Langkah Zara terhenti saat melihat seorang wanita berdiri di depan jendela kamar ICU sang Bunda.Mengamati ekspresi wanita itu dari jauh selama beberapa saat lalu melanjutkan langkahnya kembali.Zara berhenti tepat di samping perempuan itu yang kini menoleh ke arahnya.“Bunda kuat, beliau pasti bangun ... iya kan?” Zara bersuara. Entah ia tujukan kepada siapa.Bunga yang berdiri di sampingnya tidak menanggapi, ia kembali menatap wanita yang terbaring lemah dengan berbagai macam alat penunjang kehidupan.Kenapa juga ia malah berdiri di sini? Wanita yang sedang koma itu adalah Ibu dari gadis yang sangat dicintai Arkana.Bunga pun tidak mengerti kenapa tadi menghentikan langkah di depan kamar ini menyempatkan untuk mengecek kondisi Ibu Maya.“Bangun Bun, Zara mau menikah ... Zara enggak akan menikah kalau Bunda enggak bangun.” Zara melirih dengan suara bergetar.Bunga melirik ke samping, sorot mata Zara tampak penuh penderitaan.Kehilangan ayah untuk selamanya dan sang bunda koma, Zara
Usai kepergian Raditya, tinggalah Darius dan Arkana. “Kemaren, waktu lo ngobatin luka keserempet peluru ... Bunga enggak ngomong apa-apa?” Darius bertanya.“Gue ke IGD ... enggak ke apartemen Bunga.” Arkana membalas dengan nada enggan.“Kenapa?” “Masih kesel gue sama dia.” Ekspresi Arkana tampak murka.“Dia temen kita, Kana ... gadis yang mencintai lo juga ... maafin aja.” “Siang ini dia ngobrol sama Zara ... enggak tau apa yang mereka bicarakan yang pasti Zara seperti ingin menangis.” Arkana menceritakan info yang diterimanya dari orang-orang yang ia tugaskan untuk menjaga Maya.“Zara ngadu sama lo?” Darius bertanya sambil menaikan satu alis, tampak skeptisnya sungguh menyebalkan.“Bukan, mana pernah Zara ngadu sama gue ... gue tau dari orang-orang yang jagain Bunda Maya.” “Coba lo tanya langsung sama Zara ... sejahat-jahatnya Bunga, dia temen kita, Kana!” Arkana malas menanggapi. Darius benar, Bunga adalah timnya tapi bila perempuan itu menyakiti Zara maka Bunga akan menjadi mu
Toilet di sekolah ini ada banyak, Arkana sengaja memutar jalan menuju toilet yang jauh dan jarang dikunjungi siswa dan siswi di sana hanya agar bisa mencari Zara di setiap sudut sekolah.Setiap lantai ia sisir, indera pendengaran dan penglihatannya menajam untuk mencari sosok Zara.Tapi Zara tidak ditemukan di manapun hingga akhirnya langkah Arkana terhenti di anak tangga menuju rooftop.Ia urung melanjutkan niatnya menuju toilet dekat rooftop. Arkana memutar tubuh untuk kembali ke lantai bawah namun langkahnya berhenti ketika baru dua anak tangga yang ia pijaki.Arkana mendengar suara gedoran pintu, meski samar tapi ia yakin bila itu berasal dari toilet dekat pintu menuju rooftop.Arkana mempercepat langkah menaiki tangga dan suara gedoran pintu diselingi isak tangis seorang gadis semakin kencang.“Kak Nadiaaa, buka ... hiks ... hiks ... hiks.” Suara Zara terdengar jelas dari dalam toilet wanita.Tanpa enggan Arkana masuk ke sana dan menemukan sebuah ember di depan pintu bilik toile
“Tadi malem anak Bunda pulang jam berapa?” Aura bertanya di sela sarapan pagi bersama kedua putranya.“Kai pulang jam delapan,” jawab Kai santai.“Kana juga.” Arkana berdusta.“Abang Kana sekarang sering bohong sama Bunda.” Arkana tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putih bersihnya dengan tangan menggaruk kepala di bagian belakang.Tuduhan sang bunda dikeluarkan dengan nada datar bahkan cenderung lembut tapi dampaknya bisa membuat Arkana tidak enak hati.“Ke rumah Zara dulu, Bun ... biasa anak muda.” Akhirnya Arkana menjawab jujur meski tidak menjelaskan jam berapa ia sampai ke rumah.“Oh ....” Sang bunda menanggapi.“Tapi di suruh pulang terus sama Zara, katanya kasian Bunda enggak ada temen ... padahal Kana pengen nginep di sana.” “Hush!! Digerebek Pak RT entar,” tegur Aura sambil mengacungkan jarinya.Arkana tergelak sementara Kai merotasi matanya jengah.“Jadi kalian udah sepakat, akan menikah setelah bundanya Zara sadar dari koma?” Arkana langsung terdiam mendengar pertan
Cup.Zara terlonjak saat sebuah kecupan mendarat di pipinya.Ia tau siapa tersangkanya tapi yang Zara khawatirkan adalah tanggapan Aura setelah melihat bagaimana vulgarnya hubungan mereka.Zara sangat menjaga penilaian keluarga Gunadhya atas dirinya terutama kedua orangtua Arkana.“Kak Aaaaar,” protes Zara sambil menepuk tangan Arkana yang melingkari pinggangnya.Pria itu tergelak, melepaskan pelukannya dari Zara dan beralih mengecup pipi sang bunda.“Sekarang bunda nomor dua ya, Bang ...,” sindir Aura memperlihatkan wajah pura-pura sedih.“Enggak donk, Bunda tetep nomor satu.” Arkana menyanggah. “Lo enggak apa-apa jadi nomor dua ‘kan sayang?” Arkana memperlihat wajah jenaka dengan menaik turunkan kedua alisnya.“Satu setengah deh,” tawar Arkana karena Zara tidak menjawab.Zara mendengkus sebal menanggapi kekasih messummnya.“Udah dapet yang cocok?” tanya Arkana.Saat ini mereka sedang berada di toko perhiasan untuk mencari cincin pernikahan Zara dan Arkana.Tidak perlu bertanya secar
Kaki Zara terasa lemas saat menyusuri lorong menuju ruang rawat di mana Maya telah dipindahkan dari ICU.Ia masih tidak percaya bahwa sang bunda akhirnya sadarkan diri.Do’anya dikabulkan Tuhan Yang Maha Esa, ternyata mungkin memang benar Arkana lah jodohnya.Zara bersandar pada Arkana yang merangkul pundaknya, pria itu begitu semangat melangkah panjang sementara Zara terseok menyamai langkah Arkana.Keduanya berhenti di depan pintu ruangan rawat inap yang baru saja diinfokan oleh pihak rumah sakit kepada Arkana melalui sambungan telepon ketika mereka dalam perjalanan.Arkana yang membuka pintu ruangan itu, Bunga dan Maya yang ada di dalam sana seketika menoleh menatap mereka.“Bundaaaa!” Zara berseru sambil berlari bersamaan dengan air matanya yang luruh.“Zaraaaa,” balas Maya serak, ia masih belum bisa banyak bergerak.Zara menangis dalam pelukan Maya dan suasana haru itu sanggup menggetarkan hati Arkana juga Bunga.“Jangan nangis, malu sama Nak Arkana.” Susah payah Maya berucap unt
“Jadi, kamu melihat sendiri saat Baron membunuh ayah kamu?” Maya bertanya kembali meski Zara telah menceritakan semua kronologisnya.Zara menganggukan kepala. “Sayang ya, Bunda enggak sadar ... kalau sadar, Bunda juga mau nembak kepala si Baron itu karena udah ngambil ayah dari Bunda.” Maya menahan tangisnya saat berucap demikian, sorot matanya kosong menatap ke depan.Zara tersenyum simpul menanggapi ucapan Maya yang ia anggap sebagai kelakar.Tangan Zara mengangsurkan potongan buah pir terakhir ke depan mulut sang bunda dan beliau membuka mulutnya menerima buah pir tersebut.Maya bangun tepat setelah Arkana pergi ke kantor.Sekarang Maya telah mandi dan baru selesai sarapan, tubuhnya terasa sedikit bugar.“Tapi, Kak Arkana mengatur semuanya agar meninggalnya ayah karena kecelakaan ... jadi kita bertiga mengalami kecelakaan dan ayah menjadi korban yang tidak selamat.” “Kenapa begitu? Mereka enggak akan tau kalau semua ini karena Jordi.” Maya tampak tidak terima.“Karena mereka akan
“Kita masih tinggal di sini, Ra? Bukannya ini rumah dinas?” Maya bertanya saat memasuki rumah, langkahnya terhenti tepat di ruang makan karena di sana ia sering kali bercanda dengan almarhum suaminya.Maya sudah diperbolehkan pulang setelah hampir satu minggu melakukan pemulihan di rumah sakit.“Sebetulnya ini rumah Kak Arkana, Bun ... mobil, asisten rumah tangga beserta supir—semuanya punya Kak Arkana.” Maya menoleh dengan raut wajah bingung, beliau menuntut penjelasan Zara karena setaunya ini adalah rumah dinas yang dipinjamkan perusahaan di mana mendiang suaminya bekerja.“Kak Arkana meminta temannya memasukan ayah agar bekerja di sana dan dia yang memfasilitasi semua ini untuk kita, Bun.” “Ya ampun, Nak Arkana ... sampai segitunya cinta sama kamu,” gumam Maya.“Bu, saya sudah masak makanan untuk makan siang.” Asisten rumah tangga bernama Fitri yang seumur dengan Maya itu memberitau.“Terimakasih,” balas Maya dengan senyuman.“Kita makan dulu ya Bun.” Zara membantu sang bunda be