Seminggu sudah berlalu, semenjak kejadian itu Shanaya lebih memilih berdiam diri di kamarnya. Seminggu lalu, Shanaya memilih untuk kembali ke kamarnya. Hari-hari yang ia lalu dihabiskan dengan berdiam dan mengurung diri. Menghindar berkontak mata dengan suaminyaz, Shanaya masih trauma.Sudah seminggu ini, Shanaya tidak melakukan tugasnya sebagai istri. Tidak masalah bukan? Justru itu bagus, karena selama ini Farraz tidak butuh baktinya. Shanaya juga sudah malas.Banyak sekali dari rekan bisnisnya, menanyakan kenapa dirinya tidak kelihatan seminggu ini. Ya, Shanaya memang menolak job ketika ada yang menawarkannya. Dia sedang malas ke mana pun."Sampai kapan kau akan mengurung dirimu di sini?" Kehadiran Farraz secara tiba-tiba sedikit mengagetkan Shanaya.Entah bagaimana pria itu bisa masuk ke dalam kamar, padahal Shanaya menguncinya dari dalam. Ah iya, Shanaya lupa jika rumah ini milik suaminya."Pergilah Mas, aku tidak ingin melihat wajahmu!" ketus Shanaya, datar dan singkat.Demi Tuha
"Kau sudah makan?" Shanaya yang sedang duduk di tepian kolam menoleh sejenak, lalu menunduk. "Mulutmu sudah tidak berfungsi?" lanjut Farraz.Shanaya mendengus. Akhir-akhir ini Farraz banyak bicara dan bawel sekali padanya. Pria itu selalu saja memancingnya untuk berbicara, padahal Shanaya malas."Apa lagi sih, Mas? Bicara disuruh diam, diam disuruh bicara. Sebenarnya apa maumu? Serba salah terus aku!" gerutu Shanaya. Dia kaget, ketika Farraz ikut memasukkan kakinya ke kolam renang. Duduk tepat di sebelah Shanaya dengan jarak beberapa cm saja.Farraz menyentil kening Shanaya, membuat sang empu meringis kesakitan, lantas mengusap keningnya. "Awh! Sakit tahu!""Bukan berarti aku mendiamkan, kau malah semakin lancang. Harusnya kau menyambutku pulang, melayaniku ini dan itu. Bukan malah berleha-leha dan bersantai di sini," sewot Farraz.Daripada serba salah, Shanaya hanya bisa memberenggut kesal. Jadi maunya Farraz, dia harus bagaimana?Apa suaminya itu tidak paham jika dirinya masih marah
Di balkon kamarnya, Shanaya terus mondar-mandir sembari menggigit kukunya lantaran gugup. Seusai perbincangannya dengan sang suami tadi, Shanaya memilih untuk pergi saja ke kamar.Wanita cantik itu tidak henti berjalan ke sana ke mari, dengan pikiran gamangnya. Apa yang disampaikan Farraz tadi, tak ayal membuat Shanaya terkejut.Dia tidak tahu, jika sang mertua menyiapkan bulan madu mereka. Shanaya berpikir, apa karena hal ini Farraz sangat marah padanya seminggu lalu?"Apa kami benar-benar akan melakukannya?" gumamnya bermonolog sendiri.Daripada terus kepikiran ini, lebih baik ia mencari ketenangan saja di luar. Seminggu mengurung di kamar membuatnya bosan. Udara malam memang sejuk, Shanaya bisa melihat jutaan bintang di langit malam."Mas Farraz sedang apa ya? Ke sana atau tidak ya?"Shanaya melirik ke arah pintu kamar suaminya. Dilubuk hati, Shanaya penasaran dan rindu sekamar dengan Farraz. Langkahnya menuruni anak tangga malah urung, ia berjalan menghampiri kamar sang suami."Ma
Sembari menikmati indahnya danau Janewa, Shanaya mengarahkan kamera ponselnya untuk mengambil beberapa foto, supaya dijadikan kenangan. Wanita itu paling antusias sedari tadi, apalagi senyum merekah yang terlukis di bibirnya membuat Shanaya semakin mempesona.Rambut yang sengaja digerai, sembari memakai blazer dan juga mantel agar tidak kedinginan. Datang ke negara impian memanglah menyenangkan. Untuk pertama kalinya Shanaya pergi ke negara Eropa.Farraz menggaruk pelipisnya. Tidak habis pikir dengan Shanaya yang sangat bahagia, padahal wanita itu bilang lelah diperjalanan."Aku menyesal mengajakmu ke sini, norak sekali, aku sangat malu membawamu keluar," celetuk Farraz.Shanaya kesal sebenarnya, tetapi ia tidak mau merusak hari bahagianya dengan perkataan pedas Farraz."Siapa juga yang ingin keluar bersamamu? Kau ini percaya diri sekali. Aku bisa keluar sendiri," timpal Shanaya agar bisa meruntuhkan keangkuhan suami dinginnya itu.Farraz beranjak, menghampiri Shanaya yang sibuk denga
Entah berapa jam lamanya Farraz dan Shanaya menghabiskan waktu berkeliling di danau Jenewa, sembari menikmati jajajan dan wisata lainnya yang ada di sana. Tidak lupa mereka mengambil potret kebersamaan.Hingga malam hari sudah tiba, Farraz dan Shanaya memutuskan untuk kembali ke Hotel karena langit sudah gelap. Mereka juga kelelahan karena terlalu lama beraktivitas dan bersenang-senang.Hari ini adalah liburan paling menyenangkan yang Shanaya rasakan, karena berkunjung ke negara impian bersama dengan Farraz."Udara semakin dingin jika sudah malam," kata Shanaya, memeluk dirinya sendiri lantaran mulai merasa kedinginan.Suaminya benar, suhu udara di negara ini sangat dingin apalagi ketika malam. Bahkan, Shanaya masih merasa dingin walaupun memakai pakaian tebal. Berbeda dengan Farraz, pria itu terlihat biasa saja atau sedang menjaga image."Aku sudah bilang padamu jangan pulang terlalu malam, nanti kau akan kedinginan. Kau ini bebal, dikasih tahu tidak mendengarkan. Malah asik sendiri
Di depan jendela Hotel, Farraz mengarahkan pandangannya ke luar jendela. Menatap indahnya pemandangan malam yang begitu indah di kota Jenewa ini.Ia bersedekap dada, dengan pikirannya yang kosong. Farraz terus berpikir, tentang keanehan yang ia rasakan ketika bersama Shanaya. Mungkinkah itu cinta? Tidak mungkin! Yang Farraz cinta hanya Grisella.Farraz mengusap wajahnya gusar, ia berbalik badan. Menatap Shanaya yang sedang tertidur pulas di bawah tebalnya selimut. Bokongnya mendarat di tepi ranjang, tepat di samping istrinya tertidur.Tangan Farraz terulur, menyampirkan anak rambut rambut Shanaya yang menghalangi wajah cantiknya. Seulas senyum terbit di bibirnya, saat wajah damai itu jelas terlihat.'Aku akui kau sangat cantik, Shanaya,' batin Farraz. Tidak henti mengagumi kecantikan istrinya yang paripurna, nyaris sempurna tanpa cela.Cukup lama memandangi Shanaya yang sedang tertidur, Farraz menahan napasnya sejenak. Saat tubuhnya gampang bereaksi jika cuaca dingin seperti ini. Nafs
Di meja berbentuk bundar itu, hanya ada keheningan yang mencekam. Baik Shanaya maupun Farraz sama-sama diam, fokus dengan makanan yang mereka santap.Shanaya menyuapkan makanan ke dalam mulut, sembari mencuri pandang pada Farraz yang hanya diam dengan pikiran kosong.Sedari pagi, sang suami marah dan mendiamkannya. Memang terbiasa seperti itu sih, padahal kemarin baik-baik saja. Jika soal semalam, harusnya 'kan Shanaya yang marah, bukan malah Farraz."Mas Farraz lagi mikirin apa sih? Kenapa dari tadi hanya diam saja, Mas? Apa ada hal yang mengganggu pikiran Mas Farraz?" tanya Shanaya yang tidak bisa menahan untuk bertanya."Kau yang mengganggu pikiranku," jawab Farraz, tanpa mengalihkan pandangannya pada makanan yang baru ia santap.Shanaya mengernyit bingung. "Hah? Memangnya apa yang sudah aku lakukan? Sehingga Mas Farraz diam dan marah-marah seperti itu.""Habiskan makananmu. Kita akan ke Mall habis ini," titah Farraz dengan nada dinginnya.Shanaya hanya bisa menurut. Jika membantah
Keduanya melepaskan pagutan dengan napas yang terengah-engah, Farraz menangkup pipi Shanaya dan mengusap bibir ranum istrinya untuk menghampus jejak saliva.Shanaya mengulas senyum, ia merasa sangat senang dengan perlakuan manis sang suami malam ini. Ia juga sangat menikmati sentuhan-sentuhan yang diberikan Farraz.Farraz menarik Shanaya ke dalam pelukannya, menunggu obat perangsang yang ia berikan bereaksi."Kau tunggu dulu di sini. Aku akan ke kamar mandi dulu. Kau tidak keberatan 'kan jika aku pergi?" tanya Farraz, telapak tangannya mengusap pipi Shanaya dengan lembut."Iya Mas. Aku tunggu di sini," balas Shanaya. Tidak menaruh curiga sedikit pun pada suaminya, jika yang dilakukan oleh Farraz hanyalah sebuah sandiwara agar Shanaya terlena. Supaya yang direncanakan berhasil.Gegas saja Farraz pergi meninggalkan Shanaya yang mulai merasa mual dan pusing, akibat minum terlalu banyak. Wanita itu mengurut pelipisnya, guna menghilangkan rasa pusing yang menjalar.Selain pusing dan mual,
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t