“Apa Rangga akan menikah lagi Bun?” tanya Renata.“Maksudnya?” tanya Malika.“Aku beberapa kali bertemu Rangga dengan seorang wanita, sepertinya mereka cukup akrab. Kekasih atau calon istri mungkin?”Malika dan Isna saling tatap. Karena selama ini Rangga tidak menceritakan atau membahas apapun urusan pribadinya. Hanya berperan menggantikan sang Ayah melindungi Ibu dan Adiknya.“Bunda, tidak tahu. Tapi kalau benar Rangga sudah siap menempuh hidup baru dan sudah ada calonnya, Bunda sangat bahagia. Kebahagiaan anak-anak Bunda, itu yang terpenting.”“Tapi aku tidak menduga jika Rangga lebih memilih wanita sederhana bahkan terlihat rumahan sekali. Sedangkan kita semua tahu latar belakang keluarga kalian dan pekerjaan Rangga, sayang sekali wanita itu terlihat tidak sepadan,” ungkap Renata sekaligus menyindir.“Untuk Bunda tidak masalah, yang penting Rangga senang dan bahagia.”“Apartemen Rangga itu di mana ya? Sepertinya aku harus jemput Aska ke sana,” ujar Renata.Isna yang memang sudah me
“Rama,” teriak Isna sambil berlari mengejar Rama.Rama tidak peduli, dia terus berjalan keluar dari restoran menuju mobilnya. Selama ini dia sudah sabar, sabar menunggu tapi terasa seperti orang bodoh. Cintanya begitu besar pada Isna tapi hanya dibalas dengan ketidaksetiaan.“Rama, aku bisa jelaskan,” ujar Isna sambil memegang tangan Rama bermaksud menghentikan pria yang saat ini masih berstatus suaminya. Rama menghempaskan tangan Isna dan terus melangkah. Saat hendak membuka pintu mobil, Isna segera berdiri menghalanginya. “Aku bisa jelaskan!” ucap Isna.Rama berdecak sambil melempar tatapan matanya enggan menatap Isna. Melipat kedua tangannya di dada, “Oke, jelaskan. Aku ingin dengar.”“Dia itu sahabat kecil aku, kami sudah lama tidak bertemu. Jadi wajar kalau ....”“Sering bertemu dan bahkan kalian bercinta. Shitt, Isna kamu pikir aku bodoh. Selama ini aku percaya kamu sibuk tapi dibalik itu kamu bohongi aku.”“Itu tidak benar.”“Apa yang tidak benar, aku sudah lama mengawasimu dan
Rama berdecak, “Kenapa kamu selalu menyalahkan orang lain padahal masalahnya ada pada diri kamu sendiri. Pergilah!”“Rama, please. Maafkan aku, kita perbaiki lagi ya,” rengek Isna sambil memegang lengan Rama.“Perbaiki? Kalau kamu berpikir untuk memperbaiki hubungan kita, kamu tidak akan tetap bersama pria itu tadi malam. Padahal jelas-jelas aku sudah membuktikan sendiri kesalahan kamu dan dengan tidak merasa bersalah kamu malah bermalam dengan pria itu. Bahkan sekarang kamu minta kita perbaiki, apa kamu waras?” Isna tidak menjawab, bahkan saat ini sudah mulai terisak.“Aku bahkan sempat merasa sangat bersalah berada dalam situasi harus menikahi Hayati. Membuat aku bersikap kasar pada wanita itu demi menjaga hati dan cinta kita. Tapi ternyata aku bodoh, malah orang yang aku bela seakan melemparkan kotoran di wajah aku,” ungkap Rama.“Tapi ....”“Keluar, atau aku panggil security.”Isna akhirnya meninggalkan ruang kerja Rama. Saat melewati meja sekretaris Rama, wanita itu menyapa sambi
Hayati menatap suasana cafe, mencari meja yang dirasa cukup nyaman. Rangga yang sudah menyampaikan tidak akan pulang dan Bu Ida yang dilarang olehnya untuk memasak, akhirnya Hayati memilih menghabiskan waktu di cafe sambil makan malam.Membuka buku menu, ada beberapa jenis makanan yang menggugah seleranya. Menentukan pilihannya pada pelayan dan memainkan ponselnya menunggu pesanannya dihidangkan. Hayati tersenyum melihat foto pernikahannya dijadikan wallpaper ponselnya oleh Rangga.Bahkan dalam galeri, terdapat album foto pernikahannya juga foto-foto candid dirinya yang diambil oleh Rangga.“Ramen kuah tom yam, lemon tea hangat dan sandwich tuna,” ujar seorang pelayan mengantarkan pesanannya membuat Hayati kembali fokus dan meletakkan ponselnya.“Terima kasih, Mbak.”“Selamat menikmati.” Hayati hanya tersenyum dan meraih sendok saat pelayan itu sudah menjauh. Menyendokkan kuah lalu mencicipinya, “Hm, enak.”Hayati sudah menghabiskan hampir setengah isi mangkuk ramennya saat seseorang
“Sebenarnya ada apa dengan rumah tanggamu Isna, katakan pada Bunda!”Isna bergeming, tidak ingin menceritakan apapun, apalagi mengakui jika dirinyalah yang bermain api dan menyebabkan hubungannya dengan Rama bermasalah.“Bunda, sebaiknya istirahat. Aku antar ke kamar,” ajak Rangga.“Tapi bagaimana dengan Isna?”“Sudahlah Bun, masalah Isna dan Rama biar aku yang urus.” Malika akhirnya menuruti apa yang diperintahkan Rangga.Setelah kembali dari kamar Malika, Isna masih berada di ruang tamu. Rangga duduk di hadapannya, “Aku butuh penjelasan dari kamu, ada apa sebenarnya dengan kalian?”Isna berdecak, “Harusnya Kak Rangga tanya ke Rama, aku ini adik Kak Rangga jadi kak Rangga harus membela aku.”“Bagaimana bisa aku membelamu kalau masalahnya saja aku tidak tahu dan Rama tidak akan memutuskan hal seberat itu kalau tidak ada hal yang serius diantara kalian.”“Yang jelas ini semua karena Rama, kalau dia tidak menikah lagi dengan Hayati hubungan aku dengan Rama akan baik-baik saja.”Rangga t
"Ibu jadi ingin bertemu dengan keluarga Isna, karena yang dilakukan istrimu sudah menginjak harga diri kamu sebagai suami." "Sudahlah Bu, kita harus hati-hati juga jangan sampai keputusan Rama akan berimbas dengan perusahaan." Rama menghela nafasnya, apa yang dikatakan oleh Yaksa itu benar. Dia tidak boleh gegabah dalam menyampaikan keputusannya. Sepertinya aku harus bertemu dengan Kak Rangga, batin Rama. "Ahh, kemarin aku bertemu dengan Hayati.""Benarkah, lalu bagaimana kondisinya? Tinggal dimana dia sekarang?" tanya Zahida yang penasaran dengan kondisi Hayati. Bagaimanapun juga Rama masih harus bertanggung jawab pada hidup Hayati, karena kecelakaan yang membuat Ayah Hayati meninggal."Hayati baik, bahkan aku lihat penampilannya luar biasa dibandingkan sebelumnya. Lebih cantik," tutur Rama sambil tersenyum. “Tapi aku tidak tahu dia tinggal dimana dan dia bilang sudah menikah lagi,” ungkap Rama.“Menikah? Lalu tinggal dimana dia sekarang?” tanya Yaksa, ada kekhawatiran jika Rama
"Ada hubungan apa Kak Rangga dan Hayati?" "Itu urusanku, kamu akan tahu nanti," jawab Rangga lalu meninggalkan Isna. Sebelum dia menuju kamarnya, Rangga lebih dulu ke kamar Aska. Memastikan putra tersayangnya sudah terlelap dan beristirahat.Setelah berada dalam kamarnya, Rangga menerima panggilan telepon dari Gema. Intinya dia harus segera ke Surabaya mengurus kontrak kerjasama dengan klien yang tidak bisa dilakukan di Jakarta. Rangga berniat mengajak Hayati, setelah urusan bisnis lanjut ke Bali untuk honeymoon. Sebelum terlelap dia sempatkan menghubungi Hayati dan berjanji akan menemuinya besok. ***“A-aku ikut Pak Rangga ke Surabaya?” tanya Hayati tidak percaya dengan ajakan Rangga. Saat ini, Rangga mampir untuk makan malam dan memberitahu rencananya.“Hm dan bukan itu intinya tapi kita sekalian honeymoon ke Bali. Kamu siapkan dulu pakaian untuk selama di sana,” titah Rangga. Hayati pun beranjak dari duduknya untuk ke kamar.Baru saja dua langkah, dia kembali menoleh, “Pakaian P
“Tunggu dulu, siapa namamu?”tanya Renata menatap sinis Hayati.‘Apa harus aku jawab ya, tapi nanti dia tahu kalau aku … gimana ini, batin Hayati. Renata memang penasaran dengan identitas wanita yang beberapa kali ditemui selalu bersama Rangga. Sedangkan keluarga Rangga sepertinya belum mengetahui hubungan Rangga dengan wanitanya.“Rania,” jawab Rangga. “Namanya Rania.” Hayati menoleh pada Rangga. Sebenarnya Rangga tidak berbohong menyebut nama Rania. Tapi dirinya memang dikenal dengan panggilan Hayati, sedangkan Rania adalah nama depannya.“Hm, dan kamu adalah putri dari ….”“Kamu tidak perlu tahu sejauh itu, ayo,” ajak Rangga dengan menggandeng tangan Hayati.Renata menatap kepergian Rangga dan Hayati. “Aneh, sepertinya ada yang kalian tutupi.”Sesampainya di kamar hotel.“Pak Rangga, bagaimana kalau Ibu Renata mengenal aku atau dia bilang ke Bu Malika tentang aku?”“Tak masalah.”“Pak Rangga, aku serius.”“Aku juga serius Hayati, walaupun mereka tahu ya sudah jadi aku tidak perlu pi
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo
Asisten Isna pun meninggalkan ruang kerja atasannya. Membiarkan pria yang sempat ditolak untuk bertemu tapi saat ini Isna tidak menolak kehadirannya. Setelah memastikan Nia keluar dari ruangan tersebut, Ansel menghampiri Isna. Berdiri di belakang tubuh wanita itu, memeluk dan mencium kepalanya.“Tidak boleh begini,” ujar Isna.“Aku kangen, padahal kemarin baru habis bertemu. Bagaimana anak-anakku, apa mereka menyusahkanmu?” tanya Ansel sambil mengusap perut Isna.Isna hanya tersenyum, kemudian meminta Ansel untuk duduk karena dia sedang ingin fokus membentuk pola.“Aku sudah menyampaikan hubungan kita pada Ayah dan Ibu,” ujar Ansel.Tentu saja hal yang disampaikan Ansel menjadi perhatian Isna. wanita itu menghentikan aktivitasnya lalu duduk di samping Ansel.“Benarkah, lalu?”“Mereka ingin menemuimu, bagaimana?” tanya Ansel tentang kesediaan Isna.“Tapi aku takut, bagaimana jika mereka ….”“Hei, dengarlah. Kita akan temui mereka, apapun keputusan mereka kita tetap bersama. Selama ini
Isna menatap sekeliling apartemen Ansel, terlihat nyaman dan desainnya mencerminkan kalau yang tinggal di tempat itu adalah laki-laki. Duduk di sofa panjang dan terasa nyaman, Ansel sendiri sudah memasuki salah satu ruangan dalam unit tersebut, yang Isna duga adalah kamar.Isna menguap, kantuknya benar-benar datang. Menyandarkan tubuhnya di sofa, merasakan kembali kantuknya lalu … merubah posisinya menjadi berbaring miring dengan bantal sofa sebagai alas kepalanya.“Isna, kamu ….”Ansel menghentikan ucapannya melihat Isna yang sudah terbuai mimpi. Duduk dihadapan wanita itu, melepaskan pelan alas kaki yang dikenakan Isna lalu menatap wajah yang terlihat damai. Pandangan Ansel berpindah pada perut Isna, bayi kembar mereka mulai tumbuh. Dalam perut wanita itu sedang tumbuh keturunannya.Terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya membayangkan Isna melewati semuanya sendiri. Pasti sangat berat apa yang Isna alami. Ansel pun berjanji tidak akan meninggalkan Isna dan akan selalu ada bersam
Isna menikmati sambil sesekali menoleh pada Ansel yang menatapnya sambil tersenyum. Asisten rumah tangga datang membawakan minuman.“Bik, ini bawa masuk,” ujar Isna sambil menyerahkan goody bag. “Simpan di kulkas ya Bik.”“Kamu suka? Aku bisa ajak kamu ke toko dessert, mau?”“Mau nyogok aku? Tidak akan mempan,” ujar Isna. “Mau bicara apa, buruan.”Ansel menghela nafasnya, wanita dihadapannya ini benar-benar berbeda dengan Isna sebelumnya. Apa karena kondisi kehamilannya jadi Isna bersikap begitu.“Isna, aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.”“Sikap yang mana?” tanya Isna tanpa menatap Ansel“Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu bagian mana yang membuat kamu sangat kesal dan membenciku.”“Lalu kalau aku maafkan, mau apa?” tanya Isna, tapi kali ini dia menatap Ansel.“Jawab dulu dong, maafin atau nggak?”Isna terdiam, dia sebenarnya masih kecewa dengan sikap Ansel. Bagaimana tidak Ansel mengatakan hal yang begitu merendahkan dirinya.“Kita bicara di luar, mau? kamu yang cari tempat,