Sebenarnya tadi pagi Shanaya ada urusan dengan temannya, untuk membicarakan sesuatu. Shanaya memutuskan untuk kembali aktif di dunia modeling setelah bicara dengan suaminya. Itulah mengapa dia memutuskan menghubungi temannya, memberikan keputusannya untuk mengiyakan penawaran beberapa job untuk dia terima.Rasa pening Shanaya mulai mereda, dia memutuskan untuk pergi dengan di antar sopir ke tempat tujuan. Jika membawa mobil, Shanaya sungkan, itu mobil milik suaminya."Kita mau kemana Non Shana?" tanya sopir yang bekerja di kediaman Farraz."Ke caffe yang dekat sama kantor Mas Farraz, Pak. Antarkan saya ke sana ya. Bapak bisa pulang lagi setelah nganterin saya."Shanaya membuka ponselnya, menanyakan teman sekaligus rekan kerja itu.Mobil yang mereka kendarai berhenti, di depan salah satu caffe yang letaknya dekat dengan kantor sang suami. Rencananya, Shanaya akan mampir ke sana untuk mengantarkan makan siang. Karena Farraz tidak sarapan sejak pagi.Setelah mengucapkan kata terimakasih
Pijatan Shanaya semakin terasa enak, tubuhnya yang pegal kini sudah terasa berkurang.Namun, ada desiran aneh ketika jari lentik Shanaya memijat bahunya. Dia tiba-tiba terangsang, tanpa sadar tangan Shanaya menyentuh area lehernya.Farraz berdesis, sambil memejamkan kedua matanya. Hormon adrenalinnya terangsang begitu saja, padahal hanya sentuhan biasa. Mungkin karena sudah lama kebutuhan biologisnya tidak tersalurkan.Farraz menjauhkan tubuhnya, agar Shanaya tidak menyentuhnya lagi. Bisa-bisa dia terangsang kembali jika tangan itu terus bergerilya."Sudah cukup! Kau bisa pulang sekarang!" titah Farraz.Shanaya kembali duduk, sambil mengerucutkan bibirnya kesal. Baru saja datang, malah disuruh pulang, siapa yang tidak kesal coba.Ruangan kerja suaminya begitu luas dan tertata rapih, dari gedung pencakar langit ini bisa melihat pemandangan di bawa sama."Atau mau aku usir?" sambungnya ketika Farraz tidak juga beranjak."Baru saja aku sampai, Mas. Masa sudah disuruh pulang lagi saja. Ma
Shanaya dan Raisa sudah sampai di tempat pemotretan, keduanya datang menggunakan mobil milik Raisa.Tidak bisa dipungkiri jika Shanaya sangat senang, akhirnya bisa kembali setelah sekian lama memutuskan vakum. Untung Farraz tidak melarang, meski sikapnya seolah melarang. Ah, Shanaya tidak mengerti dengan manusia yang satu itu.Sepanjang jalan, Shanaya tidak bisa fokus. Dia masih kepikiran dengan kejadian yang ia lihat tadi pagi. Berulang kali, Shanaya menepis itu. Tapi tidak bisa.Bagaimana dia mau berpositif thinking. Melihat Ibu mertua dan kakak iparnya seintim itu membuat Shanaya menduga, jika tidak ada yang beres diantara mereka."Hello Shanaya, kau kenapa melamun terus dari tadi?" kata Raisa, ketika keduanya sedang diriasi wajahnya oleh MUA.Shanaya membuyarkan lamunan. Dia ingin bertanya pada Raisa. Tetapi bingung mulai dari mana."Sa, aku ingin bertanya kepadamu. Soal dua sejoli tadi," kata Shanaya.Raisa menatap Shanaya di pantulan cermin. "Bertanya apa? Omaygat Shana. Kau mel
Farraz mengarahkan tangannya, untuk mengusap bahu mulus sang istri yang terpampang jelas, sangat memanjakan matanya. Shanaya menyampingkan kepalanya, saat Farraz menyesap dagu dan ceruk lehernya.Napas Shanaya tertahan, tonggorokannya tercekat, menikmati bibir sensual suaminya yang membasahi area tubuhnya.Hingga tanpa sadar, Shanaya melingkarkan tangannya ke leher sang suami. Dia benci, ingin merutuki dirinya sendiri karena tubuhnya gampang bereaksi."Aroma parfummu wangi. Andai saja aku tidak membencimu, aku akan memuaskanmu, Shanaya," bisik Farraz, dengan bibir yang mengecup pipinya."Mashh ... shhh ... " Shanaya tidak kuasa menahan gelenyar saat Farraz mengecupi inci tubuhnya lembut.Shanaya membuka mata, menguatkan diri agar tidak terbuai akan sentuhan-sentuhan itu. Takut jika Farraz akan mencampakkan dirinya seperti hari lalu. Tidak, ini tidak boleh terjadi lagi.Dibiarkannya Farraz menyesap, menggigit dan memberikan tanda kepemilikan di area sana. Matanya terpejam, sembari mere
Di depan teras rumahnya, Shanaya berdiri untuk mwnyambut kepulangan Farraz. Seperti yang biasa dia lakukan meski diabaikan. Wanita memakai gaun tidur berwarna hitam itu terlihat cantik malam ini.Seharian beraktivitas membuatnya lelah. Shanaya menguap, merasa kantuk mendera.Hanya menunggu Farraz datang saja, habis ini Shanaya akan beristirahat di kamarnya. Sekian lama menunggu, akhirnya yang ditunggu datang.Farraz keluar dari mobil, raut wajahnya semakin datar ketika melihat Shanaya sedang tersenyum ke arahnya. Farraz mendengus, masih merasa kesal dengan kejahilan Shanaya tadi siang. Wanita itu benar-benar keterlaluan."Sini Mas, biar aku yang bawa tasnya." Shanaya mengambil tas kerja suaminya dan berjalan di belakang suaminya."Mas, makan malamnya udah aku siapin. Kok nggak ke meja makan? Mau mandi dulu?" tanya Shanaya saat Farraz berjalan ke arah tangga. Tidak menghiraukan perkataan wanita yang sudah membuatnya tersiksa.Shanaya membuang muka, ketika Farraz melepaskan satu persatu
"Hei sayang, senyumlah ... kenapa kau cemberut seperti ini?" ujar Prayoga, saat keduanya di dalam mobil yang berhenti di depan kediaman Tuan Aryan.Sesuai rencana baru, mereka akan kembali tinggal di sini untuk sementara waktu. Sampai misinya berhasil—yaitu merayu Tuan Aryan agar menyerahkan warisannya.Arsinta bersedekap dada, sepanjang jalan wanita itu hanya diam dengan wajah kesal. Tidak seperti biasanya yang bergelayut manja atau merayu Prayoga."Aku malas bertemu pria tua itu, sayang. Dia selalu mengurungku di dalam kamar. Aku hanya ingin bersamamu," kata Arsinta. Prayoga hanya diam saja, mendengarkan gerutuan Arsinta yang memang terpaksa menyetujui permintaannya."Demi masa depan dan rencana kita sayang. Kau mau 'kan melakukan segalanya demi aku?" Arsinta membalas tatapan Prayoga, kemudian mengangguk singkat."Baiklah-baiklah. Aku akan berusaha, agar harta itu jatuh ke tangan kita."Ia manarik tengkuk Prayoga dan memulai percumbuan sebelum masuk ke dalam. Keduanya menikmati tuk
Pagi harinya Farraz kembali ke kediamannya setelah bermalam di Rumah Sakit. Dia pulang dipagi buta, karena akan berangkat ke kantor seperti biasa. Kepalanya menoleh ke arah dapur. Tidak melihat ada Shanaya di sana, hanya ada para maid yang sibuk dengan pekerjaannya.Aneh. Biasanya di jam seperti ini, wanita itu selalu sibuk dengam kegiatan masaknya. Ya sudahlah, untuk apa juga Farraz peduli. Lelaki bertubuh kekar itu menaiki setiap anak tangga, akan mandi dan bersiap dulu sebelum berangkat. Di kamar, Shanaya tidak ada. Ia lupa jika Shanaya dia suruh tidur di tempat lain."Shanaya tidak masak pagi ini?" tanya Farraz ketika Nuri dan para maid lain menghidangkan makanan.Nuri menggelangkan kepalanya sopan. Sedari pagi, para maid juga tidak melihat Shanaya pergi ke dapur. "Tidak Tuan. Sarapan hari ini kami yang memasakan."Nuri pamit undur diri, untuk mengerjakan tugas yang lain. Di kursinya, Farraz melamun sejenak. Rasanya ada yang kurang jika Shanaya tidak memasak. Padahal jika istriny
"Yoga, apa yang kau lakukan!" pekik Arsinta ketika Prayoga menarik tangannya dan mengungkungnya di tembok. Mereka berhadapan, tanpa jarak.Prayoga menyeringai, matanya menunduk, menatap belahan dada Arsinta yang terlihat jelas di matanya. Prayoga merapatkan tubuh, sambil memaju-mundurkan saat menekan 'miliknya' dengan 'milik' Arsinta.Arsinta menganga, membuka mulutnya merasakan 'milik' Prayoga menusuk, hanya terhalang kain yang mereka pakai."Menjauhlah! Nanti Ayahmu akan curiga!" ketus Arsinta, mendorong tubuh kekar itu agar tidak mendekatinya.Arsinta berjalan ke arah dapur, akan membuatkan kopi untuk suaminya. Di belakang Arsinta, Prayoga terus mengikuti. Ia melihat sekitar, ternyata aman, tidak ada siapa pun selain mereka.Tangan kekar itu melingkar, memeluk perut dan meremas kuat dada sintal Arsinta. Arsinta mendesah, kegiatan menyeduh kopinya terganggu saat pria di belakangnya memeluknya.Prayoga membelai lembut pangkal paha Arsinta, wanita itu bisa merasakan sesuatu yang keras
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t