“Kamu sungguh-sungguh ingin berumah tangga dengan perempuan seperti itu, Praba?” Pertanyaan dari Cindy itu membuat Praba terusik kesal. “Seumur hidup itu lama. Sekarang kamu belum tahu saja bagaimana keburukan dia. Nanti lama-lama dia akan menunjukkan bagaimana dirinya yang sesungguhnya. Bisa saja dia akan mengeruk semua hartamu.”“Karena sebuah kebencian, Mama jadi nggak objektif.” Praba menggeleng miris. “Kalaupun dia hanya mau hartaku, aku bisa menyerahkan semuanya. Toh dia juga melahirkan anak-anakku. Lalu di mana letak kesalahannya?”Praba menarik napasnya panjang sebelum melanjutkan. “Urusan istri dan anak-anakku Mama nggak perlu ikut campur. Toh Mama memang nggak suka sama mereka. Mama juga nggak ngakuin cucu Askara dan pasti akan berlaku untuk adiknya. Mama fokus pada kehidupan Mama dan Papa dan urusan pribadiku menjadi urusanku. Apa pun yang akan terjadi nanti, aku tidak akan melibatkan kalian.”Praba bukan lagi lelaki muda yang bisa dikendalikan orang tuanya. Sekarang dia bi
Praba mengizinkan Budi untuk pergi setelah semua makanan yang dibawanya sudah tandas. Kotak makan itu pun dibawa pulang oleh Budi tanpa ada sisa makanan sedikitpun. Baik itu Cindy atau bahkan Dimas, mereka makan masakan Sinar dan menikmatinya.Praba keluar dari ruang rawat inap Dimas hanya untuk melepas penat. Berada seharian di kamar ayahnya membuat tubuhnya terasa kaku-kaku luar biasa.“Aku dengar dari Mama, kamu menyembunyikan istrimu begitu ketat sampai mereka pun sekarang nggak tahu kamu tinggal di mana.” Talita menyusul Praba yang tengah berdiri di ruang terbuka agar bisa menyesap batangan nikotin yang dibawanya.Suara Talita tidak membuat Praba terkejut. Dia tampak santai sebelum duduk di kursi yang terbuat dari beton.“Jangan membahas itu.” Praba sudah enggan membahas hal itu lagi dan lagi.“Kalau begitu, mari kita bahas Askara,” putus Talita. “Sebentar lagi kamu akan memiliki anak dengan Sinar, aku minta berikan Askara kepadaku.”“Aku nggak akan memberikan apa pun kepadamu te
Bagaimana rasanya memiliki dua anak yang jarak umurnya hanya 16 bulan? Pasti merepotkan. Dan itulah yang dirasakan oleh Sinar sekarang. Namun, dia tidak bisa mendeskripsikan betapa bahagianya dia. Askara yang sedang sibuk-sibuknya berjalan itu tidak mau berhenti sebelum dia benar-benar lelah.Di sisi lain, Sinar harus mengurus Bhumi yang masih bayi. Tentu saja, lelah tidak bisa dideskripsikan. Hanya saja, ada baby sitter yang dipekerjakan untuk membantu Sinar. Hanya membantu, jadi tidak semua hal diserahkan kepada susternya.“Sayang, kamu beneran nggak papa aku tinggal?” Namun, ketahuilah bahwa Sinar merasa beruntung memiliki Praba sebagai suaminya. Lelaki itu sangat peduli kepadanya.“Mas kerja aja. Aku nggak papa.” Sinar kembali meyakinkan Praba. “Aku udah ada Suster, udah ada Bibi. Jadi, tenang saja. Mereka akan memgantuku selagi Mas di kantor.”Praba tersenyum menatap Bhumi yang tidur terlelap di pelukan ibunya. Setelah dia nanti bisa berjalan seperti Askara, rumahnya pasti akan s
“Jadi begini cara mainmu, Sinar?” Cindy menatap Sinar yang duduk dengan tenang tanpa mengatakan satu kata pun. Hubungan yang tidak akur sejak dulu membuat Sinar enggan berbasa-basi dengan ibu mertuanya meskipun kini mereka hanya duduk berdua.Dimas tengah mencoba merebut hati Askara yang sejak tadi terus saja menolaknya dengan kata ‘No’ nya. Seorang anak kecil itu paham jika dulu dia ditolak.“Kamu diam-diam meminta Praba untuk membelikanmu rumah semewah ini. Sudah berapa banyak harta yang sudah kamu kumpulkan dari putra saya.”Sinar pikir, kedatangan kedua mertuanya ke rumahnya adalah untuk berdamai dengan Praba ternyata dugaannya salah. Cindy tetaplah perempuan dengan kebencian yang kuat akan dirinya.“Setidaknya baru dua dan akan bertambah seiring berjalannya waktu.” Sinar akhirnya menjawab.“Dua? Apa maksud kamu dengan dua? 2 milyar, 2 triliun, atau dua apa?” Cindy sudah tidak bisa menahan dirinya ketika melotot marah.“Dua anak,” jawab Sinar dengan santai. “Askara dan Bhumi. Itu
“Bu, ada tamu di bawah.” Bibi memberitahukan kepada Sinar yang tengah menimang Bhumi.Selama dia tinggal di rumah baru tersebut bersama dengan Praba, kedatangan tamu menjadikan hal yang tabu karena penjagaan begitu ketat. Namun, dia pada akhirnya memikirkan orang-orang yang mungkin datang mengunjungi dirinya. Gina atau kedua mertuanya.“Bapak yang kemarin datang, Bu. Papanya Pak Praba.” Bibi menjelaskan setelah itu.“Tolong siapkan minuman dan kudapannya, ya, Bi. Sebentar lagi saya turun.”“Baik, Bu.” ART yang bekerja di rumah Sinar bukan hanya satu atau dua orang. Namun, hanya satu Bibi yang memanggil Sinar Mbak, yaitu Bibi yang ikut dengannya sejak dia ‘diasingkan’ waktu itu.Sinar menitipkan Bhumi kepada Suster dan dia turun ke bawah setelah itu. Askara tengah tertidur lelap karena lelah bermain.Dia melihat Dimas duduk di ruang keluarga saat baru saja turun ke lantai satu. Dengan sopan, dia menyalami Dimas. Duduk di depan Dimas, di meja sudah ada minuman untuk Dimas dan juga kudap
“Sayang, aku masih nggak nyangka kalau Papa datang untuk minta maaf sama kamu.” Praba sampai di dalam kamar masih saya membahas tentang hal tersebut padahal Sinar pun sudah menjelaskan tadi. “Kok bisa dia bisa secepat itu luluh?”“Ya, karena Pak Dimas sudah menyadari kalau nggak ada untungnya juga terus debat sama Mas yang udah bahagia. Eh … tapi, Mas bahagia kan sekarang?”“Bahagia dong.” Langsung dia memberi jawaban. “Bahagia banget. Punya istri cantik, punya anak-anak yang luar biasa tampan. Orang-orang yang ada di posisiku, pasti juga akan merasa bahagia.”Sinar tersenyum mendengar ucapan Praba. Lelaki itu sama sekali tidak menutupi perasaan hatinya. Tidak segan atau gengsi mengatakan cinta kepada istrinya.“Ya, cuma nggak nyangka aja kalau Papa datang dan mencoba untuk meminta maaf. Dia itu kan gengsinya gede.”“Berarti udah berubah. Kita sebagai yang muda hanya perlu memaafkan. Apalagi mereka orang tua Mas.”“Tapi, Mama sepertinya belum mau damai.”“Ya, sudah. Tidak perlu dipaks
Udara dingin puncak membuat Sinar harus tetap berada di dalam rumah meskipun pintu belakang villa terbuka. Dia harus memastikan jika Bhumi tidak terkena angin malam yang akan berdampak buruk bagi kesehatan bayi tersebut. Membaringkan di ayunan dengan jaket tebal dan ditambah selimut membuat bayi itu tampak begitu nyaman.“Ma … mam.” Askara diikuti Praba dari belakang membawa piring plastik dengan tusukan sayur yang sudah di grill. Aromanya begitu menggoda dan tampak nikmat.Gina yang membuat bumbu bakar dan sekarang gadis itu juga sudah sibuk di depan panggangan. Bersama para Bibi, dia benar-benar mengeluarkan kemahirannya memasak.“Terima kasih, Sayang.” Askara tertawa saat Sinar menerima piring tersebut. Sinar mendongak menatap sang suami. “Itu di piring penuh banget pasti buat aku ‘kan?”“Kita makan sama-sama, ya. Gina sepertinya semangat sekali bakar-bakar.” Praba duduk di samping Sinar dan meletakkan persatean dan juga perdagingan itu dia tas meja.Askara ikut naik ke pangkuan Si
Sinar bangun tengah malam karena waktunya mengASIhi Bhumi. Setelahnya, dia turun ke lantai satu untuk mengambil minum karena kehausan. Ruangan bawah temaran, Sinar membuka tirai dan melihat keadaan di halaman belakang dan di sana hanya ada supir yang tampaknya tengah begadang.Berbalik, melanjutkan langkahnya untuk pergi ke dapur. Mengambil minum untuk dirinya sendiri.“Sinar?” Sinar menoleh dan mendapati Gina ada di sana. “Ngapain?”“Minum.” Sinar duduk di kursi makan dan diikuti oleh Gina. “Gimana tadi? Senang kan dengan acaranya?”“Seneng banget. Thank’s ya. Gue beneran bahagia.” Gina mengambil sebotol air mineral lalu menenggaknya.“Sama-sama. Mas Praba pasti juga senang karena bisa membuat kalian bahagia.”Obrolan itu berlanjut, tetapi tak lama setelah itu Gina pamit karena rasa kantuk sudah menyerang. Sinar mengangguk dan menatap Gina dari belakang sampai masuk di dalam kamar. Namun, alih-alih kembali ke kamarnya, dia memilih untuk menikmati keheningan yang terasa mencekam.Mera
Halaman belakang rumah besar Praba dipenuhi keceriaan yang luar biasa. Askara, Bhumi, dan Cherry berdiri di depan panggangan barbeque sambil sesekali saling menyenggol. Namun, kali ini tidak ada yang mencoba untuk melerainya.Para pekerja juga membantu mereka memanggang banyak makanan. Aroma makanan menguar tiada henti. Begitu nikmat luar biasa. Cherry pergi lebih dulu, lalu duduk dan bergabung dengan kedua orang tuanya.“Makan dulu, Bos.” Begitu katanya kepada sang ayah juga ibunya. “Ayo, Bunda makan dulu. Mengobrol juga butuh tenaga.”Ya, tidak ada yang salah dengan panggilan Cherry karena di sana memang ada Talita. Setelah obrolan Talita dan Sinar saat itu, hubungan dua perempuan itu lambat laun membaik. Mereka menekan ego mereka demi Askara.Begitu juga dengan Praba dan anak-anak mereka. Bhumi dan Cherry bahkan ikut-ikutan memanggil Talita dengan bunda. Jika dalam kondisi yang lalu, Talita pasti akan merasa keberatan, tetapi sekarang tentu berbeda. Dia bahkan merasa memiliki tiga
“Sebagai seorang ibu, kita adalah dua orang yang sama-sama menyayangi dan mencintai Askara. Dia memintaku untuk mempertimbangkan agar kita bisa berdamai.”Talita secara pribadi datang ke rumah Sinar dan membicarakan masalah tersebut setelah dia berpikir secara terus menerus. Dia menarik garis ke belakang dan memikirkan tentang masa lalu yang sudah terjadi. Jika dia menyalahkan Sinar sepenuhnya dan menganggap perempuan itu salah, maka itu tidak benar.Sinar dulu juga seorang korban. Dia juga perempuan yang sudah memberikan cintanya dengan penuh kepada Askara. Tidak sekalipun dia merasa terganggu dengan kehadiran putranya tersebut.“Selama ini saya tidak pernah ingin berseteru dengan Ibu secara terus menerus. Hanya saja, Ibu masih menganggap saya adalah orang yang harus Ibu musuhi.” Itu adalah jawaban yang diberikan oleh Sinar. “Melihat bagaimana hubungan kita selama ini, saya yakin itu menjadikan tekanan sendiri bagi Askara. Itulah kenapa dia ingin melihat kita berdamai.”Sinar menging
“Abang nggak jadi ke luar negeri, Ma.”Sinar yang sedang membuatkan sandwich untuk Askara itu segera mendongak menatap putranya yang tengah duduk di stole bar. Anggota keluarganya yang lain sedang sibuk sendiri-sendiri dan hanya ada Sinar dan Askara saja di sana.“Abang bicara banyak dengan Bunda. Bunda pun mengerti tentang keinginan Abang. Kalaupun toh nanti misalnya Abang ingin sekolah di sana, itu atas dasar keinginan Abang sendiri. Tapi, sampai sekarang, Abang belum ingin. Abang masih lebih suka di negeri sendiri.”Sinar meletakkan sandwich-nya ke atas piring lalu meletakkan di depan Askara. “Mama senang mendengar itu.” Perempuan itu duduk di samping putranya dan menemani makan.“Abang berharap, Mama dan Bunda bisa berbaikan.”Kalimat itu membuat Sinar segera menoleh ke arah putranya. Tatapan remaja itu penuh pengharapan. Dia tampaknya ingin melihat kedua orang yang disayanginya tidak lagi berselisih paham. Askara tentulah tahu jika sebenarnya yang selalu membuat masalah antara ke
Untuk pertama kalinya, Askara menghadiri acara keluarga Talita. Dia berusaha berbaur dengan keluarganya yang menerima Askara dengan sangat baik. Nenek dan kakeknya begitu bahagia melihat cucunya akhirnya datang dan berumpul dengan keluarga.“Nenek senang kamu ada di sini.” Askara menoleh dan mendapati seorang perempuan tua yang tampak masih begitu sehat. Tentu jika bersama dengan nenek dan kakeknya bukan pertama kalinya mereka bertemu, hanya saja dia selalu menolak untuk hadir ketika acara-acara seperti ini dilakukan.“Nenek sudah makan?” tanya Askara mencoba untuk perhatian. “Aku lihat, sejak tadi hanya mondar-mandir ke sana-kemari. Nenek harus menjaga kesehatan.”Perempuan tua itu tersenyum lembut. Menarik tangan Askara, lalu menggenggamnya. “Nenek senang kalau cucu-cucu Nenek berkumpul seperti ini, hati Nenek terasa bahagia sekali.”Askara menatap langit yang mucul sekumpulan bintang-bintang. Indah sekali. Sayangnya ini bukan bulan purnama. Jika bulan purnama, sekarang ibunya pasti
Kedua tangan Askara maupun Talita penuh dengan barang belanjaan. Talita benar-benar membeli banyak barang untuk dirinya sendiri dan juga Askara. Setelah keluarga bersama dengan Talita, melepaskan segala beban yang selama ini dirasakan, Askara sedikit luluh dengan sikap ibunya.“Terima kasih. Abang sudah bersedia berjalan-jalan dengan Bunda.”Mereka sudah sampai di rumah dan sama-sama melepas lelah dengan duduk di sofa. Askara segera membaringkan tubuhnya di sofa dan memeluk bantal sofa. Memainkan ponselnya sebentar sebelum meletakkannya kembali.“Kalau ngantuk, naik gih, tidur di kamar.” Talita menepuk kaki Askara, lalu mengelus pelan kaki tersebut.“Aku di sini aja. Jendelanya biarin kebuka aja, Bun. Nggak usah pakai AC.” Askara menutup matanya setelah itu. Dia sepertinya benar-benar lelah luar biasa.Talita membuka jendela-jendela lebar itu agar angin bisa masuk. Membuat Askara menjadi nyaman luar biasa. Lelaki itu segera saja terlelap dalam tidurnya. Jika Askara sudah memutuskan un
“Cerita Tante ternyata cukup rumit.” Tanggapan Bastian setelah itu. Menatap Askara setelah itu. “Bagaimana tanggapan lo tentang itu, Askara?”Askara menanggapi santai. “Gue udah pernah cerita itu dari Papa. Nggak beda jauh. Hanya beda sudut pandang.”“Papamu menceritakannya?” Talita mengernyit, lalu dia mengingat sesuatu. “Apa karena saat Bunba minta kamu bertanya tentang waktu itu ….”“Ya.” Askara memotong ucapan ibunya. “Papa sudah cerita semuanya.”“Lalu, apa tanggapanmu?” tanya Bastian lagi. “Menurut gue, ini terlalu rumit.”“Kehidupan orang tua selalu rumit dan gue benci itu.” Askara menarik napasnya panjang. “Bukankah keegoisan mereka sehingga membuat gue harus berada dalam masalah? Harus memilih di antara dua ibu.” Askara tersenyum kecil. “Percayalah, itu sangat menyebalkan.”Akhirnya, Askara mengungkapkan isi hatinya yang terpendam. Sejak kecil dia harus ditarik ke sana-kemari untuk hidup dan tinggal bersama mereka. Dia kesal luar biasa.Ruangan itu seketika hening karena keju
“Ma, Abang akan menginap di rumah Bunda,” pamit Askara kepada Sinar. Weekend ini dia ingin mencoba membuka hatinya untuk ‘melihat’ lebih dekat kehidupan yang dijalani oleh Talita. Seperti yang Bastian katakan, dia ingin benar-benar memahami posisi Talita.Dia selama ini selalu marah dan tertekan jika Talita memintanya untuk tinggal bersama dengannya. Baginya, Talita tidak seperti Sinar yang sangat dia sayangi. Sekarang, dia sudah berpikir lebih dingin dan dia ingin menjalani semuanya dengan lebih tenang.“Abang sudah bilang kepada Bunda kalau Abang mau datang?” tanya Nilam. “Biasanya Bunda yang akan menjemput Abang.”“Nanti pulang sekolah langsung diantar supir ke rumah Bunda, Ma. Aku udah bilang sama Bunda juga.”Sinar diam tak segera menanggapi karena dia merasa Askara sudah mulai terbuka dengan Talita. Ada rasa takut, tetapi dia juga tidak bisa menghentikan.“Ya sudah. Abang hati-hati. Kalau ada apa-apa langsung bilang ke Mama.” Sinar mengelus pundak putranya dengan lembut.“Iya, M
“Askara!”Panggilan itu membuat Askara menoleh. Dia mendapati seorang lelaki muda berdiri tak jauh darinya dan menatapnya. Lelaki itu tersenyum sebelum mendekat ke arahnya.“Gue udah lama nunggu.”Askara tidak mengenal lelaki itu. Oleh karena itu dia hanya memberi tatapan penuh tanya ke arah lelaki itu. Tahu jika dia harus memperkenalkan dirinya, lelaki itu lantas mengulurkan tangannya.“Gue Bastian. Sepupu lo.”Barulah Askara menyadari jika lelaki itu adalah lelaki yang dimaksud oleh bundanya. Sepupu yang kuliah di luar negeri. Askara menerima uluran tangan lelaki itu. “Askara.”Bastian tampak masih tersenyum. “Ada kafe di depan, kita ke sana? Sekalian ngobrol.” Askara tidak langsung menjawab dan tampak berpikir, tetapi Bastian segera bersuara. “Nanti gue antar pulang.”“Nggak perlu, gue bisa pulang sendiri. Gue nunggu sopir atau adik-adik gue buat pamit.” Askara menoleh ke sana-kemari untuk mencari keberadaan kedua adiknya, tetapi mereka tidak juga muncul.Lantas dia mengeluarkan po
“Kalau bukan karena dia, Talita masih tetap akan menjadi menantu keluarga kita.”“Cukup!” Dimas berteriak membentak Cindy. “Mama ini benar-benar, ya. Mau sampai kapan Mama terus memusuhi Sinar. Ini sudah lama sejak Praba dan Sinar menikah. Kehidupan mereka baik-baik saja sampai sekarang, tapi Mama masih bertahan dengan ego Mama.”“Kalau Oma nggak suka sama kami, sebenarnya nggak masalah.” Bhumi bersuara. “Tapi nggak perlu menjelekkan Mama. Mama adalah mama terbaik buat kami.”“Tahu apa kamu tentang ibumu? Ibumu adalah perempuan yang mengambil suami perempuan lain. Dia itu pelakor.” Cindy semakin tua mulutnya benar-benar luar biasa menyebalkan.“Kalau Mama terus saja menyebut istriku seperti itu, lebih baik Mama tidak perlu datang ke rumah ini.” Praba sudah muak dengan segala macam hinaan yang dikeluarkan Cindy kepada istrinya.Tidak sedikitpun Cindy merasa tersentuh dengan kebaikan Sinar selama ini. Bahkan suatu hari dia pernah dirawat di rumah sakit dan Sinar yang menjaganya sampai k