Dalam keadaan menangis, Zelda buru-buru keluar dari rumah tersebut. Tak ada yang tahu, karena dia keluar saat masih jam tiga dini hari. Ada banyak penjaga, tetapi Zelda tetap berhasil kabur.
Dia lewat tembok belakang agar aman dari penjaga di depan gerbang."Jika aku tahu kejadiannya akan begini, aku tak akan sudi tinggal dengannya?! Pura-pura baik ternyata dia punya niatan buruk padaku," monolog Zelda sembari menangis sesenggukan.Awalnya, dia merasa jika mimpi buruknya telah berakhir. Marvin sangat peduli dan baik padanya. Tetapi … Marvin tak lebih dari seorang pria bejad berkedok malaikat. Dia iblis yang nyata!"Aku yang salah. Hiks … harusnya aku tidak mudah percaya padanya. Dia itu orang asing, cuma adik angkat Ayah, dia dan aku bukan keluarganya. Hiks … hiks …." Zelda menangis sesenggukan, berhenti dan terdiam sebuah jembatan.Tak ada orang di sini, hanya Zelda. Matanya terus menatap ke bawah–memperhatikan arus air yang deras. Entah kenapa, Zelda merasa jika sungai di bawah sana seperti memanggil namanya. 'Apa aku bunuh diri saja yah? Jika aku mati, aku bisa bertemu Mama dan Ayah. Dan aku tidak harus menanggung ini semua. Rasa jijik dan masa depan yang hancur. Aku juga tidak ingin bertemu dengannya.'"Argkkkkk …!" Zelda menjerit dan berteriak kencang, meluapkan perasaan sesak di dadanya dan rasa sakit di hatinya. "Sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa, kenapa aku harus bertahan di sini, Tuhan?! Aku membenci tubuhku, aku membenci keluargaku, aku membenci semuanya! Marvin brengsek!!"Zelda menatap air deras di bawah jembatan, di mana sungai dibawah sana tengah tersenyum indah padanya lalu mengatakan, 'Ayo, tunggu apa lagi, Zelda? Segeralah lompat dan akhiri penderitaanmu.'"Keluarga. Dia menyebutku keluarga tetapi dia membuatku jijik pada diriku sendiri," ucap Zelda secara lesu, berjalan perlahan ke pinggir jembatan. "Aku ingin mati!" Dia naik ke atas jembatan kemudian melompat ke bawah.ByuarrrSuara gemircik air terdengar, dinginnya air sungai langsung menusuk dan mengigit kulit Zelda, membuat Zelda menggigil dalam air sungai yang terasa seperti air es. Beberapa detik Zelda bertahan, membiarkan tubuhnya terus tenggelam. Stok oksigen mulai menipis dalam dadanya, dan …-"Hah." Zelda berenang ke permukaan, menghirup oksigen dengan rakus kemudian marah sembari menangis frustasi. "Sialan!" maki Zelda, kembali menitihkan air mata sembari memukul-mukul permukaan air dengan marah–meluapkan emosi, "aku lupa kalau aku bisa berenang di sungai. Argkkkk! Mau mati saja sulit," gerutu Zelda sembari menjerit dan terus memukul permukaan air sungai.Dingin? Dia tak peduli! Yang Zelda mau, dia mati sekarang ini juga.Zelda sudah hancur, tak ada yang berharga dalam dirinya lagi. Dia tak punya apa-apa yang harus dia pertahankan di dunia ini. Mimpinya? Zelda punya mimpi menjadi seorang desainer yang famous, tetapi sekarang mimpi dan harapan Zelda hanyalah sebuah kematian. Dia ingin mati!Zelda ingin tenggelam, tetapi otaknya yang masih berfungsi tidak mengizinkan Zelda melakukan itu. Zelda sangat tertekan dan kesal, dia hanya ingin mati namun alam seperti tak mengizinkan.Tiba-tiba cahaya senter memenuhi sungai, mengarah pada Zelda yang masih menangis sembari memukul-mukul air sungai. Dia cukup kaget melihat cahaya yang menerangi dirinya. Namun Zelda lebih kaget lagi ketika mendengar suara teriakan iblis yang menakutkan."Zelda Amira!" Teriak seseorang dari atas sana, suaranya menggelegar marah dan murkah.Zelda mendongak, spontan membelalak ketika melihat siapa orang yang meneriakinya di atas. Banyak bodyguard dan … orang yang sangat Zelda takuti saat ini.Marvin Abelard!'Aku tidak mau kembali de--dengannya. Aku-- aku takut!' batin Zelda, buru-buru masuk dalam air– memilih menyelam agar Marvin tak tahu kemana Zelda akan pergi."Gerrrr …." Marvin menggeram marah ketika melihat Zelda masuk dalam sungai. Tanpa pikir panjang, Marvin melompat ke bawah– menyusul Zelda di bawah sana."Tuan!" teriak Neon--kepercayaan Marvin, panik dan khawatir pada Tuannya. Namun terlambat, Marvin lebih dulu melompat ke bawah sana.Setelah dalam sungai, Marvin muncul ke permukaan untuk melihat ke mana Zelda berenang."Zelda, berhenti di sana!" geram Marvin dengan berteriak murkah saat melihat Zelda berenang ke arah seberang.Dari atas, bodyguard langsung turun ke bawah– ke pinggir sungai, berniat menangkap Nona muda mereka. Sedangkan Zelda, melihat pada bodyguard sudah di pinggir sungai dia linglung dan panik.Putus asah, Zelda pasrah dibawa hanyut oleh arus."Cik, sialan!" maki Marvin marah, berenang dengan cepat untuk menangkap Zelda. Untungnya dia bisa meraih tubuh itu dan membawanya ke tepi sungai, meskipun Zelda terus memberontak dan melawan."Uhuk-uhuk-uhuk." Setelah ditepi sungai–sudah di permukaan dan tanah, Zelda terduduk sembari terbatuk-batuk. Dia melawan ketika Marvin membawanya ke tepi, akibatnya banyak air yang masuk melalui hidungnya. Itu perih dan menyakitkan!"Stupid!" Geraman halus dan rendah terdengar dari sebelah Zelda, tetapi Zelda sama sekali tak peduli–memilih menunduk dan diam-diam menangis.Setelah gagal bunuh diri, sekarang Zelda tertangkap oleh pria bejad ini. Awalnya Zelda merasa beruntung bertemu dengan Marvin, tetapi sekarang dia merasa ini adalah musibah. Jika waktu boleh diundur, Zelda tak sudi ikut dengan pria ini."Ambilkan Jas-ku di mobil," ucap Marvin pada salah satu anak buahnya.Dengan patuh, anak buahnya tersebut beranjak dari sana. Kemudian tak lama orang yang dia suruh tersebut datang lagi dengan membawa jas yang Marvin minta.Marvin menyampirkan jas tersebut ke tubuh Zelda, setelahnya dia menggendong perempuan itu dengan bridal style dan membawanya menuju mobil. Zelda hanya diam, membeku dalam ketakutan dan bayang-bayang mengerikan di kepalanya. Pria ini berhasil menangkapnya dan Zelda akan dibawa ke tempat neraka itu."Aku meminta maaf, Amore," ucap Marvin dengan nada serak dan rendah, setelah dia mengganti pakaian dan begitu juga dengan Zelda. "Aku bukan keponakan kandungmu, karena itu kan, kau melecehkanku?" cicit Zelda, menatap takut bercampur gugup pada Marvin. Semuanya membaik akhir-akhir ini, tetapi karena kejadian 'itu, semua kembali buruk dan kelam. Andai waktu bisa diputar. Sungguh! Zelda tak ingin ikut dengan Marvin. "Amore, tidak begitu." Marvin duduk di depan Zelda– di mana Zelda terduduk merenung di atas ranjang, memeluk lutut dengan air mata yang terus berjatuhan melintasi pipi. "Aku melakukan kesalahan padamu, dan aku meminta maaf," ucap Marvin dengan lembut dan tulus, mengulurkan tangannya untuk menghapus air mata Zelda. "Aku tulus ingin menjagamu, kau satu-satunya keluargaku. Hanya kau dan aku, Amore," ucap Marvin lagi. Dalam hati dia mengumpat dan menggeram marah. Sialan! Itu disebabkan oleh wanita jalang tadi. Ketika dia pulang, Zelda tak ada di rumah. Dia terus menunggu na
Akibat paksaan dan rayuan iblis bernama Marvin Abelard, sekarang Zelda sah menjadi istri pria itu. Mereka menikah di rumah mewah ini, dilaksanakan secara tertutup– sengaja dirahasiakan karena perbedaan usia mereka yang lumayan jauh serta alasan tertentu lainnya. Zelda masih fokus pada pendidikannya, dan Marvin tak ingin pendidikan Zelda terganggu karena status mereka sebagai suami istri. Percayalah! Marvin punya banyak musuh, baik yang terang-terangan atau tersembunyi. Setidaknya tunggu sampai Zelda menyelesaikan pendidikannya lebih dulu, baru Marvin mempublish istrinya tersebut. "Baru pertama kalinya aku memakai gaun, dan … ini gaun pernikahanku," gumam Zelda pelan, berdiri di depan cermin sembari menatap pantulan dirinya yang tengah mengenakan gaun tersebut. Gaun ini lengan panjang dan bagian dada tertutup, sangat sopan namun tidak mengurangi kecantikannya sama sekali. "Gaun yang bagus," gumamnya lagi sembari mengangguk-anggukkan kepala. Zelda kuliah di salah satu universitas swa
"Kok bisa yah kita ke sana?" tanya Zelda, menggaruk kepala karena tak paham kenapa dia bisa melaksanakan Praktek Kerja Profesi di perusahaan itu. Setelah pernikahannya dengan Marvin, Zelda memilih libur kuliah selama tiga hari– dia memanfaatkan itu untuk healing dan ziarah kubur ke makam orang tuanya. Sedangkan Marvin, setelah malam pengantin mereka, pria itu pamit pergi ke luar kota. Ada urusan mendadak dan kepentingan. Zelda tidak masalah dan tak kepo juga pada apa urusan serta kepentingan suaminya tersebut. Shit! Sampai sekarang dia masih belum bisa menerima pernikahannya dengan Marvin. Di matanya Marvin tetaplah seorang paman. Dia tahu jika pria itu sudah menyentuhnya– pertanda jika hubungan mereka sudah layaknya seperti suami istri pada umumnya. Namun, tetap saja Zelda sulit menerimanya. Seperti …- guru. Meskipun sudah lulus dari sekolah tersebut, jika bertemu dengan sang guru, tetap saja bukan, di mata kita dia adalah seorang guru yang notabe-nya harus kita hormati. Nah, begi
"Jadi Paman yang menukar tempat Praktek Kerjaku?"Marvin dengan santai menganggukkan kepala, dia tersenyum namun itu malah mengerikan di mata Zelda–membuat Zelda meneguk saliva secara kasar dan paksa, gugup bercampur merinding menatap senyuman mengerikan suaminya. Ah, maksud Zelda pamannya. Ditambah tatapan Marvin yang selalu tajam, itu semakin membuat Zelda khawatir dan takut. 'Bagian matanya yang hitam sangat misterius. Aku seperti menyelami samudera ketika melihatnya.'"U--untuk apa Paman melakukannya?" tanya Zelda, masih menoleh gugup dan canggung ke arah Marvin. Pria ini tak sedikitpun membiarkan Zelda pindah, padahal sejujurnya Zelda risih duduk di atas pangkuan Marvin. "Mengawasi istriku." Marvin berkata dingin, menyenderkan dagu di atas pundak Zelda–secara santai dan tanpa beban sedikitpun, tak tahu saja jika Zelda risih dengannya. Dia tahu sebenarnya, tetapi Marvin memilih untuk tak peduli. Zelda sudah menjadi miliknya seutuhnya, dan sudah sepantasnya tubuh Zelda terbiasa d
Dengan ragu, dia membuka mulut dan menerima suapan dari pamannya. Ketika makanan itu sudah masuk dalam mulutnya, Zelda spontan menutup mulut dengan tangan–dia takut mual dan memuntahkannya. Namun ….Zelda seketika terdiam, fokus mengunyah makanan dalam mulut sembari memikirkan sesuatu. 'Kenapa tidak rasa rumput yah? Ini …- enak.' batin Zelda. "Kenapa?" Zelda yang masih bingung sontak menoleh ke arah pamannya, di mana dia dengan suka rela membuka mulut dan menerima suapan kedua dari Marvin. "Ini … sayur apa, Paman?" tanya Zelda sembari menatap sayur di mangkuk. Warnanya hijau dan mirip dengan rumput daun lebar. "Mirip dengan Amaranthus spinosus," celutuk Zelda sembari mengamati sayur dalam mangkuk cantik dan antik tersebut. "Humm. Amaranthus tetapi bukan kelas spinosus," jelas Marvin, menatap lamat pada sang istri–di mana kedua pipi Zelda terlihat tembem karena diisi oleh makana dalam mulut. Oh, shit! Di mata Marvin, ini sangat menggemaskan. Terlebih mata Zelda bulat, bulu matanya
Sekitar tengah sembilan malam, Zelda pulang ke rumah sang Paman. Tentunya setelah dia menghabiskan waktu bersama teman-temannya, nongkrong untuk menghilangkan stress ala mahasiswa angkatan akhir. Sejujurnya, Zelda merasa sedikit takut karena ini sudah malam dan dia baru pulang. Dia takut berhadapan dengan Marvin, di mana pamannya tersebut akan memarahinya habis-habisan. Namun, rasa ke khawatiran Zelda tersebut seketika lenyap saat tak melihat mobil yang biasa Marvin pakai terparkir di tempatnya. Karena mungkin Marvin sering mengenakan mobil hitam mewah tersebut, dia punya parkiran khusus yang bisa dipantau dari luar–seperti yang Zelda lakukan sekarang. Dan … mobil sang Paman belum ada di sana. Artinya, pamannya belum pulang. "Yes yes yes …!" Zelda memekik senang, menaikkan tangan yang dikepal lalu menarik tangan dengan semangat sembari melangkah riang masuk dalam rumah mewah tersebut. "Atau jangan-jangan Paman ke luar kota lagi," monolog Zelda sembari berjalan riang, menaiki tangg
Namun sebelum dia beranjak sedikitpun, tangan Marvin lebih dulu mengalung di pinggang Zelda; melingkar di sana dengan erat dan sangat posesif. "Pa--Paman …-" Cup'Belum selesai Zelda melanjutkan perkataannya, bibir pria itu lebih dulu menempel di atas bibirnya. Zelda membelalak kaget, beberapa detik tak bisa menguasai diri dengan hanya terdiam dan mematung. Jantungnya berdebar kencang, rasanya akan pecah di dalam sana. Bibir Marvin perlahan bergerak, menyapu dan melumat bibir lembut dan manis Zelda. Awalnya hanya lumatan dengan ritme pelan dan penuh penghayatan, namun beberapa detik setelah itu lumatan Marvin berubah kasar, menuntut dan juga rakus. Jantung Zelda semakin kacau dalam sana, wajahnya memucat dan matanya membulat sempurna. Dia tahu dia pernah melakukan ini, bahkan lebih dengan Marvin. Namun, tetap saja Zelda tidak bisa menguasai diri–dia tetap terkejut dan risih dengan semua ini. "Eungmmm," racau Zelda, memejamkan mata sembari mendorong kuat dada bidang sang paman. Bu
"Ja--jangan merokok," ucap Zelda, tiba-tiba bangkit dan langsung merampas korek saat Marvin ingin menyalakan rokok. Marvin menaikkan sebelah alis, menatap Zelda dengan manik dan sorot mata yang sulit diterjemahkan. Marvin melepas rokok dari bibir, meletakkannya kembali di nakas. Smirk tipis tiba-tiba muncul di bibir seksinya, menatap lagi ke arah Zelda dengan tatapan intens yang melelehkan. "Asal kau memberikan bibirmu sebagai gantinya, aku bisa berhenti merokok." Marvin berkata dengan serak, tiba-tiba meraih pinggang Zelda–memeluknya dengan mesra, "bagaimana, Mi Esposa," tambah Marvin, meraih korek di tangan Zelda lalu meletakkannya di sebelah rokok tadi. Zelda membulatkan mata, cukup cengang mendengar perkataan Marvin. Wajah Zelda menegang dan bibirnya terkunci rapat. Entah kenapa Zelda takut jika bibirnya terbuka, Marvin akan melahapnya. Tidak! Tapi … mengganti bibirnya dengan rokok-- itu seperti apa?Zelda memiringkan kepala, menatap Marvin bingung. Tangannya berada di pundak
"To--tolong," pekik Zelda cukup kuat, membuat Marvin menoleh ke arahnya–menatap intens pada Zelda, di mana Naura dan Allenra telah berada di pelukan Marvin. "Tolong jangan celakai mereka," cicit Zelda, suaranya tiba-tiba melemah–menatap memohon pada Marvin. Mata Zelda memerah, berair; ingin menangis sebab khawatir jika Marvin berniat buruk pada kedua darah dagingnya sendiri. Marvin membawa anak-anak tersebut dalam gendongannya, berjalan santai ke arah Zelda yang masih terikat di ranjang. "Maaf," ucap Marvin, berkata lirih dan pelan. Dia menurunkan anak-anaknya ke atas ranjang, lalu dia mendekati Zelda untuk melepas ikatan di tangan dan kaki Zelda. Setelah itu, tiba-tiba saja Marvin membawa Zelda dalam pelukannya–mendekap istrinya tersebut secara erat. "Maafkan aku, Amore," ucap Marvin dengan serak, bersamaan dengan air mata yang jatuh dari pelupuk. Pelukannya begitu erat, dia takut kehilangan perempuan ini. Melupakan pernikahannya dengan Zelda adalah hal buruk yang pernah Marvin
"Marvin, tumben kamu datang ke apartemenku," ucap Nita, tersenyum manis pada Marvin. Dengan lebar dia membuka pintu, lalu mempersilahkan Marvin untuk masuk. 'Apa Marvin datang ke sini untuk menyetujui perjodohan kami? Dia setuju menikah denganku?' batin Nita, bertanya tanya dalam hati. "Aku datang untuk bertemu denganmu." Tanpa di persilahkan, Marvin duduk di salah satu sofa putih–ruang tengah apartemen. "Menemuiku? Ya, tapi untuk apa Marvin? Kita bertemu setiap hari di kantor. Dan … malam kamu ke sini?" Nita memicingkan mata, berpura-pura curiga serta waspada. Padahal dalam hati, dia suka kedatangan Marvin di sini. Dia berharap kedatangan Marvin ke sini untuk suatu hal yang manis. "Entahlah." Marvin menyender di sofa. "Tiba-tiba ada kilasan aneh yang muncul …-"Deg deg deg Nita menegang sejenak. "Aku menikah." Marvin melanjutkan, "tetapi aku tidak tahu siapa perempuan yang kunikahi. Aku hanya dekat denganmu selama ini. Apa …-" Marvin menggantungkan kalimat, mendongak–menatap i
Zelda terdiam, menundukkan kepala untuk menghindar kontak mata dengan Marvin. Sejujurnya, dia sungguh kaget– dia baru tahu jika ZelMard adalah singkatan namanya dan Marvin. Cinta pria ini padanya memang tidak bisa diragukan. Namun, kondisi membuat Zelda memilih untuk tutup mata pada cinta Marvin. Cinta Marvin yang terlalu besar padanya membawa bahaya untuk anak-anak nya saat ini. Zelda tidak mau Marvin melenyapkan anak-anaknya sendiri. Zelda tersiksa dengan semua ini! 'Tuhan, bantulah aku!' pinta Zelda dalam batin, rasanya ingin menangis karena ketidak mampuannya untuk menghadapi masalah ini. "Kau mau tahu kondisi Neon sekarang?" tanya Marvin tiba-tiba, kembali bersuara dengan dingin– mencengkeram cukup kuat pipi Zelda, memaksa perempuan tersebut mendongak padanya. "Apa kau akan menangis jika melihat Kakak iparmu itu penuh luka dan dirantai dibalik jeruji besi?" Mata Zelda membelalak. Dia sempat khawatir karena Neon mendadak hilang. Sekarang, tambah khawatir setelah mendengar pe
"Bu Zelda, tamunya mengotot ingin menemui ibu," lapor seorang perempuan, sama mudanya dengan Zelda tetapi karena Zelda adalah bos-nya jadi dia memanggil Zelda dengan sebutan Ibu. "Haduh, siapa sih tamunya?" Zelda mengeluh sejenak, memijit kening karena pusing memikirkan pekerjaannya serta tamu yang mengotot menemuinya. Setelah tiga tahun berlalu, Zelda memilih membuka butik dengan nama brand MaRa. Meskipun sempat terpuruk karena buku desainnya dicuri oleh Nita, tetapi Zelda memilih bangkit kembali. Demi anak-anaknya! "Kamu suruh tamunya menemuiku di sini, Rati. Tolong," pinta Zelda dengan nada rendah dan pelan, menandakan kondisinya yang memang sudah sangat penat. "Baik, Bu." Rati-- asisten Zelda tersebut pamit, beranjak dari sana untuk memanggil tamu penting tersebut. Tak lama, pintu ruangan Zelda diketuk. Kanza mempersilahkan, menyeru, "Masuk," sembari Zelda masih fokus pada laptop– memperbaiki desainnya di sana. Tak tak tak'Suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan, Zel
"Tuan Marvin kecelakaan, Nona." Zelda hanya bisa terdiam membisu di tempatnya, berada dalam sebuah apartemen yang merupakan milik Neon. Tadi malam itu mengerikan. Banyak pria berseragam hitam masuk dalam rumahnya– berniat membunuhnya. Untungnya Zelda bisa bela diri dan berhasil menyelamatkan diri, dia kabur dari rumah itu lalu di tengah jalan bertemu dengan Neon; pria ini lah yang menyelamatkannya.Zelda mengira jika paginya semua akan baik-baik saja, Marvin datang menjemputnya lalu mereka kembali ke kehidupan sedia kala. Namun-- "Kondisi Tuan sangat memprihatinkan dan kita tidak bisa menemuinya karena Maya menjaga ketat rumah sakit." "Aku paham, Paman," ucap Zelda pelan, menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Padahal dia baru saja berbahagia dengan suaminya, tetapi masalah ini--'Maaf, Nona. Aku tidak bisa mengetakan jika Maya berniat membunuh Tuan Marvin. Aku takut keadaanmu memburuk, aku takut bayimu dan bayi Tuan kenapa-napa. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk men
"Mereka siapa, Mas?" tanya Zelda setelah ketiga wanita itu pergi dari rumahnya. Aneh! Wanita yang memeluk Marvin saat itu ternyata mengenalnya. Perempuan itu bahkan tersenyum hangat pada Zelda. "Perempuan tua itu adik dari ibunya Zeck," jawab Marvin, berdiri dari sopa sembari menggandeng tangan istrinya, "lupakan mereka. Kau ingin makan bukan, Amore?" Zelda menganggukkan kepala. "Aku ingin makan. Ta--tapi Mas yang memasak. Aku sangat suka Amaranthus viridis buatan Mas Marvin," ucap Zelda malu-malu, mendongak dengan melayangkan tatapan mata bulat sempurna. "Apapun untukmu, Amore." Marvin tersenyum lembut, mengacak surai di pucuk kepala Zelda karena gemas dengan tatapan mata bulat sang istri. Ah, Zelda sangat menggemaskan. Semakin ke sini, sikap Zelda semakin manis. Zelda tidak lagi malu-malu atau merasa tidak nyaman ketika di dekatnya. Malah Zelda sudah berani memeluknya lebih dulu. Bagi Marvin itu sebuah peningkatan. Dia suka Zelda sudah mau dekat dengannya, dia suka Zelda manja
"Jika suatu saat sepupuku yang kusebut tadi datang ke kota ini lalu memintaku untuk bertemu dengannya, berarti kami boleh bukan? Tentu saja, Mas tidak bisa protes. Kami hanya sepupu dan kami saling menyayangi layaknya adik dan Abang."Marvin mengecup singkat pucuk kepala Zelda, kecupannya cukup lama– meresapinya dengan penuh perasaan cinta. "Baiklah, aku salah, Amore. Maafkan aku," ucap Marvin, mencium kening Zelda khidmat lalu beralih mengecup bibir Zelda. Zelda hanya diam, tak menanggapi perkataan Marvin karena dia masih marah serta kecewa pada suaminya ini. Marvin membiarkan perempuan itu memeluk lengannya, Zelda sangat cemburu untuk itu. "Kenapa hanya diam?"Zelda menggelengkan kepala, tidak mengatakan apa-apa pada Marvin. Mood-nya hancur! ***"Ah, Marvin sayang." Marvin menatap perempuan paru baya tersebut dengan wajah datar, kemudian beralih menatap perempuan di sebelahnya dengan air muka dingin. Sedangkan Zelda, dia hanya mengamati– hanya satu orang yang dia kenali diantara
"Nona Zelda?" Deg deg deg Wajah Zelda memucat pias, mendongak dan menatap Neon dengan raut muka kaku– tersenyum tak enak pada Neon. "Hai, Paman," sapa Zelda ramah, menyengir lebar; dalam hati dia merutuk dan mengumpati nasib sial yang menimpa dirinya. Ke--kenapa Neon harus bertemu dengannya? Ini menyebalkan bagi Zelda. Neon memangut pelan, tersenyum tipis pada Nonanya tersebut. "Nona, Tuan Marvin ada di sana. Anda tidak menemuinya?" 'Menemuinya? Gila nih si Paman. Ya kali aku menemui Mas Marvin yang lagi kencan bersama selingkuhannya.' Zelda menggelengkan kepala. "Kebetulan aku mau pulang, Paman. Reca ada urusan, aku dan Reca harus cepat-cepat pulang. Iya kan, Reca?" Di akhir kalimat, Zelda menoleh ke arah Reca, memberikan isyarat agar Reca menyetujui kebohongan Zelda. Untungnya Reca berpihak padanya, sahabatnya tersebut menundukkan kepala sembari tersenyum kikuk. "Mari, Paman," ucap Zelda kemudian, berniat pamit dari tempat tersebut. Namun, ketika dia akan pergi tiba-tiba saja
Semenjak saat itu hubungan Marvin dan Zelda semakin membaik. Marvin selalu menunjukan kasih sayangnya pada Zelda, dan begitu juga dengan Zelda yang tak kaku lagi pada suaminya. Zelda berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan hasil yang sangat baik. Namun, karena dia masih hamil Marvin melarangnya untuk bergabung dengan perusahaan. "Hari ini kau ingin keluar, Amore?" tanya Marvin yang saat ini tengah sarapan dengan sang istri. Zelda menggelengkan kepala. "Aku sedang malas, Mas. Aku rencananya ingin tidur seharian," jawab Zelda pelan. Marvin menaikkan sebelah alis, menatap sang istri lamat. Kemudian dia tersenyum tipis, "humm." Marvin berdehem singkat. Setelah percakapan singkat itu, keduanya hanya diam untuk menikmati sarapan. Selesai sarapan, Marvin pamit untuk bekerja. "Mas sudah pergi, saatnya aku tidur," gumam Zelda, tersenyum tipis sembari berjalan ke arah lift. Semenjak dia hamil, Zelda lebih sering menggunakan lift. Naik atau turun tangga menguatnya ngos-ngosan. Ah, kecu