"Kau sudah pulang, Son?" tanya seorang lelaki paruh baya. Lelaki tampan itu menoleh dan tersenyum ada sang ayah. "Iya, Dad. Mana mommy?" tanyanya yang tidak melihat sang ibu. Pria paruh baya itu menghela napas panjang lalu dia hempaskan perlahan. "Seperti biasa," jawabnya dengan nada berat. Keduanya duduk di sofa. Lelaki tampan itu melongarkan dasi yang terasa mencekik leher serta mengulung kemejanya hingga sampai siku. "Bagaimana? Apa ada jejak tentang adikmu?" tanyanya pada sang anak. Lelaki itu menggeleng dengan wajah sendu dan lemas nya. "Belum, Dad. Belva hilang bak di telan bumi. Sampai sekarang belum ada jejak tentang dia. Padahal aku sudah mengerahkan semua orang suruhan kita," jelasnya. Keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Mengenang masa bahagia bersama bayi kecil yang memenuhi ruangan di kehilangan malam. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama ketika sang bayi di culik oleh orang-orang yang iri pada kebahagiaan mereka. "Maafkan, Daddy. Haru
Kalau telak.Bram masih merenggut kesal ketika di bungkam oleh kakak iparnya sendiri. Padahal dia sudah menyusun banyak rencana untuk menjebak Bee dalam ikatan cintanya. Namun, nyatanya malah dia yang menjadi korban tersebut. Lelaki itu turun dari mobil dan di papah sang asisten yang membantunya berjalan. Dia masih meringgis kesakitan akibat pukulan sang kakak yang begitu kuat di bagian wajah dan perutnya. Tampak suasana mansion tersebut sepi seperti tak berpenghuni. Para pelayan yang biasanya berjejer rapi menyambutnya di depan pintu, kini malah sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing."Di mana mommy dan daddy?" tanya Bram yang tak melihat kedua orang tua nya. Tatapan pria itu tertuju pada sang ayah yang sedang duduk di kursi belakang dekat kolam renang. Ayahnya duduk dengan tatapan kosong seolah seperti patung yang tak bisa bergerak sama sekali. "Kau boleh pulang, Win. Biarkan aku sendiri!" ucapnya melepaskan diri dari leher sang asisten. "Baik, Tuan. Kalau begitu saya perm
"Kak Alena?" gumam Bee ketika melihat wanita itu memeluk lengan suaminya. Alena sama sekali tak menatap Bee. Dia masih melingkarkan tangannya di lengan Bastian dengan manja. "Eh, selamat datang, Tuan. Selamat datang, Nyonya," sambut Bee hangat. Bastian terdiam. Dia menatap wajah Bee yang biasa saja. Dia pikir wanita itu akan cemburu karena melihatnya menggandeng tangan wanita lain. "Aku sudah siapkan makanan untuk menyambut kedatangan kalian," ucap Bee mencoba tersenyum baik-baik saja. "Na, masuklah ke dalam kamarmu!" suruh Bastian melepaskan pelukan wanita itu dari lengannya. "Nanti aku akan menyusul." "Tapi_""Kau perlu istirahat," potong Bastian, "Ares, antar dia masuk ke dalam kamarnya!" perintahnya lagi."Baik, Tuan," sahut Ares membungkuk hormat. "Mari, Nona!" ajaknya ada Alena. Alena merenggut kesal. Dia menatap Bee sekilas dengan penuh kebencian. Pasti gara-gara adiknya itu Bastian mengabaikan dirinya. Sementara Bee tersenyum kecut, dia sudah masak banyak untuk menyamb
"Tuan Muda!" Bik Liam membungkuk hormat ketika melihat Bastian ada di depan pintu kamarnya. "Di mana istriku?" tanya Bastian dengan tangan yang dia masukan di dalam saku celananya. "Ada di dalam, Tuan. Silakan masuk!" ucap Bik Liam sopan. Bastian masuk ke dalam kamar pelayan tersebut. Hatinya teriris sakit melihat sang istri yang terlelap di atas kasur tipis. Perasaan bersalah menyeruak masuk ke dalam rongga dadanya. Lelaki itu duduk di bibir ranjang. Tangannya mengulur menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah sang istri. "Apa saja kegiatannya seharian ini, Bik?" tanya Bastian. "Tadi Nona meminta saya membuatkan rujak mangga muda, Tuan," jawab Bik Liam. "Rujak mangga muda?" ulang Bastian sekali lagi. "Iya, Tuan. Nona sangat ingin makan mangga muda," sahut Bik Liam lagi. "Apa dia makan banyak?" "Lumayan banyak, Tuan. Sekitar lima buah," ucap Bik Liam."Apa? Lima buah? Banyak sekali!" protes Bastian. "Maaf, Tuan. Saya hanya mengikuti keinginan Nona Muda," jawab Bik Liam
Bastian menempelkan kain basah di kening istrinya. Wajah lelaki itu tampak gelisah tak menentu. Bagaimana kalau wanita itu menderita sakit yang parah? "Julio, cepat panggilkan dokter!" perintah Bastian. "Baik, Tuan." Bastian menatap wajah teduh istrinya. Wanita itu mengigil kedinginan tetapi keringat mengucur di dahinya. "Ini akibat kau keras kepala. Sudah kukatakan jangan tidur di kamar pelayan," omel Bastian yang tak mampu menutupi kecemasan di wajahnya. "Tuan, bisakah jangan mengomel dulu. Kepalaku semakin pusing mendengar ocehanmu," sarkas Bee yang masih sempat-sempatnya berbicara padahal kondisinya memprihatinkan. Bastian mendelik mendengar suara Bee. Padahal wanita itu terpejam, kenapa bisa bersuara? "Hem, buka matamu!" suruh Bastian. Lelaki itu sedikit gugup, takut ketahuan jika dia mengkhawatirkan istri kecilnya. "Mataku berat, Tuan. Seperti di timpa benda," keluh Bee yang masih enggan membuka matanya. "Apa yang kau lakukan di sini, Tuan? Kenapa masuk ke dalam kamar pe
Bee berdecih mendengar kata sang suaminya. Lelaki itu dengan mudah mengatakan bahwa dia adalah miliknya. Tetapi kenapa Bastian masih berani membawa wanita lain di dalam kehidupan rumah tangga mereka? "Hem, tak ku sangka kau pandai juga berbohong, Tuan," sindir Bee. "Berbohong?" Kening lelaki itu mengerut. "Iya. Kau mengatakan aku milikmu. Tetapi kau masih berani membawa orang lain di dalam rumah tangga kita." Ucapan Bee mencelos dan menusuk ke dalam hati lelaki tersebut. Dia tidak menyangkal karena apa yang di ucapkan oleh sang istri memang benar adanya. "Jangan terlalu serius, Tuan. Aku hanya bercanda." Bee tertawa garing. Lebih tepatnya mentertawakan kebodohannya sendiri. Bastian tak banyak bicara. Dia membungkus tubuh Bee dengan handuk lalu menggendong wanita itu keluar dari kamar mandi. "Tunggu di sini. Mulai sekarang semua pakaianmu aku yang atur," ucap Bastian meletakkan wanita itu dengan pelan di kursi meja rias. "Ck, mana bisa begitu, Tuan," protes Bee. "Menurut saja
"Ayo, Sayang. Makan yang banyak!" Alena menyuapi hendak menyuapi Bastian. "Alena, jangan begini. Aku bisa makan sendiri!" tolak Bastian menepis tangan Alena. Alena merenggut kesal. Wanita itu melipat kedua tangannya di dada dan merajuk. Dia menatap Bastian jenggah. Lelaki itu benar-benar berubah, dulu saja mantan tunangannya itu memperlakukan dia seperti ratu. Kenapa sekarang malah seperti babu? "Bas_""Makanlah, Alena. Pekerjaanku masih banyak," sergah Bastian. Kenapa tidak seperti dulu? Ada sesuatu yang hilang setelah sekian lama berlalu, apakah perasaannya mulai berubah pada wanita tersebut? "Ayolah, Bas. Aku ingin menyuapimu," ujar Alena dengan tatapan manjanya. Bastian tak menanggapi. Tatapan matanya tertuju pada sang istri yang berdiri tenang di samping Bik Liam. Lelaki itu mengepalkan tangannya kuat, tidak. Dia tidak akan melepaskan Bee sampai kapanpun walau wanita itu merenggek ingin minta di lepaskan. "Pelayan, ambilkan minum!" pinta Alena menggulurkan gelasnya di depan
Bee memutar bola matanya malas mendengar ucapan Bastian. "Kau yakin, Tuan? Lalu bagaimana dengan kekasihmu?" tanya Bee ketus. Entahlah, dia tidak suka menyebut nama kakaknya itu. "Kenapa? Kau cemburu?" goda Bastian menatap wajah Bee jahil. Bee langsung gugup. Jangan sampai ketahuan bahwa dia sedang cemburu saat membicarakan tentang kakaknya tersebut. "Si-siapa yang c-em-buru?" kilah Bee memalingkan wajahnya kesembarangan arah. Bastian terkekeh pelan. Kenapa dia suka sekali melihat wajah Bee yang cemburu seperti itu? Sejenak keduanya terdiam. Bastian menatap bulu mata lentik sang istri. Jantungnya berdebar dan berdegup kencang, entah apa yang dia rasakan? Kenapa rasanya sebahagia ini bisa berada di dekat Bee. Sementara wanita itu tak mau berharap banyak, walau Bastian meminta agar membatalkan surat perjanjian mereka. Namun, dia tahu jika pria tersebut belum menerima dirinya sebagai seorang istri. "Aku baru sadar, Tuan. Selama ini kau tidak mencintaiku. Biarkan aku pergi. Kembali
Beberapa tahun kemudian....Bastian menatap kue ulang tahun yang bertulisan angka 26 di atasnya. Dia mengerutu kesal. Bagaimana tidak? Istrinya baru berusia 26 tahun. Sedangkan dia sudah berusia 42 tahun. Ahhh jauh sekali selisih usia mereka. Ingin rasanya Bastian mempermuda dirinya agar serasi dengan Bee. Bee semakin hari semakin cantik. Pesonanya membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Sedangkan Bastian semakin hari semakin tua, bagaimana dia tidak mengerutu kesal. Apalagi jika dibandingkan, mereka bagai kakak dan adik saja. Bukan pasangan suami istri."Dad, kenapa lama? Kapan kita beri Mommy surprise?" gerutu putra sulung Bee dan Bastian. "Tunggu sebentar, Son!" Bastian mengambil kaca. Dia menatap wajahnya di cermin."Masih tampan. Tidak berkeriput. Tapi kenapa serasa sangat tua dari istriku," protes Bastian dalam hati. "Son, coba lihat wajah Daddy. Apakah Daddy ini sangat tua?" tanya Bastian pada putranya yang baru berusia enam tahun itu."Daddy memang tua," sahut B
Acara panjang itu cukup menguras waktu dan tenaga. Apalagi dengan tamu undangan yang mencapai ribuan orang. Tentu tamu dari Eric, Bastian, Bram dan Lucas bukanlah orang-orang biasa. Mereka penjabat serta pembisnis yang sudah lama mengenal keempat pengusaha ternama itu. Bastian menggendong tubuh istri kecilnya masuk ke dalam kamar. Sementara ketiga anak kembar mereka masih diurus oleh Dominic dan Milly yang ingin menghabiskan waktu bersama ketiga cucu kembarnya. "Hubby, apa aku berat?" Bee melingkarkan tangannya di leher sang suami. "Hem, tidak. Kau ringan!" sahut Bastian. Bee merebahkan kepalanya di dada bidang Bastian. Rasanya masih seperti mimpi bisa memeluk tubuh kekar suaminya itu. Setelah banyak kejadian yang mereka alami, kini keduanya bisa menikmati kebahagiaan yang telah lama hilang dari pandangan mata. Bastian meletakan tubuh kecil istrinya di atas ranjang. Jika dulu malam pertama mereka berbeda, maka malam ini akan dia membayar segala kesalahan yang ada di masa lalu.
Beberapa bulan kemudian. Keempat wanita cantik tengah menatap pantulan diri mereka di depan cermin. Mereka mengenakan gaun pengantin dengan warna dan model yang sama. Rambut mereka sengaja digerai indah dengan mahkota yang tertanam di atas kepala keempatnya. "Nak," panggil Santa. Santa menatap Bee dan Chaca dengan tatapan kagum. Kedua wanita muda yang masih bertahan mahasiswa ini adalah para menantu kesayangan yang membuat dirinya seperti memiliki anak perempuan. "Iya, Mom." Hari ini, Eric, Bastian, Lucas dan Bram akan melangsungkan pernikahan secara bersamaan. Eric dan Santa memutuskan untuk kembali bersama dan berusaha melupakan kejadian lampau yang pernah memisahkan mereka berdua. Eric dan Santa tak mau egois karena Bastian dan Bram meminta agar rujuk untuk mewujudkan impian keluarga bahagia. Sementara Bastian ingin membuat pesta pernikahan mewah agar semua dunia tahu bahwa Bee adalah istri kecilnya. Dia ingin menebus satu tahun yang lalu ketika menikahi Bee tanpa kehadiran k
Tata terdiam saat mendengar penjelasan dari Lucas. Pantas saja selama ini kakaknya itu selalu tak mau membahas Lucas. "Apa Kakak masih mencintai Kak Tania?" tanya Tata. Tata akan melepaskan Lucas jika memang lelaki ini masih mencintai kakaknya. Dia tak mau menjadi penghalang untuk kebahagiaan sang kakak. Sebab dia tahu jika selama ini Tania berusaha bangkit dari semua perasaan bersalah. "Sayang." Lucas mengenggam tangan Tata. "Perasaanku pada Tania sudah hilang sejak malam panas kita. Kau adalah wanita yang sekarang memiliki sepenuh hatiku. Ini bukan gombalan, tetapi ini perasaan yang aku rasakan," ucapnya tersenyum lebar seraya menyatukan tangan mereka. Tata menatap bola mata Lucas berusaha mencari kebohongan melalui mata lelaki itu, tetapi yang dia temukan adalah ketulusan. "Tapi Kak Tania masih cinta sama Kakak," ucap Tata tersenyum kecut. Lucas terkekeh pelan. Dia tahu jika Tania masih mencintainya. Namun, perasaannya pada wanita itu memang sudah tak ada lagi sejak kita berp
Santa memeluk Bee dengan rasa bahagia penuh. Akhirnya setelah menunggu sekian lama dia bisa lagi melihat senyum manis wajah menantu cantiknya ini. "Mommy takut sekali melihatmu, Nak," ucapnya mengusap bahu wanita itu. "Mom." Bee melepaskan pelukannya pada Santa. "Apa kabarmu?" tanyanya tersenyum lembut. Wanita ini sudah seperti anak kandungnya sendiri. Sementara Milly dan Dominic hanya bisa saling memeluk satu sama lain. Mereka ingin sekali berhambur ke arah Bee lalu mengatakan jika rindu wanita itu. Akan tetapi, Bee masih marah dan tak mau bicara pada mereka, lantaran masa lalu yang sulit dijelaskan. "Mommy baik, Nak," jawab Santa sembari mengecup kening Bee dengan haru. Lalu Bee melirik ke arah kedua orang tua kandungnya. Ada rasa marah dan kecewa di hati wanita cantik itu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rindu juga yang mengemban dalam dadanya. "Daddy, Mommy!" panggil Bee. Kedua orang itu terkejut ketika dipanggil oleh anak yang sudah lama mereka rindukan kehadirannya.
"Ini, Bas!" Lucas memberikan botol kecil pada Bastian. "Apa ini?" tanya Bastian bingung. "Obat penawar racun," jawab Lucas. "Cepat suntikan pada Bee!" suruhnya. Semua keluarga berkumpul di vila mewah Bastian kecuali Kenzo, sejak tadi lelaki itu tak jua muncul. Entah ke mana dia pergi? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Mata Bastian berkaca-kaca dia menatap kedua lelaki yang tenang tersenyum padanya. "Terima kasih, Lucas." Bastian memeluk sahabatnya. Sekian lama hidup dalam kemarahan dan kekecewaan, akhirnya dia bisa mengakhiri rasa marah dan dendam yang menghantam dadanya. "Sama-sama, Bas. Semoga kau dan Bee hidup bahagia selamanya. Jaga dia dengan baik," ucap Lucas melepaskan pelukan Lucas. "Pasti. Itu adalah tugas dan tanggungjawab ku," sahut Bastian. "Kak.""Bram." Bastian dan Bram saling memeluk erat. Kakak beradik yang pernah selisih paham karena sebuah kondisi dan keadaan, kini kembali saling memberi maaf. "Terima kasih, Bram," ucap Bastian. Tanpa malu pria itu menang
"Argh!" Julio tersungkur sambil memegang kakinya yang tertembak. Tata dan Chaca membuka matanya. Keduanya terkejut karena melihat Julik yang tersungkur dengan darah mengalir dari bagian kakinya. "Cepat tangkap dia!" perintah Kenzo. "Baik, Tuan," sahut ketiga anak buah suruhan Kenzo yang mengangkat Julio berdiri. "Hai, Julio!" Kenzo menyunggingkan senyum liciknya. Bukannya takut Julio malah membuang ludahnya yang bercampur darah ke atas lantai. "Sekarang Anda tahu siapa saya, Tuan?" Julio membalas dengan senyuman mengejek. "Tidak hanya tahu, tetapi mengenal siapa kau sebenarnya, Julio. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu bernapas dengan baik setelah menyakiti adikku," ucap Kenzo. Lucas dan Bram berhambur ke arah Tata dan Chaca. "Sayang." Tata memeluk sang kekasih sambil menangis ketakutan. "Jangan takut, sekarang sudah aman," ucap Lucas menenangkan. "Swetty." Bram mengangkat tubuh kecil Chaca. "Kakak," renggek Chaca. Wajah gadis itu sampai pucat karena ketakutan. Dia piki
Tata dan Chaca saling berpelukkan karena ketakutan melihat tatapan mata Julio yang seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. "Ta, aku takut," renggek Chaca menangis hebat. "Ck, kau pikir aku berani?" ketus Tata yang juga sebenarnya takut. Julio berjalan ke arah dua wanita itu sambil membawa belatuk di tangannya. Wajahnya tampak merah penuh amarah, tangan mengepal dengan rahang yang mengeras menandakan bahwa dia benar-benar sedang marah. "Kalian mencari masalah dengan saya, Nona!" tekan Julio mengarahkan belatuk itu ke arah Tata dan Chaca. "Kak Julio, ampun, maaf," mohon Chaca. "Kami hanya menyelamatkan Bee," sahutnya beralasan. Julio menarik sudut bibirnya merasa terkecoh dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kalian adalah target selanjutnya. Saya akan membuat kalian seperti nona Bee, atau bahkan lebih dari nona Bee karena sudah berani bermain-main dengan saya!" Pria itu berjalan menghampiri Tata dan Chaca yang sudah ketakutan dengan wajah pucat mereka. "Kak Julio, ka-u tidak i
"Apakah mereka aman?" tanya Bram yang mulai tak tenang. "Kenapa mereka seperti panik?" Lucas menunjuk ke arah manson mewah itu. Dia juga panik dan takut terjadi sesuatu pada kekasih kecilnya. Kenzo memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya itu sudah dikasih tahu, masih saja tidak paham dan tenang. "Mungkin mereka sudah tertangkap!" sahut Kenzo asal. "Apa maksudmu?" tanya Bram dan Lucas bersamaan sambil menatap Kenzo tajam. Kenzo bergidik ngeri, niat hati bercanda kenapa malah membuat bulu berdiri? "Aku bercanda," sahut Kenzo memutar bola matanya malas. "Mereka sedang menjalankan misi." Bram kembali melihat ke arah mansion. Jika saja tadi tidak dicegah oleh Kenzo, sudah pasti pria itu akan keluar dari mobil dan berlari menemui kekasih kecilnya. "Hubungi anak buah agar segera menyusul ke sini!" perintah Kenzo. "Kau memerintahku?" Bram menatap tajam sahabatnya itu. "Bukan. Tapi menyuruh!" ketus Kenzo. "Cepat hubungi!" titahnya lagi. "Iya!" Bram mengotak-atik ponselnya dan m