Malam itu, Rayan belum tidur. Dia masih gusar dan terus menatap intens Allura. Allura yang merasa diperhatikan pun berujung bangun, tak lagi berbaring.
“Mas, ada apa?” tanya wanita itu kini meyandar di head board.
“Euhm … Adek, kalau Mas mendapatkan pekerjaan bagaimana?”
Allura mengernyit bingung. “Ya, senang dong.”
Rayan masih saja gusar.
“Ada apa sih Mas?” tanyanya kembali.
“Hanya memastikan saja. Kalau Mas akan bekerja di perusahaan di mana Safiya bekerja.”
Wajah Allura tak berubah sama sekali. Jadi, bagaimana maksudnya? Apa Allura membolehkannya?
“Apa Mas diizinkan jika bekerja di sana?”
Allura tersenyum, menggelengkan kepalanya keheranan. “Mas bukan mencari uang haram kan?”
Rayan menggeleng kuat, dia sewot mendengar pertanyaan Allura itu. “Tentu enggak. Hanya saja, Mas takut kalau Adek tak nyaman nantinya.”
Allura mengangkat tangannya, membingkai wajah Rayan dne
“Adek, maaf ya? Mas cuma bisa mendapatkan gaji segini.” Rayan menyodorkan uang bulanan untuk Allura. Allura masih tersenyum, meskipun hatinya termangu memikirkan saat dirinya sudah menghabiskan seluruh tabungannya ini. “Iya Mas, tidak apa-apa, ini cukup kok.” Kata-kata sungguh menenangkan bagi Rayan. Dia bersyukur Allura mau dibawa susah dan masih menerima uang itu. Dia berkali-kali mengusap lengan Allura dan mengecup puncak kepala Allura. ‘Bagaimana uang ini agar tetap utuh?’ Batin Allura menggema cemas. Dia sendiri hanya bisa diam dan tersenyum, tak mau membuat Rayan menjadi sedih kalau ternyata mereka kekurangan uang saat ini. “Mas, ada yang ingin Adek bicarakan,” ungkap Allura menundukkan wajahnya. “Apa Dek?” Rayan merasa kalau Allura menyembunyikan sesuatu,namun segera ditepisnya pemikiran itu. “Euhm … uang tabungan Adek habis.” Rayan diam. Tak memiliki jawaban saat itu. Allura
“Ah, jadi Mbak dari tadi diam seperti menahan pipis itu karena mau makan ya?” kelakar Badai sambil tersenyum jahil. Allura hanya menunduk saja. Tak apa jika memang dirinya dikatakan begitu. Asalkan dia bisa bercerita nantinya, soal gundah gulana yang dirasakannya. “Ayo, saya traktir Mbak,” ajak Badai masih tersenyum kesenangan. Merasakan bagaimana bahagianya ketika Allura menggantungkan sesuatu padanya. “Eh?!” Allura terkejut juga karenanya. “Anggap saja ini menghibur Mbak yang sepertinya lagi bingung. Ayo, debay-nya maunya makan di mana nih?” Bahkan dibanding Rayan, pemuda itu lebih menyadari soal kehadiran janinnya. Sedikit menambah rasa kesal di hati Allura. “Warung makan sunda deh,” cetus Allura. “Siap Bu Bos!” Badai malah melakukan hormat yang membuat Allura tersenyum juga. Mereka bahkan sudah memesan menu makanan, sembari menunggu, Allura pun mulai membuka pembicaraan. “Euhm, Badai?”
Hari pertama bekerja, Allura sengaja sudah memasak untuk sarapan mereka kemarin sehingga pagi ini hanya menghangatkan saja. Dia sendiri akan bertemu dengan Badai di kafe. Rayan yang merasa bersalah karena merasa melakukan hal hina pada Allura pun tak jarang memikirkannya juga. Merasa keputusan itu salah. “Mas? Kok enggak cepat dicukur jenggotnya?” tegur Allura yang sudah memakai dress berwarna pastel saat melihat Rayan malah menatap cermin dalam diam di depan wastafel. “Eh, iya Dek. Sebentar lagi ini,” ucap Rayan segera mencoba mencukur jenggotnya yang sudah mulai tumbuh. Allura mengangguk saja lantas segera keluar dari kamar. Dia mulai mengambilkan bekal untuk Rayan. Mereka memutuskan untuk menghemat demi nanti. Memang perih rasanya, menjadi ibu hamil yang siap kehilangan nyawa bahkan harus merasa susah payah kala hamil. Rayan menurunkan Allura di kafe yang disebutkan oleh istrinya. “Mas, jangan lupa makan bekalnya ya?” p
Pagi-pagi sekali Allura sudah sibuk ke sana ke mari, mencari apa yang diperlukannya. Rayan sampai bingung melihatnya. “Kamu cari apa sih Sayang?” Rayan berkacak pinggang menonton sang ibu hamil yang masih saja tak diam dan tak kunjung sarapan. “Sebentar Mas, aku cari sepatuku di mana ya?” tanya Allura, mencari berkali-kali smabil membuka laci-laci. “Sepatu yang mana dulu?” “Yang putih cream itu lho Mas.” “Itu kan sudah kamu berikan ke orang lho.” Allura berbalik, mencoba dan mengingatnya lantas menepuk dahinya sendiri dan tertawa meringis. “Lupa Mas, hehe ….” “Ayo makan dulu, kamu kan mau bekerja.” Allura segera duduk dan melahap nasi goreng buatan sang suami. Rayan ingat sekali bagaimana Allura ngidam tadi malam. Saat mereka siap beranjak tidur, Allura menepuk pipinya agak kencang sampai membuatnya terkejut. Matanya yang baru saja meredup pun segera terbuka lebar menatap is
Wanita itu bahkan masih tak kunjung sadarkan diri saat tiba di rumah sakit milik paman Badai. Badai sendiri tak sempat berbicara dan Allura sudah pingsan kembali. Pemuda itu bahkan tak tidur, mencoba menunggui Allura terus menerus. “Lho? Kamu enggak tidur Badai?” Albert, pria yang berprofesi menjadi dokter itu bahkan terkejut saat melihat kehadiran Badai yang duduk dengan wajah suramnya. Badai mendongak dan memilih tak menjawab pertanyaan sang paman. Namun, Albert tahu kalau memang keadaan genting, bahkan dia tak habis pikir kalau seorang Badai yang kehidupannya bebas tiba-tiba menjadi berhati hangat sampai-sampai malah mendampingi sang teman barunya itu. Albert meringis melihat wajah Badai, kusam tak terawat ditambah dengan mata yang penuh bulatan hitam bak terkena tonjokan dan memerah lalu bibirnya saja kering pekat. Maka sudah dipastikan keponakannya itu memang tak tidur. Albert menghela napasnya, dia membawa papan pem
Badai yang mendengarnya merasa geram, kenapa Allura harus begitu tegar saat penyakitnya bertambah. Dia yang marah pun bahkan mencaci Rayan tepat di depan Allura. “Pengecut suami Mbak itu!” ketus Badai masih saja merasa kesal jika mengingat tingkah Rayan. Allur semakin menggelap, dia merasa bahwa Badai keterlaluan bukan main. “Kamu tidak sedang mencari gara-gara bukan?” desis Allura yang sudah mengepalkan tangannya. “Lho? Kenapa? Mbak mau membela suami Mbak yang enggak bisa apa-apa itu?” “Kau--” “Dia seharusnya sudah tahu ada yang tidak beres dengan keadaan Mbak, lihat sekarang? Bahkan dengan mendengar itu saja, dia tidak tahu. Mbak terlalu baik untuknya, masih mau membela dia dan bekerja mati-matian untuk membantu keuangan.” “Badai!” Allura berteriak, dia semakin berang bukan main saat Badai berani berkata begitu. Napasnya terengah-engah dan Badai terdiam membisu, dia menatap Allura dengan
Pagi itu menjadi bencana bagi Rayan, dia yang baru saja bangun dengan pengar yang masih dia rasakan begitu kuat pun dibuat mati berdiri melihat siapa yang ada di dapurnya. “Safiya?” gumamnya spontan. Wanita itu lantas berbalik, tersenyum pada Rayan sambil menata piring. “Sudah bangun?” tanyanya. Wajah tersenyum Safiya malah membuatnya berpikir keras, apa yang terjadi padanya? Rayan masih kaku bukan main. Dia tak percaya kalau yang ada di hadapannya adalah teman dari istrinya. Lalu kenapa wanita itu bersikap seolah menjadi istrinya. Bayangan demi bayangan pun muncul di dalam memorinya. Ah, ya, lagi dan lagi di merepotkan wanita itu. Rayan menghampiri Safiya, menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan merasa canggung karena tak tahu harus berterima kasih seperti apa. “Ayo sarapan dulu Mas, kamu bekerja bukan?” Pertanyaan yang terlontar pun bahkan tak asing di pendengaran Rayan. Pria itu mengangguk saja
“Lho? Badai?” Allura terperanjat melihat sosok pria yang berdiri dan bersandar di pintu. Badai sendiri masih menyiapkan hatinya agar bisa lebih terkontrol dari pada dirinya harus mengunci mulutnya rapat-rapat untuk tak berkomentar soal kondisi wanita di depannya itu yang tengah sibuk merapikan bajunya. Jelas saja, bagaimana dia akan diam jika melihat wajah pucat pasi Allura? Ingin sekali dia tak bertanya namun dia tak bisa, jelas-jelas memang dirinya hanyalah orang luar yang tak bisa ikut campur masalah wanita itu, termasuk sakit dan kondisi rumah tangganya. Badai menyugar rambutnya, menutupi rasa frustrasi miliknya. Dia lebih memilih untuk menghampiri wanita yang masih bertanya-tanya soal kehadirannya itu. Dia merasa bersalah usai membuat Allura kelelahan dan berakhir di rumah sakit kembali. Semakin kehamilannya membesar semakin sering wanita itu berada di rumah sakit. “Mau pulang?” tanya Badai. Allura ya
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, tidak terlalu cepat jaraknya sejak Rayan datang ke rumah orang tua Allura di kampung halamannya yang lumayan jauh jaraknya dari Jakarta. Pernikahan digelar di kampung saja karena Rayan sangat-sangat menghargai keputusan ibu dan ayah Allura yang ingin menjalankan tradisi adat di kampung beliau juga, ibu dan ayah Rayan tidak keberatan dengan hal itu karena menurut mereka apapun yang membuat anaknya bahagia maka biarlah seperti itu.Allura sudah mandi kembang di pagi-pagi hari sekali sesuai adat kampungnya, tidak ada yang menyalahi syariat dalam ajaran agama Islam menurut Rayan juga Allura karena itulah kedua sama-sama yakini.Acara pernikahan akan dilaksanakan pagi hari sekali di aula perkampungan. Seluruh warga di kampung sangat bersyukur dapat juga berpartisipasi dalam menyiapkan aula kampung sebagai tepat ijab kabul nanti dilakukan.Suasana kampung sangat meriah di hari sebelum hari pernikahan ini. Ada yang memasak, merapikan
Jujur saja seperti tidak ada pilihan yang tepat selain jawaban iya dari Allura karena memang itulah yang sekarang ada di hatinya. Rayan benar-benar mengagetkannya dengan lamaran yang mendadak ini dan mengatakan akan melakukan semuanya dalam waktu cepat, jika tidak ada yang sedang ditunggu-tunggu dan jika bisa.Saat ini hatinya benar-benar sedang berbunga-bunga karena Rayan akhirnya melamarnya dan mengatakan akan segera juga menyampaikan niat baiknya kepada keluarganya Allura di kampung.Seusai ke area panahan pun Rayan mengajak Allura ke tempat makan di kapal yang ada di tengah sungai tidak jauh dari tempat panahan itu. Allura masih dalam mode diam yang senang, tidak bisa merespon apapun yang sedang Rayan ingin lakukan dengannya.“Allura,” panggil Rayan sambil sedikit menepuk pundak Allura hingga gadis yang sudah mengetahui perasaannya juga tujuannya untuk masa depannya itu menoleh ke arahnya.Masih gugup, masih sangat gugup.
Sudah sejak ia bertemu Allura Rayan memikirkan banyak cara untuk memberi Allura sesuatu yang mengejutkan di kehidupan Allura.Ingin sekali Rayan selalu memberi kebahagiaan kepada Allura yang saat ini sedang menghiasi pikirannya di setiap malam yang kini selalu terasa panjang karena rindu.Seminggu sudah Rayan menyiapkan satu kejutan besar untuk Alluara. Harinya telah tiba, hari di mana Rayan akan memberi Allura sesuatu yang sepertinya akan terjalin seumur hidupnya, rencana Rayan.Semuanya Rayan lakukan sangat rahasia, karena Rayan ingin menjadi satu hal yang paling membahagiakan di hidup Allura. Rayan selalu berpikir itulah tujuannya kanapa dirinya selalu bernafas hingga saat ini.Rayan sudah janjian dengan Allura tiga hari yang lalu, ketika Rayan sudah yakin kalau kejutannya sudah siap.Kebetulan sekali Allura tertarik kepada panahan, Rayan mengajaknya ke tempat panahan yang berada di taman yang cukup indah, Taman Cornalia yang berte
Hari nampak mendung kebetulan yang sangat langka kembali terjadi, ini seakan pertemuannya yang pertama dengan Allura. namun kali ini tidak sama dengan kali pertama karena Rayan sudah banyak sekali mengetahui tentang kehidupan Allura dengan baik, bahkan dengan sangat baik. “Hay,” sapa Rayan kepapa Allura yang tengah berdiri seperti biasa menunggu bus yang tak kunjung datang. “Masih jadi misteri ya, Rayan.” Allura tiba-tiba mulai berkata namun terhenti setelah melihat wajahnya. Rayan bertanya, “Misteri, kenapa?” Allura malah tersenyum. “Ini … kenapa setiap mendung busnya telat datang, padahal kan semua orang kalau sudah mendung seperti ini pasti tergesa-gesa dan menjadi cepat kerena takut nanti hujan. Lah, coba lihat bus yang sekarang tidak ada di sini, ini sudah melanggar etika duniawi. Busnya malah telat datang. Aneh sekali, bukan?” tanya Allura kepada Rayan yang sangat tertawa karena Allura yang tidak seperti biasanya memikirkan hal ya
Rayan dan Allura sudah jarang bertemu untuk jalan-jalan bersama semenjak keduanya fokus pada pekerjaan masing-masing. Namun, keduanya masih sempat mengirim kabar melalu pesan singkat ataupun telepon suara. Allura kini sudah bisa memaklumi kalau Rayan begitu sibuk dan kadang tidak membalas pesannya walaupun masih dengan sedikit rasa kesal karena terabaikan. Ia juga masih sering curhat perihal Rayan pada Jena. Tentu saja Jena sebagai wanita yang lebih berpengalaman dalam hal pacaran daripada Allura pun memberinya banyak saran dan masukan. Walau terkadang saran dari Jena itu agak melenceng dan berbau hal-hal dewasa, tetapi Allura bisa memilahnya. Ia juga paham bagaimana sifat sahabatnya yang satu itu.Allura sangat senang karena ia baru saja mendapatkan kenaikan gaji setelah bekerja begitu keras. Ia sangat ingin membagi kebahagiaannya itu bersama Rayan. Saat itulah muncul ide untuk memberi sang kekasih kejutan. Allura berniat untuk datang ke rumah Rayan tanpa sepengetahuannya. U
"Jen, tanganmu kok jadi kekar begini sih? Kamu sering olahraga, ya?" tanya Allura memandang ke arah bawah tempat ia mengambil biji popcornnya. Ia merasa takut ketika tangan itu bukanlah tangan putih susu milik Jena. Melainkan tangan dengan warna tone yang lebih gelap.Allura langsung mengarahkan pandangannya ke samping. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui pemilik tangan itu bukanlah Jena. Pemilik tangan itu langsung tersenyum lebar ketika Allura memandangnya dengan tatapan terkejut. Mungkin jantungnya sudah hampir copot saat itu."Apa kabar, sayang?" tanya Rayan dengan senyum yang masih mengembang."Uhuk uhuk!" Allura langsung tersedak popcorn yang baru saja ia telan. Bagaimana bisa teman kostnya berubah menjadi Rayan?"Hei, pelan-pelan kalau makan. Ini minumlah," Rayan menyodorkan minuman lemon tea yang sudah ia beli sebelum masuk ke bioskop. "Kalau makan juga jangan sambil berbicara, yang ada kamu akan tersedak seperti ini."'Astaga bisa-bisa
Pagi-pagi sekali Allura sudah terbangun untuk memeriksa ponselnya. Padahal ini hari weekend, tidak biasanya ia bangun sepagi itu, terlebih langsung memeriksa ponselnya. Penyebab perubahan tingkah laku Allura itu tak lain adalah Rayan kekasihnya. Sudah beberapa hari ini Rayan tidak membalas pesan dari Allura. Ia tahu kalau Rayan sedang sibuk, tetapi apakah begitu sibuknya sampai tidak bisa mengirim satu pesan pun pada pacarnya sendiri?Dengan kesal Allura melempar ponselnya sembarangan ke kasur. Kemudian menenggelamkan kepalanya di bawah tumpukan bantal. Mencoba untuk memejamkan matanya kembali lalu menikmati kebahagiaan di alam mimpi. Daripada menunggu kabar dari Rayan yang seperti menunggu Bang Toyib pulang saja."Arrgghh!" teriak Allura frustasi. Ia tidak bisa begini terus. Mencoba tidur pun gagal ketika pikirannya hanya terus diisi oleh Rayan. "Aku harus bagaimana untuk menghilangkannya dari kepalaku?" tanya Allura sembari memegangi keningnya.
"Gadis yang aku sukai itu kamu, Allura," ucap Rayan sembari menyerahkan buket mawarnya pada Allura. "Aku sudah jatuh hati padamu sejak awal pertemuan kita. Bagaimana aku bisa melakukan saran yang kamu berikan tadi kalau gadis yang aku sukai itu adalah kamu?"Tiap kata yang dikeluarkan oleh Rayan saat itu bak mantra sihir yang bisa membuat orang menjadi patung. Begitulah yang dialami Allura sekarang, hanya diam tak bergerak. Betapa ia merasa malu karena sudah bertingkah sangat bodoh di depan Rayan saat itu. Semburat merah langsung terpampang jelas di permukaan pipinya. Ia sudah tidak bisa menahan lagi desiran hangat itu. Sebelum Rayan mengatakan hal yang lebih lanjut lagi, cepat-cepat Allura menghabiskan makanan penutupnya.Rayan bingung ia harus bersikap bagaimana. Jelas-jelas sang gadis sedang merasa malu karena sikapnya sendiri, tetapi Rayan tidak bermaksud untuk seperti itu. Sikap Allura yang salah tingkah pun tampak menggemaskan bagi Rayan. Sampai-sampai ia sangat
Satu pekan sudah berlalu, keadaan Ayah Allura pun sudah membaik. Itu berarti saatnya Allura kembali ke Jakarta untuk bekerja. Selama perjalanan pulang pikiran Allura selalu terganggu dengan satu lelaki yang belakangan ini memang sering berada di kepalanya. Hatinya gelisah ketika memikirkan wanita yang disukai oleh Rayan. Ia tak ada niat untuk berharap lebih, tetapi apalah daya jika hati tak sanggup tuk berdusta. Allura sudah terlanjur memiliki perasaan pada Rayan, tetapi Rayan malah menyukai wanita lain–begitu pikirnya.Melihat pemandangan melalu jendela adalah hal yang sangat menyenangkan. Apalagi jika pemandangan seperti desa tempat Allura dibesarkan. Namun, tatapan Allura hanya kosong seolah tak menikmati pemandangan yang ditangkap oleh netranya."Ah, untuk apa aku memikirkannya. Lagi pula dia pasti sedang memikirkan gadis yang disukainya," gumam Allura yang masih saja menatap kosong ke arah luar.Beberapa menit berlalu Allura masih saja memikirkan Raya