Sebuah crop top warna merah dengan potongan dada yang sedikit rendah melekat sempurna di tubuh Cara. Gadis itu terlihat sangat sexy padahal pakaiannya tidak terlalu terbuka seperti pelayan yang lain. Semua mata lelaki yang ada di Paradise Club menatapnya dengan penuh minat. Termasuk Felix. Dia sudah tertarik dengan gadis itu saat pertama kali melihatnya.
"How was your day, Caramell?" sapa Felix terdengar ramah, tapi Cara terlihat tidak peduli. Gadis itu sebenarnya tidak ingin bekerja di kelab malam, tapi dia sedang membutuhkan uang untuk pengobatan sang ibu.
Para tetangga menganggapnya wanita murahan karena bekerja di kelab malam dan sering pulang pagi. Padahal dia hanya mengantar makanan dan minuman ke para pelanggan. Tidak lebih. Namun, ibu-ibu yang tinggal di sekitar rumahnya selalu menganggapnya jalang, pelacur, bahkan simpanan om-om.
"Selamat menikmati, Tuan," Cara membungkuk sekilas sebelum kembali ke belakang untuk mengantar minuman ke pelanggan lain. Namun, Felix tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya.
Cara menatap tajam tangannya yang berada dalam genggaman Felix, seolah-olah meminta lelaki itu untuk melepas genggamannya.
Felix tergagap lantas cepat-cepat melepas tangan Cara. "Sorry ...."
Cara mengangguk sekilas, lantas berbalik untuk melanjutkan pekerjaannya. Namun, Felix lagi-lagi mencekal perngelangan tangannya.
"Caramell, tunggu!"
"Apa Anda butuh sesuatu?" tanya Cara berusaha profesional.
"Em, apa kamu bisa menemani aku malam ini?"
Alis Cara terangkat sebelah. Tidak terhitung sudah berapa kali Felix meminta untuk ditemani. Namun, jawabannya tetap sama. "Tidak."
Felix tanpa sadar mendesah panjang karena Cara lagi-lagi menolak permintaannya. "Caramell, please. Aku rela meninggalkan semua teman-teman wanitaku demi dirimu."
Wajah Cara mengeras. William Felix selalu menganggap perempuan seperti permen karet. Habis manis sepah dibuang. Apa lagi wanita yang bekerja di kelab malam sepertinya tidak lebih dari sekadar alat pemuas bagi lelaki itu.
"Mau, ya? Please ...." Felix sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia rela meninggalkan semua teman-teman wanitanya jika Cara mau berkecan dengannya.
"Sepertinya telinga Anda tidak tuli. Sudah berapa kali saya katakan, saya tidak mau," tandas Cara tidak kalah serius.
"Eh, Tuan mau apa?" Cara refleks mundur karena Felix tiba-tiba mendekat, menatapnya tajam sambil menyeringai seram. Penolakan Cara membuat harga diri seorang William Felix merasa direndahkan.
Felix meraih dagu Cara agar menatapnya. "Gadis munafik. Kau butuh uang, kan? Berapa jumlahnya? Bilang saja, pasti kuberi. Tapi ada syaratnya."
Felix semakin mendekat. "Biarkan aku menikmati tubuhmu," bisiknya terdengar menjijikkan di telinga Cara.
Apa perempuan yang bekerja di kelab malam harus menjual diri?
Tidak!
Cara tidak akan melakukan hal serendah itu meskipun dia membutuhkan uang untuk mengobati sang ibu.
Plak!
Cara tanpa sadar menampar Felix dengan cukup keras. Amarah terukir jelas di wajah cantiknya. Ucapan Felix barusan benar-benar membuatnya geram.
Rasa panas sontak menjalari pipi Felix yang terlihat sedikit memerah. "Kau ...," sengitnya menatap Cara tajam. Felix benar-benar marah karena Cara berani menampar pipinya.
"Jaga ucapanmu, Tuan. Aku bukan wanita jalang. Ahh ...." Cara memekik karena Felik mencengkeram bahunya lumayan kuat. Mendorong tubuhnya dengan keras hingga membentur dinding yang ada di belakang.
"Ahh ...." Cara kembali memekik karena punggungnya lumayan sakit. "Tuan, sakit. Saya mohon lepaskan."
Cengkeraman Felix malah semakin erat. Lelaki itu tidak memedulikan Cara yang merintih kesakitan. "Jangan sok suci, Nona. Terima saja uangku dan biarkan aku menikmati tubuhmu."
Felik menghimpit Cara hingga tidak ada jarak di antara mereka. Kedua matanya menatap gadis itu dengan penuh minat. Pelan, dia mendekatkan wajahnya. Aroma alkohol yang menguar dari mulut Felix tercium jelas di hidung Cara.
"Tuan, saya mohon. Jangan ...." Cara berusaha mendorong Felix agar menjauh. Namun, Felix tetap diam tak bergeming kerena tenaganya tidak sebanding dengan lelaki itu.
Alvaro hanya diam sambil menikmati wine-nya melihat apa yang Felix lakukan tanpa ingin membantu Cara meskipun gadis itu berteriak minta tolong.
"Tuan, jangan!" Cara terus memberontak, berusaha melepaskan diri dari kungkungan Felix. Namun, Felix malah semakin memperkecil jarak di antara mereka.
"Aroma tubuhmu sangat lezat, Caramell ...." bisik Felix sambil menghirup leher Cara dalam-dalam.
Entah mendapat kekuatan dari mana Cara meraih sebotol minuman keras yang ada di dekatnya untuk memukul kepala Felix.
"Ahh!" Cengkeraman di bahu Cara terlepas begitu saja karena kepala Felix terasa sangat sakit. Dengan tangan gemetar lelaki itu meraba cairan berwarna merah yang merembes dari kepalanya.
Kedua mata Felix sontak membulat. Darah.
"Ka-kau ...?"
***
[ Bersambung ]
Hai-hai, Cara dan Alvaro up lagi. Hope you like it, Guys. 😘
Jangan lupa sub dan review. Thank you.... 🌻
Cara hanya bisa menunduk sambil memilin kesepuluh jemari tangannya yang basah. Setitik keringat dingin kembali menetes di pelipisnya. Wajah gadis itu pun terlihat pucat. Beberapa menit yang lalu pemilik Paradise Club memintanya untuk datang ke ruangannya. Melihat betapa keras wajah lelaki yang duduk di hadapannya, Cara yakin sekali Si Bos sedang marah besar karena dirinya kembali membuat masalah dengan pelanggan.Lelaki bernama Radit itu menarik napas panjang sebelum bicara. "Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi, Ra? Kau sudah menampar lima pelangganku di bulan ini. Parahnya hari ini kau memukul kepala Tuan Feliks dengan botol. Untung saja Tuan Felix tidak melaporkanmu ke polisi dan menuntut ganti rugi.""Tapi Tuan Felix yang ....""Jangan membalas ucapanku, Cara!" desis Radit tajam."Maaf." Cara refleks menunduk karena Radit terlihat sangat menyeramkan saat marah. Dia tidak bisa berbuat apa pun selain
Alvaro terus meneguk sebotol wine di tangannya karena ingin berhenti memikirkan masalahnya dengan Angela sejenak. Namun, ucapan wanita itu terus berputar-putar di kepalanya.'Kalau kamu ngotot ingin memiliki anak dariku? Lebih baik kita berpisah.'"Sialan! Beri aku minuman lagi!" pintanya pada bartender."Tapi Anda sudah terlalu mabuk, Tuan."Alvaro menatap pemuda berusia awal dua puluh tahunan yang berdiri di hadapannya dengan tajam. "Berisik! Cepat buatkan minumanku, Bodoh!"Pemuda itu tergagap lalu segera membuat segelas cocktail sesuai perintah Alvaro. Namun, Alvaro malah ambruk sebelum minumannya selesai dibuat. Dia pasti sudah sangat mabuk."Hei Al, bangunlah! Apa kau mau tidur di sini?" tanya Felix sambil menepuk pipi Alvaro.Alvaro megerjabkan mata perlahan, lalu memandang ke sekitar dengan bingung. Sepertinya alkohol sudah
Byur! Alvaro sontak bangun karena Mama menyiram wajahnya dengan air satu ember. "Bangun, Alvaro!" geram Mama dengan mata melotot. Alvaro mengusap wajahnya yang basah sebelum mendudukkan diri di atas tempat tidur. "Sshh ...." Dia meringis karena kepalanya tiba-tiba berdenyut sakit. Perutnya pun terasa pengar. Sepertinya efek mabuk semalam baru terasa sekarang. Ah, rasanya benar-benar tidak nyaman. "Kenapa kamu bisa mabuk seperti itu, Alvaro? Kalau ada masalah itu diselesaikan, bukan lari ke minuman. Kamu itu bukan anak-anak lagi. Cobalah bersikap selayaknya orang dewasa, Al." Alvaro meringis. Kepalanya semakin terasa pening karena mendengar omelan Mama. "Berisik!" Mama sontak melotot. "Apa kamu bilang?" "Alvaro nggak bilang apa-apa," jawab Alvaro sambil beranjak ke kamar mandi. Dia ingin membersihkan diri agar tubuhnya tera
Cara terus menunduk sambil meremas kesepuluh jemari tangannya. Air mata turun semakin deras membasahi pipinya. Dalam hati dia tidak pernah berhenti berdoa untuk keselamatan sang ibu. Semakin hari penyakit kanker darah yang diderita ibunya semakin parah. Padahal Ibu sudah menjalani kemoterapi selama enam bulan terakhir. Namun, penyakit itu semakin menang melawan tubuh ibunya. Telapak tangan Cara semakin dingin dan basah. Jantung pun berdetak tidak nyaman. Gadis itu merasa takut, bingung, dan cemas. Cara takut Ibu tidak selamat karena hanya wanita itu yang dia miliki di dunia ini. "Tuhan, aku mohon selamatkan Ibu ...." gumamnya dengan suara gemetar. Dia benar-benar takut kehilangan sang ibu untuk selamanya. "Caramell." Cara sontak menghampiri lelaki berjas putih yang baru saja keluar dari ruang Unit Gawat Darurat. Dia, Aditya Kafka. Dokter muda yang telah merawat ibunya selama ini.
Cara tanpa sadar meremas secarik kertas yang berada di genggaman. Kertas berwarna kuning tersebut berisi nomor telepon wanita yang memberi tawaran Elish untuk melahirkan anaknya. Namun, Elish malah memberikan tawaran tersebut pada dirinya karena sahabatnya itu tahu jika dia sekarang lebih membutuhkan uang.Cara meremas kertas tersebut semakin erat hingga meninggalkan kerutan di sana. Terlalu banyak pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Gadis itu mendadak sangat bimbang sekarang.Apakah yang dia lakukan ini benar?Bagaimana jika sang ibu tahu dia akan melahirkan anak untuk orang lain.Cara yakin sekali Ibu pasti akan sangat kecewa jika tahu. Namun, dia tidak punya cara lain lagi untuk mendapatkan uang dalam waktu dekat."Tuhan, aku tidak tahu harus bagaimana lagi? Semoga ini
"Mmhh..." Tubuh Angela meremang hebat. Wajahnya semakin memerah ketika suara ciuman mereka tertangkap oleh indera pendengarannya. Wanita itu ingin segera dipuaskan oleh lelaki yang kini sedang menindih tubuhnya.Suara lenguhan Angela yang tertelan dalam ciuman membuat suasana semakin terasa panas. Bahkan Alvaro tidak bisa lagi menahan tangannya untuk memberikan sentuhan lembut pada paha mulus Angela yang tidak tertutupi gaun."Erngh ...." Alvaro melepas pagutan bibirnya saat mendegar erangan keluar dari bibir Angela. Memberi kesempatan pada wanita itu untuk mengambil napas.Angela segera menarik napas sebanyak mungkin karena Alvaro tidak memberinya kesempatan untuk bernapas sama sekali. "Seharusnya malam ini kamu tidur di kamar Caramell, Al," ucapnya dengan napas terengah.Wajah Alvaro
Tidak terasa sudah hampir satu bulan Cara tinggal di rumah Alvaro. Setiap hari gadis itu harus mengurus rumah, selain itu mengurus Alvaro karena Angela tidak becus mengurus suami. Yang bisa dilakukan wanita itu hanya bermalas-malasan dan menghabiskan uang Alvaro. Cara selalu bangun sebelum matahari terbit, setelah itu memasak, kemudian mencuci baju dan membereskan rumah. Benar-benar melelahkan karena dia mengerjakannya seorang diri. Alvaro pun tidak berubah. Lelaki itu masih suka marah dan bersikap kasar pada dirinya. Sejak awal dia memang tidak menyukai ide gila Angela untuk menikahi Cara demi memberi Mama cucu. Alvaro bisa langsung marah jika Cara berbuat salah, sekecil apa pun itu. Cara dulu selalu diam saat Alvaro menghina dan merendahkan dirinya. Dia menelan semua ucapan Alvaro yang terasa pahit seperti obat. Namun, dia sekarang mulai b
Cara kembali masuk ke kamarnya dan membanting pintu lumayan keras untuk melampiaskan kekesalan. Ucapan Alvaro tadi benar-benar melukai hatinya. Jika Alvaro menganggapnya perempuan murahan, maka dia akan bertingkah seperti jalang.Cara membuka lemarinya dengan kasar. Di dalam tergantung lingeri dengan berbagi model yang dia dapatkan dari Angela. Dia mengambil satu buah lingeri secara asal lalu memakainya. Cara sebenarnya jijik memakai pakaian kurang bahan tersebut. Namun, dia harus memakainya untuk menggoda Alvaro."Akan aku buktikan pada Tuan Alvaro kalau aku bukan jalang!"***Alvaro menghela napas panjang. Sepertinya Angela benar-benar sudah gila, pikirnya. Bagaimana mungkin wanita itu menyuruhnya untuk segera menghamili Cara? Apa Angela tidak tahu kalau dia tidak ingin melak
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di