Maaf ya, hari ini satu bab, tapi aku bikin lebih panjang. Besok aku kasih dua bab, makasih semuanya, love love.
“Jadi sebenarnya untuk hubu ....”Tring ... tring ... tring ...Untuk kesekian kalinya dalam sepuluh menit ini suara ponsel berdering memekakkan telinga dan menganggu kalimat guru yang menjelaskan di depan kelas. Lavira meringis, dia melirik pengawal perempuan yang kini sudah berjalan ke arahnya sambil membawa ponsel yang baru saja berdering.“Maaf, Bu,” ringis Lavira merasa tak enak kepada guru perempuan di depan sana.Guru itu hanya bisa tersenyum kaku. “Tidak apa-apa, jawab saja,” jawab guru tersebut. “Lebih baik dari pada Tuan Dakasa ke sini,” sambung guru itu di dalam hati.Yah, Avram adalah pelaku yang sedari tadi mengganggu proses pembelajaran di kelas Lavira. Pria itu tak menghubungi ponsel Lavira, tetapi sengaja menghubungi ponsel bawahannya. Sebab ponsel Lavira diatur mode diam, sehingga dia tak bisa menghubungi setiap waktu. Pria itu dengagn tak merasa bersalahnya terus menghubungi Lavira setiap selang sepuluh menit.“H-halo, Kak,” balas Lavira setengah berbisik.Dia menole
“Pergi kalian, brengsek!” pekik Joana marah.“Cih, masih sok-sokan merasa berkuasa. Cuih,” ejek seorang siswi menatap Joana sinis.“Tau, tidak sadar diri. Berkaca, huuuu!”“Huuuu!”Joana mengepalkan tangannya mendengar kalimat dan cemoohan para siswa lain. Dia menatap mereka semua dengan wajah geram. Dulu biasa disanjung dan dipuja-puja, sok berani, sekarang dia benar-benar seakan merasakan berada di posisi Lavira dulu. Bagaimana kini perempuan itu dihina, diejek dan disoraki menjijikkan oleh siswa satu sekolah.“Cih, manusia sampah! Ternyata bertindak begitu tak punya hati kepada kakak sendiri. Padahal satu ayah, masih ada hubungan darah! Cuih, najis.”“Kalau aku jadi Lavira, pasti sekarang aku tarik-tarik rambutnya, aku buat dia seperti ondel-ondel. Dulu saja disiksa dan selalu dibully, padahal kakak seayah, bukan manusia sampai tidak punya hati, heh.”“Sekarang bukan tandingan Lavira lagi, Lavira sudah menjadi nyonya dikeluarga Dakasa. Mampus kau!”“Huuuu!”“Diam, kalian merasa ber
Joana menggeram, dia menatap Lavira yang kini sedang masuk ke dalam sebuah toilet sekolah. Ingin sekali dia menemui Lavira sekarang, tetapi itu akan sangat sulit. Pasalnya, ke toilet pun Lavira diikuti oleh para pengawal perempuan. Memang itu sudah ditegaskan oleh Avram, Lavira tak boleh lepas dari pantauan sedikit pun.“Bagaimana caranya aku harus menemuinya? Aku tak terima, Mama dan Papa bercerai, ini semua karena salahnya,” geram Joana masih menyalahkan Lavira atas semua hal yang terjadi di dalam kehidupannya.Membulatkan tekad, Joana mulai melangkah ke arah toilet sekolah. Ini masih jam pelajaran, tetapi Lavira sengaja meminta izin untuk menerima telepon dari Avram. Dia merasa tak enak jika terus mengganggu aktivitas belajar mengajar. Selain itu, Lavira nampaknya juga ingin buang air kecil, terbukti dengan keberadaan dua pengawal perempuan di depan pintu bilik kecil toilet tersebut.Joana menatap seluruh pengawal Dakasa yang berada di depan pintu toilet. Dia bergerak masuk ke dala
Lavira menatap Joana dengan pandangan penuh arti. “Sepertinya kamu masih tidak berubah, ya? Apa kejadian waktu itu masih belum menyadarkan kalian?” ucap Lavira kepada Joana.Suara Lavira masih terdengar cukup lembut. Nampaknya rasa marah dan rasa dendam itu belum berhasil sepenuhnya mengubah sifat dan kebiasaan Lavira. Meski merasa marah dan ingin sekali membalas, nyatanya Lavira tak bisa bersikap angkuh ataupun sekadar tersenyum sinis ke arah Joana. Lavira tak bisa melakukan itu, sebab itulah dia seakan melimpahkan semua pembalasan dendam ini kepada sang suami.“Kau sendiri sekarang sudah sok berani karena ada mereka? Cih, seperti apa pun kau dikawal, tetap saja kau itu sampah di dunia ini,” geram Joana menatap tajam ke arah Lavira.“Jaga bicara Anda, Nona. Jangan sampai kami melakukan hal kasar,” tegas salah satu pengawal perempuan Lavira kepada Joana.“Saya tidak berbicara kepada kalian, kalian hanya seorang pengawal. Jadi tidak usah ikut campur urasan saya,” pungkas Joana membalas
Tangan Joana terkepal kuat dengan wajah memerah karena marah. Kalimat-kalimat itu bukannya menyadarkan Joana. Hal itu malah membuat jiwa gila perempuan itu semakin menjadi, dan rasa benci Joana kepada Lavira semakin membesar. Joana menatap Lavira dengan mata tajamnya.“Kau sengaja mengucapkan ini di depan semua orang ‘kan? Kau perempuan licik, manusia brengsek! Seharusnya waktu itu memang kau langsung aku bunuh saja, perempuan brengsek!” teriak Joana. Tak hanya berteriak, perempuan itu berlari ke arah Lavira, berniat menyerang.Sett ... bugh ... brak ...Semua orang terkejut saat dengan tiba-tiba Avram muncul dan langsung menendang tubuh Joana. Pria berambut abu-abu itu muncul dari arah keramaian siswa dan menghalangi Joana dengan kakinya. Sekarang Joana sudah terbarik di atas lantai sambil meringis sebab tubuhnya sempat membentur ujung meja westafel.“Kau benar-benar ingin dihabisi sekarang juga,” desis Avram menatap tajam Joana.Lavira, dia masih sesegukan di tempatnya. Dia pun semp
“Lepaskan aku, lepaskan!”Teriakan Joana mengalihkan perhatian Lavira yang sedang berada di dalam gendongan Avram. Semua orang juga mulai menjauh ketika melihat para pengawal Dakasa menarik paksa tubuh Joana. Avram sendiri menatap itu semua dengan wajah dinginnya.“Dia sudah diberi kesempatan, tapi tak dipergunakan dengan baik. Jadi, sekarang dia akan benar-benar menjadi kurungan Dakasa,” ucap Avram seakan memberitahu Lavira.Perempuan polos itu sangat terkejut mendengar kalimat Avram. Dia kembali menatap Joana yang kini memberontak, berusaha melepaskan diri. Perempuan itu terlihat cukup menyedihkan, tetapi masih tak tahu keadaan dengan menatap Lavira tajam.“Lavira! Lepaskan aku, cepat! Papa pasti akan marah besar kepadamu jika aku tak kembali ke rumah! Lepaskan akuuu!” pekik Joana tertuju kepada Lavira.Nampaknya perempuan itu sudah mulai tak waras. Bagaimana dia semakin menggila padahal kini hidupnya seakan sudah berada di ujung tanduk. Andai saja Lavira menyuruh Avram untuk membun
“Avram.”Pergerakan Avram terhenti ketika pria itu melangkah ke arah taman di mana sang istri berada. Dia menoleh ke arah sumber suara, di mana kini Siara berdiri bersama Feria yang sedang menatapnya dengan wajah berbinar. Avram menatap dua perempuan itu dengan wajah datarnya.“Itu ... masalah Fero. Apa kamu tidak keterlaluan dalam menghukumnya? Fero tidak salah sepenuhnya dalam masalah penyelundupan dana itu. Dia tidak ikut serta, dia juga korban, seharusnya dia tak mendapatkan hukuman,” ucap Siara memberanikan diri berbicara kepada Avram.Avram menatap Siara dengan mata tajamnya. Bahkan tatapan tajam itu berhasil membuat Siara mengalihkan wajah karena tak kuat. Sungguh, kemampuan Avram dan kekuasaan pria itu sangat tak main-main. Cukup dengan tatapan mata saja, Avram sudah berhasil membuat orang merasa ngeri.“Hukum atau pecat?” desis Avram datar.Siara terkejut, sama dengan kalimat Rino kala itu. Seakan hidup Fero hanya ada pada dua pilihan tersebut. Benar, kesalahan Fero tak bisa
“Mas, bagaimana ini, Mas? Kenapa Jo belum pulang, tolonglah, Mas. Aku tidak berbohong, kamu cek saja di rumah, tak ada Jo, Mas.”Farhan menatap Marni, mantan istrinya itu tiba-tiba datang ke rumahnya sambil menangis. Farhan nampak tak percaya jika ucapan Marni yang mengatakan hilangnya Joana. Farhan seakan harus membuat dirinya sendir terlihat lebih cerdik dan tak ingin dibodohi lagi oleh Marni. Hal paling penting adalah, setiap kali laki-laki itu melihat wajah Marni. Seketika bayang-bayang mendiang Vara memenuhi isi benaknya.“Jika kau berani berbohong, aku akan mengambil alih Jo dan membawanya bersamaku,” ancam Farhan menatap Marni tajam.“Iya, apa pun itu. Aku tak berbohong kali ini, Mas. Dari kemarin aku menghubungimu, dia tak pulang dari pulang sekolah kemarin. Tak ada juga laporan dari teman-temannya. Aku sudah menghubungi teman-temannya tetapi mereka tak ada satu pun yang mengangkat. Aku cemas, Mas, Jo ke mana dan kenapa. Tidak biasanya dia seperti ini,” celoteh Marni benar-ben
“Makan yang banyak, kamu tadi malam juga tidak makan, ‘kan? Banyak-banyak lauknya, ini, kamu suka ini.” Lavira memberikan sepotong ikan bakar kepada Elina. Elina terkekeh menatap Lavira yang begitu perhatian. “Makasih, Ma. Mama juga makan yang banyak, biar nanti kita sama-sama bulet, hehe.” Lavira ikut tertawa mendengar kalimat menantunya. Dia tak menyangka jika gadis kecil yang bertahun-tahun dia cari, akhirnya sekarang berada di depannya. Meski Elina belum mengingat siapa Alano dan keluarga, setidaknya sekarang Elina sudah menjadi istri Alano. Hal itu membuat Lavira merasa lebih tenang, dia juga tak menuntut Elina untuk mengingat dirinya. Seperti ini saja sudah membuat Lavira merasa senang. Sett ... Elina terkejut ketika tiba-tiba Alano memberikan secentong sayur brokoli di atas nasinya. Elina menoleh dan menatap Alano dengan wajah polos. Alano sendiri nampak santai, terus menyuap makanannya dengan ekspresi datar seperti biasa. Lavira tersenyum menatap itu, dia merasa senang keti
“Ini masuknya ke mana?”“Aku juga tidak tahu.”“Makanya lebih tarik, lebarkan sedikit lagi.”“Sudah tidak bisa ini, Mas.”Lavira dan Avram saling tatap tepat di depan pintu kamar Alano. Kamar yang mulai hari itu akan dihuni pula oleh Elina. Setelah tadi sepasang pengantin baru itu meminta izin untuk ke kamar lebih dulu. Lavira ingin menyusul dan mengantarkan makanan untuk Elina, sebab setahunya Elina belum makan malam.Namun, siapa sangka niat mereka malah mendapatkan perkata-perkataan demikian. Lavira tersenyum, dia berfikir hal yang diinginkannya. Kegiatan malam pertama para pengantin baru pada umumnya. Avram pun menatap senyum sang istri, dia terkekeh kecil.“Mereka akan kasih kita cucu ‘kan, Pa?” tanya Lavira cukup terdengarn polos.Avram kembali terkekeh geli. “Biarkan saja mereka, ayo kita kembali ke bawah. Kamu juga harus segera tidur, ini sudah larut.”“Iya, tapi ... Elin belum makan, Pa.”“Nanti kalau mereka sudah selesai, mungkin akan terasa lapar. Alan bisa bantu Elin ambil
Sepasang insan sekarang sedang duduk di tepian ranjang sambil saling lirik. Mereka adalah sepasang pengantin baru yang baru saja sah setelah acara ijab qabul beberapa jam lalu. Alano dan Elina, mereka duduk dengan sudut mata sama-sama melirik satu sama lain.Alano pun menghela napas pelan. Dia nampaknya cukup bingung harus melakukan apa setelah ini. Lavira dan Avram tadi sempat menggoda dirinya. Alano si kaku, dia tak pernah memiliki kekasih. Dia tak tahu cara berhubungan dengan perempuan, tetapi dia adalah pria normal dan tak sepolos Avram dulu. Alano sudah dewasa, sehingga dia tahu kegiatan apa biasa dilakukan sepasang pengantin baru.Hanya saja, masalahnya sekarang adalah mereka pribadi. Alano dan Elina terbilang menikah tanpa ada kata cinta. Mereka hanya saling merasa nyaman satu sama lain untuk saat ini. Elina pun tertarik kepada Alano karena ketampanan pria itu, dan tentunya merasa nyaman. Elina sejujurnya tak paham dengan perasaannya sendiri, setiap kali melihat dan berdekatan
Elina menatap ke samping, di mana kedua orang tuanya berada. Dia tak menyangka jika dirinya benar-benar akan segera menikah dengan Alano. Kemarin-kemarin dia masih berpikir jika Alano hanya bercanda. Sampai akhirnya satu minggu kemudian kedua orang tua Elina datang ke Indonesia dan mengatakan jika mereka senang tahu Elina akan menikah dengan Alano.Elina meminta pernikahan ini tak usah ada pesta sebelum dirinya wisuda. Sebab dia tak ingin diserbu oleh para fans Alano selama di kampus. Hal itu akhirnya dituruti oleh Alano. Akhirnya mereka hanya akan mengadakan ijab qabul saja dulu, sebelum nanti mengadakan pesta mewah setelah Elina benar-benar wisuda.“Kami keluar dulu, Sayang. Nanti akan Mama jemput kalau sudah selesai.”“Iya, Ma,” sahut Elina sambil menarik napas.Cklek ...“Astaga, sahabatkuu ini. Kau menikungkuu!”Elina terkejut ketika tiba-tiba Mei masuk ke dalam ruangan tempatnya menunggu, Mei berteriak. Hari ijab qabul yang begitu tiba-tiba. Tak hanya mengejutkan Elina, tentu sa
Elina menatap Lavira yang terlihat begitu antusias memperlihatkan berbagai macam bentuk mode gedung pernikahan. Perempuan itu masih tak paham dengan keadaan tiba-tiba ini. Baru tadi Alano mengatakan dia akan mengurus pernikaha, pria itu sudah memberitahu Lavira dan Avram. Sekarang Lavira nampak sangat semangat memperlihatkan berbagai macam dekorasi gedung pernikahan.“Kamu suka yang ini? Ini cantik juga, astaga, jadi bingung,” celoteh Lavira.“M-maaf, Tante. Ini beneran bakalan nikah?”Lavira menoleh dan menatap Elina yang nampak sangat bingung. Perempuan itu terkekeh, dia melirik Alano di samping Avram. Dua pria itu juga berada di sana, mereka duduk tak jauh dari tempat Lavira serta Elina berada. Kini mereka berempat sedang berada di sofa ruangan keluarga mansion Dakasa, setelah tadi Elina sudah sempat diajak makan malam oleh Alano.“Kamu tidak bilang lebih jelas sama, Elin, No? Dia kebingungan loh, ini,” ucap Lavira kepada Alano.“Udah, Ma. Dia mau.”“Masa iya, terus kenapa dia nany
“Kata orang-orang, dia itu psikopat. Jadi dia suka bunuh orang, aku ngeri kalau nanti menikah dengannya ... pas aku lagi tidur, malah dicekik dan mati.”Alano menatap Elina yang melanjutkan kalimatnya. Dia berdeham sambil tertawa kecil mendengar kalimat takut Elina. “Kalau memang begitu, seharusnya kau sedari tadi sudah aku cekik dan mati,” cetus Alano santai.Kalimat Alano itu membuat Elina terdiam. Perempuan itu kembali menggeliat pelan, sampai kelopak matanya bergerak pelan pula. Kening Elina berkerut ketika dia berniat membuka mata. Dengan mata sedikit memicing, akhirnya kini dua bola mata itu terbuka. Elina menatap sekitar sambil menggeliat, sampai pergerakannya terhenti ketika melihat paha seseorang tepat di samping tubuhnya.Mengikuti paha tersebut, Elina mendongak sampai akhirnya kedua bola matanya menangkap wajah tampan seseorang. Saat dua pasang bola mata itu beradu pandang, tepat ketika itu pula Elina melotot. Dia melotot karena terkejut melihat wajah tampan Alano di saat d
“Kami senang, akhirnya sekarang bisa tenang melepas Elin di Indonesia. Kemarin kami risau, masalahnya Elin keras ingin berkuliah di Indonesia, padahal kami belum bisa kembali ke sana. Akhirnya kalian bertemu lagi, kami senang. Maaf karena tidak memberitahu lebih cepat, sebab kemampuan kami yang serba terbatas.”Suara seorang perempuan dewasa di layar ponsel milik Avram terdengar. Ada sepasang suami istri di sana sedang berbicara dengan Lavira. Mereka adalah kedua orang tua Elina. Sesuai kalimat Alano tadi, mereka akan menghubungi kedua orang tua Elina. Akhirnya setelah sekian lama, mereka kembali bisa berkomunikasi. Orang tua Elina meminta maaf karena tidak bisa memberitahukan keberaaan Elina nan masih selamat dari kejadian kebakaran kala itu.“Tidak masalah, Kak. Kami mengerti, bukan salah kalian juga. Kalian juga sudah berusaha menghubungi, kami senang sekarang bisa melihat Elin lagi. Dia masih sama, tumbuh semakin cantik, dan gadis polos nan cerewet,” terang Lavira dengan nada rama
Rasanya Alano tak terlalu lama beraktivitas di dalam kamar mandi. Namun, ketika dia keluar, Alano sudah menemukan Elina terbaring di atas tepian ranjangnya. Sebelah kaki perempuan itu terjuntai dengan kedua mata tertutup. Hembusan napas perempuan polos itu terlihat tenang dan teratur, itu pertanda jika dia sedang tidur.Hanya beberapa menit ditinggal mandi. Elina tertidur di atas ranjang Alano, mungkin sudah terlalu lelah. Biasanya perempuan itu akan tidur siang jika pulang dari kampus. Hari ini kegiatannya terasa padat, pergi ke mansion Alano dengan segera alasan untuk melarikan diri. Apalagi setelah semua rencana dan alasannya gagal, perempuan itu bercerita cukup lama dengan Lavira. Sampai akhirnya masuk ke dalam kamar Alano dan diajak jahil oleh si pemilik kamar.“Dia benar-benar masih sama, suka tidur sembarangan. Kalau bergerak sedikit, dia bisa jatuh.” Alano menatap tubuh Elina yang memang begitu mepet di tepian ranjang.Perlahan pria itu menarik pinggang Elina, kemudian mengang
Elina duduk kaku di tepian ranjang kamar Alano. Setelah tadi sempat berbincang sebentar dengan Lavira. Akhirnya kini Elina berada di kamar Alano. Pria itu katanya sedang menyelesaikan pekerjaan di ruangan kerjanya di mansion tersebut. Lavira malah menyuruh Elina menunggu Alano di dalam kamar pria itu.“Aduh, aku harus apa sekarang? Masa aku harus berbaring di sini? Kalau nanti Pak Alan marah bagaimana?”Meski Lavira yang menyuruh Elina untuk menunggu di dalam kamar tersebut. Tetap saja Elina merasa tak enak jika harus tidur di kamar seorang pria. Apalagi pria itu adalah dosennya sendiri. Pergerakan Elina bahkan cukup terbatas. Sejujurnya dia penasaran ingin melihat-lihat isi kamar Alano, tetapi dia takut jika nanti Alano keburu kembali ke dalam kamar.“Emm, itu apa?” Elina melihat sebuah lemari dan terfokus kepada sebuah kotak kecil tanpa penutup di dalam lemari tersebut.Elina melangkah mendekat ke arah lemari dengan wajah penasarannya. Dia memicingkan mata sambil meraih sebuah kotak