Emily memejamkan matanya. Ini seperti bukan dirinya, tetapi entah kenapa pikiran dan tubuh Emily tidak sama. Pikirannya menolak untuk melakukan ini karena dia masih marah dengan Axel tetapi tubuhnya menginginkan hal lebih dan ingin terus melakukannya. Apalagi saat merasakan sentuhan tangan Axel di lengan bagian atas, itu sungguh memabukkan. Emily juga sebenarnya bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya. Namun, dia tidak bisa berpikir. Saat dia mencoba berpikir kepalanya malah terasa berdenyut. Hingga akhirnya Emily membuka matanya dan menatap Axel dengan sendu. "Pleaseeee ...." lirih Emily sambil menyantuh dada Axel. "Untuk apa?" tanya Axel pura-pura tidak paham dengan maksud Emily. Padahal Axel tahu betul apa yang diinginkan oleh Emily tetapi dia sengaja melakukan hal itu untuk menggoda Emily. Dia ingin tahu apa Emily akan mengatakan kepadanya apa yang dia mau atau tidak. "A-aku ...." Emily menundukkan kepalanya. Dia ragu untuk mengatakan apa yang dia inginkan tetapi tubuhnya
Chrisa mengeraskan rahangnya kala melihat Maxime masih menertawakannya. Tadi saat Chrisa memejamkan matanya, takut Maxime akan menciumnya, Chrisa malah di buat kesal dengan Maxime yang tiba-tiba mengatakan hal yang membuat Chrisa malu. Bagaimana Chrisa tidak malu, Maxime dengan terang-terangan mengatakan jika dia tidak akan mencium Chrisa. Lagi pula siapa yang ingin Maxime cium coba! Begitulah isi hati Chrisa. Chrisa semakin kesal dengan Maxime yang tidak berhenti tertawa. Ingin rasanya Chrisa memukul Maxime habis-habisan saat ini juga. Namun, itu tidak mungkin Chrisa lakukan, mengingat mereka masih berada di dalam pesawat. Berani-beraninya tadi Maxime menggoda dirinya tadi! Membuat jantungnya berdetak tidak karuan."Ngarep banget aku cium ya?" ucap Maxime membuat Chrisa yang sedang memalingkan wajahnya ke luar pesawat langsung menatap Maxime dengan tajam. "Siapa juga yang mau di cium sama cowok kayak kamu! Yang sukanya batang sama batang!" balas Chrisa dengan wajah yang sudah merah
Maxime keluar dari dalam kamar mandi setelah beberapa saat. Dia menatap kursi di mana ada Chrisa yang tengah duduk sambil menatap keluar jendela dengan posisi punggung yang dia sandarkan di sandaran kursi. Maxime benar-benar menyesal sudah mencium Chrisa tadi, seharusnya tadi dia bisa menahan amarahnya. Jika dia bisa menahan amarahnya, mungkin saat ini dia tidak akan canggung untuk kembali duduk di tempatnya semula. Sementara Chrisa, saat ini dia sedang diam sambil menatap keluar pesawat melaui jendela yang ada di sebelahnya. Dia sedang meremung, mencoba melupakan kejadian beberapa waktu lalu. Namun, seberapa keras Chrisa melupakan kejadian itu, kejadian itu semakin menari-nari di benaknya. Bagaimana Chrisa bisa melupakan hal itu, sementara itu adalah ciuman pertamanya dan di ciuman pertamanya itu juga Chrisa mendapat ciuman yang tidak mengenakan. Tidak sama dengan yang pernah orang-orang bilang, jika ciuman pertama sangat mengesankan. Sebenarnya ada benarnya juga jika ciuman perta
Chelsea menutup berkas yang baru saja dia kerjakan. Dia mengembuskan napas panjang saat merasa tubuhnya sangat lelah. Semenjak hamil dia jadi mudah lelah dan hal itu membuat Chelsea kesal sendiri. Jika bukan karena dia punya rencana dengan kandungannya ini, mungkin dia sudah menggugurkan kandungannya saja sesuai dengan apa yang diinginkan ayah biologis dari anaknya itu. Chelsea menatap ke sekitar. Dia merasa ada yang berbeda dengan kantor di mana dia bekerja. Suasana kantor hari ini terlihat sangat santai, buktinya sudah ada beberapa karyawan yang sedang makan padahal bukan waktunya makan. Merasa ada yang aneh, Chelsea beralih menatap meja di mana Lusi duduk. Dilihatnya Lusi sedang memoles bedak pada wajahnya. Dia membawa kursinya ke meja Lusi lalu mencolek temannya itu. "Eh, ayam-ayam!" Lusi terkejut dengan apa yang dilakukan Chelsea. Sementara Chelsea malah tertawa melihat reaksi Lusi. "Kamu apa-apaan sih, Chelsea!" gerutu Lusi merasa aktivitasnya terganggu. Chelsea menghentikan
Bab 77. Kegundahan Emily—oOo—Emily saat ini berada di depan pintu kamar Chrisa. Sesekali dia melihat ke sekeliling, memastikan jika tidak ada orang lain yang melihatnya. Apalagi jika Axel melihat apa yang dia lakukan di sana, bisa-bisa Emily akan di tanya berbagai macam pertanyaan. Dan lebih parahnya lagi dia akan dikurung di dalam kamar hotel berhari-hari. Emily bergidik ngeri membayangkan hal itu. Melihat kondisi di sekitar kamar Chrisa cukup aman, dengan gerakan cepat Emily menekan bel pintu kamar Chrisa. Emily mengetuk-ngetukan sepatunya pada lantai yang Emily pijak. Cukup lama Emily menunggu Chrisa membuka pintu kamarnya. Namun, sampai beberapa saat Chrisa tidak kunjung membukakan pintu kamarnya. Dengan segera Emily menekan bel pintu kamar Chrisa lagi. Hatinya sudah gelisah, takut jika tiba-tiba Axel memergoki dirinya atau salah satu pengawal Axel yang melihat dia ada di sana. Di saat dia tengah khawatir jika dirinya terpergok oleh Axel, suara pintu kamar yang terbuka membuat
"Nona harus berpikir positif. Dari yang saya lihat, Tuan Muda sudah banyak berubah. Saya yakin jika Tuan Muda tidak akan melakukan itu."Emily mengangguk. "Iya semoga saja," ucap Emily sambil memegangi perutnya. "Kalau begitu aku kembali ke kamar dulu ya, Kak. Takutnya Om Axel sudah kembali."Chrisa mengangguk sambil tersenyum tipis. Dengan segera Emily keluar dari dalam kamar Chrisa. Dia kembali ke kamarnya dan Axel. Dia tidak ingin jika dirinya kembali dan Axel sudah berada di kamarnya. Jika itu terjadi bisa-bisa Axel akan bertanya macak-macam. Setelah Emily keluar dari dalam kamarnya, Chrisa menatap ke pembatas dinding. "Anda bisa keluar, Tuan Muda," ucap Chrisa yang diiringi dengan keluarnya dua orang yang sedari tadi berada di sana. Chrisa menundukkan kepalanya kepada salah satu orang yang baru saja keluar. "Terima kasih, karena sudah berkata seperti itu pada Emily. Jika sampai Emily pergi gara-gara kamu, saya tidak akan segan-segan menghukum kamu.""Saya mengerti, Tuan Muda,"
"Emily, kamu kenapa, Sayang? Ayo buka pintunya," ucap Axel panik sambil terus menggedor pintu kamar mandi dengan keras. Axel sangat panik, pasalnya sudah hampir tiga puluh menit Emily di dalam kamar mandi tetapi dia tidak kunjung keluar-keluar. Dan yang semakin membuat Axel panik adalah suara Emily terdengar sedang mual. "Emily, buka. Kamu nggak apa-apa 'kan. Emily!"Axel menyugar rambutnya kasar dengan salah satu tangannya, sementara tangan yang lain berada di pinggang. Dia berjalan mondar mandir di depan kamar mandi sambil berkacak pinggang. "Telepon Maxime, mungkin dia bisa kasih solusi biar Emily mau keluar."Axel langsung berjalan menuju nakas di mana dia meletakkan ponselnya. Dia menelan nomor Maxime, setelahnya dia menelan tombol telepon. Tidak membutuhkan waktu lama, panggilannya di angkat oleh Maxime. "Hal—" Belum sempat Maxime mengucapkan salam, Axel sudah memotong kata-katanya. "Cepat ke kamar saya!"["Ada apa, Axel?"] tanya Maxime saat mendengar suara Axel yang terdengar
Sudah satu jam lebih Maxime mengemudikan mobilnya, menemani Axel mencari bakso. Namun, sampai besok pun sepertinya mereka tidak akan menemukannya. Axel mendesah frustasi. "Kita harus bagaimana ini, Max? Jika kita kembali tampa membawa apa yang Emily inginkan, bisa-bisa dia ngamuk," ucap Axel sambil terus melihat ke sekeliling, kali saja ada penjual bakso di sana. "Tapi mau sampai besok saya rasa kita tidak bisa menemukan penjual bakso, Tuan Muda. Atau kita mau tanya saja ke pihak hotel kali saja mereka menyediakan menu bakso?"Axel langsung menoleh ke arah Maxime. "Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Kalau kamu bilang daritadi, kita 'kan tidak perlu repot-repot cari bakso kelilih Swiss.""Ya, tadi 'kan Tuan Muda yang langsung ngajak pergi saja," bela Maxime. "Sudah berani menjawab kamu!" Axel menatap tajam ke arah asisten pribadinya itu. Maxime mendesah pelan. "Mulai deh," gumam Maxime di dalam hati. "Kenapa diam saja?!""Tidak apa-apa, Tuan Muda.""Kalau begitu, cepat kita kembal
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la