Bee membeku di tempatnya ketika mendengar ucapan Tata. Seluruh aliran dalam tubuhnya seolah berhenti mengalir. Beberapa partikel hatinya seketika berdenyut sakit."H-ha-m-il?" ulang Bee sekali lagi. Tata dan Chaca saling melihat satu sama lain lalu mengangguk kompak. Mereka aksuhan melihat kehidupan Bee yang selalu menjadi korban keegoisan orang-orang yang ada di dekatnya. "Iya, Bee. Kau hamil," jawab Tata tegas. Bee langsung luruh. Air mata bergulir dan menggelinding di pipinya hingga berjatuhan dengan deras. "Ak-ku h-ha-m-il?" Tangannya terulur mengusap perut yang masih rata tersebut. Hal yang paling dia takutkan dalam hidupnya. Kini benar-benar telah terjadi begitu saja. "Bee, kau yang sabar ya. Bagaimanapun dia adalah anakmu," ucap Chaca mengusap bahu sang sahabat. Dia turut merasakan apa yang saat ini melanda kehidupan Bee. "Cha." Air mata leleh ketika menatap sahabatnya itu. "Bagaimana nasib anakku nanti? Tuan Suami pasti tidak menginginkan anak ini. Apa yang harus aku la
"Brengsek."Jika saja bukan ayahnya sudah pasti Bastian akan memukul wajah lelaki paruh baya tersebut. Sementara Santa menangis segugukan dia tidak menyangka jika ternyata selama ini suaminya tega menutupi kedok selama puluhan tahun. "Maafkan Daddy, Son. Maafkan Daddy!"Eric berlutut di kaki Bastian seraya menangis meminta maaf. Dia menyesal melakukan hal tersebut. Dia khilaf, dia lupa diri. Apalagi wanita itu memang menggodanya kala itu. "Menyingkir dari kakiku!" hardik Bastian menendang pria paruh baya tersebut. Dia seolah tak peduli pada dosa. Saat ini dia benar-benar membenci sang ayah lebih dari apapun. "Maafkan, Daddy." "Kau tega, Dad. Kau tega merebut semua kebahagiaanku. Kau menyembunyikan Alena selama sepuluh tahun. Kau....." Bastian memukul meja sangat kuat hingga tersebut pecah dan darah mengalir dari buku-buku tangannya. Sementara Bram duduk dengan tenang sambil tersenyum puas, ah sangat puas. Dia merasa kemenangan sedang berada di pihaknya dan dia bisa merebut semua m
"Santa, maafkan aku," mohon Eric. "Tolong jangan pergi tinggalkan aku, Santa. Aku mencintaimu." Lelaki paruh baya itu memeluk kaki sang istri yang tengah mengemasi barang-barangnya ke dalam koper. "Lepaskan aku, Eric! Untuk apa kau menahanku, kau pilih saja perempuan yang kau hamili itu," sarkas Santa berusaha melepaskan tangan sang suami. Istri mana yang tak akan sakit hati ketika mengetahui sebuah kenyataan. Bahwa suami yang selama ini dia agungkan dengan sejuta cinta malah tega mengkhianati kedepan yang mereka sepakati. "Dia menggodaku. Dia bukan wanita baik-baik. Oleh sebab itulah aku meminta Kenzo menculiknya di hari pernikahan Bastian dan Alena," jelas Eric sambil menangis segugukan. Santa menatap suaminya tajam. Apa maksud lelaki ini yang mengatakan jika Alena bukan perempuan yang baik. "Dengarkan dulu penjelasanku, Santa!" mohon Eric lagi. Wanita itu duduk di bibir ranjang. Dia menatap suaminya dengan benci dan kekecewaan yang mendalam. Hatinya sakit ketika mendengar ken
"Hai, Kakak Ipar," sapa Bram melambaikan tangannya kearah Bee yang tampak bingung melihat lelaki tersebut. "Kakak ipar?" ulang Bee. Dia memang belum kenal siapa lelaki yang ada di depannya ini. "Iya, Kakak Ipar. Aku adik Kak Bastian. Perkenalkan namaku Bram," ucap Bram mengulurkan tangannya pada Bee. Bee masih bingung. Dia baru tahu jika suaminya memiliki adik. Selama ini dia memang tidak tahu siapa saja keluarga suaminya tersebut. Bahkan dia pernah menyangka jika Bastian tidak memiliki keluarga dengan kata lain, sebatang kara. "Aku Bee." Dia membalas uluran tangan Bram. "Apa yang kau lakukan di sini? Mana Tuan Suami?" Bee celingak-celinguk melihat kearah belakang Bram barangkali suaminya sudah datang. Bram tersenyum smirk, benar dugaannya jika Bee tidak mengetahui masa lalu Bastian. Bagaimana reaksi perempuan itu jika tahu bahwa suaminya sekarang sedang menjemput cinta lamanya? "Kau mencari Kak Bastian?" Bram menatap Bee dari ujung kaki sampai ujung rambut. Wanita berambut pend
"Di mana Alena, Kenzo?" Bastian menatap lelaki itu dengan amarah yang memuncak. Tangannya mengerat kian erat seolah menandakan bahwa dia siap melakukan peperangan. Lelaki tampan itu tertawa mengelegar. Dulu mereka akrab bagai pakai lekat di papan, ke mana-mana bersama sejak usia balita. "Kau masih mencari Alena?" Bastian tak menjawab. Tatapannya terlihat menghunus ke depan. Ingin rasanya dia menyerang Kenzo dan memukul wajah lelaki itu dengan membabi buta. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang dan menahan emosi. Tujuannya datang ke sini untuk menemui Alena bukan melawan Kenzo yang seperti iblis itu. "Aku tidak suka basa-basi, Kenzo. Cepat katakan di mana Alena!" sentak Bastian seraya berdiri. Namun, pria tampan itu masih tetap tenang sambil menyesap rokok yang ada di sela-sela jarinya. Dia pikir dengan waktu yang berlalu kian lama, membuat Bastian melupakan Alena. Nyatanya tidak, sahabatnya tersebut masih saja mengenang perempuan tersebut. "Bukankah kau sudah menikah, Bas? Jadi
"Kau sudah pulang, Son?" tanya seorang lelaki paruh baya. Lelaki tampan itu menoleh dan tersenyum ada sang ayah. "Iya, Dad. Mana mommy?" tanyanya yang tidak melihat sang ibu. Pria paruh baya itu menghela napas panjang lalu dia hempaskan perlahan. "Seperti biasa," jawabnya dengan nada berat. Keduanya duduk di sofa. Lelaki tampan itu melongarkan dasi yang terasa mencekik leher serta mengulung kemejanya hingga sampai siku. "Bagaimana? Apa ada jejak tentang adikmu?" tanyanya pada sang anak. Lelaki itu menggeleng dengan wajah sendu dan lemas nya. "Belum, Dad. Belva hilang bak di telan bumi. Sampai sekarang belum ada jejak tentang dia. Padahal aku sudah mengerahkan semua orang suruhan kita," jelasnya. Keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Mengenang masa bahagia bersama bayi kecil yang memenuhi ruangan di kehilangan malam. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama ketika sang bayi di culik oleh orang-orang yang iri pada kebahagiaan mereka. "Maafkan, Daddy. Haru
Kalau telak.Bram masih merenggut kesal ketika di bungkam oleh kakak iparnya sendiri. Padahal dia sudah menyusun banyak rencana untuk menjebak Bee dalam ikatan cintanya. Namun, nyatanya malah dia yang menjadi korban tersebut. Lelaki itu turun dari mobil dan di papah sang asisten yang membantunya berjalan. Dia masih meringgis kesakitan akibat pukulan sang kakak yang begitu kuat di bagian wajah dan perutnya. Tampak suasana mansion tersebut sepi seperti tak berpenghuni. Para pelayan yang biasanya berjejer rapi menyambutnya di depan pintu, kini malah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing."Di mana mommy dan daddy?" tanya Bram yang tak melihat kedua orang tua nya. Tatapan pria itu tertuju pada sang ayah yang sedang duduk di kursi belakang dekat kolam renang. Ayahnya duduk dengan tatapan kosong seolah seperti patung yang tak bisa bergerak sama sekali. "Kau boleh pulang, Win. Biarkan aku sendiri!" ucapnya melepaskan diri dari leher sang asisten. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya perm
"Kak Alena?" gumam Bee ketika melihat wanita itu memeluk lengan suaminya. Alena sama sekali tak menatap Bee. Dia masih melingkarkan tangannya di lengan Bastian dengan manja. "Eh, selamat datang, Tuan. Selamat datang, Nyonya," sambut Bee hangat. Bastian terdiam. Dia menatap wajah Bee yang biasa saja. Dia pikir wanita itu akan cemburu karena melihatnya menggandeng tangan wanita lain. "Aku sudah siapkan makanan untuk menyambut kedatangan kalian," ucap Bee mencoba tersenyum baik-baik saja. "Na, masuklah ke dalam kamarmu!" suruh Bastian melepaskan pelukan wanita itu dari lengannya. "Nanti aku akan menyusul." "Tapi_""Kau perlu istirahat," potong Bastian, "Ares, antar dia masuk ke dalam kamarnya!" perintahnya lagi."Baik, Tuan," sahut Ares membungkuk hormat. "Mari, Nona!" ajaknya ada Alena. Alena merenggut kesal. Dia menatap Bee sekilas dengan penuh kebencian. Pasti gara-gara adiknya itu Bastian mengabaikan dirinya. Sementara Bee tersenyum kecut, dia sudah masak banyak untuk menyamb
Beberapa tahun kemudian....Bastian menatap kue ulang tahun yang bertulisan angka 26 di atasnya. Dia mengerutu kesal. Bagaimana tidak? Istrinya baru berusia 26 tahun. Sedangkan dia sudah berusia 42 tahun. Ahhh jauh sekali selisih usia mereka. Ingin rasanya Bastian mempermuda dirinya agar serasi dengan Bee. Bee semakin hari semakin cantik. Pesonanya membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Sedangkan Bastian semakin hari semakin tua, bagaimana dia tidak mengerutu kesal. Apalagi jika dibandingkan, mereka bagai kakak dan adik saja. Bukan pasangan suami istri."Dad, kenapa lama? Kapan kita beri Mommy surprise?" gerutu putra sulung Bee dan Bastian. "Tunggu sebentar, Son!" Bastian mengambil kaca. Dia menatap wajahnya di cermin."Masih tampan. Tidak berkeriput. Tapi kenapa serasa sangat tua dari istriku," protes Bastian dalam hati. "Son, coba lihat wajah Daddy. Apakah Daddy ini sangat tua?" tanya Bastian pada putranya yang baru berusia enam tahun itu."Daddy memang tua," sahut B
Acara panjang itu cukup menguras waktu dan tenaga. Apalagi dengan tamu undangan yang mencapai ribuan orang. Tentu tamu dari Eric, Bastian, Bram dan Lucas bukanlah orang-orang biasa. Mereka penjabat serta pembisnis yang sudah lama mengenal keempat pengusaha ternama itu. Bastian menggendong tubuh istri kecilnya masuk ke dalam kamar. Sementara ketiga anak kembar mereka masih diurus oleh Dominic dan Milly yang ingin menghabiskan waktu bersama ketiga cucu kembarnya. "Hubby, apa aku berat?" Bee melingkarkan tangannya di leher sang suami. "Hem, tidak. Kau ringan!" sahut Bastian. Bee merebahkan kepalanya di dada bidang Bastian. Rasanya masih seperti mimpi bisa memeluk tubuh kekar suaminya itu. Setelah banyak kejadian yang mereka alami, kini keduanya bisa menikmati kebahagiaan yang telah lama hilang dari pandangan mata. Bastian meletakan tubuh kecil istrinya di atas ranjang. Jika dulu malam pertama mereka berbeda, maka malam ini akan dia membayar segala kesalahan yang ada di masa lalu.
Beberapa bulan kemudian. Keempat wanita cantik tengah menatap pantulan diri mereka di depan cermin. Mereka mengenakan gaun pengantin dengan warna dan model yang sama. Rambut mereka sengaja digerai indah dengan mahkota yang tertanam di atas kepala keempatnya. "Nak," panggil Santa. Santa menatap Bee dan Chaca dengan tatapan kagum. Kedua wanita muda yang masih bertahan mahasiswa ini adalah para menantu kesayangan yang membuat dirinya seperti memiliki anak perempuan. "Iya, Mom." Hari ini, Eric, Bastian, Lucas dan Bram akan melangsungkan pernikahan secara bersamaan. Eric dan Santa memutuskan untuk kembali bersama dan berusaha melupakan kejadian lampau yang pernah memisahkan mereka berdua. Eric dan Santa tak mau egois karena Bastian dan Bram meminta agar rujuk untuk mewujudkan impian keluarga bahagia. Sementara Bastian ingin membuat pesta pernikahan mewah agar semua dunia tahu bahwa Bee adalah istri kecilnya. Dia ingin menebus satu tahun yang lalu ketika menikahi Bee tanpa kehadiran k
Tata terdiam saat mendengar penjelasan dari Lucas. Pantas saja selama ini kakaknya itu selalu tak mau membahas Lucas. "Apa Kakak masih mencintai Kak Tania?" tanya Tata. Tata akan melepaskan Lucas jika memang lelaki ini masih mencintai kakaknya. Dia tak mau menjadi penghalang untuk kebahagiaan sang kakak. Sebab dia tahu jika selama ini Tania berusaha bangkit dari semua perasaan bersalah. "Sayang." Lucas mengenggam tangan Tata. "Perasaanku pada Tania sudah hilang sejak malam panas kita. Kau adalah wanita yang sekarang memiliki sepenuh hatiku. Ini bukan gombalan, tetapi ini perasaan yang aku rasakan," ucapnya tersenyum lebar seraya menyatukan tangan mereka. Tata menatap bola mata Lucas berusaha mencari kebohongan melalui mata lelaki itu, tetapi yang dia temukan adalah ketulusan. "Tapi Kak Tania masih cinta sama Kakak," ucap Tata tersenyum kecut. Lucas terkekeh pelan. Dia tahu jika Tania masih mencintainya. Namun, perasaannya pada wanita itu memang sudah tak ada lagi sejak kita berp
Santa memeluk Bee dengan rasa bahagia penuh. Akhirnya setelah menunggu sekian lama dia bisa lagi melihat senyum manis wajah menantu cantiknya ini. "Mommy takut sekali melihatmu, Nak," ucapnya mengusap bahu wanita itu. "Mom." Bee melepaskan pelukannya pada Santa. "Apa kabarmu?" tanyanya tersenyum lembut. Wanita ini sudah seperti anak kandungnya sendiri. Sementara Milly dan Dominic hanya bisa saling memeluk satu sama lain. Mereka ingin sekali berhambur ke arah Bee lalu mengatakan jika rindu wanita itu. Akan tetapi, Bee masih marah dan tak mau bicara pada mereka, lantaran masa lalu yang sulit dijelaskan. "Mommy baik, Nak," jawab Santa sembari mengecup kening Bee dengan haru. Lalu Bee melirik ke arah kedua orang tua kandungnya. Ada rasa marah dan kecewa di hati wanita cantik itu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rindu juga yang mengemban dalam dadanya. "Daddy, Mommy!" panggil Bee. Kedua orang itu terkejut ketika dipanggil oleh anak yang sudah lama mereka rindukan kehadirannya.
"Ini, Bas!" Lucas memberikan botol kecil pada Bastian. "Apa ini?" tanya Bastian bingung. "Obat penawar racun," jawab Lucas. "Cepat suntikan pada Bee!" suruhnya. Semua keluarga berkumpul di vila mewah Bastian kecuali Kenzo, sejak tadi lelaki itu tak jua muncul. Entah ke mana dia pergi? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Mata Bastian berkaca-kaca dia menatap kedua lelaki yang tenang tersenyum padanya. "Terima kasih, Lucas." Bastian memeluk sahabatnya. Sekian lama hidup dalam kemarahan dan kekecewaan, akhirnya dia bisa mengakhiri rasa marah dan dendam yang menghantam dadanya. "Sama-sama, Bas. Semoga kau dan Bee hidup bahagia selamanya. Jaga dia dengan baik," ucap Lucas melepaskan pelukan Lucas. "Pasti. Itu adalah tugas dan tanggungjawab ku," sahut Bastian. "Kak.""Bram." Bastian dan Bram saling memeluk erat. Kakak beradik yang pernah selisih paham karena sebuah kondisi dan keadaan, kini kembali saling memberi maaf. "Terima kasih, Bram," ucap Bastian. Tanpa malu pria itu menang
"Argh!" Julio tersungkur sambil memegang kakinya yang tertembak. Tata dan Chaca membuka matanya. Keduanya terkejut karena melihat Julik yang tersungkur dengan darah mengalir dari bagian kakinya. "Cepat tangkap dia!" perintah Kenzo. "Baik, Tuan," sahut ketiga anak buah suruhan Kenzo yang mengangkat Julio berdiri. "Hai, Julio!" Kenzo menyunggingkan senyum liciknya. Bukannya takut Julio malah membuang ludahnya yang bercampur darah ke atas lantai. "Sekarang Anda tahu siapa saya, Tuan?" Julio membalas dengan senyuman mengejek. "Tidak hanya tahu, tetapi mengenal siapa kau sebenarnya, Julio. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu bernapas dengan baik setelah menyakiti adikku," ucap Kenzo. Lucas dan Bram berhambur ke arah Tata dan Chaca. "Sayang." Tata memeluk sang kekasih sambil menangis ketakutan. "Jangan takut, sekarang sudah aman," ucap Lucas menenangkan. "Swetty." Bram mengangkat tubuh kecil Chaca. "Kakak," renggek Chaca. Wajah gadis itu sampai pucat karena ketakutan. Dia piki
Tata dan Chaca saling berpelukkan karena ketakutan melihat tatapan mata Julio yang seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. "Ta, aku takut," renggek Chaca menangis hebat. "Ck, kau pikir aku berani?" ketus Tata yang juga sebenarnya takut. Julio berjalan ke arah dua wanita itu sambil membawa belatuk di tangannya. Wajahnya tampak merah penuh amarah, tangan mengepal dengan rahang yang mengeras menandakan bahwa dia benar-benar sedang marah. "Kalian mencari masalah dengan saya, Nona!" tekan Julio mengarahkan belatuk itu ke arah Tata dan Chaca. "Kak Julio, ampun, maaf," mohon Chaca. "Kami hanya menyelamatkan Bee," sahutnya beralasan. Julio menarik sudut bibirnya merasa terkecoh dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kalian adalah target selanjutnya. Saya akan membuat kalian seperti nona Bee, atau bahkan lebih dari nona Bee karena sudah berani bermain-main dengan saya!" Pria itu berjalan menghampiri Tata dan Chaca yang sudah ketakutan dengan wajah pucat mereka. "Kak Julio, ka-u tidak i
"Apakah mereka aman?" tanya Bram yang mulai tak tenang. "Kenapa mereka seperti panik?" Lucas menunjuk ke arah manson mewah itu. Dia juga panik dan takut terjadi sesuatu pada kekasih kecilnya. Kenzo memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya itu sudah dikasih tahu, masih saja tidak paham dan tenang. "Mungkin mereka sudah tertangkap!" sahut Kenzo asal. "Apa maksudmu?" tanya Bram dan Lucas bersamaan sambil menatap Kenzo tajam. Kenzo bergidik ngeri, niat hati bercanda kenapa malah membuat bulu berdiri? "Aku bercanda," sahut Kenzo memutar bola matanya malas. "Mereka sedang menjalankan misi." Bram kembali melihat ke arah mansion. Jika saja tadi tidak dicegah oleh Kenzo, sudah pasti pria itu akan keluar dari mobil dan berlari menemui kekasih kecilnya. "Hubungi anak buah agar segera menyusul ke sini!" perintah Kenzo. "Kau memerintahku?" Bram menatap tajam sahabatnya itu. "Bukan. Tapi menyuruh!" ketus Kenzo. "Cepat hubungi!" titahnya lagi. "Iya!" Bram mengotak-atik ponselnya dan m