Kehamilan Wati sudah memasuki hari-hari melahirkan. Rendra disuruh mamahnya mengambil cuti agar bisa menemani Wati melahirkan."Mas, perutku mules." Wati membangunkan Rendra yang sedang tertidur."Mules kenapa?" Tanya Rendra masih mengantuk."Ngga tau.""Kita bercinta saja ya biar mulesnya hilang!""Mas Rendra apa-apaan sih. Yang ada semakin mules Mas.""Kata temen-teman mas, kalau sudah mau lahiran harus sering diperkosa, hahahahaha..." Goda Rendra."Mas ini menyebalkan. Lihat nih perutku sudah besar banget mas!""Mas serius Wati. Teman-teman mas yang ngomong gitu. Istri-istrinya diperkosa pas mau dekat lahiran biar cepet katanya prosesnya.""Ngga mau ah mas, yang ada tambah mules.""Yang namany
Rendra belum juga selesai cuti. Sudah sebulan dia ada di rumah. Wati jadi bingung."Mas, cutimu berapa lama?" Tanya Wati."Selamanya." Jawab Rendra cuek."Maksud mas bagaimana?" Wati terkejut."Iya, selamanya. Aku sudah tidak bekerja lagi Wati.""A... Apa mas?" Wati terhenyak. "Kenapa kamu tidak cerita Mas? Kamu berhenti atau diberhentikan Mas? Lalu bagaimana dengan hutangmu di Bank? Lalu bagaimana dengan bayar rumah ini Mas? Apa orang tuamu tau? Apa..." Wati membrondong Rendra dengan pertanyaan, belum selesai dia bicara Rendra memotongnya."Cukup Wati!!!" Potong Rendra."Jawab Mas!""Aku diberhentikan dari perusahaan.""Kenapa? Kinerjamu tidak baik?""Akhir-akhir ini aku terlalu lelah karena ser
Rendra menggigil di balik selimut. Wati memeriksa suhu badan Rendra dengan termometer."Kamu demam mas." Ucap Wati saat melihat hasil termometer digital tertera angka empat puluh derajat. "Kita ke Rumah Sakit ya mas! Aku telpon taxi dulu.""Tidak perlu. Ambilkan hapeku!!!""Tapi mas, panasmu tinggi. Ini hapemu. Sebentar aku buat kompres." Wati meninggalkan Rendra. Kemudian Wati kembali dengan baskom berisi handuk kecil dan air hangat. Diperasnya handuk yang penuh air, di letakkannya di kening Rendra."Kamu kerja saja Wati! Nanti Anton temanku ke sini.""Aku ngga mungkin ninggalin kamu dalam keadaan demam begini mas." Wati khawatir dengan keadaan Rendra."Sudah, kamu ngga usah khawatir! Anton nanti bawakan obat.""Anton kan bukan dokter mas, kenapa mas menghubungi dia?" Wati bingung
Usia Aditya sekarang sudah satu tahun. Tapi Rendra belum juga mendapat pekerjaan. Dia masih ikut pak Sigit di pemancingan kolam. Namun, Wati tidak pernah menikmati uang hasil pekerjaan suaminya di pemancingan. Dia bahkan tidak tahu, berapa pak Sigit memberikan uang tiap bulannya kepada suaminya. Uang pesangon Rendra pun sudah menipis untuk keperluan sehari-hari dan cicilan rumah."Mas, kenapa kamu tidak pernah menyerahkan uang hasil kamu kerja di pemancingan?""Uang pesangonku kan masih ada Wati." Jawab Rendra cuek."Sudah mulai menipis mas. Kamu kan tau tiap bulan harus nyicil rumah, trus belanja untuk kita makan, belum lagi keperluan Adit.""Ya sudah, bulan depan aku cicil rumah.""Untuk keperluan lainnya?""Habiskan saja dulu uang pesangonku! Nanti kalau sudah habis baru aku kasih kamu uang."&nb
Lima bulan berlalu, Rendra memang menjadi suami yang penurut. Dia berusaha menuruti apa yang Wati inginkan. Tapi dia belum bisa lepas dari shabu. Karena memang sangat sulit lepas dari ketergantungan barang haram itu. Perlu waktu lama. Wati juga tidak tega melihat Rendra saat sakaw. Rendra begitu tersiksa."Aku harap kamu bisa mengerti Wati. Tidak mudah untuk lepas begitu saja." Keluh Rendra."Aku mengerti mas, aku mengerti." Jawab Wati. "Setidaknya aku bisa mengontrol pengeluaranmu karena kartu ATMmu di tanganku.""Iya sayang.""Besok kita pergi ke dealer ya mas, buat beli motor.""Untuk siapa?" Tanya Rendra."Ya untuk mas lah. Mau sampai kapan mas pulang naik angkutan umum?""Uang dari mana Wati?""Ya uang gaji mas sendiri."
Rendra terbangun. Hari sudah mulai siang. Dia ingat tadi malam membaca pesan dari Wati."Kenapa Wati belum pulang juga?" Gumam Rendra. "Sakit sekali kepalaku." Keluhnya. Rendra mengingat kejadian kemarin.Rendra mendapat pesan dari Anton sore itu, Anton menyuruhnya datang ke rumahnya sebelum kembali ke rumah. Pukul sembilan malam Rendra sampai di rumah Anton. Dua temannya yang lain sudah berada di sana. Edo dan Dimas. Di atas meja ruang tamu ada sepuluh botol bir, 4 buah bong dan lima paket shabu."Akhirnya datang juga yang ditunggu-tunggu." Ucap Anton."Siapa nih yang traktir?" Tanya Rendra."Dimas menang banyak, ayo buruan kita habiskan!" Jawab Edo. Anton menyalakan musik. Seisi ruangan hingar bingar suara musik."Rendra, kamu lama kan ngga pernah ikutan kita pesta?" Tanya Dimas.
Bang Rahman dan bu Lastri membawa Wati ke Rumah Sakit. Wati harus menerima perawatan akibat perlakuan Rendra. Wati sempat tak sadarkan diri. Adit tak henti-henti menangis melihat Wati. Ibu mencoba menenangkan Adit tapi percuma. Adit tidak mau jauh dari Wati. "Adit sayang, mamah baik-baik saja. Adit sudah ya jangan menangis!" Pinta ibu yang juga tak kuasa menahan tangis melihat keadaan anaknya. "Kenapa papah jahat nek?" Tanya Adit. Mendengar pertanyaan itu, ada rasa khawatir di hati bu Lastri. Takut Adit trauma. "Mamah salah apa nek?" "Papahmu mungkin sedang sakit. Mamah ngga salah apa-apa sayang." Jawab bang Rahman karena ibu tak sanggup bicara. "Man, ibu keluar sebentar ya. Ibu ngga kuat liat Wati. Jaga Wati dan Adit!" Ibu keluar ruangan, berusaha menata hatinya.
Enam bulan berlalu, Wati resmi bercerai dengan Rendra. Hak asuh Aditya jatuh ke tangan Wati. Wati mulai berusaha bangkit menata hatinya, menata hidupnya. Dia membuka usaha catering kecil-kecilan di rumah ibunya. Melayani acara-acara syukuran dan makan karyawan perusahaan yang tidak jauh dari rumah ibunya. Wati memang punya hobi memasak sejak dia di bangku SMA.Wati bersama Aditya mengantar pesanan dua ratus kotak untuk acara syukuran menggunakan mobil yang dia pinjam dari bang Rahman. Sepulangnya dia mampir ke mini market. Adit langsung berlari keluar mobil."Palan-pelan sayang!!!" Teriak Wati yang masih di dalam mobil mengambil tasnya yang berada di jok belakang."GUBRAK!!!" Adit terjatuh."Jalannya hati-hati... " Ucap seorang laki-laki ke Aditya sembari membantu Aditya berdiri."Makasih Om." Ucap Adit."Send
Tiga bulan berlalu setelah kepergian Rendra. Wati sekarang sudah resmi menjadi istri Jaka secara hukum negara. Jaka sudah mendaftarkan pernikahannya melalui sidang isbat nikah di pengadilan agama. Jaka memutuskan untuk berhenti bekerja di Berau dan fokus kembali ke usaha toko phone cellnya bersama ibunya. Di samping itu Jaka juga membuka jasa service electronic , dia mempekerjakan dua karyawan. Sementara Wati, memulai kembali usaha cateringnya. Jaka mengajak Wati dan anak-anak tinggal di rumah yang pernah didiami Jaka bersama Lintang. Lintang bekerja di sebuah cafe di mall sebagai waitress. Humaira dititip dengan bu Gita yang membuka kios kecil-kecilan di depan kontrakannya. Beliau mendapat modal usaha dari Wati. Wati ingin Humaira tumbuh seperti anak-anaknya yang lain. "Bunda..." Teriak Humaira berlari ke arah Wati yang sore ini datang bersama Habibi dan Ad
Lintang datang ke rumah bu Lastri untuk menjemput Humaira. "Lintang, Aku harap Kamu bisa jaga baik-baik perasaan Humaira! Dia masih terlalu kecil untuk mengetahui permasalahan orang tuanya." Pinta Wati. "Iya. Apa mas Jaka sudah kembali ke Berau?" "Dia masih di sini, di rumah ibunya. Dia masih larut dalam emosi. Dia masih belum bisa terima kenyataan." Jawab Wati sedih. "Tolong sampaikan ma'afku pada mas Jaka." "Tentu, nanti akan Aku sampaikan." "Aku juga minta ma'af Wati, karena sudah menyakitimu." Ucap Lintang sambil menunduk. Wati mendekati Lintang. Kemudian memeluknya. "Lintang, Aku sudah lama mema'afkanmu. Sedikit pun Aku tidak membencimu. Sekarang, mulai lah hidupmu dengan baik! Hargai dirimu baik-baik! Jaga Humaira baik-baik! Sebenarnya Aku sangat ingin dia bersamaku. Dia pelengkap di keluarga kecil kami." Ucap Wati sambil tersenyum.
Seorang laki-laki terkulai lemas di atas tempat tidur pasien Rumah Sakit. Keadaan tubuhnya hanya tulang yang berbalut kulit putih pucat. Bu Lastri masuk ke dalam ruangan tersebut. Seketika mata beliau basah melihat keadaan laki-laki di hadapan beliau. Laki-laki yang beliau kenal dengan sosok tampan berbadan tinggi dan tegap. Bu Lastri hampir tidak mengenali mantan suami dari anaknya. Beliau tak bisa berkata-kata, hanya diam di hadapan Rendra. "Wati dan Aditya mana Bu?" Tanya Rendra dengan suara yang parau. "Aditya ada di luar. Wati... " Bu Lastri menghentikan ucapannya. Air mata beliau menetes. "Ma'af, Wati tidak bisa datang Rendra." "Rendra mengerti Bu kalau Wati tidak bisa mema'afkan Rendra." Ucap Rendra kecewa. "Bukan Rendra. Wati sudah mema'afkanmu. Wati bahkan sangat ingin membesukmu. Tapi... " Bu Lastri menghela nafas. "Suaminya tidak mengizinkan." "Apa Wati hi
Wati datang ke rumah bu Ratna. Bu Ratna bilang suaminya tidak mau makan dan hanya mengurung diri di kamar. Wati masuk ke dalam kamar tanpa mengetok terlebih dahulu. Dilihatnya suaminya sedang melamun menatap ke luar jendela. "Assalamu'alaikum." Ucap Wati. Jaka hanya diam. Dia sedang asyik dengan lamunannya.Wati mendekat. "Assalamu'alaikum." Ucap Wati lagi, sambil meraih tangan suaminya kemudian menciumnya. "Wa'alaikumsalam." Jaka langsung memeluk Wati. "Kenapa Abang harus mengalami ini Wati?" "Bang, berhentilah larut dalam kesedihan! Berhenti dikuasai oleh amarah! Anak-anak perlu Abang." "Abang belum siap bertemu anak-anak dalam keadaan begini Wati. Abang tidak mau mereka melihat Abang sedang rapuh." "Sampai kapan Abang mau seperti ini? Sebentar lagi cuti Abang habis." "Sakit sekali rasanya. Memang Abang tidak punya perasaan cinta terhadap Lintang, tapi sejak d
Lintang dan bu Gita selesai mengemasi barangnya. Lintang mendekati Jaka untuk meminta ma'af dan berpamitan. "Jangan mendekat Lintang!!! Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!" Bentak Jaka yang masih berada dalam dekapan Wati. Wati memberi isyarat pada Lintang supaya menuruti kata-kata Jaka. Bu Gita mengurungkan niatnya ingin berpamitan dengan Jaka. Bu Gita dan Lintang mendekati bu Ratna. Mereka bersimpuh di hadapan bu Ratna sambil menangis. "Ma'af kan kami Bu." Ucap Lintang sambil menangis. "Berdirilah!!!" Ibu menyuruh mereka bangkit. "Saya sudah mema'afkan kalian." "Terima kasih atas segala kebaikan Bu Ratna." Ucap bu Gita. Bu Ratna memeluk bu Gita. "Sekarang Ibu mau tinggal di mana?" Tanya bu Ratna. "Sementara di tempat tantenya Lintang saja Bu. Adik Lintang kan Saya titip di sana." "Syukurlah kalau Ibu punya tujuan. Ma'afkan atas
Jaka mengantar Wati dan anak-anak ke rumah ibu Wati. Jaka juga menitip Humaira. Bu Lastri nampak bingung karena mereka tidak jadi berangkat. Jaka lagi-lagi tidak banyak bicara, membuat Wati cemas. "Ada apa Wati?" Tanya bu Lastri bingung. "Wati tidak tau Bu. Sepertinya tadi bang Jaka dapat pesan WA dari seseorang Bu. Tiba-tiba dia membatalkan penerbangan kami. Bahkan bang Jaka sampai membentak Wati." "Ibu jadi khawatir Wati." "Wati juga Bu." "Cepat kamu hubungi mertuamu! Kalau Jaka tidak kesana bisa dipastikan dia ketempat Lintang." "Apa mungkin Bu pesan itu dari orang yang sama yang mengirimi bu Ratna? Dari Dito. Wati jadi takut Bu." "Cepatlah!!! Biar bu Ratna bisa ambil tindakan." Wati menghubungi bu Ratna dan menceritakan semuanya. Bu Ratna sangat terkejut. Dia berusaha menutupi semuanya, tapi secepat ini akhirnya Jaka mengetahui semuanya. "Ibu akan minta temani Desi ke tempat Lintang. Sebaik
Bu Ratna menemui Lintang di rumah berlantai dua milik Jaka. Kali ini bu Ratna tidak datang sendiri, tapi ditemani Desi. Bu Ratna tidak ingin hal buruk terjadi lagi padanya. Lintang terkejut melihat kedatangan bu Ratna dengan keadaan segar bugar. Mata Lintang hampir melompat saat bu Ratna berdiri ketika Lintang menemuinya di ruang tamu. "Kenapa Lintang? Kamu terkejut?" Ucap bu Ratna. "Sudah syukur aku tidak membocorkan perselingkuhanmu dengan laki-laki itu. Lalu kenapa kamu mempersulit perceraianmu dengan Jaka? Apa yang kamu inginkan kali ini Lintang?" Tanya ibu penuh emosi. "Aku hanya ingin mas Jaka Bu. Aku sudah lama mengakhiri hubunganku dengan Dito." Jawab Lintang tak tau diri. "Kamu pikir aku percaya Lintang? Di otakmu itu hanya uang dan uang. Kamu mau rumah ini? Ambil!!! Ambil Lintang!!!" Ibu melempar sertifikat rumah ke arah Li
Jaka dan Lintang duduk di ruang Pengadilan Agama. Jaka sangat berharap Lintang tidak mempersulit proses perceraiannya. Ibu Ratna masih memilih menyembunyikan kesembuhannya dari semuanya. Hanya Desi yang mengetahui. Bagi bu Ratna, Jaka bisa lepas dari Lintang itu sudah cukup. Karena bu Ratna memikirkan perasaan bu Gita dan Himaira kalau sampai Jaka memenjarakan Lintang. Hari ini sidang pertama, adalah sidang mediasi. Di ruang sidang Lintang bersikeras tidak ingin bercerai. "Saya tau suami Saya sudah menikah lagi tanpa seizin Saya. Dia lebih mencintai istri keduanya Pak. Makanya dia ingin menceraikan Saya. Bahkan dia tega memukul Saya." Ucap Lintang sambil berderai air mata untuk mendapatkan simpati dari Hakim. "Apa benar itu Pak Jaka?" Tanya Hakim. "Iya itu benar Pak. Saya memukulnya karena refleks Pak. Dia selalu menghina istri muda
Jaka tiba di Rumah Sakit. Dilihatnya Wati masih terbaring lemas. Wajahnya lebam. Jaka mengecup Wajah istrinya. "Apa Lintang yang melakukannya?" Tanya Jaka. "Sudah lah Mas, yang penting aku baik-baik saja." "Bagaimana mungkin kamu bisa bilang baik-baik saja? Kamu tau betapa paniknya Abang mendengar kamu pingsan?" Jaka menggenggam erat tangan Wati. "Abang jangan marahi Lintang ya! Anggap saja tidak terjadi apa-apa." "Abang tidak janji Wati. Bagaimana mungkin Abang diam saja wanita yang Abang cintai disakiti." "Sebaiknya Abang cepat pulang ke rumah ibu Abang, lihat keadaan ibu." "Ibu kenapa? Desi tidak bicara apa-apa tentang ibu." Jaka terkejut. "Wati tidak tau karena Wati pingsan. Tapi Wati