“Angkat wajahmu,” titah Avram dengan suara datarnya.Lavira sempat terkejut mendengar suara berat Avram. Dengan patuh dia mendongak sesuai dengan perintah Avram. Sampai saat ini dia masih tak bersuara, Avram pun lebih tenang karena tidak mendengar suara lembut Lavira. Sadar atau tidak, Avram seakan tak kuat mendengar suara lembut Lavira.Avram terus melanjutkan aktivitasnya mengobati dan mengompres pipi lebam Lavira. Sudah dua kali saja dalam dua hari ini pria itu melakukan hal yang sama. Lavira memejamkan matanya sambil meringis kecil menahan rasa sakit pada wajahnya yang semakin membengkak. Avram ikut memejamkan matanya melihat pemandangan itu.“Berbaringlah,” titah Avram lagi.Lavira membuka matanya dan menatap Avram dengan mata berair. Berair karena menahan rasa sakit. Bahkan sekadar untuk menggerakkan bibirnya saja terasa sangat sakit. Hal tersebut membuat Lavira semakin tak mampu berbicara. Sehingga matanya berair secara spontan.“Ak ... shhh.”“Tidak usah berbicara, berbaring
Rino melangkah ke arah ruangan tamu keluarga Dakasa dengan langkah tegasnya seperti biasa. Saat ini dia tak sendiri, tetapi ada beberapa anggota lainnya di belakang tubuh pria itu. Salah satu di antaranya adalah perempuan, dan dia juga bagian dari anggota kepercayaan Avram. Perempuan berwajah dingin dan jarang bisa diajak berbicara, kecuali bersama Avram dan Rino.Tiga manusia yang berada di ruangan tamu itu menoleh cepat saat mendengar suara langkah kaki. Kedatangan Rino dengan beberapa anggotanya membuat mereka waswas, terutama Feria dan Siara. Hanya Fero yang nampak santai, duduk diam di tempatnya.“Sesuai seperti yang saya katakan tadi. Tuan Dakasa tidak terima atas perlakuan kalian kepada istrinya,” tegas Rino bersuara tepat menatap tiga manusia itu.Kalimat Rino tentu saja membuat mereka terkejut, termasuk Fero. Pria itu menatap Rino dengan pandangan tak percaya. “Pasti kau yang hanya pandai sendiri ‘kan? Kau menyukai gadis kecil itu ‘kan? Heh,” cibir Fero sinis.Rino menatap da
Entah dengan alasan apa, Avram sekarang bekerja di dalam kamar tidurnya. Laki-laki itu duduk di atas sofa dengan laptop dan beberapa berkas yang sudah sempat dibawa oleh Rino ke sana. Sesekali mata tajam pria itu melirik ke arah Lavira yang terbaring di atas ranjang. Entah karena khawatir atau apa, Avram pun tak paham dengan hatinya sendiri. “Engh shhh.”Perhatian Avram teralihkan saat mendengar suara erangan kecil bercampur ringisan. Pria itu menoleh dan menatap Lavira yang kini terlihat menggeliat pelan. Sangat pelan, nampaknya perempuan itu tak kuat untuk menggerakkan tubuhnya lebih energik lagi.“Mana sakit?”Suara berat Avram mengejutkan Lavira. Perempuan itu langsung membuka matanya seketika. Matanya tak menangkap siapa-siapa, sebab Avram memang masih berada di atas sofa. Lavira mengira jika dirinya sedang berkhayal akan suara Avram.“Astaga, karena terlalu ngeri-ngeri sedap berdekatan dengannya ... aku jadi seakan terus mendengar suaranya,” gumam Lavira tak terdengar jelas di
Bruk ....“Aaaa, Tuan!”Lavira terpekik cukup kuat saat dengan tiba-tiba Avram mendorong tubuhnya ke atas ranjang. Saat ini Avram sudah mengungkung tubuh Lavira di bawah tubuh kekarnya. Avram menatap mata polos Lavira dengan sepasang mata tajamnya.Pandangan Lavira sekarang jatuh pada otot kekar Avram. Pria itu sedang menggunakan baju kaos over size. Sehingga ketikta Avram menunduk, bagian dalam tubuh Avram terekspos dari dada bidannya. Lavira bak orang bodoh saat ini, wajahnya memucat menatap ragu wajah tampan Avram.“Ma-maaf, Tuan. Ada apa? A-apa saya salah bicara?” tanya Lavira kaku dan gugup.“Kau salah,” jawab Avram datar dan singkat.Lavira terdiam dan terpaku di tempatnya tak berani bersuara. Dia menatap Avram dengan wajah ragu. Polosnya kedua mata Lavira yang berkedip pelan malah semakin membuat Avram merasa frsutasi.“I-iya, saya salah. Jadi mohon maafkan saya, saya siap diberi hukuman, Tuan,” tutur Lavira ragu.“Yah, kau memang harus diberi hukuman,” desis Avram penuh makna.
“Sakit, Maa, hiks. Sakit.”Siara terus mengusap rambut putrinya yang tak bisa tertidur malam ini. Seharian ini Feria terus menangis dan terisak kesakitan. Keadaannya tak baik-baik saja, wajahnya jauh lebih parah dari keadaan wajah Lavira. Bengkak luar biasa dan dan luka di sudut bibirnya juga tak main-main. Saat ini mereka sedang berada di rumah sakit, dan Feria terus merengek kesakitan.“Kamu jangan bicara lagi, diamkan saja bibir kamu. Sakinya semakin terasa kalau wajah bengkak itu tertarik. Sudut bibir kamu juga bisa semakin tidak sembuh,” tutur Siara.“Tapi sakit, Man. Pasti sekarang wajah aku sangat jelek dan tak berbentuk. Aku malu, hiks sakit dan malu,” rengek Feria lagi.Siara menghela napas kasar mendengar kalimat sang putri. “Ini semua karena babu kurang ajar itu. Apa yang dilakukan perempuan brengsek itu sampai bisa mendapat perlindungan dari Avram? Ternyata hanya wajahnya saja yang polos, dia hanya berpura-pura polos, nyatanya adalah seekor ular kecil,” geram Siara marah.
“Kenapa?” tanya Marni heran saat melihat sang putri terus tersenyum sedari tadi.Joana menoleh ke arah sang ibu yang baru saja bertanya. “Itu, si gembel tidak masuk ke sekolah hari ini. Pasti dia sekarang sedang meraung di dalam hati karena siksaan Tuan Dakasa. Atau mungkin malah sudah jadi mayat,” cetus Joana sinis.Marni sedikit terkejut mendengar kalimat Joana. “Benarkah? Jadi dia tidak masuk ke sekolah tadi?” tanya Marni.“Iya, aku sebenarnya sudah mau kasih tahu Mama sedari tadi siang pas pulang sekolah. Tapi Mama dan Papa lama pulang,” jawab Joana.“Ah, kalau begitu mah kita ikut senang. Biar sekalian dia menyusul ibunya itu. Melihat wajah mereka saja sudah membuatku kesal. Untung kemarin Mama membunuh ibunya, jadi bisa dapat Papa kamu seutuhnya. Mama tidak suka kepada perempuan cantik seperti mereka, huh,” celoteh Marni sinis.Joana tersenyum mendengar kalimat sang ibunda. “Benar, aku juga kesal. Makanya setiap kali melihat wajahnya, aku selalu terpancing emosi. Sayang juga, ja
“O-oh, baiklah, Om.”Doeng ...Avram ternganga di tempatnya mendengar panggilan Lavira untuk dirinya. Pria itu menatap sang istri yang sedang tersenyum manis tak merasa bersalah. Dirinya masih berumur dua puluh empat tahun, tetapi dengan seenaknya Lavira memanggilnya om? Sungguh hal itu secara tak langsung seakan menggores umur Avram sebagai tampan nan masih muda.“Kau memanggil aku apa?” tanya Avram lebih memastikan.“Om, katanya tadi tidak boleh panggil tuan. Apa saya ganti lagi, Om?”Avram mendongak dan menghela napas dalam mendengar kalimat Lavira. “Aku belum setua itu untuk kau panggil om. Ganti,” cetus Avram datar.Lavira meringis mendengar kalimat pria itu. Dia menggaruk puncak kepalanya dan menatap Avram yang juga masih menatapnya. Perempuan itu bingung, dia tak tahu harus memanggil Avram seperti apa.“K-kakak?” tanya Lavira ragu.Avram menatap wajah ragu Lavira dengan ekspresi datarnya seperti biasa. “Itu lebih baik. Sekarang tidur, hari sudah malam.”“Tapi ... Kakak juga bel
Avram mengerutkan keningnya merasakan ranjang bergerak. Pria itu mulai membuka matanya sedikit memicing. Dia melihat Lavira bergerak pelan ke arah tepian ranjang. Tangan pria itu seakan tergerak sendiri, secara spontan menahan pergelangan tangan sang istri.Lavira terkejut merasakan tangannya ditahan. Perlahan perempuan itu menoleh dan terkejut melihat Avram sedang menatapnya dengan wajah datar itu. Lavira meringis kecil merasa kikuk karena dirinya menjadi penyebab Avram terbangun.“Maaf, Kak. Aku membangunkan Kakak, ya?” cicit Lavira pelan.“Kau ingin ke mana?” tanya Avram menghiraukan kalimat Lavira.“Aku? Aku ingin bersih-bersih dan harus segera ke lantai bawah. Aku harus memasak dulu, supaya nanti bisa ke sekolah,” jawab Lavira jujur.Avram terdiam sejenak mendengar jawaban gadis yang sudah resmi menjadi istrinya itu. “Tidak usah.”Kening Lavira berkerut mendengar ucapan singkat Avram. “Maksudnya, Kak?”“Tidak usah memasak, kau bukan pembantu.”Lavira terdiam mendengar penuturan A
“Makan yang banyak, kamu tadi malam juga tidak makan, ‘kan? Banyak-banyak lauknya, ini, kamu suka ini.” Lavira memberikan sepotong ikan bakar kepada Elina. Elina terkekeh menatap Lavira yang begitu perhatian. “Makasih, Ma. Mama juga makan yang banyak, biar nanti kita sama-sama bulet, hehe.” Lavira ikut tertawa mendengar kalimat menantunya. Dia tak menyangka jika gadis kecil yang bertahun-tahun dia cari, akhirnya sekarang berada di depannya. Meski Elina belum mengingat siapa Alano dan keluarga, setidaknya sekarang Elina sudah menjadi istri Alano. Hal itu membuat Lavira merasa lebih tenang, dia juga tak menuntut Elina untuk mengingat dirinya. Seperti ini saja sudah membuat Lavira merasa senang. Sett ... Elina terkejut ketika tiba-tiba Alano memberikan secentong sayur brokoli di atas nasinya. Elina menoleh dan menatap Alano dengan wajah polos. Alano sendiri nampak santai, terus menyuap makanannya dengan ekspresi datar seperti biasa. Lavira tersenyum menatap itu, dia merasa senang keti
“Ini masuknya ke mana?”“Aku juga tidak tahu.”“Makanya lebih tarik, lebarkan sedikit lagi.”“Sudah tidak bisa ini, Mas.”Lavira dan Avram saling tatap tepat di depan pintu kamar Alano. Kamar yang mulai hari itu akan dihuni pula oleh Elina. Setelah tadi sepasang pengantin baru itu meminta izin untuk ke kamar lebih dulu. Lavira ingin menyusul dan mengantarkan makanan untuk Elina, sebab setahunya Elina belum makan malam.Namun, siapa sangka niat mereka malah mendapatkan perkata-perkataan demikian. Lavira tersenyum, dia berfikir hal yang diinginkannya. Kegiatan malam pertama para pengantin baru pada umumnya. Avram pun menatap senyum sang istri, dia terkekeh kecil.“Mereka akan kasih kita cucu ‘kan, Pa?” tanya Lavira cukup terdengarn polos.Avram kembali terkekeh geli. “Biarkan saja mereka, ayo kita kembali ke bawah. Kamu juga harus segera tidur, ini sudah larut.”“Iya, tapi ... Elin belum makan, Pa.”“Nanti kalau mereka sudah selesai, mungkin akan terasa lapar. Alan bisa bantu Elin ambil
Sepasang insan sekarang sedang duduk di tepian ranjang sambil saling lirik. Mereka adalah sepasang pengantin baru yang baru saja sah setelah acara ijab qabul beberapa jam lalu. Alano dan Elina, mereka duduk dengan sudut mata sama-sama melirik satu sama lain.Alano pun menghela napas pelan. Dia nampaknya cukup bingung harus melakukan apa setelah ini. Lavira dan Avram tadi sempat menggoda dirinya. Alano si kaku, dia tak pernah memiliki kekasih. Dia tak tahu cara berhubungan dengan perempuan, tetapi dia adalah pria normal dan tak sepolos Avram dulu. Alano sudah dewasa, sehingga dia tahu kegiatan apa biasa dilakukan sepasang pengantin baru.Hanya saja, masalahnya sekarang adalah mereka pribadi. Alano dan Elina terbilang menikah tanpa ada kata cinta. Mereka hanya saling merasa nyaman satu sama lain untuk saat ini. Elina pun tertarik kepada Alano karena ketampanan pria itu, dan tentunya merasa nyaman. Elina sejujurnya tak paham dengan perasaannya sendiri, setiap kali melihat dan berdekatan
Elina menatap ke samping, di mana kedua orang tuanya berada. Dia tak menyangka jika dirinya benar-benar akan segera menikah dengan Alano. Kemarin-kemarin dia masih berpikir jika Alano hanya bercanda. Sampai akhirnya satu minggu kemudian kedua orang tua Elina datang ke Indonesia dan mengatakan jika mereka senang tahu Elina akan menikah dengan Alano.Elina meminta pernikahan ini tak usah ada pesta sebelum dirinya wisuda. Sebab dia tak ingin diserbu oleh para fans Alano selama di kampus. Hal itu akhirnya dituruti oleh Alano. Akhirnya mereka hanya akan mengadakan ijab qabul saja dulu, sebelum nanti mengadakan pesta mewah setelah Elina benar-benar wisuda.“Kami keluar dulu, Sayang. Nanti akan Mama jemput kalau sudah selesai.”“Iya, Ma,” sahut Elina sambil menarik napas.Cklek ...“Astaga, sahabatkuu ini. Kau menikungkuu!”Elina terkejut ketika tiba-tiba Mei masuk ke dalam ruangan tempatnya menunggu, Mei berteriak. Hari ijab qabul yang begitu tiba-tiba. Tak hanya mengejutkan Elina, tentu sa
Elina menatap Lavira yang terlihat begitu antusias memperlihatkan berbagai macam bentuk mode gedung pernikahan. Perempuan itu masih tak paham dengan keadaan tiba-tiba ini. Baru tadi Alano mengatakan dia akan mengurus pernikaha, pria itu sudah memberitahu Lavira dan Avram. Sekarang Lavira nampak sangat semangat memperlihatkan berbagai macam dekorasi gedung pernikahan.“Kamu suka yang ini? Ini cantik juga, astaga, jadi bingung,” celoteh Lavira.“M-maaf, Tante. Ini beneran bakalan nikah?”Lavira menoleh dan menatap Elina yang nampak sangat bingung. Perempuan itu terkekeh, dia melirik Alano di samping Avram. Dua pria itu juga berada di sana, mereka duduk tak jauh dari tempat Lavira serta Elina berada. Kini mereka berempat sedang berada di sofa ruangan keluarga mansion Dakasa, setelah tadi Elina sudah sempat diajak makan malam oleh Alano.“Kamu tidak bilang lebih jelas sama, Elin, No? Dia kebingungan loh, ini,” ucap Lavira kepada Alano.“Udah, Ma. Dia mau.”“Masa iya, terus kenapa dia nany
“Kata orang-orang, dia itu psikopat. Jadi dia suka bunuh orang, aku ngeri kalau nanti menikah dengannya ... pas aku lagi tidur, malah dicekik dan mati.”Alano menatap Elina yang melanjutkan kalimatnya. Dia berdeham sambil tertawa kecil mendengar kalimat takut Elina. “Kalau memang begitu, seharusnya kau sedari tadi sudah aku cekik dan mati,” cetus Alano santai.Kalimat Alano itu membuat Elina terdiam. Perempuan itu kembali menggeliat pelan, sampai kelopak matanya bergerak pelan pula. Kening Elina berkerut ketika dia berniat membuka mata. Dengan mata sedikit memicing, akhirnya kini dua bola mata itu terbuka. Elina menatap sekitar sambil menggeliat, sampai pergerakannya terhenti ketika melihat paha seseorang tepat di samping tubuhnya.Mengikuti paha tersebut, Elina mendongak sampai akhirnya kedua bola matanya menangkap wajah tampan seseorang. Saat dua pasang bola mata itu beradu pandang, tepat ketika itu pula Elina melotot. Dia melotot karena terkejut melihat wajah tampan Alano di saat d
“Kami senang, akhirnya sekarang bisa tenang melepas Elin di Indonesia. Kemarin kami risau, masalahnya Elin keras ingin berkuliah di Indonesia, padahal kami belum bisa kembali ke sana. Akhirnya kalian bertemu lagi, kami senang. Maaf karena tidak memberitahu lebih cepat, sebab kemampuan kami yang serba terbatas.”Suara seorang perempuan dewasa di layar ponsel milik Avram terdengar. Ada sepasang suami istri di sana sedang berbicara dengan Lavira. Mereka adalah kedua orang tua Elina. Sesuai kalimat Alano tadi, mereka akan menghubungi kedua orang tua Elina. Akhirnya setelah sekian lama, mereka kembali bisa berkomunikasi. Orang tua Elina meminta maaf karena tidak bisa memberitahukan keberaaan Elina nan masih selamat dari kejadian kebakaran kala itu.“Tidak masalah, Kak. Kami mengerti, bukan salah kalian juga. Kalian juga sudah berusaha menghubungi, kami senang sekarang bisa melihat Elin lagi. Dia masih sama, tumbuh semakin cantik, dan gadis polos nan cerewet,” terang Lavira dengan nada rama
Rasanya Alano tak terlalu lama beraktivitas di dalam kamar mandi. Namun, ketika dia keluar, Alano sudah menemukan Elina terbaring di atas tepian ranjangnya. Sebelah kaki perempuan itu terjuntai dengan kedua mata tertutup. Hembusan napas perempuan polos itu terlihat tenang dan teratur, itu pertanda jika dia sedang tidur.Hanya beberapa menit ditinggal mandi. Elina tertidur di atas ranjang Alano, mungkin sudah terlalu lelah. Biasanya perempuan itu akan tidur siang jika pulang dari kampus. Hari ini kegiatannya terasa padat, pergi ke mansion Alano dengan segera alasan untuk melarikan diri. Apalagi setelah semua rencana dan alasannya gagal, perempuan itu bercerita cukup lama dengan Lavira. Sampai akhirnya masuk ke dalam kamar Alano dan diajak jahil oleh si pemilik kamar.“Dia benar-benar masih sama, suka tidur sembarangan. Kalau bergerak sedikit, dia bisa jatuh.” Alano menatap tubuh Elina yang memang begitu mepet di tepian ranjang.Perlahan pria itu menarik pinggang Elina, kemudian mengang
Elina duduk kaku di tepian ranjang kamar Alano. Setelah tadi sempat berbincang sebentar dengan Lavira. Akhirnya kini Elina berada di kamar Alano. Pria itu katanya sedang menyelesaikan pekerjaan di ruangan kerjanya di mansion tersebut. Lavira malah menyuruh Elina menunggu Alano di dalam kamar pria itu.“Aduh, aku harus apa sekarang? Masa aku harus berbaring di sini? Kalau nanti Pak Alan marah bagaimana?”Meski Lavira yang menyuruh Elina untuk menunggu di dalam kamar tersebut. Tetap saja Elina merasa tak enak jika harus tidur di kamar seorang pria. Apalagi pria itu adalah dosennya sendiri. Pergerakan Elina bahkan cukup terbatas. Sejujurnya dia penasaran ingin melihat-lihat isi kamar Alano, tetapi dia takut jika nanti Alano keburu kembali ke dalam kamar.“Emm, itu apa?” Elina melihat sebuah lemari dan terfokus kepada sebuah kotak kecil tanpa penutup di dalam lemari tersebut.Elina melangkah mendekat ke arah lemari dengan wajah penasarannya. Dia memicingkan mata sambil meraih sebuah kotak