Season I Bab 36 "Kalau di kamar, aku bosnya." Andini***“Kamu asisten Anya, jadi saya rasa kamu paham, bagaimana perangai Anya. Kadang, dia membawa pekerjaan ketika sedang berlibur. Dan, tidak mau diganggu sama sekali,” papar Stefan terpaksa berbohong.Stefan malah balik bertanya, membuat Andini jengkel. Dia memalingkan wajah dari Stefan. “Ayo, Rayan, kita naik bianglala,” ajak Andini yang disambut antusias oleh Prayan.Stefan menghela napas, kehilangan kata. Sejak kejadian tadi malam, Stefan malah sering salah tingkah di depan Andini.Seperti orang bodoh saja, tidak tahu bagaimana caranya menjawab pertanyaan Andini.“Harusnya, saya bisa menjawab lebih diplomatis lagi,” sesal Stefan sendirian.Namun, kemudian, lelaki itu melihat ke arah bianglala yang perlahan berputar. Pandangannya pertama kali tertuju ke arah Andini yang duduk bersama Prayan.Wanita itu seolah sedang bahagia, tersenyum lebar.Senyuman itu, dan suara tawa Prayan yang terdengar samar, seolah menular ke Stefan.Ras
Season I Bab 37 “Pi, Anya, Pi …,” suara Liana bergetar, tak kuasa menahan isak tangis.“Bu Anya perlu katerisasi jantung. Resikonya sedikit, karena usianya masih muda, jadi jika ada sumbatan dan cepat ditangani, Insyaallah pasien akan baik-baik saja.”Liana menghapus air matanya menatap dokter itu. “Kalau begitu, lakukan saja apa yang menurut dokter terbaik untuk anak saya, Dok.”“Baik. Tapi, saya perlu wali dari Bu Anya untuk tanda tangan berkas ambil tindakan.”“Saya ibunya,” celetuk Liana dengan cepat.“Karena Ibu Anya punya suami ….”“Tidak perlu! Kami adalah orang tua dari Anya. Atas persetujuan kami pun tidak ada masalah, kan?” tuding Liana kesal.Dokter itu sempat menghela napas, “Kalau begitu, nanti ada perawat yang akan memberikan dokumennya ke ibu dan bapak. Saya permisi dulu. Nanti, Bu Anya akan dibawa ke ruang operasi.”Liana tidak menjawab apa pun. Matanya mendelik ke arah dokter itu.Tidak beberapa lama kemudian, perawat mendatangi Winata dan Liana.“Maaf dengan suami
Season IBab 38 “Kamu! Dasar asisten tidak tahu malu!” pekik seseorang di koridor rumah sakit.Felix menoleh, lalu membeku karena mengenali wanita itu. “Tidak mungkin ada dia di sini.”Dia adalah istri dari Pak Suryo, sepupu dekat Pak Winata. Ningsih namanya.Felix tidak menanggapi apa-apa, menghela napas, lalu dengan cepat dia menanda tangani berkas yang ada di tangannya.“Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit Felix sambil menundukkan kepala.Kemudian berjalan secepat mungkin pergi dari area rumah sakit. Bisa gawat kalau sepupu Bu Liana berhasil mendekati Felix, jadi lelaki itu buru-buru.Bahkan setengah berlari ke area parkir.Namun, Felix kalah cepat.Sepupu Bu Liana sudah ada di depan mobil lelaki itu, menyeringai sambil bersedekap.“Mau ke mana lagi, kamu?”Felix gelagapan, sebisa mungkin tetap tenang walau rasanya sulit. “Tante mau apa?”“Kita bicara di dalam, ada hal yang ingin saya sampaikan dan tanyakan.”Felix menurut, tidak bisa lagi berkilah. Dia mengikuti perempuan yan
Season IBab 39Kembali ke Jakarta, Stefan dihadapkan dengan berbagai rapat, salah satunya persiapan laporan kepada pemegang saham. Ada Andini juga hadir dalam ruangan rapat. Dia membawakan hasil laporan keuangan bulanan Liberate.Kali ini Andini lebih percaya diri. Bukan karena ada Stefan, tetapi karena sebelumnya Andini sudah membaca laporan keuangan Liberate.Dan, reshuffle karyawan ternyata sejauh ini berhasil.Ada beberapa pemegang saham hadir dalam rapat tersebut.“Bagaimana dengan laporan keuangan besar-besaran yang Anda lakukan, Bu Andini?” tanya salah satu komisaris.Andini tidak ragu untuk melaporkannya. “Perkembangan laporannya, baru sampai di sini,” Andini mengubah salindia di layar proyektor.Para pemegang saham mengangguk-anggukkan kepala.“Yang sedang kami selidiki saat ini adalah aliran dana yang dilakukan. Liberate memang belum menunjukkan kemajuan dalam pendapatan. Tapi, dalam beberapa bulan ke depan, semoga kami bisa menunjukkan kemajuan tersebut.”“Semoga,” jawab
Season IBab 40“Dengar, Andini, saya akan langsung ke kantor kamu. Jangan bicara ini dengan siapa pun,” perkataan Stefan seperti ancaman.Andini jadi salah tingkah, gugup dan juga takut. “Baik,” jawabnya terbata. Stefan melirik ke arah Felix, memakai jasnya.Felix seolah tahu apa yang harus dilakukan, dia menelepon sopir agar menyiapkan mobil.Beberapa menit kemudian, Stefan sudah ada di kantor Liberate dan langsung ke ruangan Andini.“Bagaimana?” tanya Stefan datar.“Pihak auditor akhirnya menemukan aliran dana itu ke rekening atas nama Pradnyaska Muria. Aku mencocokkan di data karyawan, itu adalah Aska,” papar Andini. Suaranya masih gemetar ketakutan.Mata Stefan membesar menatap Andini, “Apa?”“Walau kita masih belum bisa menanyai Aska soal ini, karena masih menunggu penelusuran nomor rekening itu lebih lanjut. Aku tidak sabaran jadi, mencari di data karyawan,” lanjut Andini menatap Stefan meminta perlindungan.Ada Felix dan Laras di ruangan Andini saat ini.“Saya minta, hal ini
Season 1Bab 41 “Itu hanya prasangkamu saja, Ras. Mana mungkin gadis-gadis itu masih dibawah umur,” ujar Felix, ikut memperhatikan lantai dansa. “Masuk ke tempat ini dua juta. Lo pikir apa pekerjaan gadis-gadis semuda mereka? Bisa bayar sebegitu banyak?” omel Laras lagi sambil memelotot. Felix lantas diam, kalau dipikir, iya, juga. Jadi dia menuruti saran Laras. “Baik kalau begitu.” Sebelum ke kasir, Felix sudah dihadang oleh seseorang, “Cari apa, Mas?” tanyanya, pria itu tinggi besar dan gondrong. Kuduk Felix merinding dia adalah orang yang datang ke kantor waktu itu. Felix menelan ludah, suaranya sengaja dia buat beda. Untuk meyakinkan orang itu. “Cari yang di bawah umur, Bang,” kata Felix enteng, “Semaleman kalo bisa.” “Gampang. Mau yang masih segel atau udah estewe?” Felix sekilas, tidak tahu semua istilah yang diucapkan oleh si tukang pukul, atau muncikari itu. Dia hanya berpikir cepat, atau penyamarannya akan terbuka. “Segelan, dong,” jawab Felix sambil membisik ke arah
Season IBab 42Sekali lagi Felix mengagumi disain bangunan kelab itu. Ruang VIP-nya lengkap, ada televisi dan kamar mandi, interior serba mewah. Membuat pengunjungnya merasa nyaman. Pelayan kelab yang mengantar Felix, menerangkan fungsi ruangan ini. Layanan TV kabel dan tersambung langsung ke internet. Furniture mendukung untuk setiap orang melakukan percintaan di sana. Tidak lama seorang gadis datang ke kamar itu. Dari penampilannya yang kecil, Felix menyangka usianya masih belasan. “Duduk,” suruh Felix datar. Pakaian wanita itu minim, riasannya tebal. Mungkin itu yang membuatnya terlihat lebih tua dari usianya, pikir Felix. Bentuh tubuh yang menggiurkan ditambah pakaian yang menonjolkan lekuk tubuhnya, Felix tergoda juga. Susah payah dia menelan ludah. Tiga puluh juta, sayang kalau terbuang begitu saja.Tidak lama setelahnya, Laras dan Alex masuk ke dalam ruangan, matanya membeliak melihat gadis itu yang duduk dengan seronok di sofa. “Astaga, ternyata ini perempuannya,” ujar
Season IBab 43 “Kalau dia adalah mata-mata, semua bisnis ini akan hancur. Dasar bodoh!” maki Aska di depan wajah Tono. Tono hampir tidak bisa bernapas. Kejadian buruk melintas di pikirannya. Kalau dipecat, mungkin dia bisa cari pekerjaan lain. Tapi kalau sampai dibunuh? Namanya mati konyol!“Kasih lihat di kamar mana dia ada tadi,” suruh Aska. “I—iya, Bos,” sahut Tono, langsung ke monitor kamera keamanan yang ada di ruangan Aska. Lalu memperlihatkan rekaman kamera pengawas kepada Aska. Mata Aska langsung membeliak, lalu menatap Tono dengan bola mata yang hampir keluar dari rongganya. “Kamu ini bodoh atau apa, sih?” tanya Aska sambil menoyor kepala Tono. “Kamu tahu dia itu mata-mata!” Tono tersinggung oleh perlakuan dan perkataan Aska. Kalau setelah ini Tono harus mati, dia berjanji, bos preman tempat Tono bernaung pasti akan menghabisi Aska. “Sorry, Bos, saya pikir dia hanya tamu yang mau dipesankan wanita seperti biasa. Kalau dia adalah mata-mata, itu urusan bos. Saya di s
Season IIBab 117“Mau beli apa?” tanyanya pedagang wanita itu dengan kasar.Stefan melirik Andini yang sedang salah tingkah, dia mengambil sembarang sayuran.Lelaki itu menahan tangan Andini.“Biasanya, pengasuh Adam membeli wortel, jagung dan brokoli untuk kebutuhan sehari-hari.”Andini terpaku dengan analisa Stefan, “Dari mana kamu ….”“Saya, kan, ayahnya, masa tidak tahu,: seloroh Stefan. “Walau saya sibuk bekerja, tapi, saya juga memperhatikan apa saja kebutuhan anak saya.”Andini tidak bisa menyimpan kebahagiaan yang ada di hatinya. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu mencium pipi Stefan.“Kamu tahu, kan, kita ada di tempat umum,” peringat Stefan tetapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pipinya menghangat.Andini menoleh ke arah penjual sayuran, wajahnya makin memerah. Napasnya berembus cepat.“Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau suamiku perhatian,” kata Andini malu-malu.“Jadi, tiga puluh ribu,” kata si penjual ketus. Lalu menaruh barang yang dibeli Stefan dengan k
Season IIBab 116Andini merasa asing, pagi ini terbangun di ranjang yang berbeda.Ah, terang saja ini masih di rumah mertuanya.Tidak seperti Andini yang merasa asing, Stefan malah masih tidur dengan pulas. Jadi, Andini memutuskan untuk ke kamar mandi, cuci muka, sikat gigi, dan mandi.Sekalian saja, karena dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Jadi, apa yang harus dilakukan dihari pertama menginap di rumah mertua? Pikir Andini.Mungkin keluar dari kamar adalah ide yang tidak buruk.“Memangnya kamu mau ke mana?”Andini hampir melonjak mendengar pertanyaan Stefan yang tiba-tiba. Sejak kapan dia bangun?“Kamu …”“Saya sudah bangun dari tadi. Kamu saja yang tidak tahu.”Andini mengedikkan bahu. Acuh tak acuh, ini adalah balasan atas ketidak acuhan Stefan tadi malam.Ranjang mereka malam ini pun rasanya dingin. Sangat dingin.Memang, Stefan itu kenapa, sih, begini?Andini membatin, sambil becermin, matanya melirik ke arah suaminya yang perlahan bangkit, lalu ke kamar mandi.Apa
Season II Bab 115Sepanjang perjalanan, Andini hanya bisa mengira-ngira akan ke mana.Arahnya, si, akan ke rumah pantai. Tapi, untuk apa Stefan bilang, katanya akan mengungkap masa lalunya.Apa masa lalunya dengan perempuan dekat pantai?Andini memicing menatap Stefan.Lagian, awas saja kalau Stefan ternyata punya pacar sebelum Andini.Stefan hari ini setir sendiri. Adam dengan pengasuhnya di jok belakang.“Mungkin, kamu akan kaget nanti kalau kita sudah sampai di tempat tujuan.”Andini makin curiga ketika Stefan berkata demikian.“Kamu belum pernah bertemu dengan orang tua saya, kan? Dan dua adik saya.”Andini membeku, menatap Stefan dari samping. Astaga! Jadi, selama ini Andini salah sangka.“Jadi ini adalah jalan ke ….” Andini tidak bisa meneruskan perkataannya.“Ya,” jawab Stefan singkat. “Selama ini, saya selalu minta cuti dalam satu bulan 2 atau 3 hari untuk mengunjungi orang tua. Apa kamu tidak memperhatikan?”Andini membuang pandangan ke arah jendela. Ternyata prasangkanya sa
Season IIBab 114“Saya rasa, perlu bawa baju untuk kita, And,” kata Stefan tetiba sambil menatap ke laptop.Andini sudah menyiapkan keperluan Adam sejak malam. Karena Stefan mengubah jadwal kepergiannya menjadi besok.“Baju ganti untuk kita?” Andini sekadar mengkonfirmasi. “Sebenarnya kita mau ke mana?”Stefan menutup laptopnya, lalu menatap Andini. “Sudah saya bilang, kan, ini kejutan.”Andini menghela napas dan memutar bola mata.Stfena bisa melohat kejengkelan istrinya yang penasaran. Lelaki itu tersenyum tipis, lalu bangkit dari ranjang menghampiri istrinya.Berlutut, memperhatikan Andini yang sedang sibuk mengepak pakaian. “Apa yang kamu perlukan biar saya ambilkan,” tawar Stefan.Andini menggaruk kepala, “Baju yang kamu mau pakai selama di sana dan baju aku. Lalu pakaian dalam.”“Baik, saya akan ambilkan di lemari,” ucap Stefan sambil berjalan menuju lemari besar yang ada di kamar itu.“Terima kasih,” ucap Andini begitu Stefan memberikan beberapa pakaian untuk dimasukkan ke kop
Season IIBab 113“Bisa saya bertanya sesuatu?” tanya Stefan, lalu menopang kepala di tangan sambil menatap Andini.“Ada apa?” tanya balik Andini, “Sesuatu yang serius?”Stefan mengangguk pelan.Tubuh mereka belum berpakaian lengkap, hanya pakaian dalam yang masih melekat dan ditutupi selimut.“Pertanyaan serius macam apa yang mau kamu tanyakan?” Andini meledek Stefan, dia pikir suaminya akan bercanda, setelah itu menggodanya lagi untuk babak kedua.“Di mana kamu tinggal selama tidak bersama saya?” suara Stefan tegas, namun, seperti ada senyuman singkat terulas di bibirnya.Andini tahu, kalau Stefan pasti akan menanyakan hal ini cepat atau lambat. Wanita itu melemaskan badan, tatapannya lurus ke langit-langit kamar.“Apa aku harus jujur kepadamu?”“Saya suamimu, tentu saja kamu harus jujur kepada saya. Walaupun kejujuran itu akan menyakiti saya.”“Baiklah ….” Andini menarik napas, menyiapkan kata. “Tapi, sungguh ini semua keinginanku sendiri, bukan karena suruhan atau tawaran orang la
Season IIBab 112Beberapa minggu kemudian ….“Harusnya kamu tidak perlu bawa barang dari rumah kamu. Di sini semuanya sudah saya sediakan,” ucap Stefan ketika melihat Andini repot mengatur barang yang masuk ke rumah barunya.Andini menghela napas, “Kamu ini, kan suami, jadi diam saja. Aku yang atur semua. Ingat, kan?” sambil menatap Stefan, Andini mengerling. Stefan mencibir, Adam dalam gendongannya. “Apa mamamu selalu begitu?” candanya, bayi itu hanya tersenyum, lalu menguap. “Karena kita lelaki bagaimana kalau kita tidur siang dulu?”“Itu lebih baik,” sambar Andini sambil menunjuk ke sisi rumah yang masih kosong.Pekerja yang dia bayar lalu lalang di rumah yang Stefan sudah renovasi itu.Andini cukup terkesan dengan penataan ruangan di rumah ini. Stefan yang membuatnya demikian. Ada jendela besar di ruang tamu, jadi rumah ini terang oleh sinar matahari. Kolam renang yang terkoneksi dengan kamar utama.Rumah ini serasa bagai Surga.Andini tidak berhenti bersyukur Stefan bisa member
Season IIBab 111Beberapa bulan lalu di Kalimantan ….Andini gelisah dan terganggu dengan sikap Jeff yang tidak membalas pesan dan tidak menjawab telepon. Selain itu, dia juga merasa bersalah, tidak bisa membalas perasaan Jeff.Karena yang ada dalam pikiran Andini selama berjauhan hanya Stefan. Walau Andini bersikeras ingin menceraikannya, bayangan lelaki itu melekat di kepala Andini.Walau Jeff adalah pria yang baik, peduli dan sangat penyayang. Tidak ada celah dalam kepriadian Jeff. Namun, sulit sekali menyukai Jeff seperti Andini mencintai Stefan.Hah, salahnya sendiri, belum apa-apa sudah bilang cinta. Padahal, Stefan tidak benar-benar menikahinya.Sebelum antar ayah ke bandara, Veronica mampir ke rumah Jeff.Andini yang mendengar bel pintu berdentang membukakan pintu. Matanya langsung membesar ketika membuka pintu, Veronica.“Silakan masuk,” ujar Andini ramah, penuh senyuman.Veronica wajahnya datar. Dibilang tidak menyenangkan juga tidak.Andini yang tidak enak, langsung mencar
Season IIBab 110Andini menepati janjinya memasak beberapa menu saat Stefan datang ke rumah.Ayah menyambut kedatangan Stefan dengan wajah yang datar. Pak Tarso tahu ini bukan sepenuhnya kesalahan Stefan. Dalam pernikahan, Pak Tarso berpikir, pasangan suami istri seperti kaki yang berjalan mengarungi kehidupan.Jadi, di antaranya tidak ada yang salah. Kalau pun perceraian itu harus terjadi, artinya itu adalah keputusan terbaik yang Stefan dan Andini ambil.“Tidak sangka, kan, aku bisa masak?” celetuk Andini begitu Stefan menghela napas sambil memegang perutnya.Stefan tersenyum, “Ya. Harus saya akui kalau ini enak.” Ingatan Stefan tersedot ke masa beberapa tahun lalu. Ketika Anya menyiapkan kejutan untuknya.“Apa kamu ingat kejutan untuk saya beberapa tahun lalu? Anya bilang dia masak sendiri, apa itu ….”Andini tertawa kecil dan mengangguk, “Ya. Itu aku yang memasaknya.”“Harusnya saya yang memuji kamu waktu itu,” timpal Stefan melirik ke arah Pak Tarso yang berwajah suram.“Pak, ja
Season IIBab 109“Mbak! Mbak!” panggil Edo di luar kamar Andini. “Ditanyain sama Mbak Sarah, tuh!”Andini berpikir, apa yang sudah dia lakukan sampai Sarah menghubungi Edo?“Masuk aja, Do, aku lagi gantiin baju Adam,” kata Andini memekik.Edo masuk begitu Andini izinkan, “Mbak, ini Mbak Sarah, katanya Mbak Andini nggak bisa dihubungi. Jadi … Mas Stefan juga mencari Mbak Andini.”“Hah?” Andini merasa tak percaya, Adam ada dalam gendongannya, mulai menangis.Konsentrasi Andini pecah antara tangisan dan mengingat antara di mana ponselnya.Perlahan, Andini duduk di kursi, lalu menerima ponsel dari Edo.“Hallo?” sapa Andini. “Ah, iya, maaf, Sarah, rasanya ponselku terselip, entah di mana. Ada yang penting?”Andini melirik Edo yang keluar dari kamarnya. Karena Andini bersiap akan menyusui Adam.“Stefan, dia menghubungiku secara langsung. Dia tidak bisa menghubungi kamu. Aku pikir kamu sedang dalam masa … berpikir?” tebak Sarah.Andini diam sejenak, “Ya … aku hanya lupa di mana menaruhnya.