Dhara buru-buru menyahut. “Ya Pak?”“Kenapa kamu masih di situ. Cepat persiapkan presentasi sekarang, semua orang sudah menunggu.”“Ba-baik Pak.” Dhara lalu menatap Gadingg sopan. “Saya permisi dulu Pak Gading,” lanjutnya lalu dengan cepat meninggalkan Gading dan menuju ke podium.Gading mendengus dan duduk di salah satu kursi direktur di ujung meja di sisi kiri kursi utama yang di duduki Baskara. Gading menyilangkan tangannya di depan dada angkuh sambil menyeringai memandang Dhara yang tengah mempersiapkan presentasi di podium.Dia merasa tatapan Baskara dan menoleh. Gading mengangkat alis melihat tatapan tajam Baskara padanya.“Kenapa Baskara?” “Apa yang kamu bicarakan dengan asistenku?” Baskara bertanya tanpa basa-basi.“Kamu hanya mengobrol santai. Mbak Dhara dulu juga mantan karyawan hotelku. Aku nggak nyangka kamu merekrutnya jadi asistenmu. Aku kaget banget waktu dengar Mbak Dhara jadi asistenmu.”Baskara mengangkat alis. “Kamu pernah bertemu dengan Dhara?”“Ya, kami pernah
“Hanya sekretaris dan asistenmu yang tahu tentang rancangan proyek teknologimu,” lanjutnya kemudian. Raut wajah Hadi dan Rio langsung berubah. Mereka memprotes. “Itu nggak mungkin! Nggak mungkin kami membocorkan informasi proyek teknologi ini pada pihak luar!” Jantung Dhara berdegup kencang. Selain Hadi dan Rio, dia juga tahu tentang teknologi yang dirancang Baskara dan bahkan dia pula yang menyusun presentasinya. Dia juga tidak mungkin membocorkan proyek teknologi ini pada orang lain. “Lalu bagaimana dengan mbak Dhara? Apa kamu yang membocorkan proyek teknologi ini pada orang lain?” Gading yang sedari tadi diam, tiba-tiba berbicara mengalihkan perhatian semua orang pada Dhara yang masih berdiri di podium. Mata Dhara melebar menatap Gading. Pria itu menyeringai menatap ke arahnya. Dhara mengerti sekarang. Dia tidak mungkin membocorkan proyek teknologi ini, tapi dia menyimpan proposal ini di kamar kontrakannya. Satu-satunya orang yang tinggal bersamanya adalah Miranda. Dan Miranda
Setelah mengawasi Dhara mengemas tasnya tanpa menyentuh komputer kantor dan pergi dengan ekspresi sedih, Hadi masuk ke kantor Baskara.“Apa Dhara sudah pergi?” tanya Baskara tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop di depannya.“Ya, dia sudah pergi tanpa menyentuh komputer kantor.” balas Hadi.Baskara tidak membalas, fokusnya masih tertuju ke laptopnya sementara jari-jarinya terus mengetik sesuatu di keyboard. Raut wajahnya sangat dingin, sesekali dia menggertak gigi.Hadi bisa memahami kemarahan bosnya. Siapa yang tidak marah saat proyek yang dirancang dengan sesusah payah dicuri dan dibocorkan ke perusahaan lain oleh bawahannya sendiri.Melihat Baskara tidak menanggapi, Hadi melanjutkan kalimatnya. “Apa Anda akan melakukan penyelidikan pada Mbak Dhara? Dewan direksi mendesak agar kita segera menyelesaikan masalah ini sebelum PT Nexus Teknologi menuduh kita plagiat. Karena kita yang membuat duluan teknologi ini, mereka pasti tidak akan diam dan menuduh kita plagiat.”Raut wajah Bas
Miranda kabur setelah mencuri data dari laptop Dhara dan membocorkannya ke perusahaan luar.Dhara berjalan mondar-mandir sambil menelepon keluarganya panik. Dia tidak bisa menghubungi Miranda karena dia tidak mengangkat panggilannya.“Pa, apa kamu tahu di mana Miranda?” ujar Dhara kalut.“ Miranda baru saja pulang.” Bukan Joni menjawab melainkan Mayang. Ibu tirinya mengomeli Dhara. “Miranda bilang kamu nggak suka dia tinggal sama kamu dan nggak bantu cari kerja, makanya dia pulang. Kok kamu gitu sih sama adikmu. Padahal niat Miranda itu mau bantu ekonomi keluarga.”Dhara memegang dahinya, mencoba bersabar. “Ma, apa kamu tahu dia mencuri data penting di laptopku. Sekarang aku dapat masalah serius karena dia membocorkan data proyek bosku ke perusahaan luar.”“Jangan ngomong sembarangan! Miranda nggak curi apa-apa! Apa kamu punya bukti kalo Miranda yang curi data proyek itu?”Dhara menggigit bibir bawah kesal. Dia tidak punya bukti, tapi dia ingat Miranda menyentuh laptopnya kemarin.“Ak
Ketika Dhara membuka mata, dia melihat langit-langit kamar putih dan bau antiseptik yang membuatnya mual.Sepertinya dia kembali lagi ke rumah sakit, batin Dhara mengusap kepalanya. Baru kemarin dia keluar dari rumah sakit dan sekarang dia masuk rumah sakit lagi.“Ugh ....” Dhara mengerang sambil menjilat bibir bawahnya yang terasa kering.“Kamu sudah bangun?”Dhara menoleh mendengar suara familiar di sampingnya. Matanya sedikit menyipit bingung melihat Baskara duduk di kursi sebelah ranjang sambil menyilangkan tangannya di depan dada.“P-Pak Baskara ... mengapa ada di sini?” Suara Dhara terdengar serak dan lirih. Dia mencoba bangun dan bersandar sambil menatap ke sekeliling.Wajah Baskara muram. “Jika aku nggak datang, kamu pasti sudah mati di kamar kosmu dengan bayimu. Dhara, apa kamu gila? Mengapa kamu nggak bisa mengurus diri! Kamu nggak ingat kalo kamu itu sedang hamil!!”Dhara pusing dan kesal mendengar omelan Baskara. Dia baru saja bangun, merasa haus dan bingung. Omelan Baskar
“Dhara tenanglah ... tubuhmu masih sakit. Jangan menangis, aku akan bertanggung jawab ....” Baskara sedikit panik dan kebingungan untuk menenangkan Dhara yang menangis.Dhara justru semakin menangis mendengar kata-kata Baskara. Bukan itu kata-kata yang ingin dia dengar.Hati Baskara sakit melihatnya menangis. Dia memeluk Dhara untuk menenangkannya.“Lepasin ....” bisik Dhara terisak meronta dalam pelukannya dan terus mendorong Baskara menjauh. Tangisannya terdengar keras di ruang kamar rawat itu.Baskara mengeratkan pelukannya di tubuh wanita itu.“Tolong jangan menangis, aku akan berikan apa pun yang kamu mau. Aku minta maaf sudah membuatmu seperti ini. Jangan menangis, aku akan bertanggung jawab, aku bersungguh-sungguh ....”Dhara merai lengan Baskara dan menggigitnya dengan keras.Baskara mengerut kening kesakitan tapi tidak menarik tangannya. Dia membiarkan Dhara menggigit lengannya jika itu membuatnya tenang. Bagaimana pun dia yang bersalah di sini.Melihat Baskara tidak menarik
“Lupakan saja, aku capek, tolong tinggalkan aku ....” Dhara ingin berbaring, dia merasa sakit di pergelangan tangannya yang di pasang infus. Rupanya infusnya berdarah karena pergerakannya yang meronta-ronta. “Apa kamu nggak lapar? Aku sudah membelikan bubur dan buah-buahan.” “Aku akan makan nanti.” “Kamu harus makan sekarang, kamu sudah kelaparan seharian. Ingat anak di perutmu,” Baskara mengambil kotak makan berisi bubur untuk menyuapi Dhara. Suasana hati Dhara cukup buruk karena pertengkaran mereka. Mendengar ucapan Baskara membuatnya merasa sangat ironis. Dulu saat mereka masih pacaran, Baskara sangat perhatian dan mencintainya. Dhara telah menunggunya dua tahun dalam hubungan jarak jauh saat Baskara menempuh pendidikan di luar negeri. Tapi ketika Baskara pulang, dia mencampakkan Dhara di saat terpuruknya karena masalah pernikahan kedua ayahnya. Mengingat tahun itu membuat luka di hati Dhara kembali terbuka. “Jika aku nggak hamil, apa kamu akan peduli padaku?” cemoohnya lirih
“Aku nggak pergi, aku akan menjagamu sampai sembuh.”“Tapi bagaimana dengan istrimu? Emangnya istrimu nggak cari kamu kalau kamu nggak pulang?” Dhara berkata acuh tak acuh.Baskara diam.“Tolong pergilah, aku nggak mau ada yang liat nanti kamu bersamaku dan menuduhku pelakor.”Baskara menghela napas mengusap keningnya. “Dhara, hari ini bisa nggak kita nggak bertengkar. Kamu masih sakit.”“Aku nggak bertengkar kok. Aku cuma ngingetin kamu cepat pulang biar nggak dicariin istrimu,” balas Dhara.Baskara menggosok keningnya dan berdiri. “Kamu belum makan seharian. Aku memesan bubur di restoran depan rumah sakit Setengah jam lalu dan diisi di termos. Seharusnya masih hangat.” Dia mengambil termos berisi bubur dan menuangkannya di mangkuk putih.Bubur itu mengeluar aroma bubur ayam yang sangat familiar. Dhara merasa perutnya berbunyi kelaparan begitu mencium aroma bubur ayam.Baskara menyendok bubur ayam itu ke bibir Dhara.Dhara mengerut kening melihat tindakan Baskara yang langsung menyua