Tanpa mengucap sepatah kata pun, Shanaya berlalu begitu saja, keluar dari mobil milik suaminya. Ia masih kesal perihal semalam. Shanaya ingin menghindar saja dari sang suami, agar bisa melupakan apa yang terjadi.Shanaya bergeming, saat Farraz melajukan mobil dengan kecepatan melebihi rata-rata. Pasti dia kesal, karena sudah diabaikan olehnya sejak pagi. Di meja makan pun, Shanaya asik mengobrol dengan Ayah mertuanya.Shanaya membuyarkan lamunan, jangan sampai kepikiran kejadian semalam ia jadi tidak fokus saat pemotretan. Bisa-bisa dia ditegur manajer jika hasilnya tidak memuaskan."Good morning Shanaya, huhuy pagi-pagi udah murung saja kau ini. Apakah kau begadang dengan suamimu semalam?" tanya Raisa ketika Shanaya duduk disebelahnya.Shanaya geleng-geleng kepala. Raisa malah mengira yang tidak-tidak. Memang iya sih, Shanaya diruda paksa semalam.Wajah Shanaya mendadak lesu dan murung, ia membenamkan kepalanya di meja dengan lipatan tangan.Raisa bingung, tidak tahu apa yang terjadi
Farraz menyeret Shanaya sampai di parkiran restoran. Banyak pasang mata yang memperhatikan, namun tidak dihiraukan. Farraz memasukkan Shanaya ke dalam mobil dengan paksa. Tanpa mempedulikan bagaimana keadaan istrinya saat kini.Farraz mematung, saat badan Shanaya bergetar dengan wajahnya yang sudah pucat di banjiri keringat dingin."Sha, are you you oke?!" pekik Farraz, mengusap pipi Shanaya yang terasa dingin.Hening. Shanaya hanya bisa menahan diri agar tidak menangis, tenaganya akan terkuras jika terus menangis."Mas Farraz apa-apaan sih?! Berlebihan tahu gak?! Aku sama dia tidak ada hubungan apa pun selain rekan kerja, Mas!" umpat Shanaya, dadanya naik-turun seiring dengan emosi yang meluap.Belum sempat makan, Farraz malah menarik dan membawanya pergi."Aku tidak suka kau bersama pria lain, Shanaya! Kau punya otak tidak sih? Kau ini sudah punya suami, jangan gatal pada pria lain!" kesal Farraz, yang mulai terbawa emosi saat Shanaya memulai pembicaraan ini."Gara-gara sikap Mas ya
Menyadari ada keanehan terjadi pada istrinya, Farraz menepuk-nepuk Shanaya dengan pelan, agar dia bisa tahu jika Shanaya memang benar-benar tidur.Napas Farraz tertahan, tenggorokannya terasa begitu tercekat ketika tepukan di pipi istrinya tidak membuat Shanaya terbangun."Shanaya ... bangun Sha.""Apa kau bisa mendengarku? Kenapa kau tidak bangun-bangun juga, Shanaya."Farraz yang panik pun langsung menghubungi seorang Dokter, perasaan khawatir muncul begitu saja. Entahlah ... Farraz tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan kini.Tuan Aryan yang sedang beristirahat pun kaget, ketika mendengar suara Farraz yang terdengar frustasi. Gegas ia datang ke arah kamar menantunya. Dia menatap Farraz sedang duduk di samping Shanaya dengan kekhawatirannya. Tuan Aryan tidak tahu apa yang terjadi."Apa yang terjadi pada Shanaya, Farraz?! Apa yang kau lakukan padanya?!" ketus Tuan Aryan. Ikut khawatir dan panik saat melihat wajah Shanaya yang semakin memucat.Farraz tidak menjawab, dia fokus meng
Pagi harinya.Seperti kegiatan biasa, Shanaya memilih untuk beraktivitas kembali karena kondisi tubuhnya sudah mulai pulih. Shanaya menoleh ke arah walk in closet, terdengar suara cipratan air di dalam sana. Farraz mungkin sedang mandi.Sebelum memasak, Shanaya menyiapkan pakaian suaminya terlebih dahulu. Meski tak luput dari rasa kecewa, Shanaya tidak bisa mengabaikan tugasnya begitu saja.Setelah selesai, Shanaya pergi tanpa sepatah kata.Farraz yang baru saja selesai mandi mengernyit bingung kala tidak mendapati Shanaya di ranjang. Pria itu memakai handuk, dengan keadaan rambut basah, hingga terlihat jelas tubuh kekarnya yang semakin menawan."Ke mana gadis bodoh itu pergi?" gumam Farraz bermonolog.Dia tergugu, saat melihat baju kerja yang sudah disiapkan Shanaya. Farraz tidak mengerti, mengapa Shanaya sebaik ini menyiapkan keperluannya, padahal berulang kali Farraz selalu menolak dan membentaknya.Akan tetapi, Shanaya tetap bersabar dan berbakti. Ah, Farraz jadi bimbang sendiri j
"Kau tidak berusaha untuk membuat dia menyentuhmu? Siapa tahu, jika kalian punya anak akan semakin terikat," kata Tuan Aryan.Jangankan berusaha untuk melakukan hal itu, melakukan tugas sebagai seorang istri saja Shanaya selalu saja kena imbas kemarahan Farraz. Bagaimana jika ia nekat seperti itu? Farraz akan semakin marah besar.Shanaya juga tidak mengerti. Farraz melarangnya untuk tidak mendekati, tapi malah dia yang mendekati bahkan menyentuhnya dengan lancang. Ia hampir kehilangan keperawanan jika Farraz tidak Shanaya tidak melawan ketika Farraz tengah berfantasi dengan istri pertamanya.Memang sih tidak ada bedanya antara dipaksa dan suka rela, hanya saja Shanaya tidak mau dijadikan pempiasan nafsu, ia ingin melakukannya atas dasar sama-sama suka."Aku tidak yakin jika dia akan menerima anak itu, Ayah. Aku tidak mau anakku menjadi korban permasalahan kami," cicit Shanaya.Pun jika dia hamil, Farraz belum tentu bahagia dan menerima kehadiran buah hatinya. Menerima kehadirannya saja
Masih dengan keadaan takut dan panik, Farraz terus menepuk pipi Shanaya seraya memanggil-manggil namanya, berharap semoga Shanaya membuka matanya. Sesekali Farraz memberikan napas buatan, tidak bisa bohong bahwa Farraz merasa bersalah karena sudah terlalu emosi. Sampai menyakiti istrinya hingga tidak sadarkan diri.Rasa bersalah dan sesal mendera diri Farraz, mata merah yang menyimpan amarah kini merah karena tetesan air mata. Farraz pun tidak mengerti, mengapa ia setakut ini?Padahal niatnya ingin menyiksa Shanaya agar menderita. Tetapi ... hatinya berkata lain."Shanaya ... Sha bangun Sha!""Bangun! Aku tidak suka wanita lemah, Sha!""Arghh! Kau membuatku takut!" Farraz tidak berhenti meracau, seraya merutuki atas keteledorannya yang tidak bisa mengontrol emosi, hingga istrinya seperti ini.Usaha Farraz menyadarkan Shanaya tidak berhenti sampai di situ saja, pria yang didera ketakutan itu keluar kamar dan memanggil para pelayan untuk dibawakan air ke kamar.Farraz menepuk bahu Shana
Seminggu sudah berlalu, semenjak kejadian itu Shanaya lebih memilih berdiam diri di kamarnya. Seminggu lalu, Shanaya memilih untuk kembali ke kamarnya. Hari-hari yang ia lalu dihabiskan dengan berdiam dan mengurung diri. Menghindar berkontak mata dengan suaminyaz, Shanaya masih trauma.Sudah seminggu ini, Shanaya tidak melakukan tugasnya sebagai istri. Tidak masalah bukan? Justru itu bagus, karena selama ini Farraz tidak butuh baktinya. Shanaya juga sudah malas.Banyak sekali dari rekan bisnisnya, menanyakan kenapa dirinya tidak kelihatan seminggu ini. Ya, Shanaya memang menolak job ketika ada yang menawarkannya. Dia sedang malas ke mana pun."Sampai kapan kau akan mengurung dirimu di sini?" Kehadiran Farraz secara tiba-tiba sedikit mengagetkan Shanaya.Entah bagaimana pria itu bisa masuk ke dalam kamar, padahal Shanaya menguncinya dari dalam. Ah iya, Shanaya lupa jika rumah ini milik suaminya."Pergilah Mas, aku tidak ingin melihat wajahmu!" ketus Shanaya, datar dan singkat.Demi Tuha
"Kau sudah makan?" Shanaya yang sedang duduk di tepian kolam menoleh sejenak, lalu menunduk. "Mulutmu sudah tidak berfungsi?" lanjut Farraz.Shanaya mendengus. Akhir-akhir ini Farraz banyak bicara dan bawel sekali padanya. Pria itu selalu saja memancingnya untuk berbicara, padahal Shanaya malas."Apa lagi sih, Mas? Bicara disuruh diam, diam disuruh bicara. Sebenarnya apa maumu? Serba salah terus aku!" gerutu Shanaya. Dia kaget, ketika Farraz ikut memasukkan kakinya ke kolam renang. Duduk tepat di sebelah Shanaya dengan jarak beberapa cm saja.Farraz menyentil kening Shanaya, membuat sang empu meringis kesakitan, lantas mengusap keningnya. "Awh! Sakit tahu!""Bukan berarti aku mendiamkan, kau malah semakin lancang. Harusnya kau menyambutku pulang, melayaniku ini dan itu. Bukan malah berleha-leha dan bersantai di sini," sewot Farraz.Daripada serba salah, Shanaya hanya bisa memberenggut kesal. Jadi maunya Farraz, dia harus bagaimana?Apa suaminya itu tidak paham jika dirinya masih marah
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t