Bab 131. Tidak Percaya—oOo—Emily dan Devan masuk ke dalam pesawat, mereka duduk di kursi mereka. "Putra Mama takut nggak?" tanya Emily pada Devan karena ini pertama kalinya Devan naik pesawat terbang. "Enggak dong, Devan 'kan pemberani," jawab Devan dengan percaya dirinya. Emily tersenyum, lalu mengusap lembut kepala Devan, memeluk bahu Devan dan menyandarkannya pada dirinya. "Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi dengan Opa. Aku tidak ingin Opa kenapa-napa," gumam Emily di dalam hati. Beberapa jam kemudian, pesawat yang membawa Emily sudah sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Emily dan Devan turun dari pesawat lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi Chrisa. "Hallo, Nona?""Hallo, Kak. Aku dan Devan sudah berada di Bandara Soekarno-Hatta. Opa berada di rumah sakit mana?" "Nona tunggu saja di sana, nanti akan ada orang suruhan saya yang menjemput Nona dan Tuan Muda Kecil.""Baik.""Nona dan Tuan Muda Kecil memakai baju apa, supaya orang suruhan saya mengenali Nona.""Devan memak
Bab 132. Terkejut—oOo—"Kak Chrisa." "Nona Emily." Emily dan Chrisa berucap secara bersamaan. Mereka saling tatap untuk beberapa saat dan hingga akhirnya Chrisa menatap lekat manik mata Emily dan mengenali pemilik mata indah itu. Segera saja Chrisa memeluk Emily dengan erat. Perutnya yang besar tidak membuatnya kesulitan memeluk Emily. "Ini beneran Nona Emily 'kan?" tanya Chrisa saat melepas pelukannya. Emily tersenyum di balik niqabnya, lalu mengangguk. Matanya berkaca-kaca, merasakan terharu karena setelah lima tahun bisa bertemu dengan Chrisa kembali. "Ya Ampun, Non. Aku nggak nyangka Nona jadi seperti ini, mungkin kalau aku bertemu Nona di luar sana aku tidak akan mengenali jika kamu itu Nona Emily," ucap Chrisa dengan wajah yang terlihat sangat bahagia. "Itu yang aku harapkan, tidak ada yang mengenali aku saat melihatku," ujar Emily yang membuat wajah Chrisa seketika berubah. Namun, di detik berikutnya Chrisa kembali tersenyum, apalagi melihat anak kecil yang bersembunyi d
Bab 133. Sandiwara—oOo—"Opa tidak apa-apa 'kan, Ma?" tanya Devan saat Tuan Del Piero tidak kunjung membuka matanya. "Opa pasti tidak apa-apa, Sayang. Sebentar lagi pasti Opa sudah bangun," ucap Emily menenangkan Devan, walaupun sebenarnya hatinya juga cemas. "Jika sampai Opa tidak sadar-sadar, aku tidak akan membiarkan suster itu!" ucap Axel dengan rahang mengeras dan kedua tangan terkepal. Emily menutup kedua telinga Devan. Kemudian dia menoleh ke arah Axel dan menatap Axel tajam. "Jaga bicara Om, apa Om tidak melihat ada Devan di sini?" Emily berucap pelan tetapi penuh penekanan. Axel meringis sambil menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal. Dia kemudian menggendong Devan dengan satu tangannya dan menatap putranya itu dengan senyum di bibirnya. "Lupakan apa yang Papa katakan tadi ya, Boy. Papa tadi cuma bercanda."Devan menatap Axel dengan seksama. Dia mengedipkan kedua matanya beberapa kali lalu menelengkan kepalanya. "Tapi, Papa tadi keliatannya serius?"Axel meri
Bab 134. Nggak Jelas! —oOo—"Itu bukan hakku untuk mengatakan siapa Alfa sebenarnya, Opa," ucap Axel yang membuat Tuan Dell Piero mengembuskan napas panjang. "Apa yang sedang kalian bicarakan?" tanya Emily yang saat ini tengah berada di depan pintu kamar mandi. Emily berjalan mendekat ke arah Tuan Dell Piero dan Axel bersama Devan. Dia menaruh Devan duduk di pinggiran brankar. Dia menatap Axel dan Tuan Del Piero secara bergantian. "Memangnya siapa Alfa sebenarnya?"Axel menatap Tuan Dell Piero memberi kode pada opa-nya untuk menjawab pertanyaan Emily. "Seperti yang kamu tahu, Alfa itu 'kan anak Vera. Jadi dia ya bersikap seperti Vera," jawab Tuan Dell Piero berharap Emily mempercayainya. Emily manatap Tuan Dell Piero dengan mengerutkan dahinya. "Memangnya apa yang sudah dilakukan Alfa, Opa?" tanyanya. "Ya, seperti biasa, dia suka sekali menghambur-hamburkan uang untuk barang tidak penting," jawab Tuan Dell Piero lagi. Emily menganggukan kepalanya. Tidak lama pintu ruangan terbuka
Bab 135. Bolehkah? —oOo—"Devan di mana, Om?" tanya Emily saat sampai di mansion tetapi dia tidak menemukan keberadaan Devan di sama. "Aku juga tidak tahu," jawab Axel. Emily berbalik dan menatap Axel. "Bagaimana Om tidak tahu, tadi 'kan dia pergi bersama Kak Maxime dan Kak Chrisa. Seharusnya Om tahu di mana mereka!""Aku benar-benar tidak tahu, Emily. Maxime dari tadi tidak bisa dihubungi. Sementara untuk Chrisa kamu tahu sendiri jika ponselnya tertinggal di ruangan Opa tadi."Emily menundukkan wajahnya sedih. "Sudahlah Emily, aku yakin Devan baik-baik saja. Maxime dan Chrisa tidak mungkin membahayakan Devan.""Tapi—""Sudah, jangan dipikirkan lagi. Lebih baik sekarang kamu mandi. Aku yakin Opa pasti sedang menunggu kamu di kamarnya.""Tapi aku khawatir dengan Devan, Om.""Itu urusan aku nanti, aku nanti akan mencoba menghubungi Maxime lagi."Emily diam sambil menatap lantai kamarnya yang sudah lima tahun tidak pernah dia tempati. "Apa perlu aku menemani kamu mandi?"Mendengar ucap
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 144. Terima Kasih—oOo—Emily merasa seperti sedang berada di dalam mimpi saat melihat Raihan berdiri di tengah-tengah pesta yang diadakan oleh Axel. Pria itu tampak begitu tampan dengan jas yang dipakainya, menunjukkan postur tubuh yang atletis.Selama lima tahun ini, Raihan telah menjadi teman yang setia bagi Emily, selalu ada di sisinya baik dalam suka maupun duka. Walaupun sering kali Emily menolak perasaan Raihan karena Emily hanya menganggap Raihan sebagai seorang sahabat, tetapi pria itu tidak marah dan pergi meninggalkannya. Emily teringat saat mereka berdua merawat Devan, anaknya bersama Axel. Ketika dia sedih dan hampir putus asa karena menduga Axel berselingkuh dengan Chelsea. Raihan selalu ada untuk menghiburnya dan mendukungnya, membuatnya merasa tidak sendirian. "Raihan ...," gumam Emily pelan, tak mampu menyembunyikan perasaan terharu dan takjubnya. Emily menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Perlahan, Emily turun dari panggung dan berjalan menuju Rai
Bab 143. Emily Valerie, Istri Saya. —oOo—Emily menatap gedung megah di depannya, tempat acara pesta yang akan mereka datangi bersama Axel. Hatinya tiba-tiba tidak karuan, dia merasa akan ada sesuatu yang terjadi di dalam pesta tersebut. Namun, dia juga tidak tahu apa itu. "Ayo," ajak Axel sambil tersenyum. Dia mengulurkan tangannya untuk digandeng oleh Emily. Emily menghela napas. Dia kemudian melingkarkan tangannya di lengan kiri Axel, sementara tangan kanan Axel, dia gunakan untuk menggendong DevanSedangkan Devan yang berada di gendongan Axel terlihat begitu bahagia bisa diajak Axel ke acara ini.Begitu memasuki gedung, seketika semua mata tertuju pada Axel yang tampil gagah bersama Emily dan Devan. Para tamu yang hadir, terutama para wanita, tidak bisa menahan rasa penasaran mereka. Mereka saling bertanya-tanya di antara bisikan, "Siapa gerangan wanita bercadar yang bersama Axel? Dan siapa anak kecil yang digendongnya?" tanya salah satu tamu undangan. "Entahlah, aku juga baru p
Bab 142. Kembali Ke Mansion—oOo—Sudah dua hari Emily dan Axel berada di villa. Mereka semua menikmati kebersamaan mereka. Seperti saat ini, Emily dan Chrisa tengah menatap Devan yang tengah membakar ikan yang mereka pancing bersama Axel dan Maxime. Kebetulan kesehatan Tuan Del Piero sudah lebih baik, jadi mereka bisa di villa hingga beberapa hari. Senyum terpancar di bibir Emily kala melihat Devan yang terlihat bahagia bersama Axel. Devan terlihat sangat menikmati kebersamaannya dengan Papanya. "Mama!" Devan melambaikan tangannya pada Emily. Emily tersenyum lalu membalas lambaian tangan putranya. "Devan terlihat sangat bahagia ya?" ucap Chrisa yang terus menatap ke arah Devan. "Iya.""Setelah ini rencana kamu apa? Apa kamu dan Devan akan kembali ke Singapura?" tanya Chrisa menoleh dan menatap Emily. Emily mengembuskan napas berat. "Aku juga tidak tahu, Kak."Chrisa yang melihat Emily mengembuskan napas mengusap baju Emily. "Aku tahu lima tahun lalu kamu kecewa dengan Tuan Muda.
Bab 141. Bikin Anak—oOo—"Bagaimana?" tanya Axel pada bodyguard yang membukakan pintu mobil untuknya. "Semuanya aman, Tuan Muda.""Bagus." Axel kemudian memberi kode pada bodyguard itu untuk pergi dari sana. Sementara Emily yang melihat Axel dengan bodyguard tadi menautkan alisnya dan betanya di dalam hati. "Apa yang Om Axel bicarakan pada bodyguard tadi? Kenapa bisik-bisik," gumam Emily pelan. Axel berbalik, menatap Emily. Dengan segera Axel bejalan mendekat ke arah istri kecilnya. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan Annisa. "Tadi Om bicara apa sama dia?" Emily memberanikan diri untuk bertanya. Ya, lebih baik dia bertanya bukan? Daripada dia penasaran. "Bukan hal penting, sebaiknya sekarang kita ke sana.""Jika itu bukan hal penting, kenapa Mas bicara dengan dia. Bukannya bisa bicara sama Kak Maxime saja, ya?" Emily tidak mau kalah. Axel mengembuskan napa panjang. "Karena itu—""MAMA!!" Axel bernapas lega saat mendengar teriakan Devan. Karena teriakan itu, dia tidak per
Bab 140. Menyusul Devan —oOo— "Jadi gimana?" tanya Axel sambil menatap istri kecilnya. "Om denger sendiri tadi," jawab Emily membuat Axel memicingkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?" Emily menutup mulutnya, menyadari akan kesalahannya tadi. Dia kemudian langsung mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke atas dan membentuk dua jarinya itu menyerupai huruf 'v'. "Maaf, Mas." Axel mendengkus. Ingin marah, tetapi dia tidak tega dan pada akhirnya membuat Axel memalingkan wajahnya ke arah lain. "Jadi sekarang kita mau makan di mana?" tanya Axel. "Terserah Mas aja, aku udah nggak berselera," ucap Emily sedih, pasalnya dia tidak bisa makan siang bersama Devan. Bukan karena Devan tidak ingin makan siang bersama dia, tetapi Emily yang tidak tega jika harus membuat Devan menunggu sekitar dua jam agar mereka bisa makan bersama, mengingat saat ini Devan berada di Villa yang berada di Puncak Bogor. Alhasil Emily menyuruh Devan untuk makan siang bersama Chrissa dan Maxime saja. Axel m
Bab 139. Kegilaan Axel —oOo— Emily menatap Axel yang kini tengah mengemudikan mobilnya. Dia menatap Axel tidak percaya, tidak percaya dengan apa yang telah Axel lakukan. Dia mengingat kejadian beberapa saat yang lalu, di mana dia tengah menatap Marcel yang berada di taman. "Kenapa Om lakukan itu sama Kak Marcel?" tanya Emily saat sudah duduk di dalam mobil. Axel berbalik, memposisikan dirinya untuk berhadapan dengan Emily. Detik selanjutnya dia menatap manik mata Emily dengan lekat. "Karena ...." "Karena apa?" "Karena dia sudah berani ingin menyentuh sesuatu yang sudah menjadi milikku." Emily mengerutkan dahinya, dia merasa tidak paham dengan apa yang baru saja Axel katakan. Maksudnya apa coba? Menyentuh sesuatu yang sudah menjadi miliknya? "Maksud, Om, apa?" Axel menyentuh pipi Emily yang terhalang niqab dan mengusap lembut pipi istri kecilnya. "Dia sudah berani menyentuh kamu satu hari sebelum kamu ke mansion." Emily melebarkan kedua matanya, dia tidak menyangka jika Axel
Ban 138. Rumah Sakit Jiwa—oOo—Emily melihat gedung di mana Axel menghentikan mobilnya. Dia kemudian beralih menatap Axel. "Kenapa kita ke sini, Om?" tanya Emily bingung. Axel balas menatap Emily. "Nanti kamu juga akan tahu." Axel kemudian keluar dari dalam mobil disusul dengan Emily. Axel berjalan mendekat ke arah Emily. "Ayo," ajak Axel sambil menggandeng tangan istri kecilnya. Emily berjalan mengikuti langkah kaki Axel. Sesekali pandangannya menatap ke arah sekeliling dan melihat begitu banyak orang-orang yang berada di sana dengan kondisi tidak normal. Di dalam hati Emily, dia bertanya-tanya kenapa Axel membawanya ke rumah sakit jiwa ini. Padahal Emily meminta Axel untuk mempertemukannya dengan Alice dan Marcel, tetapi kenapa Axel malah membawa dia ke sini? Siapa yang sakit jiwa? Langkah kaki Emily terhenti saat tiba-tiba seorang wanita dengan pakaian serba putih mendekat ke arahnya dan Axel. "Selamat siang, Tuan Axel?" sapa wanita itu saat sudah berada di hadapan Axel. Axel
Bab 137. Menagih Janji —oOo— Emily mengerjapkan matanya saat merasa tenggorokannya kering. Dengan perlahan Emily membuka matanya dan merasa terkejut saat sudah di suguhi pemandangan yang membuat wajahnya merah. "Selamat pagi," sapa Axel dengan senyum di bibirnya. Emily dengan segera memalingkan wajahnya ke arah lain saat melihat Axel yang tengah duduk di tepi tempat tidur dengan penampilan yang membuat siapa saja wanita yang melihatnya akan tergoda dan malu. Bagaimana tidak? Saat ini penampilan Axel sangat menggoda, dengan rambut dan tubuh bagian atas yang masih basah tengah duduk di samping Emily dengan senyum menawannya. Apalagi tetesan air yang jatuh dari rambut ke roti sobek milik Axel, membuat kesan seksi semakin keluar dari tubuh Axel. "Kak Maxime sudah ngasih kabar belum, Om?" tanya Emily tanpa menatap Axel. "Dalam islam, tidak baik jika bicara dengan suami tanpa menatap suami." Emily mendengkus kesal. Dia bertanya-tanya kenapa Axel sekarang jadi paham tentang hal seperti
Bab 136. Penyatuan Setelah Lima Tahun —oOo— Emily memejamkan matanya, merasakan setiap lumatan yang Axel lakukan. Sesekali dia mendesah saat lidah Axel berusaha masuk ke dalam mulutnya, menjelajah setiap rongga mulutnya. Hingga tanpa sadar saat ini dirinya dan Axel sudah berada di atas tempat tidur dengan posisi di mana Emily di bawah tubuh Axel. Axel melepas pagutannya saat merasakan Emily mulai kehabisan napas. Dia kemudian menatap manik mata Emily yang mulai berkabut. Dia mengusap lembut pipi Emily dan bibir Emily yang sudah berubah merah akibat ulahnya. "Bolehkan?" tanya Axel dengan suara berat saat sudah tidak bisa menahan rasa yang sudah lama dia pendam. Mendengar satu kata yang keluar dari bibir Axel, Emily perlahan membuka matanya. Dapat Emily lihat ada kabut gairah di mata Axel, kabut yang selama lima tahun ini tidak Emily lihat. Emily bingung harus menjawab bagaimana. Melihat tidak ada jawaban dari Emily membuat Axel berpikir jika Emily menyetujui apa yang akan dia la