"Maafkan aku, Tante," bisik Keira, air mata mulai menggenang di matanya, memburamkan pandangannya. "Aku... aku tidak pernah menyadari hal itu. Aku terlalu fokus pada kebahagiaan anak-anakku hingga tidak melihat kesedihan Tante."
Vera terisak pelan, bahunya bergetar menahan emosi yang selama ini terpendam. "Aku mencintai Mas Bara. Sangat mencintainya." Suaranya pecah, penuh kepedihan. "Tapi sejak kalian kembali... dia berubah. Tatapannya padamu... cara dia tersenyum saat bersama anak-anakmu..." Ia menghela napas berat. "Aku merasa seperti orang asing di rumah sendiri."
"Tante benar," ucap Keira lembut, suaranya bergetar menahan emosi yang membuncah. "Semua ini terjadi karena aku. Karena kehadiranku yang mengusik ketenangan Tante di rumah ini. Karena aku, Tante merasa terasingkan di rumah Tante sendiri. Karena aku... Tante terpaksa keluar di hari itu..."
Kalimat terakhirnya tergantung berat di udara, mengingatkan mereka pada hari nahas yang mengubah
"Tante, sweaternya sudah kusiapkan. Cuaca agak dingin hari ini," ujar Keira sambil membantu Vera mengenakan sweater rajut berwarna lavender.Di kamar Vera, Keira sedang membantu Vera bersiap-siap untuk sesi fisioterapi rutinnya di rumah sakit.Vera tersenyum hangat. "Terima kasih, Keira. Kamu selalu memperhatikan detail seperti ini."Sudah sebulan berlalu sejak hari dimana tembok es di antara mereka mencair. Sejak saat itu, hubungan keduanya berubah drastis. Vera tidak lagi menolak kehadiran dan bantuan Keira, bahkan mulai membuka hatinya untuk menerima Aurora dan Sabiru sebagai anak-anaknya juga."Oh, iya … Tante ini Aurora dan Sabiru titip bunga untuk diberikan pada Tante," Keira berkata sambil memberikan bunga dari kedua anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah."Mereka sangat perhatian ya," Vera tersenyum, matanya berkaca-kaca ketika tangannya menyentuh bungan yang diberikan oleh kedua anak tirinya. "Padahal selama ini aku... aku sangat jahat pada mereka.""Ssst, sudahlah
Di taman belakang yang asri, Aurora dan Sabiru berlarian dengan riang, mengejar kucing peliharaan mereka.Tawa mereka yang polos dan murni mengisi udara sore yang sejuk, menciptakan melodi yang menghangatkan hati.Vera duduk di kursi rodanya di beranda belakang, memandangi pemandangan di hadapannya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya.Sebuah senyum tulus terukir di wajahnya yang mulai dihiasi kerutan halus.Matanya yang dulu selalu dipenuhi amarah dan kepahitan, kini memancarkan kehangatan saat mengamati kedua bocah kembar yang tengah asyik bermain."Mereka anak-anak yang baik ya," gumam Vera pelan, suaranya terdengar lembut dan penuh penyesalan.Matanya tak lepas dari sosok Aurora dan Sabiru yang masih asyik mengejar kucing."Selama ini... Tante telah salah menilai mereka dan sudah terlalu kejam pada mereka hanya karena kegelapan hati Tante."Di belakangnya, Keira yang sedang merapikan rambut Vera
Bara duduk termenung di ruang kerjanya. Matanya menatap kosong ke arah foto keluarga yang terpajang di dinding—foto lama yang menampilkan dirinya, Vera, Arka, dan Tasya kecil. Di sebelahnya, ada foto baru yang diambil minggu lalu di taman belakang rumah, menampilkan seluruh keluarga termasuk Keira, Aurora, dan Sabiru.Bara menghela napas panjang, tangannya memijat pelipis yang mulai berdenyut. Restu yang diberikan Vera beberapa hari lalu masih terngiang di telinganya, membuat perasaannya campur aduk antara lega dan gelisah. Di satu sisi, ia merasa seolah beban berat terangkat dari pundaknya. Namun di sisi lain, tantangan yang dihadapinya justru semakin berat.Restu dari Vera memang sebuah pemberian yang tak pernah ia bayangkan akan datang, tetapi kini justru membuat hatinya galau. Di satu sisi, ia merasa bersyukur atas kebesaran hati istrinya. Di sisi lain, rasa bersalah menggerogoti nuraninya—bagaimana mungkin ia bisa mencintai dua wanita sekaligus?"Pak Bara," suara Maya–sekretarisn
Bara tersenyum tipis ketika matanya tertuju pada selembar foto yang baru saja ia cetak—foto dari acara kantor minggu lalu, di mana Keira terlihat begitu anggun dalam balutan pakaian kerjanya yang elegan. Ia menyelipkan foto itu ke dalam dompetnya, tepat di sebelah foto lama mereka berdua."Masih menyimpan foto-foto Keira, Pa? Tapi dari dulu sampai sekarang kecantikan Keria masih sama, bahkan sekarang lebih cantik, ‘kan, Pa"Suara Arka mengejutkannya. Entah sejak kapan, Putra sulungnya itu berdiri di belakang kursi kerjanya yang sedang ia hadapkan ke arah jendela. Tatapan Arka tampak tertuju pada dompet di tangannya, yang masih terbuka menampilkan foto Keira."Arka," Bara berdeham, menutup dompetnya dengan gerakan yang terlalu terburu-buru. "Ada perlu apa?""K
Ruang meeting rapat sore itu terasa mencekik dengan ketegangan yang mengambang di udara. Keira duduk di kursi utama, berusaha memfokuskan perhatiannya pada layar laptop yang menampilkan presentasi progress pembangunan tower. Namun, matanya tak bisa mengabaikan dua sosok pria yang duduk berseberangan—Bara dan Arka—yang saling melempar tatapan dingin sejak awal rapat dimulai."Dari data yang kita miliki," Keira memulai, suaranya profesional meski jantungnya berdegup kencang, "progress pembangunan tower pertama sudah mencapai 35%. Ada beberapa hal teknis yang perlu kita diskusikan hari ini.""Saya sudah mempelajari laporannya," Bara angkat bicara, nada suaranya tegas dan berwibawa. Ia menyandarkan punggungnya di kursi kulit hitam dengan sikap yang menunjukkan pengalaman puluhan tahunnya di industri properti. "Dan saya merekomendasikan penggunaan material impor untuk fasad gedung. Kualitasnya sudah teruji dan—""Maaf, tapi saya tidak setuju dengan us
Keira menatap kosong ke arah jalanan melalui jendela mobilnya yang berembun. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah juga. Tangannya yang gemetar mencengkeram kemudi, sementara pikirannya berkecamuk dengan kejadian di ruang rapat tadi.Restu dari Vera yang seharusnya bisa menjadi angin segar, justru membuat situasi semakin rumit. Hubungan ayah dan anak yang sudah mulai membaik kini kembali tegang."Ya Tuhan," bisiknya lirih, "Kenapa semuanya masih serumit ini, padahal hubunganku dengan Tante Vera, Kevin, dan Tasya sudah membaik?"Getaran ponsel di dashboard mobilnya membuat Keira tersentak. Dua pesan masuk hampir bersamaan. Nama Om Bara dan Arka berkedip di layar, membuat dadanya semakin sesak."Keira, maafkan sikap Om saat di ruang rapat tadi. Om tidak bermaksud membuat situasinya menjadi tidak nyaman," tulis Bara.Sementara pesan Arka berbunyi, "Hey, you okay? Text me when you get home safe ya? Sorry, kalau tadi gue bikin lo enggak nya
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Dua bulan berlalu sejak Keira diperbolehkan keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumah. Keira memutuskan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya di perusahaan peninggalan Papanya. Toh ternyata suaminya mampu memimpin dan menangani urusan kantor mengantikan dirinya dengan sangat baik. Keputusan ini juga dipengaruhi oleh keinginannya untuk benar-benar mencurahkan waktu pada Raka, anak bungsunya. Karena saat Aurora dan Sabiru masih bayi, Keira hanya punya waktu sebentar untuk merawat mereka."Wajahnya mirip sekali denganmu, Mas. Hanya bibirnya saja yang mirip dengan Keira," ujar Vera dengan nada lembut sambil menggendong bayi mungil itu.Bara menatap Vera sambil tersenyum hangat. "Penilaianmu memang benar, Ve."Vera mengangguk pelan, tersenyum pada suaminya, dan dengan hati-hati meletakkan Raka yang sudah tertidur kembali ke dalam boksnya. "Sepertinya sudah waktunya aku untuk minum obat dan vitamin, Mas. Aku mau kembali ke kamar."Bara meraih tangan Vera sejenak, menatapnya dengan p
"Tante buatkan susu untukmu, Kei," ujar Vera, meletakkan segelas susu hangat di hadapan Keira yang tengah duduk membaca buku. Tatapan Vera lembut, penuh perhatian, meski wajahnya masih tampak lelah karena baru pulih dari cedera kecelakaan yang membuatnya sulit berjalan selama hampir setahun ini.Keira mendongak, menatap Vera dengan khawatir. "Aduh, Tante kan baru bisa jalan lagi. Aku cuma enggak mau Tante sampai kelelahan dan kenapa-kenapa kalau terlalu banyak bergerak hanya untuk membuatkan aku susu atau melakukan hal lain."Vera tersenyum kecil, menepuk tangan Keira dengan lembut. "Sudahlah, Kei. Justru Tante harus banyak gerak supaya otot kaki Tante tidak lemas dan bisa berjalan lebih lancar lagi. Anggap saja Tante memperlakukanmu dengan baik untuk menebus semua sikap buruk Tante padamu dulu. Sekarang minumlah susunya, sebelum menjadi dingin."Keira mengangguk pelan, merasa tersentuh oleh kebaikan Vera. "Baiklah, Tante. Makasih," ujarnya denga
"Huek!" Keira tiba-tiba merasa mual sesaat setelah ia menaruh sendok makan siangnya. Wajahnya langsung pucat. Ia menutup mulut dan berlari ke arah toilet pribadi di ruangan kerja Bara. Melihat itu, Bara dengan sigap mengikuti langkah Keira, khawatir istrinya sakit. Sesampainya di toilet, Bara langsung meraih rambut Keira dengan tangan kirinya, memegangnya agar tidak mengganggu. Sementara tangan kanannya dengan lembut memijat tengkuknya. "Kamu sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan perhatian sekaligus kecemasan. Keira mengambil napas sejenak setelah muntah. "Aku enggak merasa sakit, Mas. Sebelumnya juga baik-baik saja," ucapnya sambil mengatur napas. "Cuma, enggak tahu kenapa akhir-akhir ini setiap habis makan aku mual banget. Apa mungkin aku salah makan atau…jangan-jangan…" Matanya tiba-tiba membulat, seolah baru menyadari sesuatu. Keira baru menyadari sesuatu yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di tubuhny
"Aku masih enggak percaya kita bisa sampai di titik ini, Mas" ujar Keira lembut. Mereka tengah menikmati malam terakhir dari bulan madu singkat mereka di pulau pribadi Bara.Bara menggenggam tangan Keira, menatap mata istrinya penuh kasih. "Aku juga masih tidak percaya bisa mendapatkan kesempatan kedua darimu, Kei. Terima kasih sudah mau kembali bersamaku lagi. Aku janji akan selalu menjaga kepercayaan yang kamu berikan."Keira tersenyum hangat, rona bahagia terlihat jelas di wajahnya. "Aku percaya dan kasih kesempatan buat Mas karena aku senang telah melihat perubahan Mas. Terutama cara Mas mengendalikan emosi dan kecemburuan. Itu membuat aku yakin kalau kita bisa memulai lembaran baru bersama kamu, Mas."Mereka duduk di sofa yang menghadap ke pemandangan malam pantai di pulau itu. Hamparan pasir putih berkilau diterpa sinar bulan, menyuguhkan pemandangan tenang yang hanya mereka nikmati berdua. Pantai itu ternyata masih seindah dulu saat terkahir kali m
"Aurora, Sabiru, ayo main sama Bella di kamar sebelah?" bujuk Tasya dengan lembut setelah resepsi Bara dan Keira selesai. "Kita bisa pesan pizza dan nonton film kartun kesukaan kalian!""Tapi aku mau tidur sama Mama dan Papa..." rengek Aurora, menggenggam tangan Keira.Kevin mengeluarkan sesuatu dari sakunya. "Lihat nih, Kak Kevin punya voucher buat beli mainan besok. Kalian bisa pilih mainan apa aja yang kalian suka."Mata Sabiru langsung berbinar. "Beneran Kak? Aku mau robot transformer!""Aku mau rumah-rumahan yang besar," timpal Bella bersemangat."Kalau gitu aku juga mau boneka barbie yang baru!" Aurora ikut tertarik.Keira tersenyum melihat antusiasme anak-anak. "Mama janji
Sebulan berlalu dengan cepatnya. Bara dan Keira pun akhirnya sepakat untuk kembali mengarungi biduk rumah tangga setelah Bara melamar Keira dengan begitu menyentuh hati Keira dan membuat Keira tak bisa menolaknya.Lagi pula selama sebulan ini, Keira melihat sendiri betapa Om Bara berusaha memenuhi janjinya. Lelaki itu tak lagi menunjukan cara cemburu yang berlebihan dan kasar seperti dulu, saat Keira terlibat interaksi dengan Arka atau lelaki lain yang kebanyakan merupakan kolega kerjanya. Oleh karena itu, tak ada lagi keraguan dalam hati Keira untuk menerima lamaran Bara.Hari ini, sebelum acara ijab kabul dilaksanakan, Keira berdiri di hadapan cermin, jemarinya gemetar merapikan setelan kebaya pengantinnya yang sederhana tetapi elegan.Berbeda dengan pernikahan pertamanya yang penuh keterpaksaan, kali ini ia
“Sebaiknya kita tidak usah kembali ke kantor lagi karena Om mau mengajakmu menjemput Aurora dan Sabiru di sekolah mereka sore ini. Apa kamu tidak keberatan?”Ia mengangguk lemah sambil menyeka hidungnya. Matanya yang sembab masih terlihat sedikit memerah. Suaranya terdengar serak ketika menjawab.“Aku enggak keberatan, tapi ini kan masih siang Om? Kalau enggak balik lagi ke kantor, kita mau melakukan apa untuk menunggu sampai jam kepulangan mereka?”Bara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan sembari menunggu jam pulang sekolah anak-anak tiba?”Namun Keira tampak enggan. Tatapan matanya kosong dan pandangannya terasa hampa, seolah pikiran masih terjebak dalam lingkaran kesedihan yang baru saja dialaminya. “Entahlah, Om. Tapi aku lagi enggak ingin melakukan apa-apa, selain duduk di kursi kerjaku dan menyibukan diri dengan pekerjaan,” jawab Keira apa adanya.Perkataan positif Bara yang penuh dukungan untuknya, memang melegakan sebagai besar hati
Beberapa saat setelah Arka pergi, Keira pun keluar dari restoran tempat ia bertemu dengan Arka. Langkahnya tertatih, ekspresi wajahnya campur aduk antara sedih, lega, dan terluka. Hembusan angin seolah turut membawa beban emosi yang berat dari dalam dirinya. Di hapusnya sisa air mata di sudut matanya ketika memasuki mobil Om Bara.Udara di dalam mobil terasa berat, dipenuhi emosi yang beradu-padu menyiksa diri Keira. Keheningan yang mencekam perlahan mencair ketika suara Om Bara membelah kesunyian.“Jangan paksa dirimu untuk tidak menangis, Kei.” ujar Bara dengan lembut.” Om tahu pasti berat untuk kamu karena harus menyampaikan kalau kamu yang lebih memilih Om di bandingkan Arka. Jadi, menagis lah sampai kamu merasa lega.”Bara langsung menahan tangan Keira yang mengusap air mata yang jelas-jelas masih mengalir di wajah cantik wanita itu.“Tapi aku enggak ingin terlihat lemah di hadapan Om. Aku juga takut Om bisa salah paham karena melihatku menangis setelah bertemu dengan Arka. Nanti
Keesokan paginya, Keira bertemu dengan Om Bara di sebuah kafe kecil dekat kantornya, tempat yang cukup privat untuk pembicaraan sepenting ini."Om," Keira berkata pelan, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang masih mengepul di hadapannya.Om Bara menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Ada apa, Keira?"Keira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sudah memikirkan ini berulang kali, menghabiskan malam-malam tanpa tidur memikirkan keputusan yang akan ia sampaikan hari ini."Setelah berpikir panjang..." Keira menggigit bibirnya sejenak, "aku... aku memutuskan mau mencoba membuka hati lagi untuk Om."Mata Bara melebar, tampak tak percaya dengan apa yang baru saja di