"Aruna kamu marah?"Kaki Erland langsung berhenti berlari. Mematung meski dihampiri olehnya yang masih membawa bantal. Bahkan wajah yang ditampar dengan bantal pun, Erland tak bergerak sama sekali."Ayo pukul aku sepuas kamu, Sayang.""Tanpa kamu suruh pun, aku akan melakukannya!" seru Aruna.Pemukulan sepihak dengan bantal ini mulai terhenti. Karena Aruna mulai merasa lelah. Erland memeluk pinggangnya, mengundang mata Aruna untuk menatap suaminya."Kamu berhak mencintai suami sendiri, Aruna," ujar Erland.Namun, Aruna tak yakin. Kata itu boleh dirinya lontarkan. Sebab, Erland tak akan mungkin jatuh cinta pada istri sendiri, selain Irene orangnya.Bibirnya mengulas senyum terpaksa. "Benar."Erland mencium bibirnya lembut. Dengan tangan yang kembali melucuti pakaian, bahkan sudah meraba di berbagai tempat. Aruna pun hanya membiarkan dan menikmati sentuhan dari suaminya.***"Kamu bilang apa Mas barusan?"Istri kedua dari Faisal menunjukkan raut wajah yang tak setuju. Apalagi pembahasan
"Irene, apa yang kamu bicarakan?" tanya Faisal dengan pelan.Mata Aruna melirik ayah Irene. "Aku ingin posisi direktur."Mendengar permintaan darinya. Faisal mengulas senyum, namun tak menyahut sama sekali. Hal itu membuat Aruna menatap dengan kesal. "Kamu harus belajar dahulu. Bekerja di bidang iklan tidaklah mudah, jika kamu sudah beradaptasi dengan pekerjaanmu. Ayah pasti akan ...."Ucapan Faisal menjadi semakin pelan saja, bahkan sepenuhnya berhenti. Karena tangan Aruna yang menarik kursi dengan kasar, sehingga suara yang ditimbulkan sangat nyaring. Seluruh mata karyawan melirik dengan wajah terkejut mereka.Faisal menatap dengan marah. Biasanya pria itu melampiaskan amarah secara langsung. Namun, melihat Aruna yang menatap ke arah lain dengan wajah tertekuk. Rupanya membuat Faisal menemukan lawan yang sebanding."Apa gunanya anak CEO, kalau dapat jabatan harus merangkak juga," gumam Aruna pelan, namun masih bisa didengar oleh Faisal dan Erland.***"Bukannya Tuan seharusnya di k
"Kencan?"Mata Aruna mengerjap dengan tak percaya. Kencan? Mustahil. Tak mungkin Erland mengajak dirinya kencan."Maksud kamu kencan di atas ranjang?" selidik Aruna.Kali ini dahi Erland mengerut mendengar pertanyaan dari Aruna."Kencan di atas ranjang? Pikiranmu kotor sekali," maki Erland.Aruna tak terima disebut kotor, meski suami sendiri. Hingga matanya melotot dan tangan menunjuk dengan sengit. Tatapan Erland mengunci perlakuan tak sopan dari sang istri."Makanya kalau bicara yang jelas!" Pada akhirnya Aruna marah.Bibir Erland menyeringai. Temperamen sang istri benar-benar harus dirombak. Tak seperti Erland yang selalu bisa menekan emosi, supaya sandiwara terlihat sempurna."Aku bilang kencan. Memangnya ada berapa definisi di pikiranmu, perihal kencan ini, Aruna?"Mendengarnya Aruna terdiam. Tak ingin salah menduga dan berakhir dengan disindir apalagi dimaki. Mata Aruna menatap Erland sangat lekat, bahkan suaminya ini membalas dengan lebih santai."Yang aku maksud," Erland kemba
Netra Erland membingkai patung di tangan Aruna lama. Patung yang dibeli dari pelelangan dengan harga fantastis. Hanya satu-satunya, tak ada pembuatan kedua apalagi ketiga."Atau aku saja yang lempar?" tanya Aruna.Erland meraih patung di tangannya. Namun, Aruna tak mau melepaskan. Membuat pandangan saling menatap satu sama lain."Jangan patung ini, oke?""Lantas kenapa kamu memecahkan vas bunga?" tanya Aruna masih mempertahankan kekuatannya, menggenggam patung erat."Harganya lebih murah. Patung ini sangat mahal.""Kamu hanya peduli pada nominal, melupakan estetikanya," sindirnya."Baiklah aku salah, berikan patungnya padaku."Melihat Erland yang mengaku salah, membuat Aruna menatap patung ini. Harganya pasti sangatlah mahal. Jika sampai Aruna mencari masalah dengan memecahkannya, dirinya juga yang merugi."Lain kali, kalau marah cukup dengan mulut saja," ujarnya sembari memberikan patung pada suaminya, "jangan melempar barang. Itu sangat berbahaya."Mata Erland menatap Aruna lekat. "
Kaki Aruna terus saja melangkah mengikuti Mitha. Hingga mereka berdua telah tiba di tempat bersantai karyawan, tepatnya di lantai empat.Angin baru saja menerpa wajah Aruna, ketika pintu balkon dibuka. Pemandangan gedung-gedung menjulang tinggi terpampang jelas di sekitarnya. "Katakan."Aruna tidak ingin berbasa-basi. Namun, ia juga perlu menjaga tutur kata. Takut membicarakan hal yang akan merugikan baginya sendiri.Mitha menunjukkan raut serius. "Berhenti menipu Erland dan kembalilah pada Yuda, karena kamu sangat tidak pantas berada di sisi Erland.""Yuda bukan siapa-siapa untukku, jadi kenapa aku harus kembali padanya?"Mitha menyeringai. "Jika kalian tak ada hubungan apa pun, mana mungkin kamu mau bicara dengan aku di sini?"Mata Aruna menatap Mitha dengan tajam. Meski wanita ini mencoba menjebaknya, namun Aruna tak akan pernah mau jatuh ke dalam jurang yang Mitha ciptakan."Kamu hanya benalu yang memanfaatkan keterpurukan Erland."Kaki Mitha mendekatinya. Membuat mata Aruna mena
Yuda kembali mendekat wajah dan ingin mencium bibir Aruna. Namun, Aruna yang marah langsung meludah tepat di wajah suami pertamanya ini.Mata Yuda sempat terpejam dan bibir menyeringai. Begitu pandangan terbuka, Yuda menjadi marah dan baru saja menampar wajah Aruna."Sialan!"Aruna yang meringis kesakitan, membuat Yuda kaget dan segera menatap tangan. Lantas, penyesalan itu dilampiaskan dengan memukuli tangan sendiri."Sialan, berani sekali kamu menampar istriku!"Mata Aruna melirik ke arah Yuda yang semakin tidak waras. Pandangan Yuda pun mulai terarah padanya. Lantas, pria ini mengulas senyum dan kembali mendekati Aruna."Jika kamu berani menyentuhku secuil saja, aku tidak akan memaafkan kamu," ancamnya.Yuda tersenyum. "Aku suamimu, bukan orang lain. Ingat itu, Aruna."***Jemari Yuda membenarkan kancing baju Aruna dengan telaten. Pria itu menyadari bahwa Aruna sedang menatap penuh kebencian dengan air mata yang tertinggal. Sentuhan juga hanya sepenuhnya dinikmati oleh sebelah pih
Pintu yang baru saja terbuka dan dipastikan Yuda telah kembali. Aruna terburu mengganti saluran chanel televisi, hingga menunjukkan program kartun animasi. Aruna menolehkan kepala dengan mata menatap antusias. Apalagi tangan Yuda yang hendak meletakkan kartu akses di tempat biasa, namun menyadari tatapan dari Aruna. Yuda menyeringai dan mengantongi kartu tersebut."Kenapa Aruna? Masih berpikir untuk bisa kabur?"Aruna duduk dengan benar lagi, tubuh menghadap televisi. "Kartu akses hanya untuk membuka pintu, tidak dengan mengunci dari dalam."Yuda mengeluarkan kunci dan membuka pintu kaca yang menjadi penghalang Aruna selama ini untuk bisa kabur. Entah apartemen ini memang memiliki dua pintu, atau Yuda menambahkannya sendiri. Dengan tujuan mengurung orang di dalam pintu kaca, sementara pintu utama itu bisa dengan mudah dibuka dari dalam, tanpa menggunakan sandi atau kartu akses."Kamu tidak akan bisa kabur, Aruna," ujar Yuda lagi sembari mengunci pintu kaca lagi.Mata Aruna menatap l
Mulut Daffa terkunci dengan rapat. Sementara mata sedikit melemah. Haluan yang sama? Apakah mereka berada di tingkat keserakahan yang sama?Mitha tersenyum melihat sorot kebimbangan di mata Daffa. "Bagaimana?""Kamu mau membawa wanita itu pergi kan? Dan kalau bisa jangan kembali ke sisi Erland."Pandangan Daffa terangkat dan bibir menertawakan sang istri pelan. Namun, ekspresi yang bisa dilihat oleh Mitha itu jelas membuat emosi memuncak."Apa maksudmu tertawa seperti itu! Yang aku butuhkan adalah jawabanmu! Daffa kembali!"Saat mata Daffa melirik, seorang polisi muda langsung mendekat dan menendang jeruji besi. Sampai membuat Mitha tertegun dan mundur dengan perlahan. Meski pandangan mulai menatap tajam."Kamu tidak tahu siapa aku? Berani sekali bertindak kasar!""Berisik!"Mitha sepenuhnya tertegun, namun pandangan berusaha untuk tidak berhenti menatap tajam. Nyali wanita itu mulai menciut, saat polisi berniat membuka sel tahanan."Aku akan diam, puas?"Sementara di dalam mobil. Daf
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat