Sudah satu jam lebih Maxime mengemudikan mobilnya, menemani Axel mencari bakso. Namun, sampai besok pun sepertinya mereka tidak akan menemukannya. Axel mendesah frustasi. "Kita harus bagaimana ini, Max? Jika kita kembali tampa membawa apa yang Emily inginkan, bisa-bisa dia ngamuk," ucap Axel sambil terus melihat ke sekeliling, kali saja ada penjual bakso di sana. "Tapi mau sampai besok saya rasa kita tidak bisa menemukan penjual bakso, Tuan Muda. Atau kita mau tanya saja ke pihak hotel kali saja mereka menyediakan menu bakso?"Axel langsung menoleh ke arah Maxime. "Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Kalau kamu bilang daritadi, kita 'kan tidak perlu repot-repot cari bakso kelilih Swiss.""Ya, tadi 'kan Tuan Muda yang langsung ngajak pergi saja," bela Maxime. "Sudah berani menjawab kamu!" Axel menatap tajam ke arah asisten pribadinya itu. Maxime mendesah pelan. "Mulai deh," gumam Maxime di dalam hati. "Kenapa diam saja?!""Tidak apa-apa, Tuan Muda.""Kalau begitu, cepat kita kembal
"Pikir aja sendiri."Maxime semakin bingung dan mengerutkan dahinya. Setelahnya dia tersenyum kala mengingat sesuatu. Hingga akhirnya dia mengejar Chrisa dan menggenggam tangan Chrisa. "Apa-apaan kamu sih!" Chrisa mencoba menyentakkan kembali genggaman tangan Maxime pada tangannya. Namun, kali ini dia tidak berhasil karena Maxime menggenggam tangan Chrisa dengan sangat erat. "Lepasin!" sentak Chrisa sambil menatap Maxime dengan tajam. "Kamu masih marah?" tanya Maxime. "Sudah tahu nanya!" ucap Chrisa kesal. Maxime tersenyum tipis sambil menatap wajah Chrisa yang sudah merah padam akibat rasa kesal dan malu yang bercampur menjadi satu. Namun, tatapan Maxime berhenti pada bibir Chrisa yang terlihat sangat merah padahal Chrisa tidak memakai pewarna bibir. Sungguh bibir Chrisa sangat menggoda. Jika anak muda jaman sekarang bilang kalau bibirnya itu cipokable. Dan sepertinya Maxime sudah kecanduan dengan bibir Chrisa. "Apa liat-liat!" Bentak Chrisa saat tanpa sengaja memergoki Maxime me
Pagi harinya. Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka mata dan melihat Axel yang masih memejamkan matanya. Dapat Emily ingat jika semalam Axel dengan sabar menghadapi dirinya. Padahal menurut Emily semalam sikap sungguh sangat menyebalkan. Emily juga tidak tahu kenapa dengan sikapnya semalam, tetapi Emily tidak mau ambil pusing, mungkin memang semalam dia yang hanya ingin makan bakso saja. Emily terus menatap Axel, senyum tipis terbit di bibirnya. "Nggak nyangka ternyata Om Axel bisa sabar banget," ucap Emily dengan suara yang sangat pelan. Setelahnya dia mengangkat lengan Axel yang melingkar di pinggangnya dengan sangat pelan. Namun, bukannya terangkat, tangan Axel malah menarik pinggang Emily ke dalam pelukannya. "Mau ke mana, hem?" tanya Axel dengan mata yang masih terpejam. Emily menelan salivanya dengan cepat. "Aku haus, Om. Mau ambil minum."Axel membuka matanya dan menatap Emily. "Diam di sini, biar aku yang ambilin." Emi
"Pemandangannya indah banget ya, Om?" ucap Emily sembari terus menatap jalanan yang dilalui mobil yang dikemudikan oleh Axel.Saat mereka berdua sedang menyusuri jalanan menuju kawasan kota tua Bern. Tidak henti-hentinya dia memuji jalanan atau bangunan, karena memang jalanan atau bangunan di kota Bern sangat indah. Ya. Pada akhirnya Axel tidak tahan melihat Emily yang cemberut terus-menerus dan memutuskan untuk menuruti keinginan Emily. Mereka ke sana untuk bulan madu tidak enak rasanya jika mereka malah marah-marahan. Axel dan Emily berkeliling hanya berdua, sementara Maxime dan Chrisa saat ini masih berada di hotel. Axel tidak ingin diganggu oleh asistennya dan asisten Emily karena itu dia memerintahkan Maxime dan Chrisa untuk tetap di hotel sembari mempersiapkan kejutan untuk Emily nanti jika mereka sudah kembali dari kota tua. Axel ingin menghabiskan waktu satu minggu di sana hanya bersama dengan Emily, tidak ingin diganggu siapapun. Tidak peduli jika nanti ada masalah di peru
"Kalau kamu macam-macam nanti aku nggak segan-segan lempar kamu pakai ini!" ancam Chrisa. Maxime tersenyum miring. "Lempar aja!" tantang Maxime. Dia yakin jika Chrisa tidak akan melempar vas itu pada dirinya. Namun, tanpa Maxime duga. Tiba-tiba Chrisa mengangkat vas itu tinggi-tinggi. Setelahnya Chrisa benar-benar melempar vas itu ke arah Maxime. Setelah itu, tanpa disangka-sangka Chrisa melempar vas bunga itu dan .... PRAANNGG!! Maxime sontak memejamkan matanya. Merasa tidak ada yang mengenai tubuhnya Maxime membuka matanya dan melihat ke sampingnya. Di mana begitu banyak serpihan kaca dari vas bunga yang baru saja di lempar oleh Chrisa. Maxime menelan salivanya dengan susah. Dia kemudian beralih ke arah Chrisa yang menatapnya tajam. "Mulai hari ini aku tidak akan main-main lagi. Kalau kamu melakukan hal yang tidak aku sukai, aku tidak akan segan-segan melakukan yang tidak kamu bayangan," ucap Chrisa serius. Maxime kembali menelan salivanya. Sepertinya untuk sekarang tidak baik
Mansion Del Piero, di sebuah kamar. Terlihat seorang wanita tengah duduk di pinggiran tempat tidur. Wanita itu duduk sembari menatap sebuah foto di tangannya. Tatapan wanita itu terlihat sayu saat melihat foto itu. "Kenapa kamu pergi meninggalkan aku? Aku sangat mencintai kamu, kenapa kamu lebih memilih dengan wanita murahan itu? Apa kurangnya aku, hah? Aku lebih segalanya dari pada wanita murahan itu, aku lebih kaya dan aku juga lebih cantik." "Kamu di mana? Kenapa selama ini kamu tidak menghubungiku? Apa kamu tahu, anak kita sudah besar. Aku yakin jika kamu anak kita, kamu akan sangat bangga. Dia sangat tampan seperti kamu. Hanya saja dia suka bermain perempuan.""Aku mohon, kembalilah. Aku sangat merindukan kamu. Aku berjanji jika kamu kembali padaku, aku akan merubah sikapku. Aku tidak akan semena-mena lagi, aku mohon kembalilah." Wanita itu menangis tersedu-sedu, menangisi seoranh laki-laki yang berada di dalam foto yang dia pegang. "Vera!"Suara panggilan seorang membuat wani
"Ayo buka." Perintah Axel. Emily terlihat ragu. Namun, walaupun dia ragu, dia tetap membuka pintu rumah itu. Dan bersamaan dengan pintu rumah itu terbuka, Emily melebarkan kedua bola matanya saat melihat hal yang tidak pernah dia bayangkan. "SURPRISEEEE!"Mata Emily berkaca-kaca kala melihat kedua sahabatnya ada di sana, bersama Chrisa dan juga Maxime. Ya! Winda dan Rara ada di sana. Emily menoleh ke arah Axel dan menatap Axel dengan tatapan yang terlihat sangat terharu. "Bagaimana, apa kamu suka?" tanya Axel sambil menatap Emily. Emily diam tidak berkata apa-apa. Dia malah menangis, membuat Axel panik. "Kamu kenapa? Apa kamu tidak suka kejutan dariku?" Emily menggeleng sambil menghapus air matanya. Dia kemudian langsung berhambur kepelukan Axel, memeluk Axel dengan sangat erat. "Terima kasih, Om. Terima kasih banyak," ucap Emily disela pelukannya. Axel tersenyum dan membalas pelukan Emily. "Kamu suka?" tanya Axel memastikan. Emily mengangguk sambil mengeratkan pelukannya. Begit
"Memangnya kamu mau menyatakan cinta pada siapa, Max?"Tubuh Maxime menegang kala mendengar pertanyaan dari seseorang di belakangnya. Jantungnya juga mendadak berdetak dua kali lipat dari biasanya. Dengan perlahan Maxime menelan salivanya yang mendadak terasa pahitpahit sambil berbalik menghadap orang yang ada di belakangnya. Dia menatap orang di belakangnya dengan tatapan dingin. "Kamu nguping ya?" sergah Maxime. "Ish, siapa juga yang nguping. Aku cuma kebetulan baru balik dari kamar Nona Emily dan nggak sengaja denger dikit obrolan kamu dengan Tuan Muda.""Cih." Maxime berdecih pelam sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi kamu mau nyatain cinta pada siapa? Kok selama ini aku nggak tahu sih kalau ada cewek yang kamu suka.""Itu urusanku, kamu nggak perlu ikut campur, Chrisa."Chrisa mencebikkan bibirnya kesal. "Dasar, orang tanya aja nggak boleh."Maxime hanya diam. "Sudah lebih baik sekarang kita kembali ke hotel. Kasian Winda sama Rara, takutnya mereka bingung di sana,"
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la