"Selamat pagi Mama," sapa Aruna dengan wajah yang canggung.Erland kembali menarik tubuhnya. "Apa yang sedang kamu lakukan?""Aku hanya menyapa," sahutnya membuat Nina menatap takjub."Apa kalian sudah sarapan? Mama membawakan beberapa buah."Mata Aruna pun menatap melalui jendela. Sopir yang dibawa oleh Nina, mulai mengeluarkan buah dari bagasi dan berjalan mendekat. Hanya dengan lirikan dari Erland, pembantu berjalan terburu untuk mengunci pintu rumah. Memberi batas bagi sopir untuk masuk ke rumah. "Erland!" sebut Nina sedikit kesal secara terang-terangan."Padahal mama hanya ingin memberikan buah, kamu tetap tidak menerima?" protes Nina.Erland kembali menyembunyikan Irene. "Anda pikir kami kekurangan? Hanya buah saja, aku bisa membelinya sendiri.""Jadi tidak usah repot-repot dan silakan kembali."Erland membawa Aruna berjalan pergi ke dalam rumah. Nina mengepalkan tangan, melihat Aruna yang hanya diam dan mengikuti Erland, sama seperti dulu."Apa kamu masih membenci mama karena
Tapi, Erland jauh lebih kaget saat sang ayah mertua malah menemukan mereka. Erland berharap pintu lift segera tertutup. Sayangnya, Aruna malah meletakkan kakinya di tengah pintu lift hingga tak jadi tertutup.Erland langsung menemukan penyebabnya dan mendelik marah. "Apa yang sedang kamu lakukan?""Aku ingin bertemu dengan ayahku, tidak boleh?"Erland kesal dan terpaksa membawa Aruna keluar dari lift. Karena sudah ketahuan juga. Mata ayah Irene menatap lekat wajah Aruna yang benar-benar mirip."Irene--"Pria setengah baya itu berhenti bicara sendiri dengan mata mulai memandang sendu ke arah Erland. Ada rasa heran juga di sana, membuat dia menghela napas."Sayang, kamu ikut dengan Daffa ke ruang kerjaku dulu," pinta Erland tanpa memanggil Irene mau pun Aruna.Meski mata Aruna masih menatap penasaran ke arah ayah Irene. Pria yang tampan meski sudah termakan usia. Daffa menunjuk jalan ke arahnya, membuat Aruna terpaksa memutus pandangan dan berjalan mengikut
Erland dengan hati-hati meletakkan tangan pada paha Aruna. Selagi mata dia memperhatikan ekspresi Aruna yang baru saja menyeringai."Kamu bilang kegiatan ranjang itu sebuah pekerjaan yang kamu gaji?" "Bukankah begitu?" tanya Erland dengan bibir sudah mengecup lehernya.Aruna langsung mendorong kepala Erland dengan tangan. Mata Erland memandang posisi Aruna yang membelakangi, tapi masih bisa mencapai kepala dia."Sayang," keluh Erland.Aruna langsung diam, merasa kalau Erland sepenuhnya masih menganggap dirinya adalah Irene. Sementara diamnya Aruna, dianggap sambutan bagi Erland. Hingga kembali ingin memberikan kecupan di lehernya.Tapi, Erland menatap heran. Atas Aruna yang baru saja berdiri, menciptakan kekosongan serta kehangatan yang sirna. "Aruna, kenapa?"Kenapa? Aruna sendiri tidak tahu. Ada apa dengannya kali ini. Perasaan tak terima karena Erland selalu terbayang oleh sosok Irene. "Apa aku sungguh akan bekerja di perusahaan ayahnya Irene?" tanya Aruna masih dengan posisi be
"Saya mengira kalau Anda akan menerima tawaran Yuda."Daffa menyinggung begitu mereka tiba di depan mobil. Mata Aruna memandang ke arah Yuda yang baru saja mengendarai mobil, keluar dari area perusahaan milik Erland. Wajah pria itu jelas sangat terluka dan marah oleh ucapan Aruna."Aku tidak sebodoh itu, kembali pada kenangan buruk," sahutnya sembari menurunkan pandangan."Apa Anda tidak memiliki solusi atas permasalahan sendiri?"Aruna mengerutkan dahi mendengarnya. "Solusi dan permasalahan? Kamu bicara perihal apa."Daffa menarik napas. "Memangnya ada hal lain? Selain hubungan rumit di antara Anda, Yuda dan tuan Erland."Mata Aruna menatap Daffa yang terkadang. Terlihat merindukan sosok Irene melalui dirinya, juga begitu ingin menghapus Aruna dari kehidupan Erland. Aruna menyeringai, ia tak bisa menyimpulkan mana sifat Daffa yang asli."Kamu pikir, yang aku hadapi adalah ujian matematika? Cukup bermodal rumus dan kertas coret untuk menyelesaikannya?" sindir Aruna."Yuda tidak sesede
"Mimpi saja sana."Aruna menyeletuk begitu mendengar ucapan Erland mengenai bikin anak. Suaminya yang berjalan ke kamar mandi pun berhenti sejenak, hanya untuk menyumbang suara tawa pada berisiknya televisi. Mata Aruna memastikan Erland sepenuhnya telah masuk ke dalam sana. Suara gemericik air serta aroma sabun dapat Aruna rasakan semua itu."Kamu sengaja membiarkan pintunya terbuka, tidak takut nyamuk masuk ke sana?" singgung Aruna.Dahinya mengerut, karena tak mendengar sahutan sedikit pun dari suaminya. Aruna memutuskan untuk bangun dari duduknya dan mendekat ke sana, mungkin menyender pada dinding sebelah pintu. Bukan untuk menerobos masuk, lantas ikut campur dalam kegiatan mandi suaminya."Aku mengundangmu masuk ke sini, Aruna."Suara di tengah air yang menimpa lantai, masih bisa Aruna dengar. Hingga pantatnya pun menghuni kursi rias lagi, karena mengobrol dengan jarak terbentang pun rupanya masih bisa dilakukan."Aku tidak tertarik."Dan itu percakapan terakhir di antara mereka
"Aruna kamu marah?"Kaki Erland langsung berhenti berlari. Mematung meski dihampiri olehnya yang masih membawa bantal. Bahkan wajah yang ditampar dengan bantal pun, Erland tak bergerak sama sekali."Ayo pukul aku sepuas kamu, Sayang.""Tanpa kamu suruh pun, aku akan melakukannya!" seru Aruna.Pemukulan sepihak dengan bantal ini mulai terhenti. Karena Aruna mulai merasa lelah. Erland memeluk pinggangnya, mengundang mata Aruna untuk menatap suaminya."Kamu berhak mencintai suami sendiri, Aruna," ujar Erland.Namun, Aruna tak yakin. Kata itu boleh dirinya lontarkan. Sebab, Erland tak akan mungkin jatuh cinta pada istri sendiri, selain Irene orangnya.Bibirnya mengulas senyum terpaksa. "Benar."Erland mencium bibirnya lembut. Dengan tangan yang kembali melucuti pakaian, bahkan sudah meraba di berbagai tempat. Aruna pun hanya membiarkan dan menikmati sentuhan dari suaminya.***"Kamu bilang apa Mas barusan?"Istri kedua dari Faisal menunjukkan raut wajah yang tak setuju. Apalagi pembahasan
"Irene, apa yang kamu bicarakan?" tanya Faisal dengan pelan.Mata Aruna melirik ayah Irene. "Aku ingin posisi direktur."Mendengar permintaan darinya. Faisal mengulas senyum, namun tak menyahut sama sekali. Hal itu membuat Aruna menatap dengan kesal. "Kamu harus belajar dahulu. Bekerja di bidang iklan tidaklah mudah, jika kamu sudah beradaptasi dengan pekerjaanmu. Ayah pasti akan ...."Ucapan Faisal menjadi semakin pelan saja, bahkan sepenuhnya berhenti. Karena tangan Aruna yang menarik kursi dengan kasar, sehingga suara yang ditimbulkan sangat nyaring. Seluruh mata karyawan melirik dengan wajah terkejut mereka.Faisal menatap dengan marah. Biasanya pria itu melampiaskan amarah secara langsung. Namun, melihat Aruna yang menatap ke arah lain dengan wajah tertekuk. Rupanya membuat Faisal menemukan lawan yang sebanding."Apa gunanya anak CEO, kalau dapat jabatan harus merangkak juga," gumam Aruna pelan, namun masih bisa didengar oleh Faisal dan Erland.***"Bukannya Tuan seharusnya di k
"Kencan?"Mata Aruna mengerjap dengan tak percaya. Kencan? Mustahil. Tak mungkin Erland mengajak dirinya kencan."Maksud kamu kencan di atas ranjang?" selidik Aruna.Kali ini dahi Erland mengerut mendengar pertanyaan dari Aruna."Kencan di atas ranjang? Pikiranmu kotor sekali," maki Erland.Aruna tak terima disebut kotor, meski suami sendiri. Hingga matanya melotot dan tangan menunjuk dengan sengit. Tatapan Erland mengunci perlakuan tak sopan dari sang istri."Makanya kalau bicara yang jelas!" Pada akhirnya Aruna marah.Bibir Erland menyeringai. Temperamen sang istri benar-benar harus dirombak. Tak seperti Erland yang selalu bisa menekan emosi, supaya sandiwara terlihat sempurna."Aku bilang kencan. Memangnya ada berapa definisi di pikiranmu, perihal kencan ini, Aruna?"Mendengarnya Aruna terdiam. Tak ingin salah menduga dan berakhir dengan disindir apalagi dimaki. Mata Aruna menatap Erland sangat lekat, bahkan suaminya ini membalas dengan lebih santai."Yang aku maksud," Erland kemba
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat