“Apa aborsi saja?” bisik Dhara pada dirinya sendiri.Dhara mencengkeram rambutnya frustasi dan panik. Hidupnya sudah sulit, dia adalah generasi sandwich di keluarganya. Dia hamil dari pria yang tak dikenalnya. Jika dia melahirkan anak ini tanpa menikah, anak ini hanya akan menderita dan membuat hidupnya yang sulit tambah sulit.Aborsi adalah pilihan yang tepat.Air matanya mengalir di pipinya saat dia mengelus perutnya.“Maaf Nak, semua ini salahku. Kamu nggak bisa lahir dengan keadaan ibumu seperti ini.”Dhara menutup wajahnya dan menangis. Dia sangat takut dan menyesal. Selama seharian itu Dhara menangis di kamar rawat.....Setelah seharian menangis, Dhara mulai tenang dan meninggalkan rumah sakit.Rio meneleponnya untuk menanyakan keadaannya lalu menyuruhnya istirahat dan mengambil cuti besok. Kata pria itu Baskara menyuruhnya cuti seminggu. Rio tidak menyinggung sesuatu tentang kehamilannya yang membuat Dhara bersyukur.Tapi dia tidak ingin mengambil cuti. Tidak mudah mendapat
“Akh!” Miranda tersentak kaget dan menoleh dengan cepat.“Mbak Dhara kok pulang cepat.” Dia tersenyum dan menutup laptop Dhara dengan cepat.Dhara mengerut kening, tidak senang Miranda mengacak-acak barangnya. “Apa apakan laptopku itu?”“Aku pinjam laptop Mbak. Ada tugas yang aku urus,” Miranda cengengesan.“Kamu punya laptop sendiri, kenapa pake punyaku.”“Punyaku rusak. Aku pinjam laptop Mbak, nggak lama kok.”“Terus kenapa kamu acak-acak lemari buku dan berkas-berkas kerjaku!” Dhara masih tidak senang.Miranda orang yang sangat berantakan. Dia malas merapikan barang-barang yang sudah diacak-acak.“Nanti aku rapikan kok.”“Alah, nggak pernah kamu ngerapiin. Kapan kamu pindah tempat? Kamu bahkan nggak bayar biaya kontrakan.” Dhara sudah jengkel tinggal bareng adik tirinya.Miranda hanya tinggal dan tidur secara gratis, tapi tidak pernah sedikitpun membantunya bersih-bersih atau merapikan tempat tinggal mereka. Dia hanya tahu membuat tempat tinggalnya berantakan.Miranda cemberut.“Ce
Dhara menegang.“Nggak kok, memangnya kenapa?”“Soalnya aneh saja Pak Baskara ngantarin kamu ke rumah sakit. Kamu nggak lihat muka Pak Baskara cemas dan panik pas kamu pingsan.”“Iyakah? Mungkin Pak Baskara perhatian dan peduli sama bawahannnya.”Rio menatapnya dengan ekspresi tidak percaya. “Tapi Pak Baskara orang yang super sibuk. Dia menggendong kamu dan nganter kamu langsung ke rumah sakit. Pak Baskara bahkan ninggalin pekerjaannya.” Setelah mengatakan itu, Rio menatap Dhara hati-hati.Rio seorang pria dan juga menyukai Dhara. Dia merasa perlakuan Baskara pada Dhara kemarin lebih dari sekedar kepedulian bos sama karyawannya.Dhara tertegun mendengar itu. “Pak Baskara langsung nganterin saya dan menggendongku?”Apa Baskara menggendongannya di depan karyawan seperti itu? Dhara tidak bisa membayangkan Baskara menggendongnya dari kantornya sampai ke lantai bawah perusahaan. Semua karyawan pasti menyaksikan itu.Wajah Dhara memerah lalu berubah pucat. “Pak Baskara nggak gendong saya di
“Jangan khawatir, nggak papa kalo kamu masuk kerja.” Sikap Hadi lebih ramah daripada kemarin. Dia menatap Dhara dengan tatapan sedikit aneh di matanya.“Apa kamu sudah baikkan Mbak Dhara? Maaf sudah memberimu banyak tekanan kemarin.”“Enggak kok Pak, ini memang kesalahan saya. Saya juga sudah baikkan sekarang,” balas Dhara cepat.“Baguslah, kita akan rapat pagi ini jam 10.”Dhara mengangguk. “Baik Pak.”Hadi menuju ke meja kerjanya sementara Dhara menghela napas lega.Rio menepuk pundanya lembut. “Semangat Dhara.”Dhara tersenyum sambil mengangguk duduk kembali ke kursinya. Dia melirik sejenak ke arah kantor Baskara.Kaca jendela besar kantor Baskara tranparan hingga dia bisa melihat keseluruhan kegiatan bosnya. Wajah Baskara sangat dingin dan muramm saat melepas jas kerja sebelum duduk di kursi kebesarannya. Raut wajahnya mengingatkan Dhara saat Baskara pergi dari kamar rawatnya dengan marah kemarin.Dhara mencoba mengingat kata-kata apa yang dia ucapkan kemarin hingga membuat sang
Dhara buru-buru menyahut. “Ya Pak?”“Kenapa kamu masih di situ. Cepat persiapkan presentasi sekarang, semua orang sudah menunggu.”“Ba-baik Pak.” Dhara lalu menatap Gadingg sopan. “Saya permisi dulu Pak Gading,” lanjutnya lalu dengan cepat meninggalkan Gading dan menuju ke podium.Gading mendengus dan duduk di salah satu kursi direktur di ujung meja di sisi kiri kursi utama yang di duduki Baskara. Gading menyilangkan tangannya di depan dada angkuh sambil menyeringai memandang Dhara yang tengah mempersiapkan presentasi di podium.Dia merasa tatapan Baskara dan menoleh. Gading mengangkat alis melihat tatapan tajam Baskara padanya.“Kenapa Baskara?” “Apa yang kamu bicarakan dengan asistenku?” Baskara bertanya tanpa basa-basi.“Kamu hanya mengobrol santai. Mbak Dhara dulu juga mantan karyawan hotelku. Aku nggak nyangka kamu merekrutnya jadi asistenmu. Aku kaget banget waktu dengar Mbak Dhara jadi asistenmu.”Baskara mengangkat alis. “Kamu pernah bertemu dengan Dhara?”“Ya, kami pernah
“Hanya sekretaris dan asistenmu yang tahu tentang rancangan proyek teknologimu,” lanjutnya kemudian. Raut wajah Hadi dan Rio langsung berubah. Mereka memprotes. “Itu nggak mungkin! Nggak mungkin kami membocorkan informasi proyek teknologi ini pada pihak luar!” Jantung Dhara berdegup kencang. Selain Hadi dan Rio, dia juga tahu tentang teknologi yang dirancang Baskara dan bahkan dia pula yang menyusun presentasinya. Dia juga tidak mungkin membocorkan proyek teknologi ini pada orang lain. “Lalu bagaimana dengan mbak Dhara? Apa kamu yang membocorkan proyek teknologi ini pada orang lain?” Gading yang sedari tadi diam, tiba-tiba berbicara mengalihkan perhatian semua orang pada Dhara yang masih berdiri di podium. Mata Dhara melebar menatap Gading. Pria itu menyeringai menatap ke arahnya. Dhara mengerti sekarang. Dia tidak mungkin membocorkan proyek teknologi ini, tapi dia menyimpan proposal ini di kamar kontrakannya. Satu-satunya orang yang tinggal bersamanya adalah Miranda. Dan Miranda
Setelah mengawasi Dhara mengemas tasnya tanpa menyentuh komputer kantor dan pergi dengan ekspresi sedih, Hadi masuk ke kantor Baskara.“Apa Dhara sudah pergi?” tanya Baskara tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop di depannya.“Ya, dia sudah pergi tanpa menyentuh komputer kantor.” balas Hadi.Baskara tidak membalas, fokusnya masih tertuju ke laptopnya sementara jari-jarinya terus mengetik sesuatu di keyboard. Raut wajahnya sangat dingin, sesekali dia menggertak gigi.Hadi bisa memahami kemarahan bosnya. Siapa yang tidak marah saat proyek yang dirancang dengan sesusah payah dicuri dan dibocorkan ke perusahaan lain oleh bawahannya sendiri.Melihat Baskara tidak menanggapi, Hadi melanjutkan kalimatnya. “Apa Anda akan melakukan penyelidikan pada Mbak Dhara? Dewan direksi mendesak agar kita segera menyelesaikan masalah ini sebelum PT Nexus Teknologi menuduh kita plagiat. Karena kita yang membuat duluan teknologi ini, mereka pasti tidak akan diam dan menuduh kita plagiat.”Raut wajah Bas
Miranda kabur setelah mencuri data dari laptop Dhara dan membocorkannya ke perusahaan luar.Dhara berjalan mondar-mandir sambil menelepon keluarganya panik. Dia tidak bisa menghubungi Miranda karena dia tidak mengangkat panggilannya.“Pa, apa kamu tahu di mana Miranda?” ujar Dhara kalut.“ Miranda baru saja pulang.” Bukan Joni menjawab melainkan Mayang. Ibu tirinya mengomeli Dhara. “Miranda bilang kamu nggak suka dia tinggal sama kamu dan nggak bantu cari kerja, makanya dia pulang. Kok kamu gitu sih sama adikmu. Padahal niat Miranda itu mau bantu ekonomi keluarga.”Dhara memegang dahinya, mencoba bersabar. “Ma, apa kamu tahu dia mencuri data penting di laptopku. Sekarang aku dapat masalah serius karena dia membocorkan data proyek bosku ke perusahaan luar.”“Jangan ngomong sembarangan! Miranda nggak curi apa-apa! Apa kamu punya bukti kalo Miranda yang curi data proyek itu?”Dhara menggigit bibir bawah kesal. Dia tidak punya bukti, tapi dia ingat Miranda menyentuh laptopnya kemarin.“Ak