"Kak, kau sibuk sekali?" Chaca meletakan secangkir kopi di atas meja kerja kekasih tuanya itu. "Terima kasih, Swetty." Bram tersenyum hangat. "Pekerjaanku sedikit banyak hari ini, tapi sebentar lagi selesai." "Sama-sama, Kak." Chaca duduk di kursi samping Bram. "Istirahatlah, jangan habiskan waktumu untuk bekerja. Lagian kau sudah kaya." Chaca memutar bola matanya malas. Bram sama saja seperti Bastian, bekerja seperti tak kenal waktu. Bram terkekeh pelan. Kekasihnya ini sangat lucu dan juga mengemaskan. "Bagaimana keadaan Tata?" Bram menutup laptopnya lalu dia menarik kursi Chaca agar mendekat sehingga mereka saling berhadapan satu sama lain. "Kakak." Wajah Chaca sudah memerah seperti tomat. "Kenapa, Swetty? Kau terpesona melihat wajah tampan pacarmu ini?" Bram mengedipkan matanya jahil. "Dih, percaya diri!" Chaca memutar bola matanya malas. Bram terkekeh. "Setelah ini kita ke vila Kak Bastian ya. Kau pasti rindu sahabatmu itu," ucap Bram sambil mengusap kepala Chaca. Chaca m
"Ta." Lucas duduk di bibir ranjang sembari memegang semangkuk bubur di tangannya. "Ayo makan dulu!" Lucas tak menyerah membuktikan bahwa dia benar-benar menyesal atas apa yang sudah dia lakukan pada Tata. Kehilangan calon bayi mereka, seakan membuka pintu hati Lucas untuk menyadari semua kesalahannya. Tata tak menanggapi. Wanita itu duduk dengan tatapan kosong sambil memeluk kedua lututnya. Bayangan ketika dirinya hamil masih terngiang di kepalanya. Andai saja dia tidak ceroboh, anaknya pasti akan selamat dan pasti sekarang sudah lahir dan hidup bersamanya. "Aku tahu, aku salah, Ta. Izinkan aku menebus semua kesalahanku padamu. Aku berjanji akan menjaga suami dan orang tua untukmu. Aku mencintaimu, Ta." Tata terkejut ketika mendengar pengakuan lelaki itu. Untuk pertama kalinya dia menatap wajah Lucas dengan begitu lekat, kenapa jantungnya berdebar saat ucapan tersebut keluar dari mulut Lucas? Entah benar atau tidak perasaan lelaki ini padanya, Tata merasakan ada kehangatan yang
"Kakak?" ulang Chaca terkejut. Bram menghela napas panjang. Dia menatap Kenzo jengah. Sahabatnya itu selalu saja suka membuat dirinya kesal. "Dia anak dari daddy dan Alena, Swetty." Terpaksa Bram mengatakan yang sebenarnya, toh Chaca juga sudah mendengar dari mulut Kenzo. "Kakak?" Thia menatap pria yang bersama Bram itu. "Dih, jangan memanggilku kakak. Kau bukan adikku," ketus Bram. "Kata Papa, uncle Bram kakaknya Thia?" Gadis kecil itu tampak bingung. "Jangan percaya pada papa anehmu itu," ketus Bram. Kenzo dan Chaca hanya terkekeh melihat perdebatan kakak beradik itu. Sebenarnya Bram tidak membenci Thia, hanya saja dia kesal setiap kali melihat wajah gadis kecil itu. Dia malah teringat pada Alena yang sudah merusak rumah tangga ayah dan ibunya. "Setelah ini kita ke vila Bastian," ucap Kenzo. "Apa kita langsung menangkap Julio?" tanya Bram. Kenzo menggeleng. "Jangan gegabah Bram. Kita belum punya bukti, ini hanya prediksiku saja walau aku memang sangat yakin. Tapi, aku rasa
Bastian menatap Lucas penuh kebencian. Dia mengepalkan tangannya dengan erat. Rahang seketika mengeras kuat. Dia langsung mencengkram kerah baju Lucas dengan tatapan mata nyalang. "Apa yang kau lakukan di sini? Apa kau berniat mencelakai istriku lagi?" tuding Bastian. Dia baru tahu jika Lucas memiliki masa lalu dengan Bee dan ternyata gadis kecil yang Lucas cari selama ini adalah Bee. "Kak," tegur Bram melerai kakaknya itu. Lucas santai saja. Dia menatap Bastian sambil tersenyum licik. Lalu Lucas menepis tangan Bastian yang berada di lehernya. "Tahan emosimu, Kak," ujar Bram."Dia sudah menyebabkan istriku seperti ini, Bram!" "Kak, bukan Lucas orangnya." Bram geleng-geleng kepala. Biasanya kakaknya ini tipe orang yang tenang dalam mengambil keputusan, tidak pernah gegabah dan selalu memikirkan segalanya sebelum bertindak. Namun, sejak Bee jatuh sakit dia menjadi pria paling sensitif. "Bastian Schweinsteiger, jika aku mau merebut Bee darimu sudah dari dulu. Lagian, aku tidak mung
Tata dan Chaca masuk ke dalam kamar Bee. Tentunya atas izin dari Bastian, meski mereka harus melewati beberapa perdebatan sengit dengan Bastian yang angkuh luar biasa itu. Tampak di sana Bee masih memejamkan matanya dengan tenang. Dentingan alat pendeteksi jantung saling menggema di dalam kamar ruangan besar. Kamar ini sangat mewah, peralatan medis juga ada di sana. "Bee." Mata Tata berkaca-kaca. Ia duduk di kursi samping ranjang Bee. "Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa seperti ini?" tanyanya dengan suara serak. Chaca juga menyusul duduk di bibir ranjang Bee. Wajah Bee tampak tenang dengan mata yang terpejam erat. Seakan dia merasakan perasaan yang tenggelam begitu dalam. "Bangun, Bee. Apa kau tidak merindukan aku?" ujar Tata mengenggam tangan sahabatnya itu. "Aku sudah melewati beberapa fase dalam menembus waktu. Aku bahkan kehilangan anakku dan dipertemukan dengan pria yang mengambil kesucianku. Aku mencoba membuka pintu maaf dan memulai lembaran baru di kehidupan mendatang. Akhi
Bastian masuk ke dalam kamar sang istri. Dia memaksakan senyum melihat wanita itu yang terbaring lemah di atas ranjang. Lalu pria tersebut duduk seraya menatap wajah istrinya yang pucat tanpa darah. "Sayang." Dia genggam tangan sang istri dengan erat dan penuh sayang. "Bangun!" Air mata Bastian tak bisa lagi ditahan. "Baru saja kita merasakan bahagia karena kelahiran ketiga anak kita. Lalu, kenapa kau jadi begini? Apa kau tahu betapa aku hancur melihat matamu yang terpejam erat seperti ini? Bangun, Sayang! Aku rindu ingin memelukmu." Dia pukul dadanya berulang kali, berusaha mengatur pasokan udara yang terasa menepis di dalam sana. Sesak, sangat-sangat sesak. Dia bahkan tak bisa mendeskripsikan betapa hancur perasaannya saat ini."Bantu aku melewati ini semua. Jangan menyerah berjuang bersamaku. Katamu, kau ingin melihat anak kita bertumbuh bersama. Lalu mengajak mereka bermain dan jalan-jalan?" Beberapa kali lelaki itu mengecup punggung tangan sang istri. Lalu dia usap kepala Bee.
"Daddy, Mommy."Tubuh Alena seketika menegang ketika melihat kedua orang tuanya tergeletak di atas lantai dengan simbahan darah di lantai. Wanita itu langsung luruh seperti mati rasa. "Daddy." Darah keluar dari kepala Santoso. Matanya terbuka dengan mata yang melotot seperti ingin keluar. Tak hanya bagian kepalanya saja, tetapi bagian tubuh yang lain ikut mengeluarkan darah. Di sampingnya Ella juga tak kalah mengenaskan, wanita paruh baya itu sudah tak memiliki mata karena tembakan tersebut membuat bola matanya pecah. "MOMMY!" teriak Alena. Wanita cantik itu berhambur ke arah Keuda orang tuanya sambil menangis histeris. Tak hanya ketakutan, tetapi juga syok dan merasakan seluruh tubuhnya seperti mati rasa. "DADDY!" Alena memangku kepala Santoso yang sudah tak bernyawa. "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini? Kalian tidak boleh pergi meninggalkan aku. Aku mohon, aku mohon!" Alena berteriak sambil menggoyangkan tubuh sang ayah berharap bahwa lelaki paruh baya itu hanya pingsan
"Dengarkan aku!" Kenzo menatap kedua sahabatnya itu. "Asal perkataan jangan yang aneh-aneh, Ken," ketus Bram. Enak saja kekasihnya harus menjadi umpan, bagaimana jika terjadi sesuatu ada Chaca? Bram tidak akan memaafkan Kenzo. "Panggil Tata dan Chaca ke sini. Aku ingin berbicara dengan mereka berdua," ujar Kenzo menutup laptopnya. "Huh, mau bicara apa? Awas saja jika kau menakut-nakuti kekasihku," ketus Bram. "Astaga, Bram! Kau ini..." Kenzo geleng-geleng kepala. "Aku tahu kau mencintai wanita kecilmu itu, tapi tidak begitu juga kali." Kenzo memutar bola matanya malas. Sementara Lucas langsung mengirim pesan pada Tata agar segera datang ke sini. Pria yang satu ini memang tak banyak bicara. Dia terkesan lebih tenang walau sedang memikirkan banyak hal di kepalanya. Bram juga mengirim pesan pada kekasih kecilnya itu. Ah, sebenarnya dia tidak mau melibatkan Chaca hanya saja ini memang jalan yang harus mereka lewati. Tidak lama kedua dua wanita itu datang bersama dua pengawal yang m
Beberapa tahun kemudian....Bastian menatap kue ulang tahun yang bertulisan angka 26 di atasnya. Dia mengerutu kesal. Bagaimana tidak? Istrinya baru berusia 26 tahun. Sedangkan dia sudah berusia 42 tahun. Ahhh jauh sekali selisih usia mereka. Ingin rasanya Bastian mempermuda dirinya agar serasi dengan Bee. Bee semakin hari semakin cantik. Pesonanya membuat siapa saja yang melihatnya terkagum-kagum. Sedangkan Bastian semakin hari semakin tua, bagaimana dia tidak mengerutu kesal. Apalagi jika dibandingkan, mereka bagai kakak dan adik saja. Bukan pasangan suami istri."Dad, kenapa lama? Kapan kita beri Mommy surprise?" gerutu putra sulung Bee dan Bastian. "Tunggu sebentar, Son!" Bastian mengambil kaca. Dia menatap wajahnya di cermin."Masih tampan. Tidak berkeriput. Tapi kenapa serasa sangat tua dari istriku," protes Bastian dalam hati. "Son, coba lihat wajah Daddy. Apakah Daddy ini sangat tua?" tanya Bastian pada putranya yang baru berusia enam tahun itu."Daddy memang tua," sahut B
Acara panjang itu cukup menguras waktu dan tenaga. Apalagi dengan tamu undangan yang mencapai ribuan orang. Tentu tamu dari Eric, Bastian, Bram dan Lucas bukanlah orang-orang biasa. Mereka penjabat serta pembisnis yang sudah lama mengenal keempat pengusaha ternama itu. Bastian menggendong tubuh istri kecilnya masuk ke dalam kamar. Sementara ketiga anak kembar mereka masih diurus oleh Dominic dan Milly yang ingin menghabiskan waktu bersama ketiga cucu kembarnya. "Hubby, apa aku berat?" Bee melingkarkan tangannya di leher sang suami. "Hem, tidak. Kau ringan!" sahut Bastian. Bee merebahkan kepalanya di dada bidang Bastian. Rasanya masih seperti mimpi bisa memeluk tubuh kekar suaminya itu. Setelah banyak kejadian yang mereka alami, kini keduanya bisa menikmati kebahagiaan yang telah lama hilang dari pandangan mata. Bastian meletakan tubuh kecil istrinya di atas ranjang. Jika dulu malam pertama mereka berbeda, maka malam ini akan dia membayar segala kesalahan yang ada di masa lalu.
Beberapa bulan kemudian. Keempat wanita cantik tengah menatap pantulan diri mereka di depan cermin. Mereka mengenakan gaun pengantin dengan warna dan model yang sama. Rambut mereka sengaja digerai indah dengan mahkota yang tertanam di atas kepala keempatnya. "Nak," panggil Santa. Santa menatap Bee dan Chaca dengan tatapan kagum. Kedua wanita muda yang masih bertahan mahasiswa ini adalah para menantu kesayangan yang membuat dirinya seperti memiliki anak perempuan. "Iya, Mom." Hari ini, Eric, Bastian, Lucas dan Bram akan melangsungkan pernikahan secara bersamaan. Eric dan Santa memutuskan untuk kembali bersama dan berusaha melupakan kejadian lampau yang pernah memisahkan mereka berdua. Eric dan Santa tak mau egois karena Bastian dan Bram meminta agar rujuk untuk mewujudkan impian keluarga bahagia. Sementara Bastian ingin membuat pesta pernikahan mewah agar semua dunia tahu bahwa Bee adalah istri kecilnya. Dia ingin menebus satu tahun yang lalu ketika menikahi Bee tanpa kehadiran k
Tata terdiam saat mendengar penjelasan dari Lucas. Pantas saja selama ini kakaknya itu selalu tak mau membahas Lucas. "Apa Kakak masih mencintai Kak Tania?" tanya Tata. Tata akan melepaskan Lucas jika memang lelaki ini masih mencintai kakaknya. Dia tak mau menjadi penghalang untuk kebahagiaan sang kakak. Sebab dia tahu jika selama ini Tania berusaha bangkit dari semua perasaan bersalah. "Sayang." Lucas mengenggam tangan Tata. "Perasaanku pada Tania sudah hilang sejak malam panas kita. Kau adalah wanita yang sekarang memiliki sepenuh hatiku. Ini bukan gombalan, tetapi ini perasaan yang aku rasakan," ucapnya tersenyum lebar seraya menyatukan tangan mereka. Tata menatap bola mata Lucas berusaha mencari kebohongan melalui mata lelaki itu, tetapi yang dia temukan adalah ketulusan. "Tapi Kak Tania masih cinta sama Kakak," ucap Tata tersenyum kecut. Lucas terkekeh pelan. Dia tahu jika Tania masih mencintainya. Namun, perasaannya pada wanita itu memang sudah tak ada lagi sejak kita berp
Santa memeluk Bee dengan rasa bahagia penuh. Akhirnya setelah menunggu sekian lama dia bisa lagi melihat senyum manis wajah menantu cantiknya ini. "Mommy takut sekali melihatmu, Nak," ucapnya mengusap bahu wanita itu. "Mom." Bee melepaskan pelukannya pada Santa. "Apa kabarmu?" tanyanya tersenyum lembut. Wanita ini sudah seperti anak kandungnya sendiri. Sementara Milly dan Dominic hanya bisa saling memeluk satu sama lain. Mereka ingin sekali berhambur ke arah Bee lalu mengatakan jika rindu wanita itu. Akan tetapi, Bee masih marah dan tak mau bicara pada mereka, lantaran masa lalu yang sulit dijelaskan. "Mommy baik, Nak," jawab Santa sembari mengecup kening Bee dengan haru. Lalu Bee melirik ke arah kedua orang tua kandungnya. Ada rasa marah dan kecewa di hati wanita cantik itu, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa ada rindu juga yang mengemban dalam dadanya. "Daddy, Mommy!" panggil Bee. Kedua orang itu terkejut ketika dipanggil oleh anak yang sudah lama mereka rindukan kehadirannya.
"Ini, Bas!" Lucas memberikan botol kecil pada Bastian. "Apa ini?" tanya Bastian bingung. "Obat penawar racun," jawab Lucas. "Cepat suntikan pada Bee!" suruhnya. Semua keluarga berkumpul di vila mewah Bastian kecuali Kenzo, sejak tadi lelaki itu tak jua muncul. Entah ke mana dia pergi? Dengan siapa dan sedang berbuat apa? Mata Bastian berkaca-kaca dia menatap kedua lelaki yang tenang tersenyum padanya. "Terima kasih, Lucas." Bastian memeluk sahabatnya. Sekian lama hidup dalam kemarahan dan kekecewaan, akhirnya dia bisa mengakhiri rasa marah dan dendam yang menghantam dadanya. "Sama-sama, Bas. Semoga kau dan Bee hidup bahagia selamanya. Jaga dia dengan baik," ucap Lucas melepaskan pelukan Lucas. "Pasti. Itu adalah tugas dan tanggungjawab ku," sahut Bastian. "Kak.""Bram." Bastian dan Bram saling memeluk erat. Kakak beradik yang pernah selisih paham karena sebuah kondisi dan keadaan, kini kembali saling memberi maaf. "Terima kasih, Bram," ucap Bastian. Tanpa malu pria itu menang
"Argh!" Julio tersungkur sambil memegang kakinya yang tertembak. Tata dan Chaca membuka matanya. Keduanya terkejut karena melihat Julik yang tersungkur dengan darah mengalir dari bagian kakinya. "Cepat tangkap dia!" perintah Kenzo. "Baik, Tuan," sahut ketiga anak buah suruhan Kenzo yang mengangkat Julio berdiri. "Hai, Julio!" Kenzo menyunggingkan senyum liciknya. Bukannya takut Julio malah membuang ludahnya yang bercampur darah ke atas lantai. "Sekarang Anda tahu siapa saya, Tuan?" Julio membalas dengan senyuman mengejek. "Tidak hanya tahu, tetapi mengenal siapa kau sebenarnya, Julio. Kau tahu, aku tidak akan membiarkanmu bernapas dengan baik setelah menyakiti adikku," ucap Kenzo. Lucas dan Bram berhambur ke arah Tata dan Chaca. "Sayang." Tata memeluk sang kekasih sambil menangis ketakutan. "Jangan takut, sekarang sudah aman," ucap Lucas menenangkan. "Swetty." Bram mengangkat tubuh kecil Chaca. "Kakak," renggek Chaca. Wajah gadis itu sampai pucat karena ketakutan. Dia piki
Tata dan Chaca saling berpelukkan karena ketakutan melihat tatapan mata Julio yang seolah ingin menelan mereka hidup-hidup. "Ta, aku takut," renggek Chaca menangis hebat. "Ck, kau pikir aku berani?" ketus Tata yang juga sebenarnya takut. Julio berjalan ke arah dua wanita itu sambil membawa belatuk di tangannya. Wajahnya tampak merah penuh amarah, tangan mengepal dengan rahang yang mengeras menandakan bahwa dia benar-benar sedang marah. "Kalian mencari masalah dengan saya, Nona!" tekan Julio mengarahkan belatuk itu ke arah Tata dan Chaca. "Kak Julio, ampun, maaf," mohon Chaca. "Kami hanya menyelamatkan Bee," sahutnya beralasan. Julio menarik sudut bibirnya merasa terkecoh dengan ucapan gadis di depannya ini. "Kalian adalah target selanjutnya. Saya akan membuat kalian seperti nona Bee, atau bahkan lebih dari nona Bee karena sudah berani bermain-main dengan saya!" Pria itu berjalan menghampiri Tata dan Chaca yang sudah ketakutan dengan wajah pucat mereka. "Kak Julio, ka-u tidak i
"Apakah mereka aman?" tanya Bram yang mulai tak tenang. "Kenapa mereka seperti panik?" Lucas menunjuk ke arah manson mewah itu. Dia juga panik dan takut terjadi sesuatu pada kekasih kecilnya. Kenzo memutar bola matanya malas. Kedua sahabatnya itu sudah dikasih tahu, masih saja tidak paham dan tenang. "Mungkin mereka sudah tertangkap!" sahut Kenzo asal. "Apa maksudmu?" tanya Bram dan Lucas bersamaan sambil menatap Kenzo tajam. Kenzo bergidik ngeri, niat hati bercanda kenapa malah membuat bulu berdiri? "Aku bercanda," sahut Kenzo memutar bola matanya malas. "Mereka sedang menjalankan misi." Bram kembali melihat ke arah mansion. Jika saja tadi tidak dicegah oleh Kenzo, sudah pasti pria itu akan keluar dari mobil dan berlari menemui kekasih kecilnya. "Hubungi anak buah agar segera menyusul ke sini!" perintah Kenzo. "Kau memerintahku?" Bram menatap tajam sahabatnya itu. "Bukan. Tapi menyuruh!" ketus Kenzo. "Cepat hubungi!" titahnya lagi. "Iya!" Bram mengotak-atik ponselnya dan m