Tanpa pikir panjang, Almeera menggendong tubuh Rifki menuju ke taksi.
Dengan mata berkaca-kaca, ia meminta sopir taksi agar mengantarnya ke rumah sakit terdekat.
Badannya begitu panas, hingga Rifki pun dilarikan ke ruang IGD supaya bisa dilakukan penanganan secara intensif.
“Apa Anda keluarga pasien?” tanya dokter yang memeriksa Rifki.
“Iya, Dok, saya kakaknya. Bagaimana keadaan adik saya, Rifki?” tanya Almeera dengan raut wajah penuh kecemasan.
“Pasien menderita pneumonia akut dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Kami sudah memasangkan ventilator untuk membantu pernapasannya. Nanti pasien akan ditangani secara langsung oleh dokter spesialis paru-paru. Sekarang, Anda bisa mengurus administrasinya dulu,” ujar sang dokter.
Pneumonia?
Bagaimana bisa?
Namun, Almeera menahan pertanyaannya itu dan langsung menemui petugas bagian administrasi.Saat bagiannya tiba, seorang wanita dengan blazer hitam memberikan penjelasan mengenai estimasi biaya perawatan.
Dimulai dari tarif kamar per hari, biaya dokter, tindakan, hingga obat-obatan.
Jika dihitung, semuanya bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Rasanya, dunia runtuh di mata Almeera.
Di tabungannya hanya ada uang tiga juta rupiah.
Jika Rifki harus dirawat, lalu dengan apa dia akan membayar seluruh biayanya?
‘Apa aku harus meminjam uang dari Bu Sri?’ pikir Almeera putus asa.
Dengan langkah gontai, Almeera berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Pikiran gadis itu sangat kacau, sehingga ia tidak menyadari ada sekelompok pria yang tergesa-gesa menuju ke arahnya.
Sementara itu, pria yang berjalan paling depan sedang berbicara melalui sambungan telepon, sehingga ia juga tidak memperhatikan keberadaan Almeera.
Bugh!
Tabrakan antara Almeera dan pria berjas abu-abu itu tak terelakan.
Keduanya hilang keseimbangan dan terjatuh.
Bahkan, ponsel yang ada di tangan pria tersebut melayang ke udara, lalu terpental di lantai.
Namun, itu bukan yang paling menyeramkan dari kejadian ini.
Almeera kini menimpa pria berjas abu itu!
“Apa kamu tidak punya mata?”
Suara bariton itu membuat Almeera tersadar bahwa pria yang ditimpanya itu begitu tampan.
Sepasang alis tebal yang tercetak rapi, hidung yang mancung, proporsional dengan garis wajahnya yang tegas.
Dan … Almeera yakin bila pria ini bukanlah orang biasa.
Sialnya, ia tampaknya sudah membuat masalah besar dengan menghancurkan ponsel pria itu.
Membayar biaya rumah sakit saja dia tidak sanggup, apalagi bila harus mengganti rugi ponsel milik orang kaya?
“M-maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja,” ucap Almeera tergagap.
Dibetulkannya letak kacamata yang ia pakai dan menyingkir dari tubuh tegap pria itu.
Namun, pria tampan itu tidak menjawab.
Dia bangkit berdiri dan merapikan jasnya membuat Almeera makin tegang.
“Tuan Kaisar, Anda tidak apa-apa?” tanya salah seorang pria yang memakai kacamata hitam.
Sepertinya, dia adalah anak buah dari pria yang Almeera tabrak.
Namun, pria yang bernama Kaisar itu hanya mengibaskan lengan pada sang bawahan.
Dipungutnya kepingan ponselnya yang berserakan di lantai.
Melihat itu, Almeera semakin merinding.
Terlebih, kala sepasang netra elang Kaisar tiba-tiba menatap tajam Almeera. “Sengaja atau tidak, kau harus mengganti rugi kerusakan ponselku ini, termasuk kontak penting di dalamnya,” ucapnya, datar.
“B-berapa harga ponsel itu, Tuan?” cicit Almeera dengan kepala tertunduk.
Alih-alih menjawab, Kaisar justru berpaling kepada salah satu anak buahnya. “Willy, urus gadis bermata empat ini. Aku harus mencari Opa.”
“Baik, Tuan,” jawab bawahannya, cepat.
Almeera semakin dirundung ketakutan.
Terlebih, gelagat Willy yang seperti tak mengenal belas kasihan,
Mungkin, dia harus melarikan diri selagi ada kesempatan?
Jadi, begitu Kaisar melangkahkan kaki bersama rombongannya, Almeera segera kabur dari tempat itu.
“Hey, mau kabur ke mana kau!” teriak Willy.
Bukannya berhenti, Almeera justru berlari semakin kencang untuk meninggalkan koridor rumah sakit.
Tak dapat dipungkiri bahwa kelakuannya ini sangat tidak bertanggung jawab.
Namun, mau bagaimana lagi?
Jika ia sampai dilemparkan ke dalam penjara oleh Kaisar, lalu siapa yang akan merawat sang adik?
Sayangnya, Almeera kesulitan kabur.
Dengan napas tersengal-sengal, dia memutuskan untuk bersembunyi dulu di balik mobil yang terparkir di rumah sakit.
Ditengoknya sekeliling, memastikan apakah pria bernama Willy tadi mengejarnya.
Setelah yakin pria itu tidak membuntutinya, Almeera segera menghampiri salah satu taksi yang baru saja menurunkan penumpang.
“Pak, tolong antarkan saya ke alamat ini,” kata Almeera menunjukkan alamat yang diberikan sang nenek.
“Baik, Mbak.”
Dalam perjalanan, Almeera terpikir lagi untuk menelepon pemilik rumah makan tempatnya bekerja dan meminta bantuan dari mantan bosnya itu.
Namun, Almeera mengurungkan niat tersebut.
Mustahil, Bu Sri mau meminjamkan uang kepadanya, sementara dia sudah tidak bekerja padanya, kan?
***
“Benar alamatnya di sini, Mbak?” tanya sang sopir taksi begitu mobil berhenti di depan sebuah rumah berpagar hitam.
Rumah bertingkat dua itu terlihat cukup bagus dan terawat.
Hanya saja, Almeera tidak yakin apakah rumah tersebut adalah tempat tujuan yang dia cari.
“Saya juga tidak tahu, Pak. Saya belum pernah ke sini,” ujar Almeera mengakui dengan jujur.
“Jalan Hayam Wuruk, Perumahan Simfoni Blok C2. Memang di sini tempatnya, Mbak,” ucap sopir taksi itu.
“Baik, Pak, saya akan turun. Terima kasih sudah mengantarkan saya.”
Sedikit ragu-ragu, Almeera membuka pintu dan turun dari taksi.
Bertamu ke rumah seseorang yang tak dikenal, merupakan pengalaman menegangkan bagi Almeera.
Berulang kali, ia menarik dan menghembuskan napas sebelum akhirnya menekan bel pintu.
Tet!
Tak lama berselang, pagar besi berwarna hitam itu terbuka dari luar.
Memunculkan seorang perempuan paruh baya dengan wajah galak.
Perempuan itu menatap Almeera dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
“Selamat siang, Bu,” sapa Almeera dengan ramah.
“Mbak ini siapa, ya?” balas perempuan itu dengan tatapan penuh curiga.
“Saya Almeera, cucunya Nenek Gayatri. Saya datang kemari untuk bertemu dengan Tuan Marco Biantara,” jelas Almeera apa adanya.
Dahi perempuan itu langsung berkerut saat mendengar ucapan Almeera. “Mbak salah alamat. Ini rumahnya Rasyid dan Bu Rahma. Sebaiknya, Mbak pergi sekarang, kami tidak menerima sumbangan.”
Brak!
Tanpa berbasa-basi lagi, perempuan itu menutup pagar dan menggemboknya dari dalam–meninggalkan Almeera yang mematung tak percaya.
‘Sepertinya, rumah ini telah berpindah kepemilikan,’ batin Almeera mencoba menenangkan diri. Hanya saja, Almeera sekarang tak tahu harus meminta tolong kepada siapa.Dia tak punya kenalan di kota ini.Dengan gontai, Almeera lantas memutuskan untuk berjalan menjauh dari rumah itu.Dia bahkan tak sadar sudah melewati sederet bangunan ruko yang berjajar di pinggir jalan. Dan … dalam kondisi yang hampir putus asa, Almeera justru melihat seorang pria tua yang sedang menyeberang jalan, tapi tak menyadari bahwa ada sebuah mobil yang melaju kencang ke arahnya.Deg!Hati nurani Almeera langsung terusik. “Awas, Pak!” seru Almeera. Sang kakek menoleh ke arahnya dengan ekspresi terkejut.Namun, ia masih diam di tempat. Menyadari itu, Almeera berlari secepat kilat menuju ke arah sang kakek–mengambil tindakan penyelamatan. Sekuat tenaga, ia menarik lengan pria tua itu, lalu memeluknya hingga mereka terjatuh dalam posisi duduk di trotoar. Bugh!TIN!“Kalau jalan, pake mata dong! Ngaggetin tah
“Almeera kenapa kamu melamun? Ayo, masuk!” “Hah? I-iya. Opa, maaf,” kaget Almeera.Gadis itu mengiringi langkah Tuan Barata dengan perasaan canggung. Ini pertama kalinya ia melihat kediaman yang begitu mewah dan luas. Bahkan, jarak dari halaman ke pintu depan saja terhitung tiga kali lipat dari lebar rumahnya di kampung! Namun, kejutan tak berhenti di sana…..Begitu menginjakkan kaki di pintu, empat orang pelayan bergegas menyambut kedatangan mereka. “Selamat datang kembali, Tuan Besar. Apakah Anda ingin makan siang?” sapa salah satu pelayan yang sepertinya paling senior.Tuan Barata tampak mengangguk santai. “Makan siangnya nanti saja, Bi Yuli. Untuk sekarang, tolong obati luka di siku dan lutut Almeera, lalu buatkan teh herbal untuknya.”“Oh, iya. Jangan lupa, ambilkan salah satu baju milik Karenina untuk Almeera.”“Maaf? Baju Nyonya Muda untuk Nona ini?” tanya Bi Yuli, terkejut. Almeera sampai menengok. Entah mengapa, dia merasakan perempuan berseragam hitam itu meliriknya d
“B-bukan, Tuan,” jawab Almeera ketakutan, “Sa–saya…”“Lepaskan Almeera, Kaisar! Opa yang menyuruh Bi Yuli untuk memberikan baju Karenina kepada Almeera, karena dia sudah menyelamatkan hidup Opa. Tanpa Almeera, Opa sekarang sudah tertabrak mobil.”Melihat sang cucu tampak menyakiti Almeera, Tuan Barata segera turun tangan melepaskan tangan Kaisar yang mencengkeram lengan Almeera. Kini kedua alis Kaisar langsung tertaut membentuk satu garis lurus. “Si Mata Empat ini menyelamatkan Opa? Apa aku tidak salah dengar?” ulangnya.“Tidak, Kaisar. Almeera mempertaruhkan nyawanya demi Opa, dan Opa sudah memilih dia untuk menjadi istri keduamu.”Duar!Perkataan Tuan Barata bagaikan petir yang menyambar Almeera di siang hari. Sungguh, menikah dengan Kaisar saja tidak mau.Apalagi harus jadi istri kedua darinya? Lebih baik, dia susah payah mencari biaya rumah sakit sang adik daripada menjadi perusak rumah tangga wanita lain! Almeera hendak berbicara, tapi Kaisar ternyata lebih cepat! “Nina masi
Cukup lama, Almeera terdiam. Kenapa pria ini harus memiliki istri kedua untuk mendapat keturunan?Tapi, Almeera ragu bertanya.Salah-salah, dia bisa menyinggung Kaisar dan berakhir dipenjarakan!“Ehem….”Deheman Kaisar menyadarkan Almeera dari lamunan. Seketika, gadis itu menyadari bahwa Kaisar tengah menatapnya tajam. “Bagaimana? Kau setuju, kan?”Almmera meremas jemari tangannya.Dia masih ragu. Tapi, biaya perawatan sang adik sulit ditolaknya.Jadi, tak apa bila dia harus berkorban sedikit demi kesembuhan dan masa depan adiknya, kan?“Kalau begitu … saya setuju, Tuan,” cicit Almeera pada akhirnya.Sementara itu, Kaisar tersenyum sinis. “Sebenarnya, aku yakin kamu pasti setuju. Bukankah ini yang kamu inginkan, mendapatkan uang dengan cara mudah dan lolos dari kesalahanmu?” tuduhnya.Deg!Almeera hendak membalas ucapan pria itu, tetapi Kaisar sudah beranjak dari kursinya dengan sorot mata dingin. “Berikan nomor ponsel dan kartu identitasmu.”Ck! Almeera sebenarnya tak mau. Tapi,
“Nona Almeera?” Panggilan dari seberang menyadarkan dari lamunan.Gadis itu sontak menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab. “Iya, Tuan, ada apa?” “Tolong, temui saya segera di Kafe Upgrade, sebelah kanan poliklinik anak. Saya ada di meja nomor sebelas, Nona,” ujar sang pengacara.“Baik, Tuan, saya akan ke sana sekarang.”Almeera pun merapikan diri sejenak. Sesudah menitipkan Rifki pada perawat, gadis itu turun dengan lift untuk menuju ke lantai satu dan menemukan kafe yang dimaksud oleh sang pengacara. Pandangan matanya mengarah kepada seorang pria berkacamata yang mengenakan dasi berwarna biru. Pria itu juga membawa tas kerja berukuran besar. Almeera yakin bila dia adalah pengacara yang diutus oleh Kaisar.“Halo, Pak Arjuna?” sapa Almeera.“Halo, Nona Almeera. Saya Arjuna Handoko, pengacara yang mewakili Tuan Kaisar. Silakan duduk, Nona,” kata pria itu memperkenalkan diri. Tak berselang lama, Tuan Arjuna menyodorkan map berwarna merah ke tangan Almeera. “Saya akan lan
Sambil menjaga Rifki, Almeera memikirkan nasibnya di kemudian hari. Bagaimana tidak. Meski hanya menjalani sebuah pernikahan kontrak, dia tetap akan menjadi wanita yang kedua. Dengan kata lain, dia akan menyakiti hati dari istri pertama Kaisar. Hingga detik ini, Almeera belum mengerti kenapa Tuan Barata memaksa sang cucu untuk menikah lagi. Padahal, istri Kaisar yang bernama Karenina itu sedang terbaring koma. Bukankah kesannya ini sangat keterlaluan?‘Aku harus menjaga jarak dari Tuan Kaisar. Kalau bisa, aku akan minta izin untuk tinggal di tempat yang terpisah setelah dilakukan inseminasi.’ Almeera membatin di dalam hati, berusaha menguatkan dirinya sendiri. Rasa lelah membuat Almeera tertidur di samping brankar sang adik. Hingga suara ketukan di pintu membuatnya tersentak kaget. Tak disangka pagi sudah menjelang. Buru-buru, Almeera memakai kacamata dan mengikat rambutnya asal-asalan. “Selamat pagi, apakah Adik Rifki tidur nyenyak semalam?” tanya sang perawat yang bertugas pagi i
Alih-alih meratapi nasib, Almeera memilih untuk pasrah. Ke manapun takdir akan membawanya nanti, ia harus tetap kuat dan menjalaninya dengan lapang dada. Toh, pernikahannya dengan Kaisar juga tidak akan bertahan lama. Bila ia menyerah sekarang, maka nyawa sang adik yang akan menjadi taruhan. Kendaraan beroda empat yang membawa Almeera akhirnya memasuki gerbang kediaman keluarga Syailendra. Gadis itu pun keluar dari mobil dengan perasaan berkecamuk. Sambil mencengkeram ujung kebayanya, Almeera melangkah ke pintu depan. Ini adalah kali kedua dia menginjakkan kaki di mansion mewah ini, tetapi dalam kondisi yang berbeda. Jika dulu dia hanyalah orang asing, sekarang dia akan menjadi cucu menantu dari Tuan Barata. “Nona Almeera, mari ikut saya ke ruang tengah. Akad nikah akan segera dimulai,” ajak Bi Yuli. Melihat Almeera tak leluasa bergerak akibat kebaya yang ia pakai, Bi Yuli menyuruh dua orang pelayan untuk menggandeng lengan kiri dan kanan gadis itu. Sementara ia sendiri menjadi pen
Seperti sebelumnya, Bi Yuli memandu Almera untuk menaiki tangga. Bila tidak, gadis itu pasti akan tersesat karena banyak sekali ruangan di lantai dua. Bi Yuli pun berbelok ke kanan, berlawanan arah dengan ruang kerja Kaisar.Perempuan berwajah datar itu berhenti mendadak di depan pintu berwarna putih. Ia menekan tuas pintu, lalu membiarkannya setengah terbuka. Setelah itu, ia mempersilakan Almeera untuk masuk.“Silakan masuk, Nona. Ini adalah kamar pengantin Anda dan Tuan Kaisar.”Langkah Almeera terhenti sejenak di ambang pintu. Rasanya seperti bermimpi kala pandangannya menyapu seluruh sudut kamar. Sebuah ranjang besar dengan sprei putih bersih terhampar di tengah ruangan. Bagaikan kanvas yang dilukis dengan taburan kelopak mawar merah, membentuk pola berbentuk hati yang menggambarkan penyatuan cinta. Bisa dibilang, inilah kamar pengantin yang didambakan oleh setiap gadis muda.Semakin mendekat ke ranjang, indra penciuman Almeera dimanjakan dengan harum mawar yang semerbak. Sementar
Begitu Kaisar tiba di lobi, sopir sudah menunggu di depan, membuka pintu mobil secepatnya agar Kaisar bisa langsung masuk.Ketika mobil melaju kencang, Kaisar mengeluarkan ponsel dan menelepon kakeknya, Tuan Barata. “Bagaimana keadaan Meera, Opa?” tanya Kaisar cemas.Di ujung sana, Tuan Barata segera menjawab, “Kami sudah dalam perjalanan ke rumah sakit. Perut Almeera masih mengalami kontraksi.”Kaisar menoleh ke sopirnya. “Lebih cepat, Pak. Cari jalan pintas kalau perlu. Kalau masih macet, saya akan naik ojek saja,” desaknya tak sabar.Sementara itu, di rumah sakit, Almeera baru saja tiba dan langsung dibawa oleh tim perawat ke ruang bersalin. Nenek Gayatri dan Bi Yuli mendampingi, wajah mereka penuh kekhawatiran sekaligus antusiasme. Saat perawat memeriksa Almeera, ternyata pembukaan jalan lahir hampir lengkap. Perawat bergegas menghubungi dokter kandungan yang menangani Almeera.Almeera meringis, menahan nyeri yang semakin kuat dan bergelombang, datang seperti badai yang tak dapat
Dengan mata yang masih berat, Almeera mengerjap sambil menyibakkan selimut, menyingkapkan perutnya yang sudah besar dan bulat—memasuki bulan kesembilan. Saat ini, ia tidak leluasa lagi bergerak seperti dulu. Ia harus berjalan lebih pelan serta membatasi kegiatan sehari-hari, karena pinggang dan kakinya mudah pegal. Meski begitu, Almeera menikmati semua perubahan ini sebagai bagian dari perjuangannya menjadi seorang ibu.Kaisar sudah terbangun lebih dulu, lalu duduk di tepi ranjang. Ia memandangi sang istri dengan penuh kasih.Kaisar tersenyum lembut sambil meraih kaki Almeera dan mulai memijat perlahan, membebaskan beban dari telapak kaki yang menahan berat tubuh istrinya.“Enak, Sayang?” bisik Kaisar sambil melanjutkan pijatannya.Almeera mengangguk kecil, matanya masih setengah terpejam. “Enak sekali. Kamu tidak perlu memijatku setiap hari, Hubby.”“Justru aku senang melakukannya. Ini mungkin satu-satunya cara supaya aku merasa berguna untukmu,” kata Kaisar dengan sorot mata berbina
Percakapan di meja makan berlanjut dengan penuh tawa. Tuan Barata sesekali membuat lelucon yang membuat Nenek Gayatri tertawa malu-malu, hingga suasana di mansion menjadi begitu akrab. Tak ada lagi jejak perselisihan maupun kesedihan yang tersisa. Selepas makan siang, Tuan Barata menawarkan Nenek Gayatri untuk beristirahat di kamar yang telah disiapkan. “Bi Yuli akan mengantarkan Anda ke kamar, Bu Gayatri. Istirahatlah dulu, setelah perjalanan panjang pasti Anda lelah.”Nenek Gayatri mengangguk, mengucapkan terima kasih kepada Tuan Barata dan mengikuti Bi Yuli. Langkah perempuan tua itu diiringi oleh Rifki yang melompat-lompat kegirangan karena bisa kembali ke mansion besar itu.Sementara itu, Kaisar melingkarkan tangannya di pinggang Almeera. Mengajak sang istri untuk meninggalkan ruang makan.“Kita juga istirahat, ya? Nanti malam, kita akan membawa Nenek Gayatri serta Rifki ke rumah Tuan Marco.”Almeera mengangguk setuju. Perjalanan mereka cukup panjang dan menguras tenaga, dan ia
Almeera mengangguk pelan, tahu betapa pentingnya kehadiran Mirza bagi sang nenek. Walaupun ia merasa tak enak hati sesudah pertemuan terakhir mereka di Jakarta, tetapi ia memang perlu berterima kasih kepada Mirza. Terlebih, Mirza adalah teman masa kecil sekaligus sosok yang pernah dekat dengan hidupnya. Ketika Nenek Gayatri menyampaikan niatnya pada Kaisar, Almeera melihat kekhawatiran di mata suaminya. Kaisar berdiri di samping mereka dengan rahang mengeras, seperti mencoba menyembunyikan perasaan cemburu yang samar. “Hubby, temani aku ke rumah Kak Mirza, ya,” pinta Almeera lembut, ingin memastikan Kaisar tidak salah paham. Setelah beberapa detik terdiam, Kaisar akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan bersama menuju rumah Mirza, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggal Nenek Gayatri. Setibanya di sana, Mirza membuka pintu dan tampak terkejut melihat kedatangan Almeera. Lebih terkejut lagi ketika melihat bahwa Almeera datang bersama Kaisar, seorang pria asing yang belum pernah i
“Hubby, kita menginap satu malam di sini, ya? Aku ingin istirahat, sekalian membantu Nenek berkemas,” pinta Almeera sambil memandang Kaisar dengan harap-harap cemas. Kaisar memandangi sekeliling kamar yang sederhana, hanya ada dipan kayu tua dan lemari usang. Namun, tanpa ragu, ia tersenyum hangat dan mengangguk. “Asalkan bersama kamu, aku rela tidur di mana saja, Sayang. Lagi pula, aku juga lelah. Aku akan memberitahu Pak Wahyu dulu supaya dia mencari penginapan di sekitar sini,” ucap Kaisar sambil mengusap lembut punggung tangan Almeera.Mendengar itu, hati Almeera menghangat. Kemudian ia menggandeng neneknya menuju kamar, siap membantu Nenek Gayatri mengemasi barang-barangnya. Sambil memasukkan baju-baju ke dalam tas kecil, Nenek Gayatri memandang Almeera dengan mata berkaca-kaca.“Akhirnya kamu bisa bertemu ayah kandungmu, Meera. Dan sekarang kamu punya suami yang bisa menjagamu,” ujar Nenek Gayatri dengan suara bergetar, penuh keharuan.Almeera tersenyum dan menepuk tangan nene
Nenek Gayatri menoleh cepat, dan sapu di tangannya langsung terjatuh begitu melihat Rifki. Matanya yang sedikit kabur seolah berbinar dengan kegembiraan, saat melihat cucu kesayangannya kembali ke rumah. Namun, bukan hanya Rifki yang membuatnya terkejut. Di belakang Rifki, terlihat Almeera yang berjalan pelan, digandeng oleh seorang pria tampan dengan sosok tinggi dan gagah.“Nenek, aku pulang!” Rifki memeluk neneknya erat-erat, hampir membuat Nenek Gayatri terhuyung ke belakang. Ia tertawa kecil, menepuk-nepuk punggung Rifki dengan penuh sayang.“Rifki... sudah lama sekali Nenek tidak melihatmu, Nak,” kata Nenek Gayatri penuh haru. Lalu pandangannya beralih ke Almeera dan Kaisar, terutama ke Kaisar yang berdiri di samping Almeera dengan senyum ramah.Almeera pun mendekati sang nenek dengan langkah pelan. Seakan tak mampu membendung rasa rindu, Nenek Gayatri menarik Almeera ke dalam pelukannya, erat dan penuh kelegaan. Tubuh rapuhnya bergetar, dan air mata mengalir di pipinya.“Alham
Almeera merasa senang melihat Kaisar kini tampak akrab dengan Rifki. Hubungan antara suaminya dan adiknya yang selama ini kaku mulai mencair. Kaisar bahkan melontarkan beberapa lelucon yang membuat Rifki tertawa. Almeera tahu betapa pentingnya momen ini bagi Rifki, yang dulu sering merasa takut terhadap Kaisar. Setelah barang-barang selesai dimuat ke dalam mobil, mereka bertiga berpamitan kepada kepala asrama dan kepala sekolah Rifki. Kepala sekolah Rifki, seorang wanita berumur dengan rambut yang sudah memutih, sempat berbincang singkat dengan Kaisar, yang dengan ramah menjawab pertanyaan dan memberi penghormatan. Almeera melihat Kaisar tidak hanya bersikap sopan, tetapi juga menunjukkan ketulusan. Seolah Kaisar ingin memperlihatkan bahwa ia tidak hanya peduli pada Almeera, tapi juga pada Rifki, yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri.Usai berpamitan, mereka bertiga pun naik ke mobil, siap melanjutkan perjalanan menuju kampung halaman Almeera. Sepanjang perjalanan, Rifki t
Ponsel nyaris terjatuh dari genggaman Almeera. Tubuhnya menegang, dan ia menahan napas, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “A-apa maksudmu, Hubby?” bisiknya, berusaha mengatasi keterkejutannya.“Nina meninggal, Sayang. Dia pergi begitu mendadak,” suara Kaisar terdengar parau dan penuh kesedihan. Almeera menelan ludah, perasaannya berkecamuk, antara terkejut, tak percaya, dan juga rasa iba yang mendalam untuk Kaisar. Karenina, meskipun telah banyak menyakiti dan penuh tipu daya, tetaplah seseorang yang pernah menjadi pasangan hidup Kaisar. Almeera mencoba menenangkan diri, tetapi air mata mulai menggenang di sudut matanya.“Sabar ya, Hubby. Aku akan segera menyusulmu ke Bogor,” jawabnya pelan, suaranya bergetar menahan emosi.“Tidak perlu, Meera. Kami akan membawa Nina pulang ke Jakarta untuk dimakamkan. Kamu tunggu saja di mansion bersama Opa Barata.”Setelah menutup telepon, Almeera berdiri di sana, menatap kosong ke lantai kamar rumah sakit. Hatinya terasa berat,
Raut wajah Kaisar berubah kaku, rahangnya mengeras mendengar pengakuan dari Karenina. Hana yang berada di dekatnya pun menutup mulutnya dengan tangan, matanya terbuka lebar tak percaya. Mereka terdiam, tersentak oleh kenyataan mengejutkan yang terungkap pada detik-detik terakhir ini.Dengan suara bergetar dan pandangan yang samar, Karenina berbisik, "Maafkan aku, Kaisar… Maafkan aku… Aku hanya ingin… meninggal dalam status sebagai istrimu."Kaisar terdiam, matanya memancarkan kegetiran yang dalam. Karenina memandangnya untuk terakhir kali dengan tatapan sendu, lalu menutup matanya perlahan.Kepala Karenina terkulai, dan tangan yang semula menggenggam tangan Kaisar pun perlahan terlepas. Semua terasa berhenti, seakan waktu tak lagi bergerak untuk sesaat.Dokter yang sudah berada di samping tempat tidur Karenina, segera memeriksa detak jantungnya. Dengan cepat, ia memerintahkan Kaisar, Hana, dan Akbar keluar dari kamar rawat untuk membe