Bagaimana bisa Sierra menikmati makan malamnya, jika saat ini dia berdua saja di dalam vila besar itu bersama sang konglomerat, Paul Pandia? Apalagi sebelum mengizinkan Sierra untuk makan, Paul berpesan agar wanita itu segera menyusul ke kamarnya. Jantung Sierra serasa ingin keluar dari rongganya karena tak mengira akan diperlakukan semanis ini.
"Sadarlah, Si, sadar," Sierra menepuk pelan pipinya sendiri, supaya tidak berandai-andai tentang Paul. Apalagi kondisinya kini sedang patah hati setelah menyaksikan Martin dan Elisha.Setelah menyelesaikan makan malam, Sierra membereskan satu-persatu sajian di sana, bahkan tak lupa mencuci piring bekasnya makan. Dia mengerjakan semuanya dengan sangat santai sambil mengulur waktu. Dia sengaja melakukannya agar bisa menghindar dari perintah Paul yang ambigu.Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Saatnya Sierra untuk beristirahat, setelah seharian bekerja dan karena besok masih hari efektif. Dia tahu dia tidak membawa baju ganti, jadi memutuskan untuk tidur dengan baju seadanya yang melekat di badannya. Bagi Sierra tak susah untuk mencari kamar tidur disana, karena dia sudah cukup familiar. Kamar Paul berada di lantai dua karena memang disanalah kamar utama berada. Maka Sierra memilih untuk istirahat di kamar seadanya yang ada di lantai satu.Sierra cukup lega karena tidak ada tanda-tanda Paul mencarinya meski dua jam sejak kedatangan mereka dan Sierra tidak bergegas menemui Paul. Dia merebahkan tubuhnya sembari bernafas lega, melepaskan segala penat yang membebani pundaknya. Sierra melepas dua kancing kemejanya karena merasa gerah. Dia membayangkan saat ini berada di dalam kamarnya di panti asuhan, bisa melepas semua baju kotornya dan membersihkan diri."Ternyata kamu disini, Si," tegur Paul yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu kamar Sierra.Sierra spontan melompat dari atas kasur, berdiri tegak kelimpungan. "M-maafkan saya, Tuan," ucapnya gemetaran.Paul melipat kedua tangan dan berjalan pelan menghampiri Sierra. "Aku menunggumu sejak tadi,"Sierra menunduk dalam, tak berani menatap wajah Paul.Paul menghembuskan nafas, tampak sedikit kesal namun berusaha dia tahan. "Apa yang kamu pikirkan? Aku memanggilmu ke kamarku karena memang aku butuh bantuanmu,"Pelan-pelan Sierra mendongakkan kepalanya. "Bantuan apa, Tuan?"Paul menyerahkan sekotak kecil obat-obatan pada Sierra dengan wajahnya yang masih kesal. "Jesslyn, sekretaris baruku, dia lupa menandai obat-obatan mana yang harus kuminum," terang Paul. "Apa kamu masih mengingatnya, Si?"Sierra mengambil kotak obat itu dan mengangguk pelan. "Sepertinya saya masih ingat," jawabnya. Lantas memilah-milah berbagai macam obat-obatan, mulai dari vitamin hingga obat jangka panjang yang memang rutin dikonsumsi Paul.Sierra memutuskan untuk duduk di ranjangnya sembari fokus memisahkan obat satu dan lainnya sesuai kegunaan. Dia begitu tajam dan serius, tenggelam dalam kesibukannya hingga tak sadar jika Paul terus mengamatinya dengan senyum."Harusnya kamu yang menjadi sekretarisku, Si," ucap Paul. "Aku bisa membayarmu dua kali lipat lebih tinggi daripada Martin,"Sierra hanya menanggapi dengan seutas senyum. "Terimakasih pujiannya, Tuan," balasnya. Dan setelah selesai menata obat-obatan itu, Sierra menyerahkan kembali pada Paul. "Saya sudah mengeceknya dan memberi label,"Paul mengangguk puas. Namun sebelum berdiri, ekor matanya tak sengaja menatap dua kancing baju Sierra yang terbuka. Spontan jemari Paul mengarah pada kancing itu, membuat Sierra bergerak refleks menutupi kemejanya.Paul terkesiap. "Aku khawatir kamu kedinginan,"Jantung Sierra kembali berdegup kencang. Tak pernah menyangka bahwa berdua saja bersama Paul bisa memberikan efek sedahsyat ini. "S-saya justru kepanasan, Tuan," timpalnya, masih menutupi kemejanya dengan kedua tangan.Paul menelan ludah, tegang. Bukannya pergi, dia justru meletakkan kotak obat di tangannya dan kini memusatkan seluruh tubuhnya menghadap Sierra. "Kalau begitu lepaskan saja, Si," ucapnya pelan, menuntun jemari Sierra untuk rileks dan tenang.Atmosfer berubah menjadi lebih tenang meskipun rasa canggung masih menyelimuti keduanya. Tanpa sadar Sierra menurut ketika Paul mulai bergerak makin maju, kini justru mengecup lembut bibirnya. Dia tidak berdaya, namun terpedaya pesona Paul yang begitu menawan di usianya yang tak lagi muda. Melihat Paul mengingatkan Sierra akan Martin, dalam versi yang lebih tenang.Keadaan menjadi lebih panas dan panas membuat Sierra tak tahan untuk tidak menanggalkan busananya. Dan setelah itu, mereka berdua menghabiskan sisa-sisa malam yang singkat itu, tenggelam dalam buaian hasrat yang menggoda. Sierra jatuh ke dalam rayuan Paul yang begitu magis dan kuat.***"Tuan!" pekik Sierra, spontan bangun saat menyadari bahwa matahari sudah terik. Sadar jika dia tidak memakai apapun, Sierra menarik selimut untuk membungkus diri. "Tuan, ini pukul berapa?" tanyanya panik.Paul justru tersenyum santai, sambil menyeruput minuman hangatnya. Dia sudah bangun lebih dulu, berpakaian rapi dan duduk menikmati pagi sambil memandang ke arah Sierra yang masih terlelap."Kenapa?" Dia justru balik bertanya."Saya harus masuk kerja! Ini sudah terlambat," Sierra mengibaskan selimut, mencari pakaiannya yang bersembunyi entah dimana.Paul terkikik geli, memperhatikan gerak-gerik bingung Sierra yang menggemaskan di matanya. Apalagi Sierra berjalan mondar-mandir tanpa busana dan tanpa malu di depan Paul."Kamu sadar kamu tidak pakai baju?" Akhirnya Paul bertanya.Sierra tertegun dan menunduk untuk memastikan. Lantas berteriak panik, sekali lagi menarik selimut untuk membungkus dirinya. Sedangkan Paul tak bisa berhenti tertawa melihat tingkah lucu Sierra, yang tidak pernah dia lihat sebelumnya."Maafkan saya, Tuan," pekik Sierra panik.Paul masih tertawa sambil beranjak berdiri. Dia lantas membuka selimut yang membungkus tubuh Sierra dan memeluk wanita itu erat. "Aku suka dirimu yang seperti ini, Si. Benar-benar menenangkanku," akunya.Mendengar pengakuan itu, membuat kepanikan Sierra seketika mereda. Tergantikan perasaan campur aduk antara bingung dan keheranan. Bagaimana bisa dia menghabiskan malam bersama Paul?"Tuan, apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, saling pandang dengan Paul. "Kenapa kita begini?"Paul tersenyum sembari menyelipkan rambut Sierra ke belakang telinga. "Kita melakukannya. Aku tidak tahu bagimu, tapi aku menyukainya," Paul begitu penuh percaya diri akan perkataannya sendiri. Tidak ada tendensi menekan atau menguasai. Yang ada dia justru memperlakukan Sierra begitu manis layaknya kekasih."Saya … saya tidak tahu harus berkata apa," tanggap Sierra."Kita jalani saja, Si," tandas Paul. "Selanjutnya, aku ingin kita tetap seperti ini. Bagaimana menurutmu?"Sierra tidak bisa menjawab. Atau lebih tepatnya, enggan menjawab. Dia menganggap kejadian semalam merupakan sebuah kesalahan yang dia lakukan di bawah kesadarannya, karena saat dia terbangun kini, dia kembali teringat akan Martin. Saling pandang dengan Paul yang notabene memiliki tekstur wajah mirip Martin, membuat Sierra buru-buru memalingkan muka. Dia tidak ingin mempercayai segalanya."Saya harus kembali, Tuan. Saya sudah terlambat bekerja," pamit Sierra sebelum masuk ke kamar mandi."Tapi aku sudah mengizinkanmu pada Martin," ucap Paul.Ucapan itu seketika membuat Sierra mematung. Dia berdiri diam di depan pintu kamar mandi, membeku layaknya film yang dihentikan sementara."Aku menyuruh Lukman untuk menyampaikan pada Martin, bahwa kamu tidak bisa masuk kantor hari ini," terang Paul sekali lagi, benar-benar tanpa dosa. "Jadi kamu tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan menghabiskan banyak waktu di desa ini,""Permisi, Tuan," Tak lama, salah seorang pelayan mengetuk pintu. Dan setelah P
"Kenapa kamu keluar dari mobil Ayah?" tuntut Martin dengan kening berkerut.Sierra yang gugup belum ingin membuka suara. Dia memilih untuk menunggu aba-aba dari Paul, karena takut jika satu kata yang keluar dari mulutnya merupakan sebuah kesalahan. Dan benar, Paul berdiri di depan menghalangi tubuh Sierra berhadapan dengan Martin."Aku sengaja memberinya pekerjaan semalam," jawab Paul.Sierra menelan ludah. Ya, Paul tidak berbohong. Dia memang mendapatkan pekerjaan dari pria tua itu–dalam tanda kutip."Pekerjaan apa sampai dia harus tidak masuk kerja?" Martin masih tidak terima. "Kukira dia sakit, tapi kata Rachel dia tidak pulang semalaman,"Rachel adalah teman sekamar sekaligus teman paling akrab dengan Sierra di panti. Dan apesnya, Sierra lupa memberitahu Rachel keberadaannya semalam, hingga tentu saja Rachel yang tak tahu apa-apa itu menjawab interogasi Martin dengan jujur."Sierra!" panggil Rachel, keluar dari dalam rumah dengan wajah cemas. "Kamu kemana saja semalam?" Dia menamb
Tubuh Sierra seakan seringan kapas setelah mendengar ajakan kencan dari Martin. Perasaannya yang terpendam selama ini akhirnya menemukan jalan keluar, dan Sierra merasa seperti melayang di atas awan.Senyumannya merekah tak terkendali, membuat wajah Sierra merona penuh kebahagiaan.“Oke, ayo kita coba,” jawabnya. Berusaha untuk tetap bersikap tenang meski hatinya memekik girang.Martin tersenyum lebar, senang mendengar jawaban positif dari Sierra. Mereka merencanakan tempat dan waktu untuk kencan mereka yang pertama, membuat Sierra antusias luar biasa.“Besok berangkat kerja, aku jemput, ya?” tawar Martin.Sierra mengangguk cepat. Meski dia tetap berusaha bersikap tenang. Dia tidak bisa terlalu senang karena Martin baru saja patah hati ditolak oleh Elisha.“Ngapain kamu jemput dia?” tegur Rachel, yang menyeruak menyuguhkan sebotol minuman dingin ke hadapan Martin. Dia memicingkan mata memandang Martin dan Sierra bergantian. “Dia sudah biasa naik ojek online, Tin,” selorohnya santai.S
“T-tentu saja, Pak Lukman,” jawab Rachel terbata-bata. Dia selalu segan pada Lukman, karena pria tua itu adalah tangan kanan Paul Pandia yang cukup disegani oleh banyak pegawai.Dengan isyarat mata, Lukman mengajak Sierra untuk pergi menjauh dari Rachel. Lukman mengajak Sierra menuju mobilnya yang terparkir rapi di luar pagar panti.Kemudian pria itu membukakan pintu belakang mobil, mempersilahkan Sierra untuk masuk ke dalamnya. Betapa terkejut Sierra sesaat setelah pintu itu dibuka, sosok Paul tengah duduk melipat tangan. Pandangn pria tua itu lurus menatap Sierra.“T-Tuan?” seru Sierra, benar-benar terkejut. Dengan gerakan kikuk, dia perlahan masuk ke dalam mobil itu.Paul tersenyum. “Sepertinya kamu menikmati waktumu bersama Martin, eh?”Sierra hanya menyahut dengan senyuman kaku. “Kami menyempatkan makan siang bersama untuk membahas kerjaan, Tuan,” jawabnya.Paul menggeleng. Lantas menarik nafas panjang. “Tidak masalah bagiku. Kamu memang sekretaris Martin,” timpalnya.Sierra meng
Bola mata Elisha bergetar. Tapi hanya beberapa detik karena dia buru-buru menunduk dengan memeluk erat dokumen yang sedang dia bawa.Kemudian dia mendongak, kali ini sambil tersenyum begitu lebar. “Selamat, ya, Sierra,” ucapnya. Lantas menunduk ke arah Martin. “Selamat, Pak Martin,”Sama halnya seperti Elisha, Martin juga merasa sedikit sakit di dalam hatinya. Hingga tanpa sadar tubuhnya membeku, membiarkan Elisha pergi dengan sejuta kekecewaan.Sementara itu, Sierra yang paham hanya dijadikan sebagai selingan, berusaha untuk menghibur diri sendiri. Dia melangkah tegap meninggalkan Martin, menuju meja kerjanya sendiri yang terletak tepat di depan pintu ruang kerja Martin.Martin hendak menghampiri Sierra, tapi seketika dia sadar bahwa mereka sedang berada di kantor. Mau tak mau dia berusaha untuk menahan diri demi menjaga profesionalitasnya.***Tanpa terasa, begitu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hingga Sierra baru bisa mengalihkan pandangan dari layar laptop ketika matahari
“Sierra, buka pintu!” Martin menggedor dengan membabi-buta, karena Sierra mendekam di dalam kamar mandi cukup lama setelah sebelumnya sempat mendadak mual.Di dalam kamar mandi Sierra masih bersimpuh, dengan sejuta ketakutan. Dia tidak pernah mual seperti ini dan ini adalah kali pertama untuknya. Bagaimana jika dia hamil? Bayangan akan wajah Paul Pandia terus timbul tenggelam di matanya, kemudian tergantikan akan wajah Martin yang tersenyum ke arahnya.“Sierra!” Martin berteriak makin keras.Sierra segera bangun dari lamunannya sendiri, mematut diri di depan cermin dan memastikan tidak ada hal aneh di wajahnya. Setelah yakin semuanya berjalan tanpa keanehan, Sierra pun segera keluar dari kamar mandi. Dia cukup terkejut melihat raut wajah Martin yang tampak sangat cemas.“Apa yang terjadi? Kamu sakit?” Martin mencengkeram kencang dua bahu Sierra.Sierra menggeleng dan pelan-pelan melepaskan cengkeraman tangan Martin dari bahunya. “Martin, sepertinya aku harus pulang,” ucap Sierra pelan
Sebelum benar-benar menjawab teguran Rachel, Sierra yang panas dingin lebih dulu melirik ke arah Paul. Tampak pria tua berwibawa itu tersenyum tipis, seakan menertawai kebodohan Sierra.“Sierra?” panggil Rachel karena Sierra tidak menyahut. Kemudian wanita itu membungkuk hormat ke arah Tuan Paul, yang kini memilih duduk di kursi yang dipersilahkan oleh Sierra. “Selamat malam, Tuan Paul,” sapa Rachel.Bagi Rachel, Paul Pandia bak malaikat berfisik nyata. Selama hidup di panti asuhan bersama Sierra, dia sangat tahu kalau Pandia Group menjadi salah satu sponsor penting yang menyambung seluruh kehidupan para penghuni panti. Rachel menganggap Paul sebagai panutan yang wajib disegani.“Kamu baru pulang, Chel?” sapa Paul. “Apa kamu juga ingin membeli nasi goreng untuk Sierra?” Sembari bertanya, Paul melirik Sierra dengan tatapan geli.“Saya kira … Sierra sudah pulang,” jawab Rachel ragu.“Oh, begitu,” Paul bangkit berdiri. Dia menghadap ke arah Sierra. “Si, setelah selesai makan, sebaiknya k
“Kenapa kamu diam saja? Apa pertanyaannya terlalu sulit untukmu?” tanya Paul karena Sierra masih diam meski hampir satu menit berlalu.Sierra menggigit bibir sembari memainkan jemarinya. “Tuan tahu … ““Aku ingin mendengar dari mulutmu sendiri, Si,” sambar Paul, dengan suara tenang nyaris tanpa ada nada tinggi maupun rendah. Benar-benar seimbang.“Maafkan saya, Tuan … “ Lagi-lagi Sierra menunduk. “Semua itu kesalahan. Saya berjanji untuk tidak melakukannya lagi,”Untuk kali ini Sierra tidak menunggu dua kali, dia bergegas keluar dari mobil Paul. Tak peduli meski Paul menjadi murka atas sikapnya. Dia bahkan tidak menghiraukan Lukman yang sempat memanggil namanya, meminta penjelasan. Sierra sudah terlalu gugup dan muak kepada dirinya sendiri, serta diliputi penyesalan ketika harus mengingat malam panas waktu itu.“Tuan, apa perlu saya susul Sierra?” Lukman melongok melalui jendela untuk mengecek keadaan Paul.Paul mengangkat lima jarinya, tanda menolak. “Biarkan saja dia, Lukman. Aku ti
“Kenapa kamu lakukan ini?” tuntut Martin, dengan mata membulat sempurna.Bola mata Sierra bergetar. Dia masih tidak bisa mempercayai penglihatannya. “Kamu … kamu benar Martin?”“Apa maksudmu?” sentak Martin.Pria itu lantas mengguncang bahu Sierra. Sambil menjauhkan botol larutan penyegar mulut itu, sejauh mungkin.“Jangan lakukan hal bodoh ini lagi. Anakmu tidak berdosa,” ucap Martin lantang.Tangis Sierra pecah. Dia makin yakin jika Martin yang ada di depannya ini bukanlah ilusi. Tangisan Sierra begitu memekakkan, hingga wanita itu bersimpuh demi meredakan ngilu di ulu hatinya.“Kenapa kamu ada di sini?” isak Sierra. Dia masih bersimpuh. Tidak sanggup berhadapan dengan Martin.“Apa aku sudah tidak punya hak ke rumah ayahku?”Pertanyaan yang bagai peluru itu dilontarkan Martin tanpa beban. Tidak peduli meski perasaan Sierra sedang sensitif karena hamil.“Kukira kamu pergi,” timpal Sierra. Malas berdebat.“Memang,” sambar Martin cepat. “Aku memang berjanji akan pergi. Aku datang hanya
Sierra hampir limbung. Untungnya Violet dengan sigap mundur menghadang tubuh Sierra agar tidak semakin jatuh. Untuk wanita seusianya, Violet memang cukup tangguh. Karena merasa geram, kepala pelayan itu pun maju dengan tatapan geram ke arah Salome.“Nyonya, maafkan saya jika lancang. Tapi ada urusan apa Nyonya datang ke sini?” tanya Violet pada Salome.Salome merengut. “Apa salah jika aku datang ke sini? Ini rumah suamiku,”“Benar, Nyonya. Ini rumah kediaman suami Nyonya,” timpal Violet. “Tapi bukan rumah Nyonya Salome,” imbuhnya, dengan senyum tipis. Sengaja Violet ingin menyerang Salome dengan cara yang elegan.“Apa?” Salome tidak terima. “Sejak kapan kamu … ““Maaf jika saya memotong,” sambar Violet, tidak memberi Salome kesempatan untuk lanjut bicara. “Tapi Tuan Paul memerintahkan saya untuk mengambil alih seluruh pengawasan rumah ini selama Tuan bekerja,” Dia membusungkan dada, berdiri berhadapan dengan Salome. “Dan sebagai penanggung jawab, saya minta Nyonya Salome segera pergi
Sierra membuka mata. Hanya untuk menyadari jika semuanya hanyalah mimpi. Kini dia terbaring hanya mengenakan selimut sutra di atas tubuhnya. Ketika dia menoleh ke sisi ranjang, Paul sedang tertidur pulas. Sierra merasa tubuhnya menggigil, untuk kemudian sadar jika jendela besar di depan balkon kamarnya belum ditutup. Angin dingin tepi pantai menelisik tipis, masuk ke dalam pori-pori.Sierra mendesis. Dia ingin menutup jendela itu, namun dia tidak bisa meraih apapun untuk menutupi tubuhnya. Maka mau tak mau dia berjalan sedikit berlari menuju jendela, hanya menutupi tubuh sekenanya dengan kedua tangan.Ketika dia berbalik, Paul sudah duduk dengan senyum nakal saat melihat tingkahnya. Pria tua itu menggeleng geli, karena Sierra berusaha memeluk tubuhnya sendiri.“Apa kamu pikir aku tidak bisa melihat?” komentar Paul.“Saya hanya takut ada orang di pantai, Tuan,”“Tidak ada siapapun,” sahut Paul. “Tempat ini khusus untuk kita,”Sierra menutup rapat bibirnya. Merasa begitu bodoh karena me
Pesta pernikahan itu akhirnya berakhir. Sierra membuang pandangan jauh menembus kaca mobil Rolls-Royce Phantom warna hitam. Tidak ada Lukman yang mengantarnya dan Paul menuju lokasi villa tempat mereka akan menghabiskan waktu. Sierra tidak mengenal sopir yang duduk di depannya. Sementara Paul, di luar berdiri mengobrol dengan seseorang sebelum berjabat tangan dan masuk ke dalam mobil, menyusul Sierra.Paul mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki. Tak bisa dipungkiri jika dia teramat tampan untuk pria paruh baya seusianya. Jika dibandingkan dengan Martin, ketampanan Paul lebih teduh dan dewasa. Cocok untuk Sierra yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya mendapat perlindungan seorang ayah.“Maaf lama menunggu, Si,” Paul mengecup punggung tangan Sierra.Sierra menggeleng. “Dia kolega Tuan?”“Oh, dia karyawanku yang akan mengurusi semuanya bersama Lukman selama aku menghabiskan bulan madu denganmu,” jelas Paul. Wajahnya tampak begitu bahagia. Berbanding terbalik
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan
Elisha terus menemani Martin meluapkan seluruh kesedihannya, hingga tanpa sadar Martin tertidur di pangkuan Elisha. Wanita itu membiarkan Martin terlelap, tidur melingkar di atas sofa yang tentu tak mampu menampung tinggi badan Martin. Sementara dia memilih untuk tidur di kamarnya sendiri, berharap Martin bisa segera melupakan kesedihannya saat pagi menjelang. Dan keesokan harinya, saat Elisha membuka mata Martin sudah tidak ada di sofa. Meskipun kecewa, Elisha tidak bisa melakukan apapun. Sementara itu, di tempat lain, Sierra yang tidak lagi bekerja mulai membiasakan diri untuk memasak membantu Sarah menyiapkan sarapan. Dia tidak ingin terus terlarut dalam kesedihan, dan mencoba untuk menerima kenyataan meski masih ada perasaan sedih karena kehilangan Martin.“Kamu istirahat saja, Sierra. Bukankah kamu sedang mual?” tanya Sarah.Sierra menggeleng sambil tersenyum. “Tapi aku tidak ingin merasakannya. Aku coba cari di internet, itu namanya morning sickness,”Sarah terkikik bersama Sie
“Ayo berdiri,” Susah payah Elisha menarik tubuh Martin agak bangkit berdiri.“Kita mau kemana?” protes Martin masih dengan keadaan setengah sadar. Namun dia tidak melawan ketika Elisha melingkarkan lengan kanannya pada pundak Elisha.“Aku tidak akan membiarkanmu mengakhiri hidup,” tandas Elisha, sedikit meringis menyadari betapa beratnya tubuh Martin.Dengan jalan yang sedikit kelimpungan, Elisha membawa Martin dan menghentikan salah satu taksi yang kebetulan lewat. Elisha memutuskan untuk membawa Martin ke apartemennya sendiri, yang masih terletak tidak jauh dari sana.Tak berapa lama, taksi itu sampai di depan apartemen Elisha. Masih dengan kepayahan, Elisha membawa Martin untuk masuk ke dalam lobi apartemen. Namun beruntung kali ini si sopir taksi berinisiatif untuk membantu Elisha membopong Martin hingga mereka masuk ke dalam lift.“Kamu bisa istirahat di sini,” Elisha membaringkan tubuh Martin di atas ranjang miliknya.Elisha yang kelelahan setelah membawa Martin, memutuskan untu
Martin berjalan dengan langkah gontai, menyisiri jembatan besar yang ada di sisi apartemennya. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya, saling bersinggungan dengan beberapa kendaraan yang melaju kencang. Angin malam menerpa wajah Martin yang pucat, dan pandangannya kabur akibat sisa pengaruh alkohol yang begitu mendominasi jiwanya.Setiap langkah yang dia ambil terasa amat berat. Begitu juga dengan beban yang kini dia tanggung sendirian. Dia masih begitu ingat, betapa dia kecewa karena mendapat penolakan dari Elisha beberapa waktu lalu. Dan kini dia harus kembali sakit hati atas perbuatan Sierra dan ayahnya.Martin terus melangkah tanpa tujuan pasti. Yang ada di pikirannya kini hanyalah terus berjalan, kemanapun kaki membawanya. Dia hanya ingin menenangkan otaknya dari segala kerumitan yang ada bertubi-tubi bagai peledak yang sengaja dilempar ke depan muka. Martin mengumpat keras ke arah sungai besar di bawahnya, mengutuki takdirnya sendiri.***Salome membuka paksa pintu depan rum