Ketika Yuna memeriksa kondisi fisik Nathan, bagian wajah, leher, serta seluruh punggungnya sudah basah kuyup karena berkeringat. Kaki dan tangannya juga terus mengejang,dan tidak hanya itu, wajahnya muncul bintik-bintik kecil berwarna kemerahan.“Kayaknya alergi makanan,” kata Yuna seraya membuka kancing kerah bajunya.“Kamu ngapain?! Siapa kamu, jangan sentuh anakku sembarangan!” teriak ibunya Nathan seraya menarik lengan Yuna dengan kuat.“Ini gejala alergi. Kalau nggak segera ditangani, nyawanya bisa terancam!” ujar Yuna kepada Lisa yang masih termangu tanpa sedikit memedulikan ibunya Nathan yang sedang marah-marah.Lisa langsung tersadar seketika dia mendengar sahutan Yuna, dan dia segera melerai wanita itu, “Helen, dia temanku. Dia lagi berusaha nolongin Nathan, kamu nggak usah panik.”Mungkin karena memang tadi terlalu panik, nasihat dari Lisa untungnya berhasil menenangkan Helen. Meski dia masih menangis, setidaknya dia tidak lagi berupaya menghentikan apa yang sedang Yuna lakuk
Apa benar dia ibunya Nathan? Masa dia tidak tahu kalau anaknya sendiri menderita alergi? Dengan tatapan penuh keraguan Yuna menatap ke arah Lisa, tapi Lisa juga hanya bisa tersenyum pasrah.Kebetulan mobil ambulans juga baru saja tiba di restoran. Petugas medis segera membawa Nathan masuk ke dalam dan melakukan pemeriksaan singkat, lalu berangkatlah mereka ke rumah sakit.Yuna akhirnya merasa lega karena sudah ada pihak rumah sakit yang menanganinya. Ketika Yuna hendak membayar tagihan makanannya, tak disangka Helen malah menarik bajunya dan berkata, “Jangan pergi! Kamu ikut aku ke rumah sakit!”“Helen!” seru Lisa, “Kamu nggak bisa begitu! Yuna temanku!”“Maaf, Lisa, kalaupun dia teman kamu, dia tetap harus ikut aku ke rumah sakit. Sekarang kita belum tahu pasti apa Nathan bakal baik-baik saja. Tadi dia berbuat sesuatu ke Nathan, kita nggak ada yang tahu mungkin itu malah bikin kondisinya tambah parah.”“Nggak mungkin, aku percaya sama Yuna!” ujar Lisa.“Percuma, kamu tahu sendiri kala
Kepanikan kali ini benar-benar berbeda dengan panik yang Helen alami saat di restoran tadi, seolah-olah saat itu Helen adalah orang yang berbeda. Wajahnya yang cantik itu kini dipenuhi dengan rasa takut dan tegang.Dengan rasa penasaran Yuna menoleh ke samping dan melihat ada beberapa orang pria yang sedang berjalan ke arah mereka. Pria yang menjadi pemimpin mereka mengenakan kacamata tanpa bingkai dan jas hitam yang pas di badan. Di belakangnya diikuti oleh pengawal dan sekretaris.Ekspresi wajah pria itu terlihat sangat kalem dan memancarkan aura yang sangat elegan. Selain itu, parasnya juga terlihat seperti keturunan orang Asia.“Shane! Dengar dulu penjelasanku ….”Meski masih terlihat panik, Helen tetap berlari ke arahnya dengan wajah bercucuran air mata. Namun, sebelum Helen mendekatinya, dia sudah dihadang oleh si pengawal.“Di mana Nathan?” tanya Shane.“Nathan masih di dalam. Aku juga nggak tahu kenapa jadi kayak begini. Tadinya kami masih senang-senang saja, tapi tiba-tiba … a
“Shane, ini bukan salah Yuna. Dia yang nolongin Nathan, aku saksinya!”Tampaknya Lisa juga mengenali siapa pria ini. Dia mengambil inisiatif membela Yuna, tapi di sisi lain dia sungguh tidak menyangka Helen tega menuduh Yuna yang menyakiti Nathan.“Lisa, ini teman kamu?” tanya Shane sembari mengangguk menanggapi ucapannya.“Iya, dia temanku! Yuna nggak nyakitin Nathan, justru dia yang nolong. Aku berani sumpah!”“Lisa, memangnya dia itu dokter? Kenapa kamu bisa jamin kalau dia nggak nyakitin Nathan? Mungkin sebenarnya Nathan nggak apa-apa, tapi malah jadi kacau gara-gara dia. Dia masukkin tangannya yang kotor ke dalam mulut Nathan ….”Mendengar itu, bola mata Shane yang tersembunyi di balik kacamatanya pun berkilat, “Kamu apain Nathan?”“Dia masukkin tangannya ke dalam mulut Nathan, terus dia juga yang buka bajunya Nathan. Shane, bukan aku … sumpah bukan aku! Aku mana mungkin nyakitin anakku sendiri …,” kata Helen.“Kalau kamu nggak suka, kenapa nggak bilang dari tadi?! Jelas-jelas Yun
“Aku papanya,” sahut Shane.“Pasien mengalami gejala alergi yang cukup parah, lain kali makannya harus dijaga, jangan sampai kena makanan yang jadi sumber alerginya.”Penjelasan dokter kurang lebih sama seperti apa yang Yuna katakan. Yuna bukan dokter, tapi dia pernah melihat beberapa cara untuk menangani orang yang mengalami alergi.Setelah memastikan bahwa Nathan baik-baik saja dan telah dipindahkan ke bangsal untuk beristirahat, Yuna pun izin pamit, “Karena semuanya sudah nggak ada masalah lagi, aku permisi dulu.”“Tunggu sebentar,” kata Shane, “Kamu sudah nolong anakku, apa yang bisa aku kasih sebagai imbalan?”“Ngga usah. Aku nggak ngapa-ngapain. Kalau mau berterima kasih, harusnya ke dokter saja.”“Kamu yakin nggak mau apa-apa? Mau itu uang atau apa pun, kamu tinggal bilang saja kalau butuh.”“Yuna, Shane ini termasuk orang yang paling berkuasa di kalangan orang Indonesia yang tinggal di Paris. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang ke dia saja.”Sebenarnya Yuna juga sudah bisa melihat
“Oh ya, Yuna, parfum yang tadi kamu bilang itu apa? Kok, aku nggak pernah dengar, ya? Itu parfum baru?”Punya ayah seorang peracik parfum terkenal sedunia bukan berarti anaknya juga akan tertarik dengan parfum. Lisa sama sekali tidak tahu apa-apa soal parfum, dan dia juga tidak bekerja di industri parfum. Dia tidak punya bakat dan tidak terlalu tertarik dengan dunia parfum.“Bukan barang baru, sih. Sebenarnya barang lama, saking lamanya sampai sudah nggak diproduksi lagi.”“Oh, gitu? Jadi barangnya sudah susah dicari?”“Susah dicari, sih, nggak. Tapi ….”Parfum yang dimaksud itu adalah parfum yang sudah ada di pasaran sejak seratus tahun lebih yang lalu. Blomstrende adalah parfum pertama yang dikembangkan secara independen oleh seseorang yang berasal dari Swiss. Tidak hanya parfumnya sendiri yang spesial, tapi botol yang digunakan untuk menyimpan parfum itu juga sangat indah. Sekarang parfum ini sudah tidak diproduksi lagi, dan hanya ada dua botol yang disimpan di museum sebagai koleks
Setibanya di hotel, Reni sudah menunggu di depan kamar lengkap dengan pen dan kertas di tangan selayaknya orang yang akan menghadiri rapat.Merasa bersalah karena hanya makan seorang diri tanpa membawakan makanan pulang untuk Reni, Yuna pun mempersilakannya masuk dan menawarkan, “Bu Reni sudah makan? Aku ada snack, nih.”Berdiskusi sambil makan memang paling ampuh untuk mencairkan suasana, tapi Reni dengan tegas menolak, “Nggak usah, aku sudah makan. Kita bahas soal acara besok saja.”“Oke, jadi rencana kita gimana?” tanya Yuna sambil menuangkan segelas air untuk dirinya sendiri.Si Reni ini pasti punya ide yang brilian, apalagi setelah mengurung diri begitu lama sejak mereka pulang dari acara.“Tadi aku sudah diskusi sama kantor. Kita sepakat untuk tetap ikut kompetisinya besok,” ujar Reni dengan wajahnya yang serius.“Oh, oke!”“Eh?! Kamu … nggak keberatan?”“Iya, memangnya kenapa aku keberatan?”“Berarti … kamu yakin bisa menang?”“Kalau nggak yakin, aku nggak bakal datang sebagai p
Tengah malam di kamar hotelnya, Valerie yang baru saja menutup telepon mendengar suara ketukan di pintu. Ketika Valerie membuka pintu, dia melihat Lawson sudah berdiri di depan sambil menenteng satu botol minuman keras, serta wajah tersenyum yang menatap tepat ke matanya.“Ngapain kamu kemari? Sudah malam, aku mau istirahat,” kata Valerie seraya menutup pintunya kembali.“Halah! Banyak gaya kamu!”Lawson menahan pintu dengan tangan satunya. Valerie kalah beradu kekuatan dengan Lawson dan mundur ke belakang.“Lawson, jangan lupa apa tujuan kita kemari! Coba lihat kayak apa tampang kamu sekarang!”“Memangnya kita mau ngapain di sini?” ledek Lawson sambil terkekeh, “Kau minta diajak kemari, aku sudah penuhin, tapi kamu belum kasih apa yang aku minta. Bukankah harusnya kamu lunasin dulu utang kamu, ya, ‘kan?”Lawson membuka kedua tangannya lebar-lebar dan melemparkan diri ke tubuh Valerie, tapi Valerie untungnya berhasil menghindar.“Buat apa buru-buru!”“Aku sudah nunggu lama banget, kamu