Menghela napas dalam-dalam, Shanaya gemetar ketika bersitatap dengan wajah Farraz yang seolah akan menerkamnya. Dari mana suaminya tahu soal ini? Pantas saja Farraz tiba-tiba datang dan menyuruhnya untuk pulang.Posisi Shanaya sekarang ini seperti orang yang ketahuan selingkuh. Pun jika Farraz tahu, Shanaya tidak macam-macam bersama Prayoga. Mereka berdua bertemu tanpa sengaja.Farraz mencengkram dagu Shanaya, lantaran istrinya hanya diam membisi. Shanaya meringis, ketika cengkraman Farraz semakin kuat di dagunya."Jawab! Apa kau senang berduaan dengan mantan kekasihmu itu? Apa kalian memulai hubungan lagi?" Pandangan mata Shanaya mengabur karena terhalang oleh matanya yang sudah berkaca-kaca.Tangisan Shanaya saat ini hanya membuat Farraz murka. Diperkuatkan cengkraman itu, hingga Shanaya hanya bisa menangis."Mas, aku bisa jelaskan, ini tidak sesuai yang kamu pikirkan," isak Shanaya dengan tubuh bergetar.Tubuh Shanaya terdorong hingga kepalanya terbentur pintu, ia semakin meringis
Keduanya dengan kompak langsung berdiri, saking kagetnya dengan suara bariton Farraz begitu menggelegar diseisi ruangan. Mereka tidak tahu, jika Farraz akan datang ke mari dengan amarah yang meluap seperti sekarang ini.Farraz mengepalkan kedua tangannya dengan rahang yang mengeras, tatapan matanya menatap nyalang ke arah pria yang sedang menatapnya dengan raut wajah dan takut menjadi satu.Kaki Farraz berhenti, dengan jarak yang tak jauh dari Ayah dan kakak tirinya. Beginilah Farraz, jika sudah diselimuti api amarah, tidak akan memandang bulu."Apa yang terjadi, Farraz? Mengapa kau datang malah marah-marah?" tegur Tuan Aryan. Dari dulu, Tuan Aryan selalu menerapkan tata krama dan sopan santun kepada anak-anaknya. Melihat Farraz yang seperti ini, tentu saja Tuan Aryan kesal.Menatap Tuan Aryan sejenak, lalu Farraz kembali menatap kakak tirinya yang selalu saja mencari masalah dengannya."Ayah tidak perlu tahu, ini bukan urusanmu. Tapi ini urusanku dengam bajingan gila itu!" sindirnya
Radit terperangah ketika Arsinta mengusulkan hal demikian. Pemuda itu melepaskan tangan Arsinta dari lehernya. Bukan ini yang dia inginkan. Radit tahu dia salah, karena sudah berselingkuh dengan Arsinta. Tapi dia tidak ada niatan sama sekali untuk menjatuhkan Farraz."Kau bilang apa barusan?!" tanya Radit sedikit menyentak.Radit juga banyak berhutang budi pada Farraz yang selama ini baik padanya. Dia tidak mungkin menyetujui perkataan konyol Arsinta.Arsinta kembali memeluk Radit dari belakang, merasa kesal ketika Radit melepasnya kasar."Ada apa sayang? Kau tidak suka dengan ide yang aku katakan? Jika kau mau bekerjasama, kita akan membagi keuntungan," celetuk Arsinta menganggap remeh segalanya.Radit menarik Arsinta ke depannya, tangan kekar pria itu mencengkram lembut pipi sang kekasih. "Apa kau memacariku hanya untuk memanfaatkan aku saja?" tanyanya.Arsinta kelabakan, lalu menggeleng. Awal mula mereka berselingkuh memang bukan karena ingin menjebak Farraz, tetapi karena keduanya
Ketiga maid itu menegang, saat melihat Farraz sudah pulang dari kantornya. Sang atas menatap satu persatu maid yang sedang berbincang di depan gudang. Dia merasa curiga, curiga jika mereka memberikan pertolongan pada Shanaya.Farraz menatap ke arah pintu gudung. Tampak sunyi, apalagi ini sudah malam hari."Kembali bekerja! Jangan menentangku!" ketus Farraz."Tuan ... suara Non Shanaya tidak lagi terdengar, saya khawatir terjadi sesuatu," cicit Nuri dengan takut."Kau mau membantah? Ini bukan urusanmu! Biarkan saja gadis itu tersiksa di dalam sana!" Farraz pergi meninggalkan gudang setelah berkata demikian.Jika sudah begini, tak ada cara lain bagi para maid untuk patuh pada sang atasan. Nuri dan Alya masih diam, berbeda dengan Luna yang ikut masuk ke dalam.Luna meliuk-liukan tubuhnya, ingin memerkan lekukan tubuh indahnya. Si maid itu menghampiri meja makan, untuk menghidangkan makan malam. Luna terpesona dengan ketampanan Farraz dengan ciri khas wajah datarnya, bagaimana dia tidak
Tuan Aryan mendatangi kediaman anaknya pagi buta seperti ini, dia tidak memberitahu Farraz terlebih dahulu. Sengaja, dia ingin tahu apa yang terjadi di rumah ini.Para pelayan dan penjaga menyapa dan menyajikan hidangan. Sayangnya Tuan Aryan sedang tidak selera. Anak dan menantunya belum terlihat pagi ini.Kedatangan Tuan Aryan ke sini untuk menemui Farraz dan Shanaya, mumpung Farraz sedang libur bekerja hari ini. Dia ingin menghabiskan waktu bersama keduanya."Oh iya, apa Shanaya dan Farraz belum bangun?" tanya Tuan Aryan kepada Nuri yang sedang membawakan kopi.Nuri mengangguk sopan. "I-iya Tuan, Tuan Farraz masih di dalam kamarnya."Gelagat Nuri membuat Tuan Aryan penasaran. "Bagaimana dengan, Shanaya? Apa menantuku masih di kamarnya?"Maid di depan matanya gemetar. "Nyonya Shanaya...." ucapnya menjaga."Kenapa? Ada apa dengan menantuku, Nuri?" tanya Tuan Aryan, hatinya merasa tidak enak karena memikirkan menantunya. Akibat permasalahan kemarin, Tuan Aryan takut jika Farraz akan me
Shanaya berdiam diri di kamar luas dan megah ini, matanya tidak beralih menatap bingkai foto seorang wanita berukuran besar. Dia cantik dan cocok bersanding dengan suaminya, pantas jika Farraz sangat mencintai Grisella. Melihat foto kemesraan mereka, Shanaya menunduk, hatinya berdenyut sakit.Dilihat dari foto kebersamaan mereka, keduanya terlihat sangat bahagia. Shanaya bersalah, sudah masuk ke dalam kehidupan mereka dan dia juga ingin diperlakukan baik layaknya istri oleh suaminya sendiri. Sepertinya Shanaya terlalu berharap. Farraz tidak mungkin memperlakukannya seperti yang diharapkan. Pria itu bahkan lebih senang jika berjauhan dengannya. Air mata Shanaya menitik, dia benci jika dirinya lemah seperti ini.Shanaya menepis kasar pipinya dan buru-buru menghapus air matanya, karena mendengar suara pintu dibuka. Mendengar suara langkah kaki yang semakin mendekat, Shanaya meremas selimut yang menutupi tubuhnya."Aku terpaksa membiarkanmu di sini, jadi tahu dirilah. Jangan menyentuh bar
Prayoga berdiri sembari bersedekap dada, menyandarkan lengannya ke tembok ketika melihat kedua orang tuanya turun dari mobil. Pria berusia 30 tahun itu menatap intens ke arah Ibunya yang tampak lelah, seperti kurang tidur, dilihat dari kantung matanya saja Prayoga bisa menebak.Begitu kedua orang tuanya dihadapan Prayoga, Prayoga hanya tersenyum simpul ketika bersitatap dengan mereka. Dua hari ini, Prayoga menghabiskan waktunya di rumah, ia belum diizinkan bekerja sebelum kondisinya pulih.Arsinta menghampiri Prayoga, dia mengembangkan senyum sembari mengusap lengan sang putra."Kau dari mana saja, Bu?" tanya Prayoga menatap intens wanita yang melahirkannya."Ibu 'kan dari luar kota, kau lupa?" balas Arsinta. Baru kali ini Prayoga tidak yakin dengan perkataan Ibunya. Gelagat Ibunya sangat mencurigakan."Oh, ya sudahlah. Lebih baik Ibu istirahat saja. Kau terlihat lelah dan kurang tidur," ucap Prayoga. Arsinta mengulum bibirnya, tubuhnya menegang mendapati pertanyaan Prayoga."Lanjutka
Karena panik dengan keadaan Shanaya yang kembali tak sadarkan diri. Tuan Aryan dan Prayoga memutuskan untuk membawa Shanaya agar dibawa ke Rumah Sakit untuk ditangani. Firasat Tuan Aryan benar, bahwa Shanaya tidak baik-baik saja. Untungnya dia dan Prayoga datang.Sekitar 15 menit lamanya, akhirnya mereka sudah sampai di Rumah Sakit terdekat. Tubuh mungil Shanaya sudah diletakkan di atas brankar untuk dipindahkan ke ruang rawat. Di depan ruangan Shanaya, Tuan Aryan dan Prayoga tampak begitu khawatir."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Shanaya?" tanya Prayoga yang penasaran dengan keadaan Shanaya."Panjang ceritanya jika Ayah ceritakan. Tadi pagi dia sudah ditangani Dokter, Dokter mengatakan jika Shanaya kurang istirahat dan belum makan sejak kemarin," jawab Tuan Aryan.Prayoga meraup oksigen, khawatir dan cemas menjadi saat ketika melihat wajah Shanaya yang pucat dengan mata terpejam.Tuan Aryan mengepalkan tangan, entah kemana perginya sang putra. Hingga Farraz membiarkan istrinya se
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t