Setelah melakukan latihan, mereka semua kembali ke ruangan yang dikhususkan untuk beristirahat.Pendingin ruangan yang bekerja maksimal menerpa tubuh mereka.Banyak botol air mineral dan pengganti ion tubuh tertata rapih di atas meja.Beragam keperluan medis untuk mengobati luka juga ada di sana.Zara merebahkan tubuhnya di atas sofa dengan paha Arkana yang menjadi bantal setelah tadi Arkana mengobati luka di keningnya.“Kapan kita latihan lagi?” tanya Zara antusias.“Aku mau latihan yang indoor pake mesin papan target itu, donk!” Zara berseru sambil menunjuk ruangan latihan canggih yang hanya terhalang dinding kaca.“Naaah, itu gue demen ... kalau tim-timan kaya tadi ya mana mungkin gue ngebanting si Zara ke dinding.” Secara tidak langsung, Darius sedang menjelaskan kenapa ia bisa kalah yaitu karena memang sengaja mengalah.Zara tersenyum geli. “Kalau latihan sama Pink juga suka main banting-banting ya, Pink?” Zara mencari dukungan dan Pink menganggukan kepala membenarkan.Semua terg
“Tuan Bianco?” Maya terbelalak ketika mendapati pria bule itu di teras rumahnya.Bianco tersenyum. “Apakabar?” Pria itu bertanya.“Baik ... silahkan masuk.” Maya membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan pria yang kian tampan di usia senjanya itu untuk masuk.Beruntung Maya adalah janda berumur empat puluh lima tahun, sudah tidak muda lagi jadi tidak akan ada yang peduli bila ada pria bertamu ke rumahnya.Dan menurut Maya, Bianco bukanlah tamu tapi masih kerabatnya karena Bianco adalah paman dari King—suami dari Kalila yang merupakan kakak ipar dari Zara. “Apa anda sudah makan malam, Tuan?” tanya Maya ramah. Maya memanggil Tuan kepada Bianco karena kebanyakan orang memanggil Bianco seperti itu.“Sejujurnya sih belum, saya baru saja bertemu salah satu klien tidak jauh dari sini ... tiba-tiba saja saya teringat anda lalu saya menanyakan alamat anda kepada Nyonya Aura ... boleh ‘kan bila saya berkunjung?” Bianco mengucapkannya begitu tenang tanpa berkedip, pria itu sudah terbiasa berb
Hujan deras mengguyur kota Jakarta sedari pagi, Zara mengeratkan cardigan yang membalut tubuhnya.Pendingin udara yang bekerja maksimal di lounge itu membuat udara semakin dingin.Jadwal keberangkatan privat jet milik Arkana diundur hingga cuaca membaik.Mereka hendak pergi ke salah satu kota di Jawa Timur untuk menuntaskan rasa penasaran Zara berlatih menembak dengan senapan AS50 yang sering digunakan oleh sniper melumpuhkan musuhnya dari jarak jauh.Suasan di lounge Bandara begitu hening padahal berisikan sebagian rombongan Arkana tapi mereka memilih bungkam dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.Hanya Judith dan Pink beserta Neil yang sesekali terlibat perbincangan ringan.“Dingin sayang?” Arkana bertanya tapi kemudian memeluk Zara setelah sebelumnya memberikan kecupan di pipi.Zara melesakan wajahnya di leher Arkana dan memberikan banyak kecupan di sana.“Yaaang, jangan mancing-mancing.” Arkana terdengar mengancam meskipun menyukai sikap manja istrinya.“Ada kamar, enggak di p
Hanya satu jam saja mobil SUV yang mereka tumpangi melaju di jalanan aspal dan untuk mencapai villa di atas gunung, mereka harus mengganti mobil dengan Land Rover klasik khusus offroad.Dua Land Rover membagi rombongan Arkana menjadi dua kelompok.Land Rover satu ditumpangi oleh Darius, Arkana dan Zara juga Raditya dan Gita.Sedangkan Land Rover kedua berisikan Judith, Pink dan Neil juga Angga dan Bunga—sepasang anak manusia yang sedang menata hatinya. Jalan tanah bercampur batu besar membuat mobil bergerak ke kiri dan ke kanan mengguncang seluruh penumpang yang berada di dalamnya.Bukannya menjerit, Zara dan Gita malah tergelak seakan mereka berdua sedang menaiki sebuah wahana pemicu adrenalin dalam suatu theme park.Meski begitu Arkana memeluk istrinya erat agar tubuh Zara tidak membentur bagian mobil dan bisa menimbulkan luka.Berulang kali Gita dan Raditya berusaha menjauhkan diri karena setiap kali mobil berguncang tubuh mereka bergeser dan bertemu di tengah-tengah jok.Arkana d
“Humph!!” Gita membekap mulutnya sendiri untuk menahan teriakannya saat melihat tubuh bagian atas Raditya yang polos.Pria itu sedang membuka gesper di pinggangnya menghadap pintu di mana saat ini Gita berdiri mematung.“Lo enggak bisa ketuk pintu dulu?” sindir Raditya setengah menggeram.“Maaf Pak, Gita lupa.” Gadis itu tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang putih bersih.Lebih baik mengalah agar masalah cepat selesai dan keputusan Gita sangat tepat karena Raditya tidak lagi mengomel, malah pergi ke kamar mandi setelah tadi memberikan tatapan kesal.Gita menjulurkan lidahnya ketika Raditya menghilang di balik pintu kamar mandi yang tertutup kencang.“Kalau bukan klien perusahaannya Pak Arkana, udah gue pites-pites lo kaya kutu ....” Gita misuh-misuh sambil mengeluarkan pakaian tidurnya dari koper.Sebelumnya Arkana telah memberitau jika tempat tujuan mereka adalah daerah dataran tinggi dengan udara sejuk cenderung dingin jadi Gita mempersiapkan banyak pakaian musim dingin k
Neil berkerut kening saat melihat jejak kaki di halaman samping villa.Ia terus mengikuti jejak tersebut yang ternyata berasal dari dinding pagar yang mengelilingi villa ini.“Paman!” Panggil Darius membuat Neil seketika berbalik.“Ayo, kita akan pergi ... sudah siang,” teriak Darius dan Neil langsung mengangguk sambil menghampiri.Dalam perjalanan menuju tempat latihan, Neil tampak melamun memikirkan jejak kaki tersebut.Benaknya menganalisa jejak itu dan mendapatkan hasil pemikiran yang mengatakan jika jejak kaki berukuran pria dewasa yang ia temukan bukanlah jejak kaki Pak Nugroho.Tapi bila jejak tersebut adalah jejak kaki anggota militer yang pernah latihan dan singgah di tempat itu, kenapa jejak itu terlihat baru?“Sedang memikirkan apa Paman?” tanya Darius yang sedari tadi curiga perubahan sikap Neil.Neil mengangkat wajah dan matanya langsung di suguhkan dengan tatapan rasa ingin tau Gita, Bunga dan Angga yang saat itu bersamanya di dalam Landrover.Darius yang duduk di depan
Setelah makan malam mereka berkumpul di ruangan yang terdapat perapian, udara malam itu sangat dingin karena hujan baru berhenti.Tinggal gerimis yang tersisa yang mungkin akan menemani mereka malam ini.Pak Nugroho dan ibu Asmarini telah pulang ke rumahnya bersama dua driver Landrover dan mereka akan menjemput rombongan Arkana besok sore.Satu-satunya alasan Arkana dan kawan-kawannya masih bertahan di sini adalah mereka telah mencari tau ke pos penjaga di kaki gunung bila memang ada beberapa pendaki yang kemarin naik gunung tapi malam harinya mereka sudah kembali turun.Mereka menganggap jejak kaki tersebut adalah ulah iseng salah satu pendaki yang memanjat pagar dinding entah maksudnya apa.Selain itu, mobil yang membawa mereka ke landasan pesawat beserta kru pesawat baru akan menjemput mereka besok sore.Arkana dan yang lainnya berpikir bila seharusnya wilayah ini aman karena merupakan tempat latihan militer dan dijaga ketat di setiap penjuru pintu masuk akses ke tempat ini.Kursi
“Maaf Tuan Bianco, tapi saya harus menyampaikan sesuatu,” pria yang sedang berkomunikasi dengan Bianco dalam sambungan telepon itu berkerut kening.Matanya ia melihat dengan jelas kilatan cahaya dari sebuah pistol dan senapan disertai suara gema tembakan di rumah kayu yang dihuni sementara oleh Arkana dan kawan-kawannya.“Katakan sekarang!” perintah Bianco kepada orang yang ditugaskan untuk memata-matai Arkana.“Tuan muda Guandhya beserta istri dan sahabat-sahabatnya disergap oleh pasukan tidak dikenal ... mereka bukan dari Negri kami Tuan ... ini adalah pembantaian, apa yang harus saya lakukan?” pria itu bertanya dengan suara bergetar.“Kerahkan beberapa orang pasukan untuk melindungi rumah ibu Maya, saya yakin ini ada sangkut pautnya dengan Jordi.” “Baik Tuan, lalu bagaimana dengan Tuan muda?” pria itu bertanya lagi karena menurutnya Arkana dan teman-temannya lah yang sedang membutuhkan pertolongan saat ini.Bianco terdiam beberapa saat. “Saya akan menghubungi seseorang,” balas pri