“Tuan, keadaan Nyonya Dakasa sudah terbilang parah. Kami harus segera melakukan operasi untuk mengeluarkan bayi di dalam perutnya. Jika tidak, nanti bisa terjadi komplikasi dan itu akan semakin parah tak terkandali.”Avram terdiam mendengar kalimat dokter perempuan dihadapannya. “Apa keduanya bisa diselamatkan? Istri dan anak saya?” tanya Avram terdengar cukup pelan karena cemas dan khawatir.“Kami akan berusaha, Tuan. Jika tidak terlambat, seharusnya bisa diselamatkan cepat. Makanya kami langsung meminta izin kepada Anda. Jika Anda mengizinkan untuk operasi, maka kami akan melakukannya sekarang, selagi keadaan Nyonya masih terkendali,” terang dokter tersebut.“Lakukan, lakukan yang terbaik. Selamatkan keduanya, istri dan anak saya,” tegas Avram.“Baiklah, mohon ikuti suster ini, Tuan. Anda perlu memberikan tandatangan, setelah ini kami langsung melakukan operasi,” tutur dokter.“Lakukan saja sekarang, dan kau bawa surat yang perlu aku tandatangani ke sini,” ucap Avram tak ingin pergi
Sett ...Avram langsung berdiri ketika pintu ruangan operasi itu terbuka dari dalam. Rino pun ikut berdiri, mereka mendekat ke arah dua dokter perempuan di depan pintu tersebut. Wajah Avram masih terlihat datar dan dingin, tetapi dia jelas saja sedang ketar-ketir akan keadaan sang istri serta calon bayinya.“Bagaimana keadaan istri saya? Bayi saya bagaimana?” tanya Avram beruntun.Dua dokter itu menghela napas berusaha menahan rasa gugupnya dihadapan Avram. Mereka harus bisa bekerja secara profesional, meski merasa takut serta ngeri berhadapan dengan penguasa Dakasa tersebut. Selain profesionalitas, mereka tentu juga tak ingin salah bicara jika masih ingin hidup.“Syukurlah, operasi berjalan lancar, Tuan. Nyonya Dakasa ternyata sempat mengalami pendarahan, tetapi kami hentikan dengan cepat. Keadaan Nyonya Dakasa masih cukup lemah karena efek menghirup obat halusinasi. Beruntung obat itu belum sempat menyebar ke dalam paru-parunya. Beruntung juga bayi cepat dikeluarkan, sehingga obat t
“Enggh, K-kak.”Avram berdiri dan menatap wajah pucat istrinya. Dia tersenyum ketika melihat sepasang mata bulat itu akhirnya mulai terbuka. Avram mengusap wajah pucat Lavira sambil memencet tombol kecil di atas kepala ranjang. Dia senang, sungguh terlihat dari ekspresi Avram menatapnya.“Sayang, akhirnya kamu bangun. Ada yang terasa sakit?” tanya Avram kepada Lavira.Lavira meringis kecil ketika merasakan kepalanya cukup pusing. “Hanya pusing, Kak,” jawab Lavira pelan.“Kira-kira kenapa? Apa ini efek obat, apa sangat pusing?” tanya Avram khawatir.“Tidak juga, Kak.”Cklek ...Suara pintu ruangan dibuka dari luar mengalihkan perhatian Avram. Pria itu langsung menatap serius beberapa tenaga medis yang datang ke sana. “Istri saya merasakan pusing, kenapa ini?” tanya Avram seakan tak sabar.“Maaf, Tuan. Mohon izin untuk memeriksa keadaan Nyonya Dakasa dulu, ya,” jawab seorang dokter kikuk.“Cepatlah,” balas Avram.Lavira sendiri diam, dia merasakan ada hal aneh pada dirinya. Perlahan per
Lavira menatap Avram dengan wajah heran. Dia menatap sekitar dan merasa lain. Setelah satu minggu lebih di rumah sakit, sekarang mereka sudah diizinkan untuk pulang. Namun, bukannya mengajak Lavira ke mansion Dakasa, pria itu malah mengajak sang istri ke mansion lain. Mansion itu terlihat lebih mewah, tentu saja karena masih baru. Lingkungan mansion juga jauh lebih asri dengan berbagai taman bunga serta perkebunan kecil, sungguh indah, kesukaan Lavira. “Ini mansion siapa, Kak? Kenapa kita tidak langsung pulang ke mansion saja? Alano pasti ingin segera berkenalan dengan tempat tinggalnya,” ucap Lavira menatap Avram dengan wajah tak paham. Avram menoleh dan tersenyum manis kepada sang istri. Dia memeluk pinggang Lavira yang sedang menggendong buah hati mereka. Avram menatap wajah Alano Dakasa, putra tunggal mereka yang masih begitu merah. Perlahan pria itu menciumi wajah Alano sampai akhirnya Lavira memukul bahu sang suami agar berhenti. “Alano nangis lagi ntar,” ucap Lavira menatap s
“Astaga ini bagaimana cara mengganti celananya?” Avram berceloteh sambil menatap bayi laki-laki berumur delapan bulan di atas ranjang.Alano, bayi laki-laki bermanik abu-abu itu dengan rambut juga berwarna abu-abu. Putra Avram dan Lavira, dia sekarang sedang terceloteh dengan bahasa bayinya dan tertawa kecil seakan sedang menertawakan kebingungan sang ayah. Entah ke mana pergi Lavira, sehingga kini bayi imut itu harus dijaga oleh ayahnya yang tak tahu apa-apa.“Kamu kenapa tidak beritahu tahu dulu kalau mau pipis? ‘Kan bisa Papa bawa ke kamar mandi,” celoteh Avram malah mengajak bayi delapan bulan tersebut berbicara bak orang dewasa.Avram menoleh sekitar, dia memperhatikan keadaan ruangan. Perlahan pria itu bergerak ke arah lemari pakaian. Dia menari satu celana dari dalam lemari tersebut. Detik berikutnya Avram bergerak mendekat ke arah Alano yang sudah duduk di atas ranjang.
Avram melirik Lavira yang sibuk menyuapi Alano. Pria itu menggerutu dan misuh-misuh di tempatnya. Seakan begitu cemburu dengan perhatian sang istri kepada putranya. Avram merasa kesal karena waktu Lavira cukup tersita dan seakan lebih banyak saat bersama Alano dibanding dirinya.“Sayang.”Lavira menoleh ketika mendengar suara berat suaminya. Perempuan itu menatap Avram yang nampak tak bersemangat. Pria bersetelan kantor itu siang ini sudah berada di mansion untuk makan siang. Dia memang selalu pulang untuk makan siang bersama sang istri dan putranya.“Kenapa, Kak?” tanya Lavira.“Nasi aku belum kamu ambilin,” ucap Avram terkesan merengek.Bukannya pria itu menjadikan Lavira seakan bak babu atau pembantu. Dia hanya ingin begitu diperhatikan oleh sang istri. Sebenarnya tak hanya Lavira yang memperlakukan Avram seperti itu. Namun, Avram pun juga m
“Sayaaang!”Avram berteriak memanggil Lavira. Dia baru saja pulang kerja dan langsung memanggil sang istri. Meski baru beberapa jam lalu Lavira pulang lebih dulu dari kantor Avram. Pria itu sudah merasa sangat rindu. Begitulah bucinnya seorang Avram saat ini.“Sayaaang, aku pulaaang!”“Jangan belisik, Pa. Memangnya ini hutan?”Pergerakan Avram terhenti ketika mendengar suara cadel seorang anak laki-laki. Pria itu menoleh dan menatap datar Alano. Alano, sang putra tampannya kini sudah masuk usia tiga tahun. Suara cadelnya tak membuat Avram merasa gemas, pasalnya Alano selalu saja membuatnya merasa kesal.“Papa tidak mengajakmu berbicara,” cetus Avram malas.“Aku juga tidak, Pa. Aku tadi belbicala kepada jelmaannya taljan. Teliak-teliak di mansion kita.”Mata Avram melotot mendengar kalimat tersebut. Dia menggerutu, tetapi tak dapat berkata-kata menyahut kalimat Alano yang jelas untuk dirinya. Alano secara tak langsung mengatakan jika dirinya seorang tarzan. Pasalnya Avram adalah orang
Lavira berjalan bersama Alano di sampingnya. Putra kecilnya itu berjalan sambil berpegangan tangan dengan Lavira. Mereka baru saja keluar dari dalam mobil dan bergerak ke arah lobi perusahaan Avram. Pria bucin itu meminta sang istri untuk datang ke perusahaan pada jam makan siang. Sebab Avram sendiri tak sempat untuk pulang karena harus ada meeting dengan klien dari luar.Bagi para pegawai perusahaan, mereka sudah sangat tahu siapa Lavira. Pasalnya perempuan itu setiap hari selalu datang ke kantor untuk menemui Lavira. Mereka juga mengetahui bagaimana bucin dan protektifnya seorang Avram kepada istrinya tersebut.Setiap kali datang, perhatian mereka tertuju kepada Alano. Anak laki-laki berusia tiga tahun itu terlihat sudah sangat tampan di usianya saat ini. Wajah Alano seakan begitu menuruni sang ayah. Apalagi rambut dan bola matanya, begitu mirip dengan Avram. Mata tajamnya pun perlahan mulai terlihat, meski masih terkesan imut karena bulat seperti anak kecil pada umumnya.“Siang, Ny
“Makan yang banyak, kamu tadi malam juga tidak makan, ‘kan? Banyak-banyak lauknya, ini, kamu suka ini.” Lavira memberikan sepotong ikan bakar kepada Elina. Elina terkekeh menatap Lavira yang begitu perhatian. “Makasih, Ma. Mama juga makan yang banyak, biar nanti kita sama-sama bulet, hehe.” Lavira ikut tertawa mendengar kalimat menantunya. Dia tak menyangka jika gadis kecil yang bertahun-tahun dia cari, akhirnya sekarang berada di depannya. Meski Elina belum mengingat siapa Alano dan keluarga, setidaknya sekarang Elina sudah menjadi istri Alano. Hal itu membuat Lavira merasa lebih tenang, dia juga tak menuntut Elina untuk mengingat dirinya. Seperti ini saja sudah membuat Lavira merasa senang. Sett ... Elina terkejut ketika tiba-tiba Alano memberikan secentong sayur brokoli di atas nasinya. Elina menoleh dan menatap Alano dengan wajah polos. Alano sendiri nampak santai, terus menyuap makanannya dengan ekspresi datar seperti biasa. Lavira tersenyum menatap itu, dia merasa senang keti
“Ini masuknya ke mana?”“Aku juga tidak tahu.”“Makanya lebih tarik, lebarkan sedikit lagi.”“Sudah tidak bisa ini, Mas.”Lavira dan Avram saling tatap tepat di depan pintu kamar Alano. Kamar yang mulai hari itu akan dihuni pula oleh Elina. Setelah tadi sepasang pengantin baru itu meminta izin untuk ke kamar lebih dulu. Lavira ingin menyusul dan mengantarkan makanan untuk Elina, sebab setahunya Elina belum makan malam.Namun, siapa sangka niat mereka malah mendapatkan perkata-perkataan demikian. Lavira tersenyum, dia berfikir hal yang diinginkannya. Kegiatan malam pertama para pengantin baru pada umumnya. Avram pun menatap senyum sang istri, dia terkekeh kecil.“Mereka akan kasih kita cucu ‘kan, Pa?” tanya Lavira cukup terdengarn polos.Avram kembali terkekeh geli. “Biarkan saja mereka, ayo kita kembali ke bawah. Kamu juga harus segera tidur, ini sudah larut.”“Iya, tapi ... Elin belum makan, Pa.”“Nanti kalau mereka sudah selesai, mungkin akan terasa lapar. Alan bisa bantu Elin ambil
Sepasang insan sekarang sedang duduk di tepian ranjang sambil saling lirik. Mereka adalah sepasang pengantin baru yang baru saja sah setelah acara ijab qabul beberapa jam lalu. Alano dan Elina, mereka duduk dengan sudut mata sama-sama melirik satu sama lain.Alano pun menghela napas pelan. Dia nampaknya cukup bingung harus melakukan apa setelah ini. Lavira dan Avram tadi sempat menggoda dirinya. Alano si kaku, dia tak pernah memiliki kekasih. Dia tak tahu cara berhubungan dengan perempuan, tetapi dia adalah pria normal dan tak sepolos Avram dulu. Alano sudah dewasa, sehingga dia tahu kegiatan apa biasa dilakukan sepasang pengantin baru.Hanya saja, masalahnya sekarang adalah mereka pribadi. Alano dan Elina terbilang menikah tanpa ada kata cinta. Mereka hanya saling merasa nyaman satu sama lain untuk saat ini. Elina pun tertarik kepada Alano karena ketampanan pria itu, dan tentunya merasa nyaman. Elina sejujurnya tak paham dengan perasaannya sendiri, setiap kali melihat dan berdekatan
Elina menatap ke samping, di mana kedua orang tuanya berada. Dia tak menyangka jika dirinya benar-benar akan segera menikah dengan Alano. Kemarin-kemarin dia masih berpikir jika Alano hanya bercanda. Sampai akhirnya satu minggu kemudian kedua orang tua Elina datang ke Indonesia dan mengatakan jika mereka senang tahu Elina akan menikah dengan Alano.Elina meminta pernikahan ini tak usah ada pesta sebelum dirinya wisuda. Sebab dia tak ingin diserbu oleh para fans Alano selama di kampus. Hal itu akhirnya dituruti oleh Alano. Akhirnya mereka hanya akan mengadakan ijab qabul saja dulu, sebelum nanti mengadakan pesta mewah setelah Elina benar-benar wisuda.“Kami keluar dulu, Sayang. Nanti akan Mama jemput kalau sudah selesai.”“Iya, Ma,” sahut Elina sambil menarik napas.Cklek ...“Astaga, sahabatkuu ini. Kau menikungkuu!”Elina terkejut ketika tiba-tiba Mei masuk ke dalam ruangan tempatnya menunggu, Mei berteriak. Hari ijab qabul yang begitu tiba-tiba. Tak hanya mengejutkan Elina, tentu sa
Elina menatap Lavira yang terlihat begitu antusias memperlihatkan berbagai macam bentuk mode gedung pernikahan. Perempuan itu masih tak paham dengan keadaan tiba-tiba ini. Baru tadi Alano mengatakan dia akan mengurus pernikaha, pria itu sudah memberitahu Lavira dan Avram. Sekarang Lavira nampak sangat semangat memperlihatkan berbagai macam dekorasi gedung pernikahan.“Kamu suka yang ini? Ini cantik juga, astaga, jadi bingung,” celoteh Lavira.“M-maaf, Tante. Ini beneran bakalan nikah?”Lavira menoleh dan menatap Elina yang nampak sangat bingung. Perempuan itu terkekeh, dia melirik Alano di samping Avram. Dua pria itu juga berada di sana, mereka duduk tak jauh dari tempat Lavira serta Elina berada. Kini mereka berempat sedang berada di sofa ruangan keluarga mansion Dakasa, setelah tadi Elina sudah sempat diajak makan malam oleh Alano.“Kamu tidak bilang lebih jelas sama, Elin, No? Dia kebingungan loh, ini,” ucap Lavira kepada Alano.“Udah, Ma. Dia mau.”“Masa iya, terus kenapa dia nany
“Kata orang-orang, dia itu psikopat. Jadi dia suka bunuh orang, aku ngeri kalau nanti menikah dengannya ... pas aku lagi tidur, malah dicekik dan mati.”Alano menatap Elina yang melanjutkan kalimatnya. Dia berdeham sambil tertawa kecil mendengar kalimat takut Elina. “Kalau memang begitu, seharusnya kau sedari tadi sudah aku cekik dan mati,” cetus Alano santai.Kalimat Alano itu membuat Elina terdiam. Perempuan itu kembali menggeliat pelan, sampai kelopak matanya bergerak pelan pula. Kening Elina berkerut ketika dia berniat membuka mata. Dengan mata sedikit memicing, akhirnya kini dua bola mata itu terbuka. Elina menatap sekitar sambil menggeliat, sampai pergerakannya terhenti ketika melihat paha seseorang tepat di samping tubuhnya.Mengikuti paha tersebut, Elina mendongak sampai akhirnya kedua bola matanya menangkap wajah tampan seseorang. Saat dua pasang bola mata itu beradu pandang, tepat ketika itu pula Elina melotot. Dia melotot karena terkejut melihat wajah tampan Alano di saat d
“Kami senang, akhirnya sekarang bisa tenang melepas Elin di Indonesia. Kemarin kami risau, masalahnya Elin keras ingin berkuliah di Indonesia, padahal kami belum bisa kembali ke sana. Akhirnya kalian bertemu lagi, kami senang. Maaf karena tidak memberitahu lebih cepat, sebab kemampuan kami yang serba terbatas.”Suara seorang perempuan dewasa di layar ponsel milik Avram terdengar. Ada sepasang suami istri di sana sedang berbicara dengan Lavira. Mereka adalah kedua orang tua Elina. Sesuai kalimat Alano tadi, mereka akan menghubungi kedua orang tua Elina. Akhirnya setelah sekian lama, mereka kembali bisa berkomunikasi. Orang tua Elina meminta maaf karena tidak bisa memberitahukan keberaaan Elina nan masih selamat dari kejadian kebakaran kala itu.“Tidak masalah, Kak. Kami mengerti, bukan salah kalian juga. Kalian juga sudah berusaha menghubungi, kami senang sekarang bisa melihat Elin lagi. Dia masih sama, tumbuh semakin cantik, dan gadis polos nan cerewet,” terang Lavira dengan nada rama
Rasanya Alano tak terlalu lama beraktivitas di dalam kamar mandi. Namun, ketika dia keluar, Alano sudah menemukan Elina terbaring di atas tepian ranjangnya. Sebelah kaki perempuan itu terjuntai dengan kedua mata tertutup. Hembusan napas perempuan polos itu terlihat tenang dan teratur, itu pertanda jika dia sedang tidur.Hanya beberapa menit ditinggal mandi. Elina tertidur di atas ranjang Alano, mungkin sudah terlalu lelah. Biasanya perempuan itu akan tidur siang jika pulang dari kampus. Hari ini kegiatannya terasa padat, pergi ke mansion Alano dengan segera alasan untuk melarikan diri. Apalagi setelah semua rencana dan alasannya gagal, perempuan itu bercerita cukup lama dengan Lavira. Sampai akhirnya masuk ke dalam kamar Alano dan diajak jahil oleh si pemilik kamar.“Dia benar-benar masih sama, suka tidur sembarangan. Kalau bergerak sedikit, dia bisa jatuh.” Alano menatap tubuh Elina yang memang begitu mepet di tepian ranjang.Perlahan pria itu menarik pinggang Elina, kemudian mengang
Elina duduk kaku di tepian ranjang kamar Alano. Setelah tadi sempat berbincang sebentar dengan Lavira. Akhirnya kini Elina berada di kamar Alano. Pria itu katanya sedang menyelesaikan pekerjaan di ruangan kerjanya di mansion tersebut. Lavira malah menyuruh Elina menunggu Alano di dalam kamar pria itu.“Aduh, aku harus apa sekarang? Masa aku harus berbaring di sini? Kalau nanti Pak Alan marah bagaimana?”Meski Lavira yang menyuruh Elina untuk menunggu di dalam kamar tersebut. Tetap saja Elina merasa tak enak jika harus tidur di kamar seorang pria. Apalagi pria itu adalah dosennya sendiri. Pergerakan Elina bahkan cukup terbatas. Sejujurnya dia penasaran ingin melihat-lihat isi kamar Alano, tetapi dia takut jika nanti Alano keburu kembali ke dalam kamar.“Emm, itu apa?” Elina melihat sebuah lemari dan terfokus kepada sebuah kotak kecil tanpa penutup di dalam lemari tersebut.Elina melangkah mendekat ke arah lemari dengan wajah penasarannya. Dia memicingkan mata sambil meraih sebuah kotak