"Tapi Nyonya, Tuan harus tahu. Bagaimana kalau sesuatu terjadi sama Nyonya?""Aku nggak apa-apa, Bi. Lebih baik Bi Murni panggil dokter aja.""Saya sudah memanggil dokter, Nyonya. Saya sudah memencet tombol itu, sekarang saatnya saya kasih tahu Tuan Elvan.""Bi Murni ...."Wanita paruh baya itu mengabaikan perkataan Neya, dan berusaha menghubungi majikannya, Elvan.****Sementara itu, Elvan yang baru saja sampai tampak terkejut saat melihat ada mobil asing yang terparkir. Begitu pula, saat masuk ke dalam mansion. Dan benar saja, di mansion tersebut ada tamu yang kemungkinan diundang oleh orang tuanya.Mereka adalah Om Danu dan Tante Hana, sahabat baik orang tuanya. Dan wanita muda yang bersama mereka dipastikan adalah Larisa. Elvan masih cukup mengingat siapa wanita itu. Saat mereka masih kecil, dia dan Larisa sering bermain bersama saat. Akan tetapi, saat Larisa duduk di bangku sekolah menengah, wanita itu memutuskan untuk melanjutkan studinya di luar negeri, Elvan tebak kemungkinan
Sudah setengah jam lamanya, Elvan duduk di samping brankar Neya. Akan tetapi kedunya larut dalam keheningan, tak ada sepatah kata pun yang terucap, tak ada alunan kalimat yang terlontar dari bibir keduanya. Netra Neya tampak berpura-pura sibuk menonton televisi, sedangkan Elvan hanya mengamati gerak-gerik wanita itu.Rasa bersalah itu begitu berkecamuk di dalam dada, hingga membuat bibir Elvan seakan terkunci, terkadang laki-laki itu membuka mulutnya, namun tenggorokannya seakan tercekat, bibirnya pun begitu kelu, bahkan hanya untuk mengucapkan sebuah kata rasanya begitu sulit. Sebut saja Elvan bodoh karena tak tahu harus memulai dari mana dan berkata apa.Bagi Elvan, kesalahannya begitu besar, dan dia baru pernah dalam situasi seperti ini. Hubungannya dengan Aileen tidaklah pernah serumit ini, karena Elvan selalu menjaga Alieen. Ya, Aileen bukanlah Neya yang selalu diabaikan olehnya."Maaf ...." Kata yang seharusnya sudah Elvan ucapkan sejak awal kedatangannya akhirnya terucap. Neya
Kilau cahaya mentari menerpa kelopak mata Neya, membuat wanita itu perlahan membuka matanya. Namun, saat menyadari jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 8 pagi, seketika Neya merasa kesal pada dirinya sendiri. Malam ini, untuk pertama kali Elvan menghabiskan malam bersamanya, akan tetapi Neya sudah bangun kesiangan seperti ini. Apalagi saat tidak mendapati Elvan di ruangan tersebut. Dia tidak ingin, Elvan mengira dirinya istri yang malas."Astaga, apa yang aku lakukan? Kenapa malah bangun kesiangan gini sih? Jangan-jangan Mas Elvan pergi lagi karena illfeel punya istri kaya aku." Neya menghela napas, wajahnya ditekuk, sembari mengingat kejadian tadi malam yang membuatnya tidak bisa tidur karena terlampau asyik menatap suaminya yang sedang terlelap.Meskipun jarak usianya dengan Elvan, sangatlah jauh. Akan tetapi bagi Neya, suaminya tampak begitu menarik. Laki-laki dewasa itu terlihat begitu matang, dan memiliki aura yang sangat sulit Neya tepis untuk berhenti mengagumi. Apalagi, suar
"Apa?" Vera memiringkan kepala, seraya mengerutkan keningnya. Elvan pun mengangguk."Iya Ma, dia istri keduaku, namanya Neya. Saat ini, dia sedang mengandung anak kami.""Dari keluarga mana?" sahut Vera beberapa saat kemudian, setelah cukup lama terdiam, dan berhasil menata kembali hatinya untuk menerima kenyataan yang dia hadapi."Orang tuanya ada di desa, Ma. Di daerah perkebunan.""Pemilik perkebunan?" Elvan menggeleng. "Cih, apa kau sedang becanda? Elvan, mama tidak mempermasalahkan pernikahan keduamu ini, karena mama pun juga tidak yakin dengan Aileen. Tapi, seharusnya kau juga berpikir tentang asal usul wanita yang kau nikahi, kau jangan sembarangan dalam mengambil keputusan. Apa kau lupa, anakmu adalah calon pewaris keluarga kita dan kau tidak boleh bertindak asal seperti ini!'Elvan menggenggam tangan Vera. "Ma, tolong terima Neya, saat ini dia sedang mengandung anakku, cucu mama. Mama menginginkan cucu, 'kan?" "Iya, tapi tidak dari rahim wanita kampung seperti itu! Bisa-bis
Neya masih terdiam sembari menatap Vera dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia memang belum bisa sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan oleh mertuanya itu. Neya mengerti jika Vera mengajaknya bekerja sama, tapi kerja sama apa yang dimaksud oleh Vera, Neya belum bisa sepenuhnya memahami itu."Kenapa kamu diem? Kamu takut Elvan masuk ke ruangan ini? Kamu tenang aja, mama sudah menyuruhnya pergi keluar membeli buah-buahan untukmu. Mama sengaja melakukan itu agar kita bisa bicara berdua. Jadi, bagaimana penawaranku?""Sa-saya ....""Tak usah berpura-pura Neya, aku tahu kalau putraku Elvan pasti masih mengutamakan Aileen, karena itulah aku di sini untuk menawarkan kerja sama agar Elvan bisa sepenuhnya memberi perhatian padamu. Dan kau juga harus tahu, kalau aku melakukan semua ini bukan untukmu, aku memang belum bisa menerimamu sebagai menantuku, tapi aku melakukan semua ini demi cucuku. Aku tidak mau menambah beban pikiranmu yang bisa berdampak buruk bagi kesehatan cucuku."Neya mengangguk
Membaca pesan yang dikirimkan Neya, Vera menggelengkan kepalanya lalu menatap Elvan dan Aileen secara bergantian. Sebenarnya, wanita itu cukup terkejut dengan keberadaan Elvan pagi ini di rumah tersebut, dan ketika dia menanyakan hal itu, putranya hanya menjawab jika tadi malam Aileen menghubunginya karena sakit perut. Lagi, dan lagi Aileen selalu saja menjadi penghalang rencananya, begitu yang ada di dalam benak Vera.Wanita paruh baya itu menghela napas seakan melepaskan rasa penat di dada, lalu beranjak dari meja makan menuju ke kamarnya untuk menghubungi Neya, meninggalkan Aileen dan Elvan yang sedang asyik bercengkrama sembari menyantap sarapan paginya. Setelah Vera masuk kamar, Aileen tersenyum kecut.Vera beberapa kali menghubungi Neya, tetapi wanita itu tak menjawab panggilan darinya. Hingga hampir lima belas menit lamanya, sebuah suara yang terdengar begitu putus asa, terdengar di ujung sambungan telepon itu. Dari suaranya saja, Vera bisa menebak bagaimana perasaan Neya.[Halo
"Kamu ngomong apa, Ney?" tanya Elvan yang tidak mendengar apa yang dikatakan Neya saat dia fokus mengobati luka wanita itu."Oh nggak Mas, aku cuma berharap kalo anak ini ganteng." Neya meringis disertai gelagat canggung, namun tak mampu mengalihkan atensinya dari wajah Elvan."Oh iya Ney, aku juga berharap kalo anak itu cowok. Emh, ini lukanya udah selese aku obati, nanti biar aku aja yang ambil adonan kue-nya di oven ya.""Nggak usah, Mas. Biar Bi Murni aja."Elvan mendongak, lalu menatap Neya yang saat ini duduk di depannya. Dan dia baru menyadari jika jarak mereka kini sangat dekat. Elvan menatap Neya lekat. Situasi itu, membuat netranya sangat sulit dia alihkan dari Neya.Hari ini, wanita itu hanya memakai daster berbahan satin warna cream, rambutnya dia cepol asal ke atas, tanpa make up di wajah, hanya sekedar pelembab bibir dengan aroma strawberry yang menyeruak ke hidung Elvan, alisnya yang sedikit lebat bak semut berbaris disertai hidung mungil yang mancung seakan terpahat se
[Kau tidak sedang berbohong, 'kan?][Untuk apa saya berbohong, Nyonya. Memang saya belum tahu di mana pastinya keberadaan gadis itu, tapi sekitar satu bulan yang lalu, gadis itu pergi ke Jakarta, lalu mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit oleh orang yang menabraknya. Tapi, saya tidak tahu identitas penolongnya karena pihak rumah sakit tidak mau membocorkan identitas penolong tersebut.][Lalu, setelah kecelakaan itu, dia pergi ke mana?][Itu yang masih saya selidiki, Nyonya. Karena tidak ada informasi apa pun setelah itu.][Dasar bodoh, kenapa kau memberi informasi setengah-setengah seperti ini?][Maaf Nyonya, tapi setidaknya Nyonya harus tahu informasi ini, kalau saat ini dia berada di kota yang sama dengan Nyonya. Jadi, kita bisa lebih fokus mencarinya di sekitar ibu kota.][Kau benar juga. Kalau begitu, lebih baik kau selidiki siapa yang menolong gadis itu, karena aku yakin dia pasti ada bersama orang yang menolongnya.][Baik Nyonya.]Aileen menutup telepon tersebut seraya
Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang