Alvaro ingin melepaskan Cara dari dekapan karena ponselnya yang ada di dalam saku celana bergetar. Namun, gadis itu malah memeluknya semakin erat. Seolah-olah enggan melepaskannya dari dekapan.
Entah kenapa Cara hari ini ingin terus memeluk Alvaro dan berada di dekat lelaki itu.
"Sayang, lepas dulu, ya? Aku mau menerima telepon, nih."
Cara mengerucutkan bibir kesal. "Nggak mau, nerima telepon kayak gini kan, bisa."
Alvaro terkekeh geli melihat tingkah Cara yang begitu manja pagi ini. Gadis itu benar-benar menggemaskan, seperti anak kucing. Dia mengecup puncak kepala Cara sekilas sebelum menerima telepon dari Gabriella.
"Ya, Gab?" ucapnya.
'Selamat pagi, Mr. Alvaro. Saya hanya ingin mengingatkan kalau jam sepuluh pagi nanti Anda ada rapat penting. Saya harap Anda untuk segera datang ke kantor. Cukup sekian terima gaji.' Gabriella langsung memutus sambungan teleponnya setela
Minggu ini saham Perusahaan Dinata naik sepuluh persen. Para investor merasa sangat puas dan tidak menyesal sudah menanam modal pada perusahaan yang didirikan oleh ayah Alvaro tersebut. Perusahaan Dinata sekarang bahkan semakin berjaya sejak dipimpin oleh Alvaro. Alvaro mengempaskan tubuhnya di kursi setelah selesai memimpin rapat dengan para petinggi perusahaan. Untung saja dia masih sedikit mengerti materi yang dibahas pada rapat jam sepuluh tadi, jika tidak para investor pasti ragu untuk mempertahankan saham mereka di perusahannya. "Gabriella, jangan lupa kirimkan laporan rapat tadi padaku secepatnya." "Baik, Mr. Alvaro." Gabriella mengangguk patuh. "Apa lagi jadwalku setelah ini?" Gabriella pun membuka buku agenda Alvaro. "Anda ada janji makan siang dengan pemimpin Alex Coorporation. Setelah itu meninjau pembangunan mall sekaligus arena bermain bagi anak-anak di jalan Sudirman sam
Napas Jafier tercekat, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat. Tanpa sadar dia menahan napas mendengar suara gadis yang selama ini dia rindukan. Suara Caramell.'Maaf, Anda siapa, ya? Kalau ada hal penting yang ingin Anda sampaikan tolong jangan diam saja.'Kedua tangan Jafier tanpa sadar mengepal kuat hingga buku-buku jari tangannya gemetar. Detak jantungnya semakin berdentam-dendam di dalam rongga dada. Begitu liar, riuh, dan tidak terkendali. Napasnya tersengal. Suara itu terdengar sangat merdu di telinganya. Melumpuhkan seluruh syaraf di dalam tubuhnya. Dia amat sangat merindukan Cara.'Saya akan menutup teleponnya kalau Anda tetap tidak mau bicara.'Jafier tidak menyahut. Kedua matanya terlihat berkaca-kaca, rahang pun mengatup rapat menaha
"Mommy-nya Dio tadi bilang apa saja sama kamu?" Cara dan Alvaro sekarang sedang berada di restoran ayam cepat saji karena Cara tiba-tiba saja ingin makan ayam goreng tepung. Padahal Cara sudah banyak membeli jajajan saat berda di taman. "Kak Alexandra tadi nanyain kabar aku," jawab Cara seraya mengambil sepotong paha ayam goreng lalu mencelupkannya ke saos sebelum dimakan. "Hanya itu?" Alvaro menatap Cara dengan lekat karena mustahil jika Alexandra hanya menanyakan kabar. Cara menyedot Ice Latte Brulee-nya sebelum menjawab pertanyaan Alvaro. "Kak Alexandra memintaku untuk tinggal kembali di mansion keluarga Mahendra." Alvaro terenyak, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar jawaban yang keluar dari bibir mungil Cara. Dia benar-benar tidak menyangka kakak sepupu Jafier itu meminta Cara untuk kembali ke mansion keluarga Mahendra. Apa gad
Alvaro mengemudikan Mercedes Benz G65 miliknya sedikit kencang menuju rumah sakit. Sebelum pergi dia menyempatkan diri untuk menelepon dokter yang akan membantu proses persalinan Cara. "Kamu tenang ya, Sayang. Sebentar lagi kita sampai di rumah sakit," ucapnya sambil mengecup jemari Cara sekilas. Dia berusaha keras agar tetap terlihat tenang meskipun sekarang sedang dilanda panik luar biasa. Cara tanpa sadar meremas tangan Alvaro dengan erat karena perutnya semakin terasa sakit. Padahal waktu tempuh dari rumah ke rumah sakit hanya empat puluh lima menit. Namun, entah kenapa Cara merasa waktu perjalanan kali ini sangat lama karena bayi di dalam perutnya terus saja bergerak. Seolah-olah merangkak mencari jalan keluar. "Sshh ...." Cara merintih. Alvaro pun menambah laju kecepatan mobilnya agar cepat tiba di rumah sakit karena tidak tega melihat Cara merintih kesakitan. Lima be
Bayi cantik itu bernama Mellodia Embun Dinata. Alvaro sengaja memberi nama Mellodia agar anak perempuannya itu kelak tumbuh menjadi gadis yang cerdas, pemberani, percaya diri, dan juga setia. Dia menambahkan nama Embun di tengah karena Mello datang pada saat yang tepat. Bayi mungil itu seolah-olah memberi kesejukan dan kedamaian pada keluarga kecilnya seperti embun yang membasahi daun-daun dan rumput di pagi hari. "Kamu setuju kan, kalau anak kita diberi nama Mellodia Embun Dinata?" "Em ...." Cara terlihat berpikir. "Mellodia? Apa nama itu gabungan dari nama kita, Roo?" Kening Alvaro berkerut dalam mendengar ucapan Cara barusan. "Gabungan gimana?" tanyanya tidak mengerti. "Mell, diambil dari Caramell. Sedangkan Odia diambil dari nama panjangmu, Alvaro Dinata. Lalu digabung menjadi Mellodia. Bukankah seperti itu?" Mulut Alvaro menganga lebar. Dia tidak berpikir sampai
"Siapa?" tanya Felix penasaran karena Alvaro memilih mengabaikan panggilan yang masuk di ponselnya. "Bukan siapa-siapa." Alvaro menjawab pertanyaan Felix seraya memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Namun, tidak beberapa lama kemudian ponselnya kembali bergetar, akan tetapi Alvaro memilih mengabaikannya. Dia lebih memilih memandangai wajah sang buah hati yang sedang tertidur lelap dalam gendongan Felix. Mello terlihat sangat lucu dan menggemaskan, membuatnya tidak pernah merasa bosan memandangi wajah malaikat kecilnya itu. "Bagaimana rasanya menjadi seorang ayah, Al?" Entah kenapa Felix tiba-tiba ingin memiliki seorang bayi setelah melihat Alvaro memiliki seorang putri yang cantik seperti Mello. "Rasanya tidak bisa dijabarkan. Tapi yang jelas aku amat sangat bahagia," jawab Alvaro sambil mengecup pipi Mello dengan penuh sayang. Aroma minyak telon bercampur dengan parfum b
Felix sontak berhenti melangkah karena tanpa sengaja melihat Alvaro duduk termenung sendirian di taman rumah sakit. Tanpa berpikir panjang dia pun bergegas menghampiri sahabatnya itu. "Heh! Melamun terus!" "Akh ...!" Alvaro memekik karena Felix memukul bahunya lumayan keras. "Sakit, Bodoh!" sengitnya dengan mata melotot. Namun, Felix malah terkekeh tanpa dosa. "Melamun terus. Kesambet setan penunggu rumah sakit baru tahu rasa!" ucapnya sambil mendudukkan diri tepat di samping Alvaro. Alvaro malah menyeringai. "Aku nggak mungkin kesambet karena setannya takut sama aku." Felix menghela napas panjang. "Iya, betul. Kau memang lebih menyeramkan dari pada setan." "K-kau?" Alvaro sontak melotot. Rasanya dia ingin sekali memukul kepala Felik karena sudah membuatnya kesal. Namun, sahabatnya itu bisa menghindari pukulannya dan lagi-lagi malah tertawa tanpa dosa.
"Bunga ini ditaruh di mana, Nyonya?" tanya seorang pelayan yang bekerja di mansion keluarga Mahendra pada Shela."Tolong kamu tarus di sana." Shela menunjuk sebuah meja kecil yang berada tepat di samping piano yang sering Jafier mainkan sejak kecil.Pelayan wanita itu pun bergegas menaruh bunga tersebut di atas meja yang Shela tunjuk.Beberapa pelayan yang bekerja di mansion keluarga Mahendra terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing karena keluarga Mahendra akan mengadakan acara reuni kecil-kecilan. Ada yang menyiapkan hidangan, membersihkan rumah dan halaman depan, serta menghias ruangan agar terlihat lebih menarik dan membuat tamu yang datang tidak akan merasa bosan mengikuti acara yang selalu digelar tiap enam bulan sekali oleh kakek Jafier tersebut.Para pelayan mengerjakan pekerjaan rumah dengan cekatan karena sudah paham dengan tugas masing-masing.Shela beranjak ke dapur
Cara sedang berada di sebuah toko khusus perlengkapan bayi bersama Alvaro. Mereka ingin membeli kado untuk ulang tahun putri Jafier dan Adisty yang pertama.Waktu bergulir begitu cepat. Tidak terasa putri Jafier dan Adisty sudah berulang tahun yang pertama. Padahal rasanya seperti baru kemarin dia meminta Alvaro untuk menikahi Adisty demi memenuhi amanah terakhir Sadewa. Namun, kenyataannya Adisty malah menikah dengan Jafier. Mereka bahkan sudah memiliki seorang putri yang sangat cantik bernama Allecia Disa Mahendra."Alva, bagaimana kalau kita beli ini untuk Disa?" Cara menunjukkan beberapa buah biku cerita yang ada ditangannya pada Alvaro."Bagus, buku ini pasti berguna untuk Disa."Cara pun mengambil beberapa buku cerita untuk Disa lantas meletakkannya ke dalam keranjang. Setelah itu mereka berkeliling untuk melihat barang-barang yang lain. Sebuah sepatu khusus bayi berusia satu tahun berhasil menarik perhatian Cara. Sepatu berwarna merah itu pasti coc
Dua tahun kemudian ....Alvaro mengerjapkan kedua matanya perlahan karena cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah tirai di dalam kamar jatuh mengenai wajah tampannya. Senyum tipis mucul bibirnya melihat Cara yang tertidur lelap di sampingnya.Alvaro pun mengecup bibir Cara sekilas lalu mendekap tubuh gadis itu semakin erat. Dia merasa sangat bahagia karena wajah Cara yang dia lihat pertama kali saat membuka mata."Sekarang jam berapa, Alva?" tanya Cara dengan mata terpejam.Alvaro pun melirik jam yang menempel di dinding kamar. Ternyata sekarang sudah jam tujuh, tapi dia mengatakan masih jam lima pada Cara."Tolong bangunin aku lima menit lagi." Cara menenggelamkan wajahnya di dada bidang Alvaro mencari posisi tidur yang paling nyaman dan kembali terlelap.Alvaro pun membiarkan Cara kembali tidur, bahkan lebih dari lima menit. Cara sepertin
Sambil terus berciuman Alvaro langsung membaringkan Cara di atas tempat tidur dan langsung menindih gadis itu."Erngh ...." Cara hanya biasa mengerang di bawah tubuh Alvaro. Kecupan dan hisapan lembut lelaki itu selalu membuatnya kualahan."Alva ...." Napas Cara terengah. Gadis itu langsung menarik napas sebanyak mungkin untuk memasok oksigen ke dalam paru-parunya karena Alvaro tidak memberinya kesempatan sama sekali untuk mengambil napas."Kamu mau membunuhku?"Kening Alvaro berkerut dalam mendengar pertanyaan Cara barusan. Sedetik kemudian dia tersenyum ketika menyadar Cara sedang sibuk mengatur napas."Aku tidak bisa menahannya lagi, Sayang. Maaf ...." Alvaro menarik Cara agar duduk menghadapnya lantas menurunkan resleting gaun gadis itu dengan perlahan.Sepasang buah dada Cara yang terbungkus strapless bra berwarna merah terpampang jelas di kedua matanya. Terlihat sang
Hari bahagia itu akhirnya tiba. Cara terlihat sangat cantik memakai gaun pengantin model Long Slevee A-Line yang mengembang di bagian bawah berwarna putih. Gaun tersebut membuat penampilan Cara terlihat lebih feminim lewat detail renda bermotif bunga yang panjangnya menyapu lantai. Sebuah mahkota perak berhias batu berlian yang ada di atas kepalanya membuat penampilan gadis itu semakin terlihat cantik.Jantung Cara berdetak cepat, telapak tangannya pun terasa dingin dan basah. Cara tanpa sadar meremas gaun pengantinnya dengan kuat karena mobil yang ditumpanginya sebentar lagi tiba di Gereja yang akan dia gunakan untuk pemberkatan bersama Alvaro."Gaunmu nanti bisa kusut kalau kamu remas seperti itu, Caramell!" Daniel berdecak kesal karena Cara sejak tadi terus meremas gaun pengantinnya hingga berkerut.Daniel sebenarnya malas sekali menghadiri pemberkatan pernikahan Alvaro dan Cara. Namun, dia terpaksa datang ke acara ters
Tatapan teduh Jafier seolah-olah mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja."Jangan menangis." Tubuh Adisty membeku di tempat karena Jafier tiba-tiba mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan lembut.Senyum hangat dan genggaman erat lelaki itu mampu mengubah perasaannya menjadi tenang dalam sekejab. Dalam seperkian detik Jafier telah berhasil menarik Adisty tenggelam dalam pesonanya.Namun, sedetik kemudian Adisty cepat-cepat tersadar kalau Jafier melakukan semua ini murni karena tanggung jawabnya sebagai suami, bukan karena alasan yang lain sebab lalaki itu tidak memiliki perasaan pada dirinya."Astaga, kalian manis sekali." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Cara karena melihat Jafier yang begitu perhatian pada Adisty.Adisty tergagap lantas cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman Jafier karena malu. Suasana pun mendadak canggung selama beberapa saat. Semua kalima
Mama menatap beberapa contoh undangan pernikahan yang ditunjukkan oleh pemilik percetakan yang datang ke rumah karena dia malas pergi keluar. Lagi pula kondisi kakinya masih belum pulih sepenuhnya.Ada sekitar dua puluh contoh undangan yang orang tersebut tunjukkan. Namun, hanya dua undangan yang berhasil menarik perhatian Mama."Bagaimana menurutmu undangan ini?" Mama menunjukkan undangan yang kertasnya terdapat bibit tanaman. Jika kertas undangan tersebut dibasahi lalu ditanam, lama-kelamaan akan tumbuh bunga yang sangat indaj. Selain itu di dalam undangan tersebut tertulis doa agar rumah tangga mereka berjalan harmonis."Unik, kan?""Iya, Ma.""Yang ini juga bagus. Gimana menurut kamu?" Mama menunjukkan udangan pilihannya yang kedua pada Cara. Sebuah undangan dress code yang dilengkapi dengan aksesoris seperti, pita atau bros yang bisa digunakan oleh tamu undangan saat menghadiri resepsi pernikahannya dengan Alvaro.Kening Cara berkerut d
"Mama akhirnya merestui hubungan kita. Aku bahagia sekali." Alvaro menangkup kedua pipi Cara pantas mencium bibir tipis berwarna merah alami milik gadis itu berkali-kali untuk meluapkan kebahagiaannya."Aku tahu kamu sedang bahagia, tapi jangan menciumku terus." Cara berusaha menahan Alvaro yang ingin mencium bibirnya lagi."Aku sangat-sangat bahagia." Alvaro kembali menangkup kedua pipi Cara lantas mengecup mata, hidung, pipi, dan terakhir kening gadis itu dengan penuh perasaan bahagia."Alva, ih ...." Cara mendorong Alvaro agar menjauh karena dia merasa risih.Alvaro malah terkekeh lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggang Cara. Dia memeluk gadis itu begitu erat seolah-olah takut kehilangan."Sayang, kamu tahu tidak?""Tahu apa?" tanya Cara tidak mengerti."Aku bahagia sekali." Alvaro tersenyum sangat lebar. Apa lagi jika me
Cara meminta Mello untuk duduk di depan kaca, lantas mengambil sebuah sisir untuk menata rambut gadis kecilnya itu sebelum berangkat ke sekolah. Dia mengikat rambut hitam Mello model ekor kuda sebelum dikepang."Bunda, kenapa orang dewasa suka saling menempelkan bibir?"Cara tersentak mendengar pertanyaan Mello barusan hingga refleks berhenti mengepang rambut anak itu."Ke-kenapa Mello tanya begitu?" Cara malah balik bertanya alih-alih menjawab pertanyaan Mello."Mello tadi liat Bunda dan Ayah saling menempelkan bibir di kamar. Waktu di pesawat juga," ujar anak itu terdengar polos.Mulut Cara sontak menganga lebar. Dia benar-benar tidak menyangka Mello memperhatikannya dan Alvaro saat berciuman. Dia pikir Mello tidak peduli dan menganggapnya hanya sekadar angin lalu."Kenapa, Bunda?" tanya Mello pesaran."Em, itu karena ...." Cara tanpa sadar membasahi bib
"Jangan bilang seperti itu lagi. Mengerti?" tanya Alvaro setelah melepas pagutan bibir mereka."Aku benar-benar takut, Alva ...." Kristal bening itu kembali jatuh membasahi pipi Cara.Dia ingin menikah dengan Alvaro dan membesarkan Mello bersama-sama sampai maut memisahkan. Namun, Mama tidak merestui hubungan mereka.Apa yang harus dia lakukan? Haruskah dia memutuskan hubungannya dengan Alvaro?"Sshh, tenanglah. Mama pasti akan merestui hubungan kita.""Sungguh?" Cara menatap kedua mata Alvaro dengan lekat, berusaha mencari kesungguhan di sana."Ya, aku yakin sekali. Sekarang kita tidur lagi, ya?"Alvaro mengecup kening Cara dengan penuh sayang lalu meminta gadis itu untuk berbaring di sampingnya dan menggunakan lengan kirinya sebagai bantal. Sementara tangannya yang lain memeluk pinggang gadis itu dengan erat.Cara membenamkan wajahnya di