Hayati dan Aska turun dari mobil. Bukan hanya mengantarkan tapi menunggu Aska sampai selesai kegiatan playgroupnya. Semenjak tinggal di kediaman Harsa Adam karena permintaan Ibunya, baru kali ini Hayati menunjukan wajah cerianya. Ternyata bersama Aska benar-benar membuat dunianya kembali ceria.Tapi hal itu tidaklah lama, terutama saat Hayati dan Aska baru saja masuk ke dalam rumah dan berada di ruang keluarga.Hayati terpaku menatap kehadiran seorang wanita diantara Layla dan Malika.“Mamah,” teriak Aska lalu berlari menghampiri wanita yang disebut Mamah. Renata, mantan istri Rangga ada di sana, tersenyum sinis pada Hayati lalu berjongkok sambil membuka kedua tangannya menyambut Aska.“Mamah kangen sekali dengan Aska.”“Aska juga.”Malika tersenyum menyaksikan kebahagiaan cucunya. Renata mengurai pelukannya, “Aska, Mama akan keluar kota dan mau ajak kamu. Gimana?”“Sekolah aku, gimana?”“Papah kamu akan hubungi Ibu Guru untuk izin tidak masuk.”“Papah ikut?”“Hm, sepertinya Papah kam
Hayati berbaring hanya beralaskan karpet, menatap langit-langit kamarnya. Berencana membeli kelengkapan kebutuhannya esok hari, termasuk juga mencari pekerjaan. Kepergiannya dari kediaman Harsa Adam tidak meninggalkan pesan apapun. Merasa bahwa keputusannya saat ini adalah yang terbaik.“Sabar ya sayang, kita pasti bisa melewati ini semua.” Hayati mengusap perutnya yang masih rata. Tidak pernah terbayangkan jika kedatangannya ke Jakarta untuk mencari Ibunya benar-benar merubah hidupnya.Menjadi istri kedua Rama lalu menikah dengan Rangga dan yang paling mengejutkan ketika dia menemukan kenyataan kalau Ibunya adalah istri muda dari mertuanya.Sementara itu di kediaman Harsa Adam.Rangga yang mengetahui jika Hayati tidak ada di rumah bahkan tidak dapat dihubungi juga sebagian pakaiannya tidak ada di lemari membuatnya geram. “Kemana Hayati, mana kontaknya tidak aktif,” keluh Rangga yang berkali-kali menghubungi wanita yang saat ini masih sah sebagai istrinya.“Mungkinkah dia pulang ke a
Rama meminta Hayati kembali berbaring dan beristirahat. “Ceritakan nanti saja, lebih baik kamu rehat.”“Mas Rama, aku nggak enak kalau Mas Rama harus temani disini. Mas Rama boleh pulang, aku bisa mengurus kepulanganku,” ujar Hayati.“Sudahlah, sebaiknya kamu istirahat. Besok pagi dokter akan periksa kondisi kamu, kalau sudah membaik boleh pulang.”“Tapi ….”“Hayati, kalau kamu tidak mengijinkan aku di sini, aku akan hubungi keluargamu atau suamimu,” ancam Rama.“Jangan Mas, iya aku akan istirahat.”Tidak lama, Hayati akhirnya kembali tertidur. Rama menatap Hayati, wajah cantik, lelah dan pucat. Menghela nafasnya mengingat kisahnya dengan Hayati. Dirinya masih merasa bersalah dengan apa yang Hayati alami, harus menikah dan menjadi istri keduanya bahkan Ayahnya meninggal karena kecelakaan dan itupun ulah Rama.***“Habiskan!”“Enggak Mas, perut aku mual,” keluh Hayati lalu menyerahkan mangkuk berisi bubur pada Rama. Selang infus di tangan Hayati sudah dilepas, dokter sudah memperbolehk
"Kamu menikah dengan Rangga?" Hayati menganggukan kepala sambil menundukkan wajahnya.Rama seakan tidak percaya dengan kenyataan siapa sebenarnya suami Hayati. Saat dia memutuskan mengakhiri hubungannya dengan Isna, sempat terbersit keinginan untuk mendekati Hayati. Hayati adalah sosok wanita yang sesuai dengan kriteria seorang istri bagi Rama. Tetapi kenyataannya Hayati sudah menikah dan yang paling mengejutkan adalah Hayati menikah dengan Rangga kakak dari mantan istrinya. "Kamu tidak menikah dalam keadaan terpaksa atau dipaksa bukan?" "Nggak Mas." "Beneran cinta dengan Pak Rangga?”"Awalnya aku tidak mencintai Pak Rangga tapi perlahan cinta itu hadir dan masalahnya pernikahan kami hanya secara agama." "Nah ini, ini yang aku maksud dengan terpaksa. Pak Rangga itu sudah pernah gagal dalam berumah tangga, kalau dia sudah yakin dengan kamu mengapa tidak melegalkan pernikahan kalian?" "Masalahnya rumit. Awalnya kami sepakat secara agama karena harus menjelaskan tentang status aku
Rangga dikejutkan dengan pesan masuk dari salah seorang yang ditugaskan mencari keberadaan Hayati dan berharap mendapatkan kabar baik.[Maaf Pak Rangga, Ibu Hayati tidak ada di kampung halamannya. Bahkan saya sudah menemui kerabatnya di sini, tidak ada yang melihat Hayati pulang. Termasuk juga kepala dusun]Rangga kembali harus kecewa karena Hayati benar-benar seperti hilang ditelan bumi. Di tengah kegamangannya, terdengar ketukan pintu.“Apa kabar Rangga?” tanya Renata.Rangga menyugar rambutnya. Setelah kedatangan Isna dan informasi yang belum berhasil menemukan Hayati, Rangga dihadapkan dengan mantan istrinya.“Ada apa?” tanya Rangga tanpa basa basi.Renata langsung duduk di salah satu sofa menghadap ke arah Rangga. Menyilangkan kakinya membuat rok yang dikenakan tersingkap dan menampakkan paha putih dan mulusnya.“Kemarilah, kita bicara disini,” ajak Renata sambil menepuk sofa di sebelahnya.Rangga menghampiri Renata tapi tidak duduk di samping wanita itu melainkan memilih sofa tu
Sudah beberapa hari ini Isna hanya termenung di ruangannya, malas untuk mengerjakan apapun. Asistennya sibuk mengatasi komplain dari customer dan rekanan usahanya. Bukan tanpa alasan kenapa Isna seperti ini, awalnya dia merasa kalau lepas dari Rama masih ada laki-laki yang selama ini menjadi simpanannya yang mencintai dirinya.Tapi Isna salah, Rangga tidak hanya diam melihat ada masalah dengan rumah tangga adiknya. Walaupun Rama memutuskan untuk berpisah dengan Isna, Rangga tidak ingin Isna jatuh ke lubang yang sama, dia mengancam selingkuhan Isna agar pergi dari hidup Isna. Saat ini Isna kehilangan semuanya, Rama dan juga selingkuhannya.“Shittt,” maki Isna lalu meremmas rambutnya.Tok tokPintu ruang kerja Isna terbuka dan masuklah asistennya.“Maaf Bu Isna, saya tidak bisa menahan komplain yang masuk. Saya sudah berusaha,” tuturnya.Isna berdecak lalu memaki asistennya. “Kerja gitu aja nggak becus.” Setelah mengusir asistennya untuk keluar, Isna membuat list pesanan butiknya. Mem
Weekend kali ini Azka sedang menghabiskan waktu bersama Mamanya. Dijemput kemarin sore oleh Renata sendiri, berharap Rangga bisa ikut serta menghabiskan waktu bersama dirinya dan Azka. Karena rencananya gagal, Renata pun urung mengajak Azka keluar dan menginap di salah satu hotel di Jakarta.“Kenapa kita nggak jadi ke Villa?” tanya Aska saat dia dan Renata baru saja duduk di restoran hotel untuk makan malam. Sudah membayangkan dia dan Mamanya berada di villa dimana cuaca sejuk tapi malah masih berada di Jakarta.“Lain kali ya sayang, Mama sedang ada kegiatan jadi sambil memantau dari sini. Kalau kita jadi ke Villa tiba-tiba Mama harus ke lokasi ‘kan jauh banget. Kamu mau makan apa?” tanya Renata pada putranya yang sedang membuka buku menu.“Aku ingin ini,” tunjuknya pada sebuah menu. Renata tersenyum lalu memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan Aska.“Minum dan dessertnya apa?”“Hm, aku mau es jeruk dan churros seperti yang pernah dibuatkan Bunda Hayati.”Deg!Wajah Renata yang sej
“Kamu sudah sehat, Hayati?”“Sudah lebih baik, Pak,” jawab Hayati. Hari ini dia sudah kembali ke café untuk bekerja. Tio, Manager cafe memastikan Hayati siap untuk beraktivitas. Kalau di lihat, Hayati memang sudah segar dari sebelumnya yang terlihat begitu pucat.Hayati dan pekerja lainnya mendapat arahan dari Tio, dimana Hayati kebagian tugas mencatat pesanan tamu. Pukul sepuluh pagi, café sudah buka dan siap melayani tamu. Hayati dan semua tim sudah siap di posisinya.Saat pagi, pengunjung memang tidak seramai jam makan siang atau sore sampai malam hari. Biasanya hanya pengunjung yang memesan minuman dan cemilan atau bahkan hanya segelas kopi. Ketika jam makan siang, café akan ramai bahkan kadang semua meja terisi. Seperti saat ini, Hayati mulai disibukkan dengan mencatat pesanan.“Hayati, meja lima belum dilayani,” titah Tio.Hayati mengangguk lalu menuju meja yang dimaksud. Menyapa dan menanyakan pesanan lalu mencatatnya, tidak jarang pengunjung menanyakan rekomendasi dari Hayati.
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo
Asisten Isna pun meninggalkan ruang kerja atasannya. Membiarkan pria yang sempat ditolak untuk bertemu tapi saat ini Isna tidak menolak kehadirannya. Setelah memastikan Nia keluar dari ruangan tersebut, Ansel menghampiri Isna. Berdiri di belakang tubuh wanita itu, memeluk dan mencium kepalanya.“Tidak boleh begini,” ujar Isna.“Aku kangen, padahal kemarin baru habis bertemu. Bagaimana anak-anakku, apa mereka menyusahkanmu?” tanya Ansel sambil mengusap perut Isna.Isna hanya tersenyum, kemudian meminta Ansel untuk duduk karena dia sedang ingin fokus membentuk pola.“Aku sudah menyampaikan hubungan kita pada Ayah dan Ibu,” ujar Ansel.Tentu saja hal yang disampaikan Ansel menjadi perhatian Isna. wanita itu menghentikan aktivitasnya lalu duduk di samping Ansel.“Benarkah, lalu?”“Mereka ingin menemuimu, bagaimana?” tanya Ansel tentang kesediaan Isna.“Tapi aku takut, bagaimana jika mereka ….”“Hei, dengarlah. Kita akan temui mereka, apapun keputusan mereka kita tetap bersama. Selama ini
Isna menatap sekeliling apartemen Ansel, terlihat nyaman dan desainnya mencerminkan kalau yang tinggal di tempat itu adalah laki-laki. Duduk di sofa panjang dan terasa nyaman, Ansel sendiri sudah memasuki salah satu ruangan dalam unit tersebut, yang Isna duga adalah kamar.Isna menguap, kantuknya benar-benar datang. Menyandarkan tubuhnya di sofa, merasakan kembali kantuknya lalu … merubah posisinya menjadi berbaring miring dengan bantal sofa sebagai alas kepalanya.“Isna, kamu ….”Ansel menghentikan ucapannya melihat Isna yang sudah terbuai mimpi. Duduk dihadapan wanita itu, melepaskan pelan alas kaki yang dikenakan Isna lalu menatap wajah yang terlihat damai. Pandangan Ansel berpindah pada perut Isna, bayi kembar mereka mulai tumbuh. Dalam perut wanita itu sedang tumbuh keturunannya.Terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya membayangkan Isna melewati semuanya sendiri. Pasti sangat berat apa yang Isna alami. Ansel pun berjanji tidak akan meninggalkan Isna dan akan selalu ada bersam
Isna menikmati sambil sesekali menoleh pada Ansel yang menatapnya sambil tersenyum. Asisten rumah tangga datang membawakan minuman.“Bik, ini bawa masuk,” ujar Isna sambil menyerahkan goody bag. “Simpan di kulkas ya Bik.”“Kamu suka? Aku bisa ajak kamu ke toko dessert, mau?”“Mau nyogok aku? Tidak akan mempan,” ujar Isna. “Mau bicara apa, buruan.”Ansel menghela nafasnya, wanita dihadapannya ini benar-benar berbeda dengan Isna sebelumnya. Apa karena kondisi kehamilannya jadi Isna bersikap begitu.“Isna, aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.”“Sikap yang mana?” tanya Isna tanpa menatap Ansel“Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu bagian mana yang membuat kamu sangat kesal dan membenciku.”“Lalu kalau aku maafkan, mau apa?” tanya Isna, tapi kali ini dia menatap Ansel.“Jawab dulu dong, maafin atau nggak?”Isna terdiam, dia sebenarnya masih kecewa dengan sikap Ansel. Bagaimana tidak Ansel mengatakan hal yang begitu merendahkan dirinya.“Kita bicara di luar, mau? kamu yang cari tempat,