Di tengah kepanikannya itu Logan mengambil ponsel untuk menghubungi ibunya, tapi ketika dia tinggal menekan panggilan, dia teringat dengan peringatan keras untuk tidak menghubunginya.Benar juga. Ibunya pasti sibuk dan tidak punya waktu untuk meladeni rengekan Logan. Kalaupun Tania mengangkat teleponnya, apa yang bisa dia lakukan untuk membantu?Logan langsung mengurungkan niatnya dan beralih ke pesan chat yang bertuliskan, “Maaf, aku sudah nggak bisa apa-apa lagi. Sampai jumpa.”“Pak Logan ….”Sekretarisnya yang sedang berdiri di depan pintu hanya bisa menatap bosnya keheranan. Logan pun melambaikan tangannya yang tak bertenaga itu menyuruh sekretarisnya untuk pergi.“Pergi, pergi semua!” kata Logan sambil berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah jendela.Kota ini masih ramai dengan mobil yang lalu lalang di jalanan, tapi sayangnya itu semua bukan miliknya.Seketika itu Logan teringat dengan saat dia baru pertama kali pindah ke kantor ini. Saat itu VL belum lama baru berdiri, tapi p
Cuaca semakin dingin dan turun hujan.“Padahal jarak dari Suba ke Johar nggak jauh, tapi perbedaan cuacanya jauh banget.”“Sebentar lagi kita sudah sampai. Kamu sudah lama nggak pulang, ya?” tanya Brandon sambil memberikan segelas cokelat hangat untuk Yuna.Kebetulan di mobil ada termos yang bisa mereka gunakan untuk menyeduh minuman. Walau tidak secanggih yang mereka punya di rumah, setidaknya itu sudah cukup untuk mereka gunakan di luar.“Kayaknya … sudah enam atau tujuh tahun.”Yuna tidak pernah pulang ke rumah keluarga besarnya semenjak dia kuliah. Toh Yuna juga sibuk dengan kegiatan di kampus seperti melakukan eksperimen di lab, mencari-cari informasi tentang risetnya, melakukan wawancara ke berbagai tempat, dan lain-lain. Pokoknya Yuna terus mencari kegiatan agar dia tidak harus pulang.Kakeknya Yuna juga tidak mau repot-repot memaksa Yuna pulang. Kalau memang Yuna tidak mau pulang, terserah saja. Untuk apa dia harus membujuk Yuna pulang ke rumah? Yuna juga merasa kakeknya tidak
Kediaman keluarga Tanoto tidak terletak di pusat kota, melainkan di pinggiran. Luas lahan rumah mereka sangat besar dan dilengkapi dengan pemandangan alam, yang dalam ilmu fengsui dikatakan dapat mendatangkan keberuntungan.Tidak jelas sudah berapa lama keluarga Tanoto menempati tanah ini, dan rumor terkait mereka yang katanya menguasai ilmu bela diri kuno secara turun temurun juga masih sekadar mitos. Apakah mereka benar-benar biasa atau cuma dongeng belaka, belum pernah ada orang yang menyaksikannya langsung.Di zaman sekarang ini keluarga Tanoto berkecimpung dalam dunia bisnis, tapi tidak hanya itu saja tentunya. Ada pula beberapa anggota keluarga mereka yang bekerja sebagai dosen dan dokter. Keluarga Tanoto sangat besar dan memiliki banyak keturunan, tapi tidak jelas keluarga mana yang merupakan keturunan inti. Akan tetapi, misteri ini justru membuat keluarga Tanoto semakin misterius.Mobil yang datang ke kediaman keluarga Tanoto cukup banyak karena mungkin mereka juga datang untuk
Ketika baru saja turun dari mobil setelah Brandon masuk ke dalam, Yuna langsung disambut oleh Clinton yang seakan dari tadi sudah menunggunya. Di saat itu Yuna baru menyadar ada sesuatu yang janggal. Kabar yang disampaikan oleh pelayan tentang kedatangannya pasti sudah sampai ke telinga para penghuni rumah, tapi kenapa tidak ada satu pun pelayan yang datang menyambut? Apa mungkin ini semua sudah diatur sedemikian rupa oleh Clinton agar tidak terlalu menarik perhatian orang lain?“Akhirnya kamu pulang juga ke rumah,” kata Clinton seraya menatap adik sepupunya yang sudah berada di depan mata.“Sudah kubilang aku pasti pulang.”“Kakek sudah nunggu kamu di dalam.”Ada Clinton yang mengantar tentu saja akan lebih baik, setidaknya Yuna bisa menghindar dari berbagai macam kerepotan yang tidak penting.“Oh ya, makasih ya buat berkas yang kamu kasih waktu itu.”“Buat apa terima kasih segala. Lagian nggak kepakai juga.”Berkasnya memang sudah Clinton berikan kepada Yuna, tapi Yuna memutuskan unt
Kamarnya sangat besar dan dilengkapi dengan karpet sehingga membuat seisi kamar terasa sangat sunyi dan tenang. Gideon sedang duduk di depan jendela melihat hujan yang sedang turun. Tatapan matanya memandang jauh ke depan. Pemandangan kakeknya yang sedang menikmati pemandangan di luar sungguh membuat hati sejuk, hanya saja … kursi yang Gideon duduki bukan kursi biasa, melainkan kursi roda.“Kakek?!” seru Yuna dengan suara gemetar.Apa yang terjadi pada kakeknya?“Ah, Yuna, kamu sudah pulang!” sahut Gideon dengan mata masih menatap lurus ke depan.Yuna melangkahkan kakinya ke depan, tapi entah mengapa dia terhenti ketika berada di depan kakeknya. Dia masih ingin terus mendekat, tapi di satu sisi dia merasa sedikit takut. Di kala itu barulah kursi roda yang Gideon duduki berputar menatap Yuna. Sosok Gideon masih sama seperti yang tersisa dalam ingatan Yuna, hanya terlihat lebih tua saja. Rambutnya sudah banyak yang memutih, dan keriputnya juga bertambah banyak, tapi tatapan matanya masih
Sosok sang kakek dalam ingatan Yuna adalah seorang yang disiplin dan tidak pantang menyerah. Setiap hari kakeknya bangun pukul lima lewat untuk berlatih. Tubuhnya masih sangat kuat terlepas dari usianya yang sudah uzur. Posturnya ketika berdiri pun masih tegap dan langkah kakinya masih lincah seperti semasa mudanya.Akan tetapi, sekarang dia harus menghabiskan sisa hidupnya di kursi roda. Gideon mengaku dia baik-baik saja, tapi kalau memang benar begitu, kenapa dia harus terus duduk dan tidak lagi melakukan rutinitasnya. Dari sini jelas sekali terlihat kalau dia sangat menderita.“Sudah, nggak usah bahas soal Kakek lagi!” ujarnya. Mungkin Gideon menyadari cucunya merasa sedih, jadi dia menutupi lututnya dengan selimut dan mengalihkan topik, “Sudah berapa lama kamu pergi dari rumah?”“Tujuh … atau delapan tahun mungkin?” jawab Yuna.“Lebih tepatnya, tujuh tahun tiga bulan,” tutur Gideon menambahi.Yuna, “….”“Kayaknya kamu lumayan betah di luar. Tapi baguslah.”Apa yang Gideon katakan i
Suara Gideon terdengar begitu serius, tapi raut wajahnya justru terlihat sangat damai. Brandon yang kaget dengan reaksi Gideon pun spontan melirik ke arah Yuna dan seketika itu pula dia mengerti apa yang terjadi.“Ah, benar juga.” Dia pun menarik kembali tangannya dan berkata dengan penuh hormat, “Aku sebagai cucu menantu mengucapkan selamat ulang tahun buat Kakek.”“Cu-cucu … menantu?!”Bahkan Gideon juga ikut tercengang dan matanya terbelalak. Apa anak muda zaman sekarang sevulgar ini? Beberapa detik yang lalu dia masih memanggilnya dengan sebutan “Pak”, tapi sedetik kemudian dia langsung menyebut dirinya sendiri sebagai cucu menantu.“Segenap keluarga Tanoto masih belum mengakui kamu,” sahut Clinton yang saat itu mulai risih.Gideon sebagai orang lebih tua yang punya lebih banyak pengalaman berusaha untuk menenangkan Clinton, lalu dia berdeham, “Brandon, aku nggak keberatan kamu panggil kakek, tapi kalau cucu menantu … kayaknya masih terlalu awal.”Singkat kata, sebenarnya keluarga
“Kek, acaranya sebentar lagi sudah mau dimulai,” kata Clinton mengingatkan.“Oke,” angguk Gideon perlahan, tapi matanya masih menatap Yuna seolah masih ingin mengobrol dengannya.“Aku nggak ikut, ya, Kek. Kakek tahu sendiri aku nggak suka keramaian,” kata Yuna.“Iya,” sahut Gideon tanpa banyak bicara lagi.Brandon juga menaruh tangannya di bahu Yuna dan menambahkan, “Aku juga, aku mau menemani Yuna.”“Kalau begitu menginap saja di sini! Nanti aku suruh Dodi siapin dua kamar buat kalian nginap dua hari, gimana?”Kata-kata terakhir Gideon jelas mengindikasikan kalau dia meminta pendapat dari Yuna. Ketika ditanya seperti itu oleh kakeknya, Yuna pun merasa tersanjung dan mengangguk, “Oke, ikut apa kata Kakek saja.”Gideon senang mendengar jawaban itu dan spontan senyum di wajahnya melebar, “Clinton, ayo jalan.”Clinton lantas mendorong kursi roda kakeknya dan berpesan kepada Yuna, “Nanti Pak Dodi bakal antar kalian berdua ke kamar masing-masing.”“Oke.” Yuna pun keluar kamar dan melihat C