“Jadikan saya budak bapak!” pekik Andini lantang. Apa yang dia ucapkan malam ini muda-mudahan tidak salah. Semua ini hanya untuk membayar budi baik Stefan. “Apa?” Stefan dan Andini saling bertatapan lurus.Edo pun membesarkan mata menatap kakaknya, “kakak nggak salah bicara, kan?” tanyanya lalu mendesah, semua ini gara-gara Mas Biyan, batin Edo.“Nggak,” jawab Andini masih menatap Stefan. “Saya terlalu banyak menerima kebaikan bapak. Jadikan saya …. Istri, sekali pun hanya pelepas nafsu bapak. Atau sebagai pelayan yang bapak injak harga dirinya.”Stefan mengerutkan dahi, memang pernikahan ini harus terjadi. Lelaki itu juga lupa untuk membahasnya.Andini tidak tahu kalau bapaknya sudah pulang dari rumah sakit. Perlahan, tertatih-tatih, lelaki tua itu berjalan keluar dari rumah karena suara ribut di teras.“Pak!” Edo dengan cepat menghampiri bapaknya yang masih lemas. Andini dan Stefan kaget, tidak menyangka kalau bapaknya sudah pulang. Bagaimana ini? Andini membatin sendirian, Wajah
Season 1Bab 14“Apa kamu mau membatalkan pernikahan?” tanya Stefan datar dan dingin, wajahnya yang panik dan cemas menatatap Andini.Dan Andini tidak tega, baru kali ini dia melihat ekspresi Stefan begini.“Um, maksud saya … bisa kita ulang sekarang?” tanya Andini kepada penghulu.“Baik. Jadi, nanti sampai tiga kali, kalau masih gugup, saya akan serahkan kepada saksi yang ada di ruangan ini,” jelas penghulu.Stefan bertekad dalam hati kali ini harus berhasil. Atau seluruh kredilitasnya akan dipertanyakan. Tangannya berjabat dengan bapak Andini.“Stefan Wiraatmadja, saya nikahkan saya kawinkan kau dengan anakku Andini Lestari dengan mas kawin dibayar tunai.”Sekilas Stefan tersentak ketika bapak Andini menggerakkan tangannya. Aba-aba agar Stefan bisa menerima ijab dan kabul itu.“Saya terima nikah dan kawinnya Andini Lestari dengan mask kawin dibayar tunai!” katanya dengan lantang.“Bagaimana saksi-saksi, sah?” tanya penghulu.Mereka menjawab dengan serentak, “Sah!”Penghulu mengucap d
Jantung Andini berdetak keras, baru kali ini sulit membalas pesan dari Joshua.“Malam ini aku nggak bisa. Gimana kalau besok saja kita ketemu makan siang?” balas Andini, lalu wanita itu menghela napas.Entah beberapa menit berlalu, Andini menahan napas menunggu jawaban dari Joshua.Rasanya satu tahun!Namun, Andini cepat-cepat memikirkan, alasan apa yang akan dia pakai untuk memutuskan Joshua?Satu notifikasi dan nada berdenting terdengar dari ponsel.Siapa pun itu Andini cepat-cepat melihatnya. Joshua!“Oke, besok makan siang,” balas Joshua ada emotikon memeluk.Rasanya, kemarin ketika menerima pesan dari Joshua, hatinya berdebar, tersenyum karena senang. Tapi, malam ini rasanya beda. Tidak ada rasa apa pun dalam hati Andini.Ingat cincin yang terpasang di jari manisnya. Mungkin semalaman Andini menatap cincin itu, sampai pegal dan akhirnya tertidur.***Paginya, Andini melihat Felix ada di depan pintu rumahnya. Mata wanita itu membesar, “Apa? Apa ada yang harus dikerjakan?” tanyanya
Bab 16 StefanTiba saatnya Andini rapat kecil dengan tim marketing yang akan menangani klien baru.“Jadi, kalian ada ide apa?” tanya Andini yang duduk di kursinya, sementara para rapat kecil—hanya ada dua orang duduk di sofa.Aska melempar pertanyaan, “Harusnya ibu yang punya ide,” katanya sinis.Andini mengangguk, sekarang dia paham tentang Aska, “Kalau begitu, rapat ini tidak diperlukan lagi,” katanya, tidak lama telepon antar-ruangan berdering.“Ya?” itu Laras yang menelepon.“Bu, meeting jam sepuluh sudah datang,” katanya.“Oke, saya ke ruangan rapat. Andini menaruh gagang telepon, “Ayok, mereka sudah datang.”Aska dan asistennya saling menatap, “Bukannya jam sebelas, Bu?” tanya asisten Aska, Mei.“Tapi sekarang mereka sudah datang, masa mau dicuekin?” tanya Andini, sambil membawa laptop dan beberapa kertas dalam map transparan. “Kalian nggak ikut?” tanyanya sekali lagi, karena Aska dan Mei melongo.Aska membatin dalam hati, apa Andini sengaja mengerjai dirinya?Andini masuk ke ru
“Hati-hati bersikap, Andini, kamu baru sehari menjadi istriku,” Stefan berbisik tanpa tahu ada di mana. Napasnya berhembus di belakang telinga Andini.Susah payah wanita itu menelan ludah, mendongak menatap panel tampilan nomor lantai. Namun, tidak bisa meredakan gemuruh dalam dadanya.Ting!Andini menyelak siapa pun yang keluar dari lift, agar cepat menjauh dari Stefan. Lelaki itu tersenyum melihat kelakuan istrinya. Mengapa dia malah menjauh?Mobil Stefan melintas begitu Andini ada di teras lobi. Dia masuk ke dalamnya.“Kemang Restoran,” ucap Andini, tidak lama Stefan menyusulnya. Wajahnya seperti tidak ada salah sama sekali. Tenang, malah sibuk berkirim pesan dengan Prayan.Jadi, sekarang dari tenang dan datar, Stefan tersenyum membaca pesan itu. Apalagi, Prayan mengirim foto.Detik berikutnya, Prayan menelepon Stefan dengan panggilan video.“Papa!” panggil anak itu ceria.“Rayan, udah pulang sekolah?” tanyanya diplomatis dan standar. Namun suaranya terdengar dalam dan simpatik.“A
Lina menatap lurus Aska, “Dia ada di sini, Bos. Mau bertemu langsung ada di ruang VVIP,” lanjut Lina.“Tidak ada salahnya kamu temui saja dulu,” ujar Joshua setengah sadar.Aska menemui orang yang tidak dia kenal itu. Lina ada bersamanya untuk memandu pertemuan. Di ruangan VVIP Aska lihat ada beberapa orang berpakaian rapi. Mungkin itu bosnya, dan dua orang ada di samping kanan kirinya, ber-jas hitam.Meja marmer yang ada di ruangan itu, terisi penuh minuman beralkohol.“Jadi, Mr. Aska, Mr. Thenon, beberapa waktu mencoba narkoba yang Anda punya di sini. Dan ini sangat enak, langsung pergi ke awang-awang,” katanya, tangannya dia buat seperti terbang.Dan semua yang ada di ruangan VVIP itu tertawa lebar, termasuk Aska.“Jadi maksudnya?” Aska menarik tawanya, belum paham dengan perkataan siapa tadi namanya dia lupa.“Hahaha, saya lupa menjelaskan, kalau Mr. Tenon tertarik dengan produk Anda, dan ingin mengimpornya ke Thailand,” si penerjemah itu berkata.Satu orang berpakaian rapi—serba
Stefan mengajak Andini ke Jakarta Akuarium, karena jalanan macet, perjalanan mereka terhambat. Jadi tempat itu sudah hampir tutup ketika Stefan dan Andini sampai.“Maaf, Pak, kami sudah tutup,” kata kasir ketika Stefan mau membayar.Andini menyindir Stefan, apa maksudnya, bapak ini mau menghibur, malah plot twist tempatnya udah tutup, Andini menutup mulut, mengulum senyuman.Stefan mengambil ponsel yang ada di saku celana.Dia duduk di bangku tunggu yang ada di depan kasir. Jasnya dibuka, dasi, rasanya dari tadi dia sudah tidak pakai dasi. Andini memperhatikan lelaki itu sambil mengerutkan dahi.“Kenapa kita nggak pulang aja? Tempatnya sudah tutup,” cetusnya.“Belum,” jawab Stefan tenang.Andini sekali lagi melihat sekitarnya—yang sudah sepi. Dan lampu yang ada di kasir mati. “Ini udah tutup, kan?” tanya Andini sekali lagi mengkonfirmasi.Tidak lama ada seorang lelaki menemui Stefan. “Malam, Pak,” sapanya dengan ramah, menunduk. “Maaf, tadi saya harus membereskan pekerjaan dulu. Silak
Andini tersenyum, “Baik, Mbok. Saya sudah tahu semua, jadi, mbok bisa istirahat sekarang.”“Non ini, tahu aja kalo ini jam istirahat. Yasudah, saya permisi,” pamitnya.Andini masih tertegun ketika dia membuka pintu lemari. Banyak baju yang disediakan untuknya. Mulai dari baju untuk di rumah, untuk ke kantor, baju tidur yang kebanyakan terbuka.Andini melebarkan mata, “Wow.”Tanpa Andini menyadari kalau Stefan masuk ke kamarnya. Berdiri di belakangnya.“Saya suka kamu memakai baju tidur merah,” katanya singkat.Andini langsung menoleh, matanya membesar, bagaimana dia bisa masuk? Badannya beku ketika Stefan berkata begitu.Apakah malam ini akan ….“Kamu tahu, kan siapa yang bertugas menyiapkan makan di rumah ini?”Andini mengangguk cepat, canggung masih ada dalam hatinya.“Kalau begitu, dia sudah menyiapkan makanan. Dan Rayan sudah menunggu, ganti baju saja langsung turun ke bawah,” suruh Stefan cepat.“Baik, Pak,” jawab Andini dengan cepat pula.Stefan membalik badan akan keluar kamar
Season IIBab 117“Mau beli apa?” tanyanya pedagang wanita itu dengan kasar.Stefan melirik Andini yang sedang salah tingkah, dia mengambil sembarang sayuran.Lelaki itu menahan tangan Andini.“Biasanya, pengasuh Adam membeli wortel, jagung dan brokoli untuk kebutuhan sehari-hari.”Andini terpaku dengan analisa Stefan, “Dari mana kamu ….”“Saya, kan, ayahnya, masa tidak tahu,: seloroh Stefan. “Walau saya sibuk bekerja, tapi, saya juga memperhatikan apa saja kebutuhan anak saya.”Andini tidak bisa menyimpan kebahagiaan yang ada di hatinya. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu mencium pipi Stefan.“Kamu tahu, kan, kita ada di tempat umum,” peringat Stefan tetapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pipinya menghangat.Andini menoleh ke arah penjual sayuran, wajahnya makin memerah. Napasnya berembus cepat.“Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau suamiku perhatian,” kata Andini malu-malu.“Jadi, tiga puluh ribu,” kata si penjual ketus. Lalu menaruh barang yang dibeli Stefan dengan k
Season IIBab 116Andini merasa asing, pagi ini terbangun di ranjang yang berbeda.Ah, terang saja ini masih di rumah mertuanya.Tidak seperti Andini yang merasa asing, Stefan malah masih tidur dengan pulas. Jadi, Andini memutuskan untuk ke kamar mandi, cuci muka, sikat gigi, dan mandi.Sekalian saja, karena dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Jadi, apa yang harus dilakukan dihari pertama menginap di rumah mertua? Pikir Andini.Mungkin keluar dari kamar adalah ide yang tidak buruk.“Memangnya kamu mau ke mana?”Andini hampir melonjak mendengar pertanyaan Stefan yang tiba-tiba. Sejak kapan dia bangun?“Kamu …”“Saya sudah bangun dari tadi. Kamu saja yang tidak tahu.”Andini mengedikkan bahu. Acuh tak acuh, ini adalah balasan atas ketidak acuhan Stefan tadi malam.Ranjang mereka malam ini pun rasanya dingin. Sangat dingin.Memang, Stefan itu kenapa, sih, begini?Andini membatin, sambil becermin, matanya melirik ke arah suaminya yang perlahan bangkit, lalu ke kamar mandi.Apa
Season II Bab 115Sepanjang perjalanan, Andini hanya bisa mengira-ngira akan ke mana.Arahnya, si, akan ke rumah pantai. Tapi, untuk apa Stefan bilang, katanya akan mengungkap masa lalunya.Apa masa lalunya dengan perempuan dekat pantai?Andini memicing menatap Stefan.Lagian, awas saja kalau Stefan ternyata punya pacar sebelum Andini.Stefan hari ini setir sendiri. Adam dengan pengasuhnya di jok belakang.“Mungkin, kamu akan kaget nanti kalau kita sudah sampai di tempat tujuan.”Andini makin curiga ketika Stefan berkata demikian.“Kamu belum pernah bertemu dengan orang tua saya, kan? Dan dua adik saya.”Andini membeku, menatap Stefan dari samping. Astaga! Jadi, selama ini Andini salah sangka.“Jadi ini adalah jalan ke ….” Andini tidak bisa meneruskan perkataannya.“Ya,” jawab Stefan singkat. “Selama ini, saya selalu minta cuti dalam satu bulan 2 atau 3 hari untuk mengunjungi orang tua. Apa kamu tidak memperhatikan?”Andini membuang pandangan ke arah jendela. Ternyata prasangkanya sa
Season IIBab 114“Saya rasa, perlu bawa baju untuk kita, And,” kata Stefan tetiba sambil menatap ke laptop.Andini sudah menyiapkan keperluan Adam sejak malam. Karena Stefan mengubah jadwal kepergiannya menjadi besok.“Baju ganti untuk kita?” Andini sekadar mengkonfirmasi. “Sebenarnya kita mau ke mana?”Stefan menutup laptopnya, lalu menatap Andini. “Sudah saya bilang, kan, ini kejutan.”Andini menghela napas dan memutar bola mata.Stfena bisa melohat kejengkelan istrinya yang penasaran. Lelaki itu tersenyum tipis, lalu bangkit dari ranjang menghampiri istrinya.Berlutut, memperhatikan Andini yang sedang sibuk mengepak pakaian. “Apa yang kamu perlukan biar saya ambilkan,” tawar Stefan.Andini menggaruk kepala, “Baju yang kamu mau pakai selama di sana dan baju aku. Lalu pakaian dalam.”“Baik, saya akan ambilkan di lemari,” ucap Stefan sambil berjalan menuju lemari besar yang ada di kamar itu.“Terima kasih,” ucap Andini begitu Stefan memberikan beberapa pakaian untuk dimasukkan ke kop
Season IIBab 113“Bisa saya bertanya sesuatu?” tanya Stefan, lalu menopang kepala di tangan sambil menatap Andini.“Ada apa?” tanya balik Andini, “Sesuatu yang serius?”Stefan mengangguk pelan.Tubuh mereka belum berpakaian lengkap, hanya pakaian dalam yang masih melekat dan ditutupi selimut.“Pertanyaan serius macam apa yang mau kamu tanyakan?” Andini meledek Stefan, dia pikir suaminya akan bercanda, setelah itu menggodanya lagi untuk babak kedua.“Di mana kamu tinggal selama tidak bersama saya?” suara Stefan tegas, namun, seperti ada senyuman singkat terulas di bibirnya.Andini tahu, kalau Stefan pasti akan menanyakan hal ini cepat atau lambat. Wanita itu melemaskan badan, tatapannya lurus ke langit-langit kamar.“Apa aku harus jujur kepadamu?”“Saya suamimu, tentu saja kamu harus jujur kepada saya. Walaupun kejujuran itu akan menyakiti saya.”“Baiklah ….” Andini menarik napas, menyiapkan kata. “Tapi, sungguh ini semua keinginanku sendiri, bukan karena suruhan atau tawaran orang la
Season IIBab 112Beberapa minggu kemudian ….“Harusnya kamu tidak perlu bawa barang dari rumah kamu. Di sini semuanya sudah saya sediakan,” ucap Stefan ketika melihat Andini repot mengatur barang yang masuk ke rumah barunya.Andini menghela napas, “Kamu ini, kan suami, jadi diam saja. Aku yang atur semua. Ingat, kan?” sambil menatap Stefan, Andini mengerling. Stefan mencibir, Adam dalam gendongannya. “Apa mamamu selalu begitu?” candanya, bayi itu hanya tersenyum, lalu menguap. “Karena kita lelaki bagaimana kalau kita tidur siang dulu?”“Itu lebih baik,” sambar Andini sambil menunjuk ke sisi rumah yang masih kosong.Pekerja yang dia bayar lalu lalang di rumah yang Stefan sudah renovasi itu.Andini cukup terkesan dengan penataan ruangan di rumah ini. Stefan yang membuatnya demikian. Ada jendela besar di ruang tamu, jadi rumah ini terang oleh sinar matahari. Kolam renang yang terkoneksi dengan kamar utama.Rumah ini serasa bagai Surga.Andini tidak berhenti bersyukur Stefan bisa member
Season IIBab 111Beberapa bulan lalu di Kalimantan ….Andini gelisah dan terganggu dengan sikap Jeff yang tidak membalas pesan dan tidak menjawab telepon. Selain itu, dia juga merasa bersalah, tidak bisa membalas perasaan Jeff.Karena yang ada dalam pikiran Andini selama berjauhan hanya Stefan. Walau Andini bersikeras ingin menceraikannya, bayangan lelaki itu melekat di kepala Andini.Walau Jeff adalah pria yang baik, peduli dan sangat penyayang. Tidak ada celah dalam kepriadian Jeff. Namun, sulit sekali menyukai Jeff seperti Andini mencintai Stefan.Hah, salahnya sendiri, belum apa-apa sudah bilang cinta. Padahal, Stefan tidak benar-benar menikahinya.Sebelum antar ayah ke bandara, Veronica mampir ke rumah Jeff.Andini yang mendengar bel pintu berdentang membukakan pintu. Matanya langsung membesar ketika membuka pintu, Veronica.“Silakan masuk,” ujar Andini ramah, penuh senyuman.Veronica wajahnya datar. Dibilang tidak menyenangkan juga tidak.Andini yang tidak enak, langsung mencar
Season IIBab 110Andini menepati janjinya memasak beberapa menu saat Stefan datang ke rumah.Ayah menyambut kedatangan Stefan dengan wajah yang datar. Pak Tarso tahu ini bukan sepenuhnya kesalahan Stefan. Dalam pernikahan, Pak Tarso berpikir, pasangan suami istri seperti kaki yang berjalan mengarungi kehidupan.Jadi, di antaranya tidak ada yang salah. Kalau pun perceraian itu harus terjadi, artinya itu adalah keputusan terbaik yang Stefan dan Andini ambil.“Tidak sangka, kan, aku bisa masak?” celetuk Andini begitu Stefan menghela napas sambil memegang perutnya.Stefan tersenyum, “Ya. Harus saya akui kalau ini enak.” Ingatan Stefan tersedot ke masa beberapa tahun lalu. Ketika Anya menyiapkan kejutan untuknya.“Apa kamu ingat kejutan untuk saya beberapa tahun lalu? Anya bilang dia masak sendiri, apa itu ….”Andini tertawa kecil dan mengangguk, “Ya. Itu aku yang memasaknya.”“Harusnya saya yang memuji kamu waktu itu,” timpal Stefan melirik ke arah Pak Tarso yang berwajah suram.“Pak, ja
Season IIBab 109“Mbak! Mbak!” panggil Edo di luar kamar Andini. “Ditanyain sama Mbak Sarah, tuh!”Andini berpikir, apa yang sudah dia lakukan sampai Sarah menghubungi Edo?“Masuk aja, Do, aku lagi gantiin baju Adam,” kata Andini memekik.Edo masuk begitu Andini izinkan, “Mbak, ini Mbak Sarah, katanya Mbak Andini nggak bisa dihubungi. Jadi … Mas Stefan juga mencari Mbak Andini.”“Hah?” Andini merasa tak percaya, Adam ada dalam gendongannya, mulai menangis.Konsentrasi Andini pecah antara tangisan dan mengingat antara di mana ponselnya.Perlahan, Andini duduk di kursi, lalu menerima ponsel dari Edo.“Hallo?” sapa Andini. “Ah, iya, maaf, Sarah, rasanya ponselku terselip, entah di mana. Ada yang penting?”Andini melirik Edo yang keluar dari kamarnya. Karena Andini bersiap akan menyusui Adam.“Stefan, dia menghubungiku secara langsung. Dia tidak bisa menghubungi kamu. Aku pikir kamu sedang dalam masa … berpikir?” tebak Sarah.Andini diam sejenak, “Ya … aku hanya lupa di mana menaruhnya.