“Tunggu dulu, siapa namamu?”tanya Renata menatap sinis Hayati.‘Apa harus aku jawab ya, tapi nanti dia tahu kalau aku … gimana ini, batin Hayati. Renata memang penasaran dengan identitas wanita yang beberapa kali ditemui selalu bersama Rangga. Sedangkan keluarga Rangga sepertinya belum mengetahui hubungan Rangga dengan wanitanya.“Rania,” jawab Rangga. “Namanya Rania.” Hayati menoleh pada Rangga. Sebenarnya Rangga tidak berbohong menyebut nama Rania. Tapi dirinya memang dikenal dengan panggilan Hayati, sedangkan Rania adalah nama depannya.“Hm, dan kamu adalah putri dari ….”“Kamu tidak perlu tahu sejauh itu, ayo,” ajak Rangga dengan menggandeng tangan Hayati.Renata menatap kepergian Rangga dan Hayati. “Aneh, sepertinya ada yang kalian tutupi.”Sesampainya di kamar hotel.“Pak Rangga, bagaimana kalau Ibu Renata mengenal aku atau dia bilang ke Bu Malika tentang aku?”“Tak masalah.”“Pak Rangga, aku serius.”“Aku juga serius Hayati, walaupun mereka tahu ya sudah jadi aku tidak perlu pi
“Ayo masuk,” ajak Rangga yang sudah berada di dalam air. Hayati hanya menggelengkan pelan kepalanya, duduk di pinggir kolam dengan kedua kaki berada di dalam air.Rambutnya yang dicepol asal dengan helaian yang sedikit acak-acakan malah membuat penampilan Hayati terlihat lebih seksi ditambah dengan baju tidur berbahan satin di atas lutut dan tentu saja mengekspos kedua pahanya saat duduk. Bahkan tali baju tidur yang sangat kecil memperlihatkan bahu seputih susu milik Hayati.Yang membuat Rangga harus menelan salivanya adalah Hayati tidak mengenakan penutup aset kembarnya dan sangat kentara bentuk dibalik baju tidur yang terlihat menantang untuk disentuh.Rangga mencipratkan air ke arah Hayati, “Pak Rangga, nanti aku basah.”“Mana ada berenang nggak basah.”“Aku nggak mau berenang,” sahut Hayati sambil mengangkat kedua kakinya dari air dan memperlihatkan aset bagian bawah tubuh Hayati saat gaun tidurnya tersingkap.Sebelum Hayati menjauh Rangga mendekat dan menarik Hayati ke dalam air.
“Iya kamu hanya pusing. Apa kita perl ke dokter untuk konsultasikan masalah pusing ini?”“Nggak perlu, aku lagi mager aja,” jawab Hayati.Rangga menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tidak mengerti dengan sikap Hayati, jelas-jelas tadi dia bilang kepalanya pusing tapi sekarang bilang malas gerak.“Ya sudah, kamu istirahat. Aku keluar dulu karena Aska belum sarapan, kami makan diluar ya. Kamu mau nitip sesuatu?”“Hm, aku mau bubur ayam.”Rangga mengelus kepala Hayati, sebelum meninggalkan kamar.***“Bunda sakit ya? Kita nggak jadi main ke luar dong,” ujar Aska dengan sedikit rasa kecewa. Aska dan Rangga baru saja kembali setelah sarapan di luar. Biasanya Hayati akan menyambut dan menyiapkan makanan untuk Aska, baik itu untuk makan besar atau cemilan. Tapi kali ini fisiknya benar-benar tidak bisa diajak kompromi.Sejak kemarin Hayati merasa tidak nyaman dengan tubuhnya. Kepalanya yang pening dan kantuk yang seperti tidak tahu waktu dan tempat. Hayati juga malas beraktivitas, termasuk n
"Non Hayati, mau kemana? " tanya Bu Ida saat Hayati pamit akan keluar."Mau ke bawah, ke apotek." "Mau saya antar?" "Nggak usah, cuma ke bawah kok." Hayati sudah berada di depan pintu saat pintu itu terbuka. Ternyata Rangga yang datang. "Pak Rangga." "Kamu mau kemana, sayang?" Rangga memeluk tubuh Hayati. Beberapa hari di luar kota dan berjauhan dari Hayati membuat Rangga merindu. "Mau ke bawah.""Ngapain? Wajah kamu pucat, masih kurang sehat?" tanya Rangga sambil mengajaknya duduk di sofa. Hayati tidak menyampaikan kemungkinan dirinya hamil. Ingin memastikan lebih dulu baru menyampaikannya pada Rangga. "Kita ke rumah sakit, ini sudah beberapa hari kamu begini. Ayo," ajak Rangga. "Nggak usah, aku ....""Hayati, dengarkan aku. Kita periksakan kondisimu, ganti baju lalu kita berangkat." ***Selama perjalanan Hayati hanya diam, Rangga yang fokus dengan kemudi menoleh sekilas dan mengusap puncak kepala Hayati. "Melamunkan apa?" tanyanya dengan pandangan masih ke depan. "Nggak ad
Hayati benar-benar tidak menyangka dengan kenyataan yang ada antara dirinya dan Rangga. Sedangkan Rangga masih belum paham dengan situasi yang ada. “Sebenarnya ada apa?” tanya Rangga sambil menatap Hayati.“Rangga, kamu tahu sendiri kalau wanita ini dan Ayah sudah menikah dan Hayati adalah putri dari Layla istri Ayah.”Rangga menatap Hayati dan Ibunya bergantian.“Sepertinya kalian sudah saling kenal,” ujar Layla pada Rangga.“Tentu saja, Hayati adalah ….”“Aku asisten Nona Isna. Ya, asistennya,” jawab Hayati sambil melirik Rangga. Rangga mengernyitkan dahinya karena heran dengan jawaban Hayati. “Kami tidak ada hubungan apapun,” sahut Hayati lagi.“Ah, kebetulan kita bertemu di sini, ada yang ingin Ayah bicarakan.” Harsa Adam meminta putranya untuk duduk. Rangga pun akhirnya duduk di samping Hayati. “Ayah berencana kembali pulang, bagaimanapun kita ini keluarga.”“Lalu, dia?” tanya Rangga menunjuk Layla dengan dagunya.“Kemarin Ayah sudah menemui Ibumu dan menyampaikan hal ini. Dia ti
Hayati merasakan atmosfer di meja makan saat ini sangat buruk. Ingin rasanya dia pergi dari situasi yang tidak nyaman ini. Harsa duduk di ujung meja makan dengan Malika dan Layla duduk berhadapan di sisi kiri dan kanan meja makan. Hayati yang duduk di samping Ibunya berhadapan dengan Rangga yang juga duduk di samping Malika. "Aku akan makan di kamar," ujar Isna setelah melirik sinis pada Hayati dan Ibunya. "Isna, duduklah. Kita makan bersama," ajak Malika. "Bunda, aku nggak ngerti Ayah kena sihir apa sampai bisa lupa keluarga dan hati Bunda terbuat dari apa? Sudah dikhianati masih sanggup tinggal satu rumah bahkan satu meja begini," tutur Isna. "Isna, duduk dan jangan bahas ini lagi. Kamu sudah dengar keputusan Ayah kemarin." Hayati merasa sangat bersalah dengan pilihan ibunya menjadi biang masalah dalam keluarga Adam. Menoleh pada Rangga yang hanya diam menikmati makan malamnya. "Sayang, duduklah," titah Malika pada Isna. Akhirnya Isna pun duduk, masih memberikan cibiran pada Ha
Rangga menghabiskan malam di kamar Hayati. Memadu kasih dan saling menghamburkan rasa sayang lewat sentuhan dan penyatuan diri. Meski dalam ketidaknyamanan karena kenyataan hubungannya dengan sang Ibu, Hayati tidak mungkin mengabaikan Rangga suaminya.Berusaha memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri, Hayati harus siap tertidur dengan kekhawatiran jika ada yang memergoki Rangga memasuki kamar Hayati.“Pak Rangga,” panggil Hayati sambil menggoyangkan tubuh Rangga agar pria itu terusik dan terbangun.“Pak Rangga,” panggilnya lagi.“Hm.” Rangga malah mengeratkan pelukannya.“Ishh, Pak Rangga ini sudah hampir subuh. Kalau kesiangan nanti ada yang lihat Pak Rangga keluar dari kamar aku, gimana?”“Hm.”“Pak Rangga!”Rangga mengerjapkan matanya, “Morning, Rania sayang,” sapa Rangga lalu membenamkan wajahnya di dada Hayati.“Pak Rangga, bangun. Ini sudah hampir subuh,” ulang Hayati.“Ck, memang kenapa?”Hayati hanya menggelengkan kepalanya karena kesal ternyata Rangga tidak paham dengan ke
“Sudahlah Yah, aku pastikan Aska tidak akan merasa kesepian karena ditinggal Renata. Walaupun aku harus menikah, biarkan aku sendiri yang mengurus hal itu.”Hayati hanya menundukkan wajahnya mendengar jawaban Rangga. Entah apa yang akan terjadi jika para orangtua di sekitar Hayati mengetahui jika Rangga dan Hayati sudah menikah bahkan saat ini Hayati sedang hamil.Malika melihat Hayati dengan raut wajah kesedihannya, bahkan sesekali Rangga juga terlihat mencuri pandang pada Hayati. Sedangkan Layla bersikap konyol dengan merayu menampilkan kepeduliannya pada Harsa di depan Malika dan Rangga, membuat Hayati merasa semakin bersalah.“Aku duluan, Bun,” pamit Rangga yang sudah berdiri.“Bunda, juga mau ke kamar.”“Biar aku antar,” ujar Hayati yang bergegas bangun dan mendorong kursi roda yang diduduki Malika. Malika hanya tersenyum pada Hayati.Rangga mengekor Hayati dan Malika. Rasanya ingin sekali dia memeluk Hayati dari belakang tapi tidak mungkin karena ada Bunda di sana. Keduanya bera
Rama tersenyum mendengar keinginan Maylan setelah menikah.“Mas Rama tidak keberatan?” tanya Maylan.Sambil fokus pada kemudi wajah Rama tidak menghilangkan senyum di wajahnya.“Mas, jawab dong.”“Sebentar, sayang.” Rama pun menepikan mobilnya, melepas seatbelt dan menggeser duduknya menghadap Maylan.“May, kegagalan pernikahanku sebelumnya karena kami sama-sama sibuk. Sibuk dengan pekerjaan lalu merusak komunikasi diantara kita dan aku tidak ingin hal itu terjadi lagi. Kalau kamu menyampaikan tidak ingin bekerja setelah menikah, cocok dengan visi dan misi hidupku,” seru Rama.“Ah jadi tidak sabar. Apa hari ini aja ya kita bertemu dengan orangtua kamu,” ajak Rama.“Eh, nggak ada ya. Tetap minggu depan, ‘kan aku harus jelaskan dulu siapa Mas Rama. Terburu-buru nanti aku dipikir hamil duluan, tapi Mas … ini serius Mas Rama tidak masalah nanti aku hanya jadi ibu rumah tangga?”“Hm tentu saja aku serius.”“Nggak masalah aku hanya minta uang terus?” tanya Maylan lagi.“Sudah tanggung jawab
Rangga sesekali menoleh ke arah dimana Hayati yang terlihat sibuk. Agak khawatir dengan kondisi istrinya yang sedang hamil. Walaupun sudah disampaikan agar jangan memaksakan diri sibuk dengan persiapan pernikahan Isna.Harsa Adam sudah sejak semalam berada di kediamannya. Dia yang akan menikahkan Isna dengan Ansel. Rangga sudah memastikan kehadiran penghulu dan Ansel sudah dalam perjalanan. Alka bersama pengasuhnya, sedangkan Aska sudah tidak bisa dicegah ke sana ke mari karena banyak yang datang.Walaupun hanya akad nikah saja, tapi kerabat dan sahabat dekat menghadiri pernikahan Ansel dan Isna. Ansel dan keluarganya sudah tiba, setelah berbasa-basi Ansel Pun menempati meja kursi yang disiapkan untuk mengucapkan ijab qobul.“Sayang, kamu tenang saja. Jangan gugup,” tutur Ibu Ansel.Ansel tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Harsa duduk berhadapan dengan Ansel membuat pria itu semakin gugup. Kedua orangtua Ansel berada di belakang putranya. Rama datang disambut oleh Rangga, saling m
Rangga duduk di tepi ranjang menatap wajah pucat Hayati yang masih terlelap. Sebelumnya Rangga sudah menemui Alka yang sedang disuapi oleh pengasuhnya. Jika benar Hayati sedang mengandung kembali, tentu saja Rangga akan senang. Namun, dia khawatir dengan kondisi Hayati dengan wajah pucatnya. Apalagi pernikahan Isna sudah dekat, tinggal dua hari lagi.Terlihat pergerakan, Hayati menggeliat pelan lalu mengerjapkan matanya.“Mas Rangga, kok nggak bangunkan aku?”“Jangan bangun, tetaplah berbaring.”“Aska harus berangkat ….”“Sudah aman, dia sudah berangkat,” sahut Rangga. “Kamu sudah lebih baik?” tanya Rangga.Hayati tidak menjawab, malah berbaring miring mengeratkan selimutnya menatap Rangga.“Mas Rangga.”“Kita ke dokter ya,” ajak Rangga.Hayati menggelengkan kepalanya, masih menatap Rangga. “Mas, kalau … ternyata aku hamil. Gimana?”“Maksudnya?” tanya Rangga. Sepertinya Hayati sudah tahu kalau dirinya kemungkinan sedang hamil.“Ya kalau ternyata aku hamil, Alka dan Aska akan punya adi
Ini bukan pernikahan pertama bagi Isna, tapi rasanya lebih gugup dari pernikahannya bersama Rama. Dia sudah tidak pergi ke kantor sejak beberapa hari yang lalu, kebaya yang akan dikenakan oleh Isna adalah rancangannya sendiri, modelnya gaun kebaya. Menyesuaikan dengan bentuk tubuh Isna.Hayati pun antusias membantu persiapan pernikahan Isna. Pernikahannya dulu dengan Rangga tanpa persiapan, bahkan hanya dilaksanakan di kamar hotel dengan disaksikan oleh sahabat Rangga. Jadi, kali ini Hayati menikmati perannya menyiapkan pernikahan Isna.“Untuk cateringnya sudah oke, yang ini sudah pas. Recomended banget dari temanku yang seorang chef,” ujar Hayati.“Hm, okelah terima kasih,” jawab Isna.Saat ini Isna sedang bersama pengasuh Alka dan Aska. Berada di ruang keluarga, mengawasi Aska yang bermain lego sedangkan Alka berada diatas bouncer.“Pindah yuk, kayaknya kamu pegal.” Isna memindahkan baby Alka ke atas karpet dan membiarkan bocah itu berpindah posisi menjadi tengkurap kemudian tergela
“Om, jadi kapan kita lihat air terjun?” tanya Aska pada Ansel.Ansel tidak langsung menjawab, dia menatap Rangga dan Isna bergantian.“Aska, tidak boleh begitu. Om Ansel sibuk,” ujar Hayati.Saat ini Ansel sedang menikmati makan malam bersama keluarga Rangga, sekaligus ada pembicaraan mengenai persiapan pernikahannya dengan Isna.“Boleh saja, kalau nanti kamu libur kita kesana,” usul Ansel.“Eh, nggak ada. Kamu ajak Aska ke Bali, terus aku gimana. Dokter mana kasih aku izin naik pesawat,” ujar Isna.“Tidak masalah Tante, aku pergi dengan Om Ansel saja. Tante Isna tidak usah ikut,” ujar Aska.“Aska, habiskan makananmu. Kita akan rencanakan liburan setelah pernikahan tante Isna,” ungkap Rangga.“Benar Pah?”“Hm. Kita akan cari tempat yang aman untuk tante Isna dan Baby Alka,” ujar Rangga lagi.“Aku setuju,” jawab Isna.Ansel tersenyum, dia bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Isna. Pernah menjadi pria lain diantara hubungan Isna dan Rama, akhirnya bisa memiliki hubungan resmi dan l
Ansel berdiri bersandar pada mobilnya, dengan tangan berada di saku celana. Menatap ke arah Isna yang berjalan mendekat.“Hai sayang,” sapa Ansel memeluk Isna dan mencium kening wanita yang akan segera dinikahi. Walaupun Isna sudah berjarak agar Ansel tidak memeluknya, apalagi saat ini mereka berada di tempat umum.“Hm.”“Kenapa sih? Kayak yang tidak semangat,” ujar Ansel sambil membuka pintu mobil dan memastikan Isna duduk nyaman.“Aku takut,” jawab Isna ketika Ansel sudah duduk di depan kemudi bahkan sudah mulai melaju meninggalkan area perusahaan Rangga dan Isna.“Takut?”“Hm.”Saat ini Ansel dan Isna sedang menuju kediaman Dharmendra, Isna merasa gugup dan takut karena khawatir tidak akan diterima oleh keluarga Ansel. Sedangkan Ansel terlihat biasa saja.“Tenang saja sayang, jangan gugup gitu dong. Semua akan baik-baik saja, percayalah,” ujar Ansel meyakinkan Isna.Mobil yang membawa Isna dan Ansel melaju di tengah keramaian, tidak lama mereka pun tiba di kediaman Dharmendra.“Ayo
Asisten Isna pun meninggalkan ruang kerja atasannya. Membiarkan pria yang sempat ditolak untuk bertemu tapi saat ini Isna tidak menolak kehadirannya. Setelah memastikan Nia keluar dari ruangan tersebut, Ansel menghampiri Isna. Berdiri di belakang tubuh wanita itu, memeluk dan mencium kepalanya.“Tidak boleh begini,” ujar Isna.“Aku kangen, padahal kemarin baru habis bertemu. Bagaimana anak-anakku, apa mereka menyusahkanmu?” tanya Ansel sambil mengusap perut Isna.Isna hanya tersenyum, kemudian meminta Ansel untuk duduk karena dia sedang ingin fokus membentuk pola.“Aku sudah menyampaikan hubungan kita pada Ayah dan Ibu,” ujar Ansel.Tentu saja hal yang disampaikan Ansel menjadi perhatian Isna. wanita itu menghentikan aktivitasnya lalu duduk di samping Ansel.“Benarkah, lalu?”“Mereka ingin menemuimu, bagaimana?” tanya Ansel tentang kesediaan Isna.“Tapi aku takut, bagaimana jika mereka ….”“Hei, dengarlah. Kita akan temui mereka, apapun keputusan mereka kita tetap bersama. Selama ini
Isna menatap sekeliling apartemen Ansel, terlihat nyaman dan desainnya mencerminkan kalau yang tinggal di tempat itu adalah laki-laki. Duduk di sofa panjang dan terasa nyaman, Ansel sendiri sudah memasuki salah satu ruangan dalam unit tersebut, yang Isna duga adalah kamar.Isna menguap, kantuknya benar-benar datang. Menyandarkan tubuhnya di sofa, merasakan kembali kantuknya lalu … merubah posisinya menjadi berbaring miring dengan bantal sofa sebagai alas kepalanya.“Isna, kamu ….”Ansel menghentikan ucapannya melihat Isna yang sudah terbuai mimpi. Duduk dihadapan wanita itu, melepaskan pelan alas kaki yang dikenakan Isna lalu menatap wajah yang terlihat damai. Pandangan Ansel berpindah pada perut Isna, bayi kembar mereka mulai tumbuh. Dalam perut wanita itu sedang tumbuh keturunannya.Terduduk di lantai sambil mengusap wajahnya membayangkan Isna melewati semuanya sendiri. Pasti sangat berat apa yang Isna alami. Ansel pun berjanji tidak akan meninggalkan Isna dan akan selalu ada bersam
Isna menikmati sambil sesekali menoleh pada Ansel yang menatapnya sambil tersenyum. Asisten rumah tangga datang membawakan minuman.“Bik, ini bawa masuk,” ujar Isna sambil menyerahkan goody bag. “Simpan di kulkas ya Bik.”“Kamu suka? Aku bisa ajak kamu ke toko dessert, mau?”“Mau nyogok aku? Tidak akan mempan,” ujar Isna. “Mau bicara apa, buruan.”Ansel menghela nafasnya, wanita dihadapannya ini benar-benar berbeda dengan Isna sebelumnya. Apa karena kondisi kehamilannya jadi Isna bersikap begitu.“Isna, aku minta maaf atas sikapku sebelumnya.”“Sikap yang mana?” tanya Isna tanpa menatap Ansel“Tidak perlu aku jawab, kamu sudah tahu bagian mana yang membuat kamu sangat kesal dan membenciku.”“Lalu kalau aku maafkan, mau apa?” tanya Isna, tapi kali ini dia menatap Ansel.“Jawab dulu dong, maafin atau nggak?”Isna terdiam, dia sebenarnya masih kecewa dengan sikap Ansel. Bagaimana tidak Ansel mengatakan hal yang begitu merendahkan dirinya.“Kita bicara di luar, mau? kamu yang cari tempat,