Selesai pemotretan sudah hari ini. Shanaya langsung berpamitan pulang pada teman dan crewnya. Beruntung pemotretan hari ini selesai sore hari. Tidak seperti kemarin, yang baru terselesaikan malam harinya.Shanaya mendesah, ketika langit sudah gelap dan mulai turun hujan. Bahunya melemas, keinginannya untuk segera pulang malah terhalang."Sendirian saja, Sha? Raisa tidak ada jadwal pemotretan ya." Shanaya menoleh, pada seorang pria yang duduk di sampingnya.Sedikit bernapas lega, masih ada orang di lokasi ini. Shanaya tidak perlu merasa takut di cuaca hujan dan sendirian di sini.Hari ini Raisa tidak hadir, dikarenakan tidak ada jadwal pemotretan."Kupikir kau sudah pulang, Dre. Syukurlah kau ada. Aku agak takut sendirian di sini," keluh Shanaya.Pria di sampingnya terkekeh geli, padahal tidak hal yang lucu. Tapi mengapa Andre malah tertawa?"Memangnya kau takut apa? Kau tenang saja, di sini aman kok. Kan ada penjaga," ujar Andre.Shanaya memang bukan tipikal orang yang parnoan. Hanya
Tangan Farraz yang melingkar di pinggang Shanaya langsung disentak kasar oleh sang empu. Shanaya menolak ketika Farraz akan memeluknya. Dia masih marah dan kesal karena perdebatan tadi.Yang membuat Shanaya lebih kesal, Farraz malah pergi begitu saja saat Shanaya menunggu jawaban. Jadi ya sudahlah, pun Farraz tidak mungkin cemburu padanya. Ia saja yang berpikir berlebihan."Aku tidak suka kau menolakku, Sha," cibir Farraz. Hening. Shanaya hanya bisa menahan tangan Farraz saja ketika pria itu mencoba memeluknya. Shanaya sudah malas."Tinggalkan aku sendiri, Mas! Aku masih marah padamu! Kau benar-benar tidak peka jadi pria!" gerutu Shanaya, meluapkan kekesalan yang tertahan."Harusnya aku yang marah padamu, karena kau tidak mendengarkan suamimu. Andai saja kau nurut, aku tidak akan memarahimu. Itu salahmu sendiri, bebal," pungkas Farraz.Shanaya memberenggut kesal, perkataan suaminya tidak dihiraukan. Ia memilih memandang ke luar jendela kamarnya saja."Percuma aku berbicara. Kau hanya
Butik Alexis.Malam ini diadakan fashion show di Butik Alexis, karena Butik ini sudah mengeluarkan produk terbarunya untuk diperkenalkan kepada masyarakat umum. Agar produk terbarunya sould out seperti biasa.Di acara malam ini, ada banyak sekali tamu yang hadir. Mulai dari artis, designer, pengusaha dan orang dari kalangan atas yang menghadiri acara ini. Mereka semua duduk di kursi yang sudah disediakan, sembari menunggu para model tampil."Huh, aku sangat gugup sekali. Baru tampil di hadapan umum," ungkap Shanaya, ia memegang kedua tangan Raisa guna menghilangkan kegugupan.Raisa malah cekikikan, saat merasakan tangan Shanaya dingin dan gemetar. Dua model cantik itu sudah siap dengan make up dan balutan pakaian dari Butik Alexis."Santai Sha santai, kau jangan gugup seperti ini. Kita bahkan pernah menjadi model diacara yang lebih besar dari ini, tunjukkan kemampuanmu seperti biasa," ujar Raisa, menyemangati sahabatnya."Kau juga. Aku hanya gugup saja," ucapnya. Kedua model itu sedan
Walau sebenarnya Shanaya masih penasaran, siapa teman yang suaminya maksud itu. Ia lebih memilih untuk bungkam, mengikuti ke mana suaminya membawanya pergi.Sampai di parkiran, Shanaya celingukan. Ingin bertanya, Farraz malah tidak menjawabnya. Huh, menyebalkan memang."Sebenarnya kita mau bertemu dengan siapa sih, Mas?" Shanaya bertanya dengan rasa penasarannya.Farraz membawa Shanaya untuk diam, dengan tangan yang Farraz genggam."Sebentar lagi temanku akan datang. Kita tunggu saja di sini," ujar Farraz. Bohong jika dia tidak merasa ketar-ketir, takut jika Shanaua dirundung rasa trauma jika bertemu dengan Leonard.Disisi lain, dia juga tidak ada pilihan, lantaran Leonard mengancamnya akan membeberkan kebenaran pada Shanaya. Jika saja Shanaya tahu, wanita ini pasti akan sangat marah padanya."Nunggu di sini saja, Mas? Kenapa tidak di dalam saja," ucap Shanaya. Agar obrolan mereka lebih leluasa di dalam sana.Perasaan Shanaya menenangan, merasakan usapan jempol Farraz di telapak tanga
Pagi hari menyapa. Di saat Farraz sedang memasangkan dasi di kerah kemejanya, ia terusik dengan suara Shanaya yang bolak-balik ke kamar mandi sedari tadi. Farraz tidak tahu penyebabnya apa, Shanaya tidak menjawab ketika dirinya bertanya.Merasa khawatir dengan kondisi Shanaya, Farraz buru-buru memasangkan dasinya. Gegas saja ia berjalan masuk, menyusul Shanaya yang sedang berdiri diri depan wastafel.Farraz jadi panik, ketika wajah Shanaya sudah semakin pucat. Dipegangnya tengkuk Shanaya, agar sang istri memuntahkan isi perutnya."Kau ini kenapa, Sha? Sejak pagi kau muntah terus-menerus," tanya Farraz."Aku tidak tahu, kenapa aku mual seperti ini," jawab Shanaya dengan lemas.Ia mencuci mulutnya dengan air, kepalanya pening seperti ini, ditambah perutnya mual dan sakit. Farraz menyandarkan tubuh Shanaya di dada bidangnya."Kita ke Dokter saja ya. Wajahmu sangat pucat," kata Farraz. Mengusap keringat dingin di kening istrinya.Shanaya menggeleng, menolak untuk dibawa ke Dokter. Yang ia
Keesokan harinya...Farraz keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Tubuh kekarnya basah dengan buliran air yang masih tersisa. Ia mengelap rambutnya dengan handuk, pria itu hanya berbalutkan handuk sebatas pinggang saja.Melihat pemandangan yang memanjakkan mata, Shanaya terpaku sejenak, binar matanya begitu cerah ketika otot kekar sang suami terpampang jelas."Ada apa kau melihatku seperti itu? Terpesona?" Farraz berkata jumawa."Apaan sih, kegeeran banget jadi orang."Shanaya berdecak, ia mengalihkan pandangan ke pantulan cermin. Pagi ini, dia berencana untuk berkunjung ke kediaman Ayahnya bersama Ayah mertuanya. Sejak liburan ke Swiss, mereka jadi jarang bertemu.Dikarenakan Tuan Aryan sedang mengurus penceraian, kata Farraz Ayahnya sedang membutuhkan waktu untuk sendiri."Kau akan mengunjungi Ayahmu, Shanaya?" tanya Farraz. Memakai baju yang disediakan istrinya.Pandangan Shanaya masih pada cermin, ia memolesi wajahnya dengan bedak agar terlihat segar. "Iya. Aku a
Gudang.Entah apa yang akan Farraz lakukan pada Shanaya, sehingga pria yang sedang diselimuti kabut amarah itu membawanya ke tempat kotor dan kumuh seperti ini. Bahkan, Farraz dengan tega manjambak rambut Shanaya hingga berantakan.Orang yang melihat tidak ada yang mendekat. Sadar akan posisinya sebagai bawahan, mereka tidak berani untuk melerai apa yang dilakukan Farraz kepada Shanaya.Pria yang sudah kepalang marah itu langsung menutup pintu dengan keras, menimbulkan bunyi yang begitu menggelegar ke sekitar.Didorongnya tubuh Shanaya, hingga dia tengkurap di lantai. Shanaya meringis, merasa sakit yang menjalar. Dengan kejam, Farraz kembali menahan tangan Shanaya dan mengikatnya, sampai pergelangan tangannya memerah."A-ampun Mas ... jangan seperti ini, aku tidak macam-macam dengannya. Aku dan Andre ke Hotel karena menghampiri Raisa, bukan melakukan hal yang tidak-tidak, Mas," racau Shanaya.Farraz diam. Melanjutkan kegiatannya mengikat tangan dan kaki istrinya. Shanaya semakin gemet
Ketiga pria beda generasi itu menunggu di depan ruangan tempat Sanaya diperiksa, dengan perasaan berkecamuk, Farraz lagi-lagi merutuki dirinya sendiri atas apa yang sudah ia perbuat pada istrinya. Dia sendiri tidak tahu bagaimana keadaan Sanaya di dalam sana. Sebab, dokter yang memeriksa belum juga keluar dari ruangan. Farraz berharap, segera ada kabar baik dari Dokter.Sedari tadi yang dilakukan Farraz bergerak ke sana kemari dengan perasaan gamang. Ketika ia sedang mondar-mandir, pintu ruangan dibuka oleh seorang Suster. Gegas ia menghampiri sang suster langsung mencecarnya dengan pertanyaan."Bagaimana dengan kondisi istriku? Apa yang terjadi dengannya? Apakah istriku baik-baik saja? Cepat katakan!" cerocos Farraz."Kondisi pasien masih belum sadarkan diri, pasien masih dalam penanganan Dokter. Sesuai perintah Dokter, saya hanya ingin memberitahukan bahwa pasien mengalami keguguran, pasca mengalami benturan keras di perutnya. Karena kehamilan pasien masih terbilang muda, kami tida
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t