"Kenapa tiba-tiba mati lampu?" batin Camelina. Ketika itu, Camelina terus meraba-raba mencari tempat yang lebih aman untuk berdiam diri sampai lampu kembali menyala.Tetapi, ketika Camelina tengah berjalan, seseorang dari samping langsung memeluknya. Berusaha melindungi dirinya dari benda-benda tajam yang ada di sekitar sana.Sebab mengira itu Tio, Camelina memeluknya. Ia yang ketakutan, mencoba berlindung di balik dada bidang pria yang saat ini bersamanya."Aku takut gelap," ungkap Camelina.Camelina memang tidak menyukai gelap saat dalam keramaian, karena dirinya takut jika yang ia sentuh adalah orang asing.Sampai lampu kembali menyala. Camelina menjauhkan diri dan menghentikan pelukan itu. Ia melihat warna jas serta kemeja yang dipakai pria itu lebih gelap. Perlahan, Camelina mengangkat kepalanya. Sampai dirinya langsung menelan ludah seketika, ia juga menjauhkan diri dari Aderson yang secara sengaja sempat ia peluk."Kenapa Tuan di sini?" tanya Camelina pelan. Kepalanya menundu
"Maaf, tadi ... ada orang kantor yang menghubungi, jadi aku tinggal sebentar," kata Tio, beralasan.Camelina hanya tersenyum tipis. Sebetulnya ia juga tidak peduli dengan siapa Tio bicara, karena ia tidak mengharapkan pria manapun sekalipun pria itu tampak berusaha mengambil hatinya.Tetapi, bagi Camelina, ada banyak jenis lelaki di dunia dengan segala tipu dayanya. Terkadang pria itu berusaha mengambil hatinya dahulu, lalu setelah wanitanya luluh, mendadak pria itu menjauh. Camelina tidak mau jika hanya didekati karena rasa penasaran saja. Sebab, apa yang sudah menimpa hidupnya cukup melelahkan. Ia tidak mau jiwanya semakin lelah dengan harapan yang tidak pasti dari lelaki."Tidak apa-apa. Sebentar lagi acaranya juga pasti selesai."Di waktu yang tersisa itu Camelina duduk di kursi sembari menonton acara pertunjukan musik biola. Setiap irama yang masuk ke telinga membuat Camelina terbayang pada kehidupannya. Ia mengelus perutnya perlahan dengan tatapan mata kosong.Walaupun Camelin
“Tolong jangan laporkan saya ke polisi ...!” erang Camelina dengan isak tangis di wajahnya.Namun, wanita dengan rambut agak bergelombang itu tidak memberi ampun. Ia terus menyeret Camelina keluar dari rumah seraya sesekali menampar wajah asisten rumah tangganya.“Argh!” Ia memekik kesakitan dan refleks tangannya memegang pipi yang baru saja menerima tamparan itu. Urai air netra yang tiada habisnya, tetapi demi hidupnya ia tidak menyerah sekalipun sesak dalam dada serta mata yang mulai perih karena banyaknya air netra yang mengaliri pipi tanpa henti. ”Saya berjanji akan melakukan apapun!” rengek Camelina.Amarah yang mengeraskan hati, membuat wanita itu tidak peduli atas segala kepedihan yang dirasakan Camelina, sekalipun air netra terus bercucur membasahi lantai dengan pipi yang sudah memerah agak lebam akibat berkali-kali ditampar oleh Sarah.Perkataan Camelina saat itu rupanya malah berdampak besar pada hidupnya dan kini Berliana merasa senang sebab dirinya bisa mengambil keuntung
Tak lama setelah ajudan pribadi Aderson pergi, secara mendadak Camelina langsung dikagetkan dengan kedatangan istri pertama Aderson yang menghampirinya. Ia kembali harus merasakan jantung yang berdetak kencang gelisah tak karuan – intuisinya seolah memberitahu akan ada kejadian buruk yang menimpa dirinya. Dan benar saja, Sarah langsung menarik rambut bagian belakangnya begitu saja tanpa alasan yang jelas. ”Setelah berhasil mencuri perhiasan, sekarang malah beraninya mencuri suamiku juga! Apa jangan-jangan kamu memang sengaja merencanakan hal ini sejak awal, wanita jalang!” tuduh istri pertama Aderson dengan ketus.Sekalipun di depan Berliana tamp
Dari tadi, ia terus mendengar Berliana yang tidak menyerah merayunya demi kepentingan dirinya sendiri, sedangkan dirinya hanya diam. Kini giliran Camelina yang dirasa perlu mengutarakan ketidaknyamanan mengenai situasi yang dirasakannya.“Ma, kalau tujuannya untuk memiliki anak dan merasa malu mengakui menantu seperti saya yang hanya orang miskin, kenapa tidak menikahkan Mas Aderson dengan wanita yang setara?” tanya Camelina dengan pandangan intens ke arah mertuanya.Berliana tersenyum. “Hal semacam itu tidak penting untuk dibahas. Yang terpenting kita bisa mendapat keuntungan masing-masing. Kamu terbebas dari hukuman itu dan saya bisa memiliki cucu.”Lagi-lagi, Camelina merasa menyesal dengan bibirnya yang sudah ia gunakan untuk bertanya pada orang yang sudah jelas-jelas pasti akan menyudutkan dirinya. Meskipun begitu dan apapun alasannya, tetap saja ia tidak bisa menolak.“Baiklah, kalau memang itu mau Mama.” Camelina beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar dari kamarnya. Sed
Malam ini menjadi malam yang mencekam. Hati yang dingin dengan suasana panas. Tubuhnya terhimpit kuat oleh pria yang kini bersamanya – ia menggagahinya malam ini.Deru nafas Aderson kian terdengar jelas di telinga. Tak bisa menampik, tampak dari wajah pria itu seolah menikmati malam ini. “Bibir bawah milikmu masih tampak perawan, aku sampai kesulitan,” bisik Aderson di telinga Camelina. Ia melontarkan seringai miring di bibirnya.`Ugh, sungguh... rasanya ingin muntah!`Namun, saat itu Camelina hanya terdiam jijik kala mendengar kalimat kotor yang terlontar keluar dari mulut pria yang kini harus ia akui paksa sebagai suaminya, walau ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan ia diam menahan sakit batin dan raganya. Hatinya pun belum bisa seutuhnya menerima bahwa Aderson kini adalah suaminya."Hentikan cengkeraman tanganmu itu dariku, ini sungguh menyakitkan!" racau Camelina seraya menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia sudah tidak bisa lagi diam dalam kesakitan."Kamu akan kulepaskan set
Beberapa wanita memasuki ruangan khusus yang telah disediakan dengan berbagai macam sajian yang terdapat di meja tamu. Tentu di tempat itu seperti biasa mereka saling memamerkan diri, saling menyanjung satu sama lain dengan segala kepalsuan yang terlontar keluar dari mulut manis mereka, bahkan terkadang membicarakan rumor yang beredar.Tetapi begitu Camelina memasuki ruangan itu dengan membawa buah semangka di piring lonjong yang telah dipotong-potong kecil berbentuk segitiga, suasana mendadak hening. Ini sungguh aneh bagi Berliana sekaligus Camelina itu sendiri, karena tidak biasanya teman-teman arisan Berliana begini. Pandangan mereka langsung terfokus pada penampilan Camelina saat itu. Lalu, tampak sedikit berbisik satu sama lain.”Hei, kalian lihat wanita itu? Apa kamu tidak salah informasi mengenainya?””Tidak. Selama ini aku tidak pernah salah kan dalam menyampaikan gosip terbaru.”Mereka yang menunjukkan jelas dengan saling berbisik satu sama lain membuat Camelina tidak nyaman
“Dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang, apapun yang terjadi tetap sembunyikan kebenaran itu. Apalagi kalau suatu saat nanti sudah hamil besar, kau jangan berani keluar menunjukkan dirimu kepada siapapun!” bisik Berliana seraya menggertakkan gigi.“Mohon maaf, Nyonya. Tapi bukankah pernikahan ini terjadi juga atas persetujuan darimu?”Bukan maksud Camelina untuk membantah. Hanya saja ia tidak bisa terus diinjak atau bahkan dimanfaatkan. Baginya, sesekali perlu mengatakan pernyataan yang ia yakini. Wanita miskin seperti dirinya pun juga manusia yang ingin dhargai.“Memang benar. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau derajat kita ini sungguh sangat berbeda. Aku harap kamu paham maksudku.”Camelina tersenyum pahit seraya menahan sesak dalam dada. Namun ia tidak bisa membenarkan apa yang ia yakini dan Berliana yakini. Pilihannya saat ini adalah mengikuti alur yang ada.“Baiklah kalau memang itu maumu.”Tidak mau banyak terlibat dalam pembicaraan lain yang menurutnya hanya membuat sakit hat
"Maaf, tadi ... ada orang kantor yang menghubungi, jadi aku tinggal sebentar," kata Tio, beralasan.Camelina hanya tersenyum tipis. Sebetulnya ia juga tidak peduli dengan siapa Tio bicara, karena ia tidak mengharapkan pria manapun sekalipun pria itu tampak berusaha mengambil hatinya.Tetapi, bagi Camelina, ada banyak jenis lelaki di dunia dengan segala tipu dayanya. Terkadang pria itu berusaha mengambil hatinya dahulu, lalu setelah wanitanya luluh, mendadak pria itu menjauh. Camelina tidak mau jika hanya didekati karena rasa penasaran saja. Sebab, apa yang sudah menimpa hidupnya cukup melelahkan. Ia tidak mau jiwanya semakin lelah dengan harapan yang tidak pasti dari lelaki."Tidak apa-apa. Sebentar lagi acaranya juga pasti selesai."Di waktu yang tersisa itu Camelina duduk di kursi sembari menonton acara pertunjukan musik biola. Setiap irama yang masuk ke telinga membuat Camelina terbayang pada kehidupannya. Ia mengelus perutnya perlahan dengan tatapan mata kosong.Walaupun Camelin
"Kenapa tiba-tiba mati lampu?" batin Camelina. Ketika itu, Camelina terus meraba-raba mencari tempat yang lebih aman untuk berdiam diri sampai lampu kembali menyala.Tetapi, ketika Camelina tengah berjalan, seseorang dari samping langsung memeluknya. Berusaha melindungi dirinya dari benda-benda tajam yang ada di sekitar sana.Sebab mengira itu Tio, Camelina memeluknya. Ia yang ketakutan, mencoba berlindung di balik dada bidang pria yang saat ini bersamanya."Aku takut gelap," ungkap Camelina.Camelina memang tidak menyukai gelap saat dalam keramaian, karena dirinya takut jika yang ia sentuh adalah orang asing.Sampai lampu kembali menyala. Camelina menjauhkan diri dan menghentikan pelukan itu. Ia melihat warna jas serta kemeja yang dipakai pria itu lebih gelap. Perlahan, Camelina mengangkat kepalanya. Sampai dirinya langsung menelan ludah seketika, ia juga menjauhkan diri dari Aderson yang secara sengaja sempat ia peluk."Kenapa Tuan di sini?" tanya Camelina pelan. Kepalanya menundu
"Kamu sudah mau pulang? Pasti kamu tidak terbiasa, ya?" ungkap Tio yang menyadari bahwa Camelina pasti jarang diajak ke acara mewah semacam ini.Camelina menggelengkan kepala. "Aku cuma sedikit gerah saja." Ia menelan ludah sebentar, lalu bertanya. "Boleh saya tanya sesuatu?""Ya, kenapa?"Karena pandangan Camelina terus tertuju pada Sonya -- Ibu kandung Sarah, sehingga dirinya pun ikut penasaran dan mengikuti pandangan Camelina saat itu.Camelina menunjuk dengan jarinya ke arah Sonya. "Apa kamu tahu siapa wanita itu?" tanya Camelina dengan nada agak ragu."Itu mertuanya Kak Aderson. Memangnya kenapa?" Tio mendadak heran dengan Camelina yang malah bertanya demikian. Entah alasan apa yang menyelimuti wanita itu, tetapi Tio pun tidak terlalu menganggap serius mengenai pertanyaan Camelina.Camelina segera menggelengkan kepala setelah mendapat jawaban itu dari Tio. Meskipun jawabannya belum puas, tetapi Camelina tidak terlalu banyak bertanya karena kecurigaannya ingin ia simpan sendiri
"Sepertinya aku kenal suara ini," batin Camelina dengan dahi berkerut. Suara yang memang tak asing di telinga, apalagi setelah melihat penampilan bagian bawah pria yang kini tepat berada di hadapannya.Secara perlahan, ia mengangkat kepalanya. Begitu tahu bahwa ternyata dugaannya benar, ia langsung menelan ludah."Mau apa Tuan di sini?" tanya Camelina dengan nada ketus sembari terus melanjutkan diri membersihkan luka pada kakinya. Tetapi, Camelina yang sudah kesakitan itu terus berusaha kuat, malah ia hendak mengenakan kembali heels yang sempat melukainya. Namun, dengan cepatnya Aderson meraih tangan Camelina dan menghentikan tangan istrinya itu untuk memasukkan heels ke kaki."Sudah saya bilang ...! Jangan memaksakan diri!" sentak Aderson dengan nada geram.Cara Aderson berbicara itu membuat Camelina semakin merasa bahwa suaminya terlalu mengatur dirinya. Seolah berkuasa atas dirinya dan Camelina tidak menyukai itu.Camelina beranjak dari bawah dan memilih berdiri. "Lepaskan! Urusi
Perjalanan yang sudah dilewati selama beberapa menit pun usai sudah. Tio segera menepikan mobilnya di tempat parkir khusus. Namun, rupanya di samping mobil Tio pun ada mobil Aderson yang baru sampai. Ia menepikan mobilnya di samping mobil Tio. Mata tak bisa berbohong ketika ia melirik sinis ke arah Camelina dengan pandangan tak suka melihat istrinya bersama pria lain."Aku tidak tahu cara berbagi yang sudah menjadi milikku?" batin Aderson dan diamnya.Begitu tahu bahwa Aderson melihat ke arahnya, ia langsung memalingkannya ke arah lain. "Buat apa dia melihat ke sini? Tuan muda itu, aura sombongnya selalu tampak," umpat Camelina dalam batinnya.Camelina dan Tio turun, sedangkan Sarah yang menyadari Aderson diam seraya pandangan ke arah Camelina membuatnya langsung menepuk halus pundak suaminya itu."Mas, kamu kenapa? Ayo kita turun!" ajak Sarah.Melihat tamu undangan yang sudah berdatangan, Sarah khawatir kalau dirinya datang terlambat dengan Aderson. Sedangkan, Aderson-lah yang me
Aderson langsung menarik pergelangan tangan Sarah pergi dari hadapan mereka. Ia melepaskan tangan Sarah dan kemudian berbicara di tempat yang sedang sepi. Saat itu, tempat yang ia ambil adalah dapur, kebetulan di sana sedang tidak ada siapapun, karena beberapa orang di antaranya tengah bersiap-siap pergi."Apa rencana kamu buat Camelina kali ini? Kenapa tidak membicarakannya dulu padaku?" tanya Aderson.Ia berdiri tegap dengan pandangan mengarah pada Sarah yang saat itu tepat berada di hadapannya. "Mas, tenang dulu ...." Sarah mendekat. Ia merapikan dasi suaminya. Walaupun saat itu dari Aderson sudah rapi, tetapi ia membiarkan istrinya merapikannya kembali. Ia hanya diam dengan tatapan seolah sangat menuntut jawaban dari Sarah -- Istri pertamanya itu."Sayang, kamu 'kan tahu sendiri kalau pernikahan kamu sama Camelina itu harus dirahasiakan. Itu artinya jangan sampai ada yang tahu juga kalau Camelina sedang hamil, nanti orang yang melihatnya bakal kebingungan. Mereka bakal bertanya-
Pesona yang terpancar dari diri Camelina membuat Aderson terdiam, seolah waktu menghentikan mereka sejenak hingga tak bergerak bahkan mereka pun tak berkedip.Sorotan matanya tampak jelas bahwa saat itu Aderson tidak dapat berpaling ke wanita lain dan hanya fokus pada Camelina. Begitu pula dengan Tio yang begitu melihat Camelina, ia mengurungkan niatnya untuk duduk.Berbeda dengan Aderson yang masih terkurung dalam egonya. Tio dengan berani langsung menghampiri Camelina dan menjulurkan tangannya untuk menggenggam wanita cantik yang saat ini ada di hadapannya tersebut."Siapa yang mengizinkanmu pergi ke luar? Pekerjaan di rumah masih banyak!" sindir Aderson, berharap Camelina mengerti dan tidak jadi pergi.Hanya saja, saat itu Camelina tidak mendengar teguran dari suaminya. "Tunggu sebentar ...!" kata Camelina kepada Tio. Ia berjalan mendekat kepada Aderson. Lalu, secara perlahan dirinya langsung membuka resleting tas yang dibawanya itu. Ia menyerahkan sejumlah uang kepada Aderson."T
Setelah menyetrika semua pakaian yang ada, ia pun menyerahkannya kepada Berliana yang tengah bersantai ria dengan sebuah majalah di tangannya."Ma, semua pakaian selesai disetrika dan sudah saya letakkan di lemari. Sekarang saya mau makan," ucap Camelina dengan tubuh agak membungkuk sopan.Tanpa sepengetahuan Berliana, pada kesempatan itu, Camelina juga rupanya menyetrika pakaian yang dimilikinya. Ia menyiapkan itu untuk nanti malam supaya ia dapat tampil baik dengan Tio.Tidak peduli siapa yang bersamanya malam nanti, ia hanya ia menunjukkan penampilannya yang cantik mempesona. Bukan masalah cinta atau pasangan lagi, tetapi Camelina menganggap orang yang menghargai dirinya bukan orang yang abai dan merendahkan harga dirinya.Ketika hendak mengambil pakaian miliknya yang ia taruh di meja beberapa saat yang lalu, beberapa lembar uang di bawah pakaian itu jatuh dengan sebuah kertas kecil dengan tulisan di dalamnya."Siapa yang menaruhnya di sini. Perasaan ... tadi tidak ada uang," gumam
"Kalau kamu mau ikut acara itu, ikut saja, tapi jangan harap kuakui sebagai istriku di sana karena pernikahan kita pun rahasia!"Camelina tersenyum simpul. "Baiklah, terima kasih, Mas."Setelah mendapat izin itu, Camelina melangkah pergi dari hadapan Aderson tanpa sempat memberitahu bahwa sebetulnya ia akan pergi menemani Tio.Ia melangkah menuju kamar yang ditempatinya dan langsung mengambil ponsel. Lalu, ia pun menghubungi Tio yang sudah menunggu kepastian dari dirinya itu.Tio yang mendapat panggilan telepon dari Camelina itu sontak langsung tersenyum riang, tanpa berlama-lama, ia pun langsung menjawab teleponnya tersebut.[Halo?]Itulah satu kalimat pertama yabg terlontar keluar dari mulut Camelina. Ia Ing in memastikan terlebih dahulu bahwa yang berbicara dengannya sungguh-sungguh Tio bukan orang lain.[Bagaimana? Malam ini kamu bisa?] Pertanyaan singkat yang terlontar keluar via telepon membuat Camelina sudah yakin dan pasti bahwa itu memang Tio.[Iya. Saya bisa.]Tio langsung