepan. “Ya, Nyonya?” Penjaga tersebut berlari mendekati Nyonya mudanya. “Kamu punya handphone?” Penjaga diam sesaat, “Ada Nyonya.” Jawabnya. “Kemarilah...” Wanita itu meminta si penjaga mendekatinya. Penjaga dengan sedikit menundukkan kepala, menghampiri sang Nyonya yang hanya memakai baju tidur begitu minim, belahan dada dan pahanya terekspos nyata. Pria mana yang tak akan bernafsu? “Ada apa Nyonya Azalea?” Tanya penja
Pukul 03.30 wib...Olivia membuka matanya. Rasanya malam ini dirinya cukup lama tertidur, tidak seperti biasanya. Dari arah jam dinding yang sejajar dengan posisi tidurnya miring ke kanan, waktu telah menunjukkan hampir memasuki subuh ternyata. Olivia bisa merasakan sebuah beban di badannya, tangan seorang pria tengah melingkar posesif di pinggangnya dari belakang. ‘Jadi aku masih aman ya? Kami benar-benar cuma tidur...’ dirinya membatin, lega. Barra ternyata hanya tidur bersamanya, tidak melakukan hal yang lebih. Ia merasa tubuhnya begitu segar karena tidurnya cukup berkualitas. Tak pernah sebelumnya Olivia tidur senyenyak ini di malam hari. Apa karena di pelukan hangat seorang Barra? Perlahan, Olivia yang tadinya tidur membelakangi Barra, bangkit untuk duduk. Ia akan mempersiapkan diri menyambut subuh seperti biasanya. Tangan Barra yang ada di pinggangnya, dengan penuh kelembutan Olivia singkirkan dari sana. “Mau kemana hem!!” Eh! Olivia yang terkejut, kembali terbaring pada