Usai menuntaskan hasratnya, Bram tersenyum puas. Tatapannya heran saat melihat ke dalam bak mandi tidak menemukan cairan merah. "Fatma, kamu sudah nggak perawan lagi?" Fatma terhenyak, tidak menyangka majikannya begitu memperhatikan sampai kesitu. Di tengah tubuhnya yang lelah, dia pun segera memakai kembali dasternya. "Saya nggak tau, Pak!" jawabnya pelan. "Pasti kamu sudah nggak perawan lagi, jawab aja!" "Saya masih perawan, Pak! Kenapa bapak tanya seperti itu?" "Kamu sungguh polos atau pura-pura nggak tau? Jangan bohongi saya atau ____" Belum sempat Bram meneruskan bicaranya, terdengar ponsel terus meraung minta diangkat. Gegas Bram keluar dari kamar mandi, menyambarnya dan terlihat istrinya memanggil. "Pah, kok belum jemput Mama?" "Papa sibuk, Mah! Banyak kerjaan, sebentar lagi Papa jemput ya!" "Oke kalo gitu, Mama akan ____" "Pak, saya keluar dulu. Bapak lupa pakai handuk, ini saya pakaikan!" Ranti merasa terkejut mendengar suara pembantunya. Sama halnya dengan Bram ya
Ranti mengedikkan bahu, setelah Fatma keluar dari kamar mandi menegurnya "Kamu kenapa muntah-muntah? Hamil?" Fatma terkejut dan Bram tersedak. Ranti menyeringai melihat tingkah keduanya yang kaget. "Kok Mama bisa ngomong gitu?" "Biasa itu gejala hamil seperti Mama dulu, ayo ngaku siapa yang menghamilimu?" "Bu, saya nggak mungkin hamil! Mungkin masuk angin aja, saya boleh istirahat dulu Bu?" tanyanya sembari melirik Bram yang juga shock. "Ya sudah sana, bawa sekalian air minum," pinta Ranti. Walaupun kasihan tapi mengingat adegan panas itu Ranti pun tidak ingin membantu Fatma. Apalagi dia sampai mengandung anak Bram, hatinya sudah terlanjur sakit. Usai Fatma masuk ke dalam kamarnya, Bram hanya terdiam. Bahkan yang tadinya masih lahap makan sudah tak selera lagi. Pikirannya berkecamuk kalo benar pembantunya hamil, apa yang harus dilakukannya. Istrinya pasti mencurigainya bermain dengan Fatma. Ranti melirik suaminya yang termenung, jujur ada rasa ingin meluapkan amarah jika meliha
"Fatma, saya rindu kamu!" gumam Bram sadar dari lamunan sudah dalam kamar Fatma. Memeluk bantal dan membaui aroma tubuh pembantunya. "Pah, kok kamu tidur di kamar Fatma?" pekik Ranti keesokan harinya. Pagi saat bangun, dia tidak mendapati suaminya ada di tempat tidur. Ranti pikir suaminya sudah bangun, saat dicek ke kamar mandi kosong. Dia pun keluar kamar bermaksud ke dapur tapi matanya menyipit melihat pintu kamar Fatma tidak tertutup rapat. Begitu dibuka terkejut ternyata Bram tertidur pulas di ranjang bekas pembantunya. Sebersit cemburu hadir, pasti suaminya masih merindukan Fatma. Begitu besarkah gairah lelaki itu pada pembantu mereka hingga dia tidur di kamar tempat biasa mereka memadu kasih. Bram mengerjap bangun kaget mendengar suara istrinya. "Loh, Papa kok tidur di sini Mah?" "Itu yang mau Mama tanya, kenapa Papa tidur di kamar bekas Fatma?" Ranti berkacak pinggang. Bram cengengesan menggaruk kepalanya bingung. "Mungkin tadi malam Papa nggak sadar, Papa tertidur di ter
Bram bermaksud menghampirinya, tatkala sedikit lagi akan sampai seorang lelaki mendekati wanita itu kemudian melampirkan jaket ke tubuhnya."Ibu kenapa keluar nggak pakai baju tebal, nanti masuk angin!" kata lelaki yang memakaikan jaket tersebut. "Sebentar aja, Pak! Ibu ingin cari udara segar, bosan di dalam terus," jawabnya. "Ya sudah, ayok kita masuk!" Keduanya beranjak pergi dan Bram terkejut saat wajah wanita itu menoleh ke samping. "Fatma?" gumam Bram terhenyak. Walaupun sudah lewat dua puluh tahun, Bram yakin kalo wanita yang barusan dilihatnya itu Fatma. Wajah yang sedikit menua itu masih tersisa kenangan yang tidak mungkin dilupakannya. Kedua pasangan suami istri itu hanya melewati Bram tanpa mengenalnya. Saat tubuh wanita itu bersisian jalan dengan Bram, mata keduanya sempat bersitatap. Lalu senyum mengangguk diterima Bram darinya. "Fatma!" panggil Bram setelah beberapa langkah. Sepasang suami istri itu menghentikan langkah karena ada yang memanggil. Keduanya menoleh
Fatma menyunggingkan senyum manis dan mengambil ponsel di saku bajunya. Bram memperhatikan sembari tangannya meraba-raba di tubuh wanita di sampingnya. "Ini Mas!" tunjuk Fatma memberi ponselnya pada Bram yang terkejut setengah mati. "Dia?" "Iya, Mas! Ini anak kita, kenapa terkejut begitu?" Bram menggeleng. "Bukan apa-apa, hanya nggak nyangka sudah sebesar ini!" Bagaimana Bram tidak kaget, foto yang ditunjukkan Fatma sebagai anaknya ternyata adalah Melisa. Pelakor dalam rumah tangga Nuraini, dia masih belum percaya. Apa mungkin Melisa anaknya dengan Fatma tapi kan dia sudah menikah lagi. "Benar ini anakku?" tanya Bram sekali lagi. "Benar, Mas! Kasihan anak itu dari kecil sudah kehilangan Mas, kehilangan ayahnya," jawab Fatma sedih. "Tapi kamu kan sudah menikah lagi, apa Melisa bukan anak suamimu?" Bram masih meragukannya. Sebelum kertas perjanjian itu ditemukan dia tidak akan mengaku. "Melisa anakmu kamu, Mas! Dia ingin sekali ketemu kamu, kasihan dia Mas. Hidupnya selama ini
"Saya sarankan berhati-hati dengan Fatma, Bu! Apalagi anaknya Melisa itu, dia menipu suaminya dengan kehamilannya. Padahal anak yang dikandungnya itu bukan anak suaminya," jelas Tono mengingatkan. "Lalu anak siapa?" Lagi-lagi Ranti mendapatkan kejutan. "Anak hasil perk*saan pacarnya dulu." "Apa? Benarkah itu?" "Benar, Bu! Pacarnya melarikan diri karena tidak mau bertanggung jawab. Karena itu saat Melisa mendapatkan Fahri, dia mengaku itu anaknya." Ranti mengangguk walaupun lelaki yang meneleponnya tidak bisa melihat. Kini dia sudah tau semua kebusukan Fatma dan anaknya. Wanita itu akan bekerja diam-diam untuk menyingkirkan mantan pembantunya seperti dulu. Sedangkan Tono memberitahu Ranti semua ini selain karena bencinya pada mantan istrinya itu. Dia ingin Fatma merasakan akibat dari perbuatannya. Selama ini Tono selalu sabar, dia lah yang mengangkat derajat kehidupan Fatma. Saat itu Fatma yang sedang mengandung ingin bunuh diri. Karena kasihan dengan keadaannya, dia pun menikah
Nuraini bangun keesok paginya tidak mendapati suaminya di ranjang. Di periksanya kamar mandi barangkali suaminya ada, nihil. Dia pun bergegas turun dari lantai atas menuju dapur hingga seluruh ruangan dijelajahi tapi Fahri tetap tidak ada. Wanita itu mendengkus kesal, ingatannya kembali saat pulang dari Bali suaminya kukuh bertemu Melisa. Pasti Fahri masih betah bersama istri keduanya. [Mas, kamu nggak pulang? Apa kamu nggak kerja?] Bunyi pesan yang Nuraini kirim. Tidak lama pesannya terbalas, Nuraini mengerutkan dahinya kala membaca balasan. Alih-alih Fahri yang membalas melainkan Melisa. [Apa urusanmu? Mas fahri sudah beberapa hari denganmu, kini giliranku Mbak! Suami kita belum bangun, kecapekan tadi malam bertempur denganku] ditambah emot mengejek. [Oh ya, bukankah kamu juga menyusul ke Bali dan kalian juga bertemu diam-diam] [Jangan fitnah kamu, Mbak! Ngapain aku nyusul ke Bali, aku menunggu di rumah] [Aku ada buktinya kok, berupa foto kamu dan juga Mas Fahri yang bilang.
[Mas, nggak usah jemput. Aku udah di rumah] Nuraini mengetik pesan untuk suaminya. Dia juga masih berbaring di tempat tidur karena dirasa badannya jadi tidak enak. Berulang kali juga harus ke kamar mandi, memuntahkan isi perutnya. [Oke, Mas langsung pulang selesai kerja. Apa kamu mau nitip makanan?] balasan Fahri. [Nggak usah, aku nggak selera! Mas pulang aja, aku nggak enak badan] [Kamu sakit, Nur?] Nuraini tidak membalas lagi karena semakin pusing. Ditambah muntah terus membuat tubuhnya lemas. Di rumah sendirian tidak ada yang bisa membantunya mengambil minum. Salahnya sendiri kenapa tadi menolak tawaran Ranti. Fahri yang menunggu balasan istrinya menjadi tidak tenang. Nuraini memang jarang sakit, itupun kalo sakit dia tidak pernah mengeluh. Kali ini dia merasakan ada yang aneh. Tiba-tiba Fahri ingat mertuanya, bukankah tadi mereka pergi bersama. Lelaki itu memutuskan untuk bertanya pada Ranti. [Assalamu'alaikum, Mah! Katanya Nur nggak enak badan, dia sakit apa, Mah?] Tidak
"Siapa di luar?" panggil Melanie karena mendengar keributan. Lisa menggerutu pada temannya karena aksinya ketahuan. Mau tidak mau dia pun mencoba menjelaskan agar sang bos tidak curiga. Tangan Lisa siap mengetuk pintu, terdengar jawaban dari dalam agar menyuruhnya masuk. Pintu pun terbuka lalu Lisa masuk dan tatkala Fahri melihatnya dia pun terkejut. Wajah lelaki itu berubah pias karena kehadiran sosok Lisa yang sangat tidak asing. Sekilas wanita yang mengenakan rok pendek itu menatap Fahri lalu beralih kepada Melanie. "Maaf, Bu! Tadi saya hanya lewat dan memungut barang yang nggak sengaja terjatuh tapi si Mala malah menuduh yang bukan-bukan," jelas Lisa seraya menunjukkan beberapa sampel pakaian. "Kalo gitu panggil Mala kesini, agar dia nggak salah paham," pinta Melanie setelah mendengarkan penjelasan asal keributan. "Nggak usah, Bu! Saya nggak mau perpanjang masalah, saya sudah memaafkannya. Kalau gitu saya permisi dulu, Bu," tolak Lisa. Dia tidak mungkin memanggil temannya itu
Usai menikah, Fahri diboyong istrinya ke rumah baru mereka. Lelaki itu menghirup udara kebebasan lagi, ibarat baru keluar dari yang namanya penjara kesulitan hidup. Langkah kakinya mantap begitu turun dari mobil. Ya, Melanie memang termasuk golongan berada. Semua fasilitas kemewahan sudah tersedia, kini mereka tinggal menikmati saja. "Gimana dengan rumahnya, Mas?" tanya Melanie setelah mereka masuk ke dalam rumah. Rumah tingkat dua dengan gaya klasik plus furnituer dan barang mahal sangat menarik perhatian Fahri. Pandangannya mengamati setiap sudut dengan berbagai model perabot. Di otaknya sudah terhitung bila barang-barang di dalam rumah dijual sudah ratusan juta hasilnya. "Mas," rengek Melanie karena pertanyaannya tidak dijawab Fahri. Wanita yang baru saja mengecap kebahagiaan itu termasuk sedikit manja tapi pekerja keras. Oleh karena itu hidupnya sukses bergelimang harta. "Eh, ya Sayang. Kamu tanya apa tadi?" gelegap Fahri malu. "Kamu suka rumah ini, Mas?" "Oh, suka banget Sa
Fahri gegas menuju apartemen Melanie begitu sambungan terputus. Dirinya tidak bisa begitu saja mengabaikan wanita yang membutuhkan pertolongan. Dia tidak ingin merasa menyesal lagi setelah kehilangan dua wanita yang pernah hidup bersamanya. "Mel, Melanie ...!" panggil Fahri seraya mengetuk pintu depan apartemen. Lelaki itu mengulang kembali panggilannya karena tidak ada jawaban dari dalam. Dia pun bermaksud mendobrak saja pintu tersebut, untungnya suasana sepi karena sudah hampir tengah malam. Setelah berhasil membuka paksa pintu, Fahri gesit mencari keberadaan Melanie. Pandangannya tertuju pada pintu kamar yang sedikit terbuka, merasa kalau wanita itu pasti berada di dalam. "Mel, kamu di mana?" Fahri celingukan ke dalam kamar dan tetap tidak menemukan wanita itu. Langkah kakinya pun seperti menyuruh agar lebih ke dalam, namun tiba-tiba dirinya dikejutkan dengan suara pintu tertutup. Lelaki itu berbalik dan ekspresinya sungguh terpana. Melanie tanpa busana sedang berdiri di hada
Fahri terengah-engah setelah berhenti lari demi menghindari mantan istrinya. Sambil mengatur napas, dia menoleh ke belakang untuk memastikan kalau Nuraini tidak mengejarnya. Lelaki itu terduduk lesu begitu merasa aman dan tidak lama termenung. Hari ini dia begitu sial, dari pagi menadahkan tangannya di lampu merah tapi tidak ada seorangpun yang berbaik hati memberinya uang. Hatinya sedikit gembira saat mengetuk sebuah kaca mobil yang kemudian terbuka dan lembar biru itu terulur di tangannya. Wajahnya menekuk tatkala mendengar suara wanita di telinganya, dia mendongak dan spontan terkejut begitu tau yang memberi uang adalah mantan istrinya. "Mas Fahri?" Dia pun segera berlari karena malu, namun matanya sempat melirik sekilas ke perut wanita yang pernah dicintainya itu. "Perut kamu sudah besar, Nur. Pasti sudah dekat akan melahirkan. Sayangnya bukan aku yang akan menemanimu dan anak kita nanti, tapi lelaki yang di sampingmu. Lelaki itu?" Fahri berhenti bergumam dan mencoba menginga
Dua hari kemudian, Bram benar-benar sudah membuka matanya. Senyumnya merekah melihat anak dan istri sedang duduk menemaninya. Nuraini yang membaca Alquran pun berhenti setelah tau papanya bangun. Alunan merdu kalam Allah yang membuat Bram tersentak. "Alhamdulillah, papa sudah sadar," ucap Nuraini senang. "Apa yang terjadi pada Papa?" "Papa pingsan terus colabs dan koma, sudah semingguan juga. Akhirnya sekarang bangun, Aini minta maaf udah buat Papa pingsan," ujar Aini sesenggukan. Bram menggeleng, diraihnya tangan anaknya lalu digenggam. "Kamu nggak salah, Nak! Papa yang seharusnya minta maaf. Jujur, Papa malu saat kamu tau kelakuan buruk Papa." Bram beralih menatap Ranti yang sedari tadi diam. Ditatapnya wajah istri yang masih terlihat cantik itu. Senyum tipis tersungging di bibir wanita yang sudah dua puluh tahun lebih di nikahinya. "Mah, Papa minta maaf sudah melukai hatimu. Ternyata Mama sudah tau sejak dulu kalo Papa ada _____" "Sssttt, nggak usah bahas itu lagi Pah! Semua
"Tante ngomong apa, tentu aja ayah kandungku itu adalah Bram. Ibuku sendiri yang bilang, jadi sekarang aku ingin menuntut hakku. Seperti Nur, aku ingin meminta separuh kekayaan ayahku," sembur Melisa percaya diri. Ranti tertawa, "Dengar Melisa, Ayah kandungmu bukanlah Bram! Sama seperti anak yang kamu kandung bukanlah anak Fahri!" gelegar suara Ranti membuat semua orang termasuk Fahri terkejut. "Apa maksudnya, pasti Mama berbohong! Bilang aja kalo Mama nggak ingin jatuh miskin karena Melisa menuntut haknya," desis Fahri tak percaya. Sedangkan Melisa sedikit gemetar takut boroknya terungkap. "Iya, Mas jangan percaya apa yang dibilang Tante. Anak ini tentu aja anak kamu Mas!" sergahnya membantah. Ranti hanya menyeringai dengan sikap keduanya. "Tunggu, Mah sebenarnya ada apa ini? Kenapa Melisa mengaku Papa sebagai ayahnya?" Giliran Nuraini yang bingung. Ranti menggengam tangan anaknya agar tenang dan menyerahkan semua padanya. Selama ini Nuraini hanya tau Papanya berselingkuh denga
Kala Nuraini masih tertidur, Ranti bergerak cepat. Menelepon seseorang yang biasa dia suruh mencari target. Sesuai petunjuk yang diberi Tono tadi. "Halo, kamu cari seseorang dengan nama Hendra di kampung Melati. Setelah dapat langsung interogasi, nanti kabari saya biar saya yang bicara melalui telepon," ucap Ranti lalu memutuskan sambungan telepon. "Pak Diman!" panggilnya pada Sang supir yang juga standby di rumah anaknya. Diman yang sedang mengobrol dengan satpam menoleh, mendengar namanya dipanggil datang tergopoh-gopoh. "Ya, Nyonya!" "Tolong kamu jaga tuan kamu di rumah sakit, jangan ada yang boleh masuk tanpa ijin saya. Kalo dia nekat hubungi saya, biar saya yang bicara!" "Baik, Nyonya! Siap laksanakan," jawab supir hormat. "Pergilah sekarang juga! Ini uangnya kamu ambil, jangan lupa beli bekal nasi biar kamu nggak bolak balik," pinta Ranti. Setelah mengucapkan terima kasih, Diman segera berlalu. Begitulah Ranti sebagai majikan tidak pernah pelit, jika menyuruh pasti dia a
"Mas, katakan kalo itu nggak benar? Nggak mungkin aku anaknya Papa Nur. Nggak mungkin ...!" jerit Melisa menjambak rambutnya. "Mel, tenanglah! Seharusnya kamu senang kalo memang kamu anaknya Bram," hibur Fahri. "Mana mungkin aku tenang, aku aja sangat membenci Nur. Aku nggak mau saudaraan dengannya, Mas!" "Sssttt, coba kamu pikir! Jika kamu anaknya Bram, kamu bisa nuntut harta gono gini. Bagaimanapun ada hak kamu di dalamnya, jadi kamu bisa bersaing dengan Nur," hasut Fahri tersenyum. Melisa mendongak, mencerna kata Fahri barusan. Benar, kalo dia menuntut harta gono gini pada Bram maka dia pun bisa merasakan kemewahan seperti Nuraini. Dia sudah bosan hidup dalam kesusahan terus, apalagi kini tengah mengandung seorang anak. Ya, sekarang itu satu-satunya jalan sebagai loncatan dirinya untuk kaya. Gaya hedon pun mulai berseliweran dalam kepalanya. Dia akan mengendarai mobil kemanapun dan shoping di Mall sepuasnya juga gabung dalam geng sosialitas kelas atas. Bibirnya melengkung mem
"Jangan lukai anakmu, anak ini benar anak Fahri tapi anak yang dikandung Melisa bukanlah anak Fahri," jelas Ranti membuat Nuraini dan Tommy kaget. "Lalu anak siapa, Mah?" "Anak yang dikandung Melisa itu anak perkosaan mantan pacarnya dulu!" "Apa, benarkah itu? Mama tau dari mana?" tanya Nuraini tak percaya. Ranti mengangguk menghela napas sebentar. "Saat di Bali itu, setelah Papamu dan Fatma ketahuan sedang bermain di kamar oleh Pak Tono. Seketika itu juga beliau menjatuhkan talak pada wanita yang menggilai Papamu. Setelah itu Pak Tono membeberkan semuanya pada Mama tentang Fatma dan juga Melisa. "Awalnya Mama juga kaget dan nggak ingin mempercayai tapi melihat bagaimana dulu kelakuan Fatma pasti menurun pada anaknya." "Kenapa baru sekarang Mama katakan, setelah Aini berkata akan menceraikan Mas Fahri?" Kini ada sedikit penyesalan dalam hati wanita yang tengah mengandung itu. "Mama rasa pun nggak akan ada pengaruh bila Fahri tau. Dia pasti nggak akan percaya pada ucapan Mama se