“Ma, bagaimana ini? Apa Mama dan Papa benar-benar akan bercerai? Aku tidak mau, aku tidak mau sampai itu terjadi, Ma,” ucap Joana kepada Marni.“Mama juga tidak mau, Jo. Ini sedang memikirkan cara supaya papa kamu tidak benar-benar menceraikan Mama. Kamu juga terus berusaha untuk membujuk papa kamu. Jika sampai Mama dan Papa bercerai, maka kita akan serba sulit. Nanti papa kamu pasti hanya akan memberikan uang jajan kamu saja, sedangkan Mama tidak dikasih, kita bisa jatuh miskin dengan uang sedikit dibagi dua,” celoteh Marni.“Aku tidak mau itu, Ma. Aku harus bisa membujuk Papa supaya dia tidak benar-benar menceraikan Mama. Aku malu, aku pasti akan diolok oleh teman-temanku nanti jika mereka tahu ternyata orang tuaku bercerai. Aku tidak mau,” pungkas Joana memberitahukan rasa takutnya yang lain.“Mama sekarang lebih takut jatuh miskin, Jo. Jika kamu jadi miskin, itu lebih memalukan. Biasanya selama ini di sekolah menjadi orang yang sangat menarik. Datang pakai mobil, nanti bisa saja j
“Kenapa diam? Apa tidak cukup melihatnya menderita selama ini? Dia tak mengganggu kehidupanmu selama ini ‘kan? Akhirnya sekarang kelakuan gilamu itu yang memancing sebuah petaka yang lebih besar. Bukan dariku pembalasan itu akan datang, karena sekarang Lavira sudah punya Tuan Dakasa,” lanjut Farhan ketika melihat Marni masih diam.“Aku tidak begitu, Mas. Aku hanya ....”“Cukup, aku tak butuh kalimat pembelaan apa pun darimu. Aku datang ke sini hanya untuk mengantarkan ini. Lima hari lagi sidang perceraian kita, ada atau tidak tanda tanganmu di sini, perceraian akan tetap terjadi. Datang atau tidak kau dipersidangan, kita akan tetap bercerai.” Farhan bersuara sambil meletakkan sebuah surat di nakas, tepat di samping ranjang Marni dan Joana.“Apa maksud, Papa? Papa benar-benar ingin bercerai dengan Mama?” teriak Joana menatap Farhan tak percaya.Farhan menoleh dan menatap sang putri dengan wajah lelahnya. “Iya, memang ini semua harus terjadi. Hubungan ini sudah tak sehat, bagaimana Marn
“Ma-mas, bukan begitu maksudku, Mas. Ak-aku tidak melakukan apa yang kamu bayangkan, Mas. Aku tidak mungkin mela ....”“Diam! Kau benar-benar bukan manusia, Marni. Sekarang aku tak heran, kenapa kau begitu kejam, nyatanya memang kau tak punya hati! Menyesal ... aku sangat menyesal menikahimu sampai harus mengorbankan istriku! Perempuan bangsat!” teriak Farhan kehilangan kendali.Marni dan Joana melotot ketika melihat Farhan bergerak cepat ke arah Marni. Mereka takut melihat mata merah Farhan yang jelas seakan ingin memukul Marni saat ini. Joana sudah berteriak histeris melihat Farhan semakin mendekat ke arah sang ibu.“Pa, Papa mau apa?” teriak Joana.“Mas, aku tidak be ....”Plak ... plak ...Kalimat Marni terputus saat tangan Farhan sudah lebih dulu mendarat menyapa kedua pipi perempuan paruh baya itu. Joana semakin histeris, kondisi mereka yang membaik membuat Joana maupun Marni tak dapat bergerak. Marni merintih, dia merasakan sakit pada kedua pipinya, bahkan telinganya sempat ber
“Tidak tidak! Pa, jangaaan, jangan sakiti Mama! Tidak, tolooong! Tolongg!” pekik Joana semakin keras, berharap ada seseorang yang masuk dan memegang Farhan yang dikuasai amarah.Cklek ...Sett ... grep ...“Lepaskan saya, brengsek! Akan saya bunuh perempuan biadap itu, lepaskan saya!” teriak Farhan memberontak ketika ada dua pria berbadan besar masuk ke dalam ruangan dan langsung memegang tubuh Farhan.Tangan Farhan masih tertahan di atas dengan vas bunga hampir melayang ke kepala Marni. Marni sendiri sudah memejamkan mata bersiap menerima pukulan vas bunga dari Farhan. Akan tetapi semua itu tak terjadi sebab dua pria berbadan kekar tersebut lebih dulu datang dan menahan tubuh Farhan. Joana menghela napas lega, dia masih manangis dengan mata bengkak dan wajah pucat.“Kami mendapat perintah dari Tuan Dakasa untuk menahan, Anda. Jangan bunuh dia, sebab dia adalah jatah Tuan Dakasa. Jaga emosi Anda jika Anda pun masih ingin tetap hidup,” tegas salah satu pria berbadan kekar itu kepada F
“Jadi untuk masalah penggelapan dana itu bagaimana, Tuan? Apa saya urus sekarang? Mereka sepertinya sudah terlalu senang sebab menganggap kita tak tahu jika dia nyatanya terlibat dalam hal itu,” ucap Rino kepada Avram.Avram diam sambil memainkan sebuah pulpen di tangannya. Pria itu saat ini sedang berada di ruangan kerja ditemani oleh Rino. “ Lakukan saja, beritahu dia dan konsekuensinya. Dia memang harus segera diberi paham akan hal ini. Suruh dia mencari jalan keluar atas semua kerugian perusahaan akan ulah bodohnya,” ucap Avram dingin.“Baik, Tuan. Saya paham. Jadi saya bergerak sekarang? Sepertinya Tuan Fero belum berangkat ke kantor, dia masih di bawah,” ujar Rino.“Lakukan.”Baru saja Rino membalikkan badan, pintu ruangan kerja itu dibuka dari luar. Dua pria tampan yang berada di sana menatap Lavira yang sedang membawa satu gelas berisi cairan berwarna coklat di atas nampan. Lavira tersenyum ramah ke arah Rino yang sedang menunduk sopan kepadanya.“Selamat pagi, Tuan Rino,” sap
Kening Lavira berkerut, dia menatap Avram dengan wajah polosnya. “Tentu saja, masa aku harus berhenti sekolah, Kak?” balas Lavira polos.“Kamu tidak takut?” tanya Avram lagi.Lavira sempat terdiam mendengar pertanyaan Avram. Jika ditanya masalah itu, sebenarnya Lavira cukup merasa ngeri harus kembali ke sekolah. Akan tetapi, dia sekarang sedang berusaha untuk melawan rasa takutnya sendiri. Meski tak akan menjadi orang kuat yang ditakuti banyak orang, setidaknya Lavira bisa menjadi berani saat orang-orang ingin merundungnya.“Aku tidak takut, Kak. Aku ‘kan harus kuat dan berani, aku sudah terbiasa dengan itu,” jawab Lavira jujur.Mengingat bagaimana kehidupan Lavira selama ini. Perempuan itu selalu harus bisa bangkit meski dia selalu dihina ataupun dipukul oleh orang lain. Terkhusus perlakuan Marni dan Joana dulu. Setiap kali Lavira dimarahi, dihina atau dipukul, perempuan itu harus tetap bisa bangkit dan melanjutkan hari seakan tak ada yang terjadi.“Sekarang ada aku, jangan paksa kua
“Aku jadi penasaran, kamu kalau marah seperti apa?”“Kakak ingin melihat aku marah?” tanya Lavira dengan wajah polosnya.Avram mengangguk semakin terlihat polos. Pria itu memang penasaran ingin melihat Lavira di saat marah seperti apa. Mengingat bagaimana lembut dan manisnya sang istri, membuat Avram tak bisa membayangkan bagaimana Lavira ketika marah. Seakan seorang perempuan manis nan polos itu tak bisa marah.“Aku ingin lihat,” jawab Avram jujur.“Kalau begitu, tunggu aku datang bulan dulu,” jawab Lavira dengan polosnya.Sungguh, tanpa mereka sadari jika pembahasan mereka saat ini terdengar sangat bodoh. Sepasang suami istri itu terlihat seperti dua anak kecil dengan pembahasan aneh. Jika didengar orang lain, pasti membuat mereka tak percaya apalagi melihat Avram membahas hal tak penting. Setidaknya beruntung percakapan mereka tak didengar oleh Rino, jika didengar, sudah dipastikan dia akan mengejek Avram dengan tawanya.“Tidak usah datang bulan, maunya hamil,” cetus Avram datar.“
Lavira keluar dari dalam kamar mandi dan cukup terkejut saat melihat keberadaan sang suami di tepian ranjang. Dia menatap Avram yang sedang bermain dengan benda pipih di tangannya. Pria itu pun mengangkat kepalanya dan melihat kedatangan Lavira sudah siap dengan setelan sekolahnya.“Kenapa, Kak? Bukannya pekerjaan Kakak masih banyak? Padahal aku bisa ke sana,” ucap Lavira kepada Avram.“Ayo aku antar.” Avram menyahut sambil berdiri dari duduknya dan menyimpan benda pipih di tangannya.“Antar? Antar ke bawah? Tidak usah, Kak, biasanya pagi ini pekerjaan Kakak menumpuk. Jadi Kakak lanjut kerja saja, nanti kesulitan kalau terlalu menumpuk,” balas Lavira.“Aku antar ke sekolah, pekerjaanku bisa diselesesaikan nanti. Itu masalah gampang untukku.”Lavira terkejut mendengar kalimat Avram. Dia menatap sang suami yang kini sedang merangkul bahunya. Avram mulai melangkah, dan Lavira pun ikut melangkah dengan wajah cengonya.“Maksud Kakak, mau antar aku ke sekolah bagaimana ini?” tanya Lavira di
“Makan yang banyak, kamu tadi malam juga tidak makan, ‘kan? Banyak-banyak lauknya, ini, kamu suka ini.” Lavira memberikan sepotong ikan bakar kepada Elina. Elina terkekeh menatap Lavira yang begitu perhatian. “Makasih, Ma. Mama juga makan yang banyak, biar nanti kita sama-sama bulet, hehe.” Lavira ikut tertawa mendengar kalimat menantunya. Dia tak menyangka jika gadis kecil yang bertahun-tahun dia cari, akhirnya sekarang berada di depannya. Meski Elina belum mengingat siapa Alano dan keluarga, setidaknya sekarang Elina sudah menjadi istri Alano. Hal itu membuat Lavira merasa lebih tenang, dia juga tak menuntut Elina untuk mengingat dirinya. Seperti ini saja sudah membuat Lavira merasa senang. Sett ... Elina terkejut ketika tiba-tiba Alano memberikan secentong sayur brokoli di atas nasinya. Elina menoleh dan menatap Alano dengan wajah polos. Alano sendiri nampak santai, terus menyuap makanannya dengan ekspresi datar seperti biasa. Lavira tersenyum menatap itu, dia merasa senang keti
“Ini masuknya ke mana?”“Aku juga tidak tahu.”“Makanya lebih tarik, lebarkan sedikit lagi.”“Sudah tidak bisa ini, Mas.”Lavira dan Avram saling tatap tepat di depan pintu kamar Alano. Kamar yang mulai hari itu akan dihuni pula oleh Elina. Setelah tadi sepasang pengantin baru itu meminta izin untuk ke kamar lebih dulu. Lavira ingin menyusul dan mengantarkan makanan untuk Elina, sebab setahunya Elina belum makan malam.Namun, siapa sangka niat mereka malah mendapatkan perkata-perkataan demikian. Lavira tersenyum, dia berfikir hal yang diinginkannya. Kegiatan malam pertama para pengantin baru pada umumnya. Avram pun menatap senyum sang istri, dia terkekeh kecil.“Mereka akan kasih kita cucu ‘kan, Pa?” tanya Lavira cukup terdengarn polos.Avram kembali terkekeh geli. “Biarkan saja mereka, ayo kita kembali ke bawah. Kamu juga harus segera tidur, ini sudah larut.”“Iya, tapi ... Elin belum makan, Pa.”“Nanti kalau mereka sudah selesai, mungkin akan terasa lapar. Alan bisa bantu Elin ambil
Sepasang insan sekarang sedang duduk di tepian ranjang sambil saling lirik. Mereka adalah sepasang pengantin baru yang baru saja sah setelah acara ijab qabul beberapa jam lalu. Alano dan Elina, mereka duduk dengan sudut mata sama-sama melirik satu sama lain.Alano pun menghela napas pelan. Dia nampaknya cukup bingung harus melakukan apa setelah ini. Lavira dan Avram tadi sempat menggoda dirinya. Alano si kaku, dia tak pernah memiliki kekasih. Dia tak tahu cara berhubungan dengan perempuan, tetapi dia adalah pria normal dan tak sepolos Avram dulu. Alano sudah dewasa, sehingga dia tahu kegiatan apa biasa dilakukan sepasang pengantin baru.Hanya saja, masalahnya sekarang adalah mereka pribadi. Alano dan Elina terbilang menikah tanpa ada kata cinta. Mereka hanya saling merasa nyaman satu sama lain untuk saat ini. Elina pun tertarik kepada Alano karena ketampanan pria itu, dan tentunya merasa nyaman. Elina sejujurnya tak paham dengan perasaannya sendiri, setiap kali melihat dan berdekatan
Elina menatap ke samping, di mana kedua orang tuanya berada. Dia tak menyangka jika dirinya benar-benar akan segera menikah dengan Alano. Kemarin-kemarin dia masih berpikir jika Alano hanya bercanda. Sampai akhirnya satu minggu kemudian kedua orang tua Elina datang ke Indonesia dan mengatakan jika mereka senang tahu Elina akan menikah dengan Alano.Elina meminta pernikahan ini tak usah ada pesta sebelum dirinya wisuda. Sebab dia tak ingin diserbu oleh para fans Alano selama di kampus. Hal itu akhirnya dituruti oleh Alano. Akhirnya mereka hanya akan mengadakan ijab qabul saja dulu, sebelum nanti mengadakan pesta mewah setelah Elina benar-benar wisuda.“Kami keluar dulu, Sayang. Nanti akan Mama jemput kalau sudah selesai.”“Iya, Ma,” sahut Elina sambil menarik napas.Cklek ...“Astaga, sahabatkuu ini. Kau menikungkuu!”Elina terkejut ketika tiba-tiba Mei masuk ke dalam ruangan tempatnya menunggu, Mei berteriak. Hari ijab qabul yang begitu tiba-tiba. Tak hanya mengejutkan Elina, tentu sa
Elina menatap Lavira yang terlihat begitu antusias memperlihatkan berbagai macam bentuk mode gedung pernikahan. Perempuan itu masih tak paham dengan keadaan tiba-tiba ini. Baru tadi Alano mengatakan dia akan mengurus pernikaha, pria itu sudah memberitahu Lavira dan Avram. Sekarang Lavira nampak sangat semangat memperlihatkan berbagai macam dekorasi gedung pernikahan.“Kamu suka yang ini? Ini cantik juga, astaga, jadi bingung,” celoteh Lavira.“M-maaf, Tante. Ini beneran bakalan nikah?”Lavira menoleh dan menatap Elina yang nampak sangat bingung. Perempuan itu terkekeh, dia melirik Alano di samping Avram. Dua pria itu juga berada di sana, mereka duduk tak jauh dari tempat Lavira serta Elina berada. Kini mereka berempat sedang berada di sofa ruangan keluarga mansion Dakasa, setelah tadi Elina sudah sempat diajak makan malam oleh Alano.“Kamu tidak bilang lebih jelas sama, Elin, No? Dia kebingungan loh, ini,” ucap Lavira kepada Alano.“Udah, Ma. Dia mau.”“Masa iya, terus kenapa dia nany
“Kata orang-orang, dia itu psikopat. Jadi dia suka bunuh orang, aku ngeri kalau nanti menikah dengannya ... pas aku lagi tidur, malah dicekik dan mati.”Alano menatap Elina yang melanjutkan kalimatnya. Dia berdeham sambil tertawa kecil mendengar kalimat takut Elina. “Kalau memang begitu, seharusnya kau sedari tadi sudah aku cekik dan mati,” cetus Alano santai.Kalimat Alano itu membuat Elina terdiam. Perempuan itu kembali menggeliat pelan, sampai kelopak matanya bergerak pelan pula. Kening Elina berkerut ketika dia berniat membuka mata. Dengan mata sedikit memicing, akhirnya kini dua bola mata itu terbuka. Elina menatap sekitar sambil menggeliat, sampai pergerakannya terhenti ketika melihat paha seseorang tepat di samping tubuhnya.Mengikuti paha tersebut, Elina mendongak sampai akhirnya kedua bola matanya menangkap wajah tampan seseorang. Saat dua pasang bola mata itu beradu pandang, tepat ketika itu pula Elina melotot. Dia melotot karena terkejut melihat wajah tampan Alano di saat d
“Kami senang, akhirnya sekarang bisa tenang melepas Elin di Indonesia. Kemarin kami risau, masalahnya Elin keras ingin berkuliah di Indonesia, padahal kami belum bisa kembali ke sana. Akhirnya kalian bertemu lagi, kami senang. Maaf karena tidak memberitahu lebih cepat, sebab kemampuan kami yang serba terbatas.”Suara seorang perempuan dewasa di layar ponsel milik Avram terdengar. Ada sepasang suami istri di sana sedang berbicara dengan Lavira. Mereka adalah kedua orang tua Elina. Sesuai kalimat Alano tadi, mereka akan menghubungi kedua orang tua Elina. Akhirnya setelah sekian lama, mereka kembali bisa berkomunikasi. Orang tua Elina meminta maaf karena tidak bisa memberitahukan keberaaan Elina nan masih selamat dari kejadian kebakaran kala itu.“Tidak masalah, Kak. Kami mengerti, bukan salah kalian juga. Kalian juga sudah berusaha menghubungi, kami senang sekarang bisa melihat Elin lagi. Dia masih sama, tumbuh semakin cantik, dan gadis polos nan cerewet,” terang Lavira dengan nada rama
Rasanya Alano tak terlalu lama beraktivitas di dalam kamar mandi. Namun, ketika dia keluar, Alano sudah menemukan Elina terbaring di atas tepian ranjangnya. Sebelah kaki perempuan itu terjuntai dengan kedua mata tertutup. Hembusan napas perempuan polos itu terlihat tenang dan teratur, itu pertanda jika dia sedang tidur.Hanya beberapa menit ditinggal mandi. Elina tertidur di atas ranjang Alano, mungkin sudah terlalu lelah. Biasanya perempuan itu akan tidur siang jika pulang dari kampus. Hari ini kegiatannya terasa padat, pergi ke mansion Alano dengan segera alasan untuk melarikan diri. Apalagi setelah semua rencana dan alasannya gagal, perempuan itu bercerita cukup lama dengan Lavira. Sampai akhirnya masuk ke dalam kamar Alano dan diajak jahil oleh si pemilik kamar.“Dia benar-benar masih sama, suka tidur sembarangan. Kalau bergerak sedikit, dia bisa jatuh.” Alano menatap tubuh Elina yang memang begitu mepet di tepian ranjang.Perlahan pria itu menarik pinggang Elina, kemudian mengang
Elina duduk kaku di tepian ranjang kamar Alano. Setelah tadi sempat berbincang sebentar dengan Lavira. Akhirnya kini Elina berada di kamar Alano. Pria itu katanya sedang menyelesaikan pekerjaan di ruangan kerjanya di mansion tersebut. Lavira malah menyuruh Elina menunggu Alano di dalam kamar pria itu.“Aduh, aku harus apa sekarang? Masa aku harus berbaring di sini? Kalau nanti Pak Alan marah bagaimana?”Meski Lavira yang menyuruh Elina untuk menunggu di dalam kamar tersebut. Tetap saja Elina merasa tak enak jika harus tidur di kamar seorang pria. Apalagi pria itu adalah dosennya sendiri. Pergerakan Elina bahkan cukup terbatas. Sejujurnya dia penasaran ingin melihat-lihat isi kamar Alano, tetapi dia takut jika nanti Alano keburu kembali ke dalam kamar.“Emm, itu apa?” Elina melihat sebuah lemari dan terfokus kepada sebuah kotak kecil tanpa penutup di dalam lemari tersebut.Elina melangkah mendekat ke arah lemari dengan wajah penasarannya. Dia memicingkan mata sambil meraih sebuah kotak