“Apa yang membuatmu tertawa sampai seperti itu?” Prapto membuka pintu. Membuat dua wanita dengan beda ekspresi, kini membelalak menatapnya. “Aden Prapto, saya permisi dulu.” Pelayan itu segera menunduk hormat. Tak ada yang menjawab. Dia pun berjalan ke arah pintu. Ratih masih membatu di tempatnya. “Sumi bunuh diri karena Ratih?” ucap Prapto tepat saat pelayan itu berjalan di sampingnya. Membuat langkah cepat berhenti bergerak, sedangkan dirinya menyeringai menatap pelayan itu tajam, “Kenapa harus Ratih saja yang tahu? Aku juga ingin tahu. Bagaimana bisa Sumi bunuh diri dan kau tidak mengatakannya padaku? Seolah sama ...kau membiarkan Sumi mati begitu saja.” “Tidak!” pelayan itu menunjuk Ratih, “Harusnya wanita itu yang tanggung jawab.” “Apa maksudmu?!” Prapto tak sabar. Mungkin dengan membentak pelayan itu tak akan buang banyak waktu. Pelayan itu pun membuang muka. Menatap lampu dari minyak tanah yang cahayanya berpendar ke seluruh ruang, “Saat itu ...” “Jangan berisik. Aku tida
Prapto tertawa, dia menoleh ke pelayan itu, “Sumi mengajarimu dengan sangat baik.”“Katakan, Mas Prapto.” Suara Ratih membuat Prapto dan pelayan itu, langsung menoleh, “Rahasia apa lagi yang tidak kuketahui?” Ratih berdiri, putranya masih dia gendong, diusapnya kasar pipinya yang basah oleh air matanya yang mengalir sejak tadi.Prapto menarik salah satu sudut bibirnya, “Apa yang kukatakan mungkin tak bisa membuatmu kembali mempercayaiku. Kenapa tidak kau saja yang melihatnya sendiri ke kamar itu? Bukankah kau ingin masuk ke sana sejak dulu?” Melirik ke pelayan itu. Sekedar ingin memberi tahu betapa beraninya dia hingga menantang Ratih juga.Ratih segera ke luar. Mungkin keributan terlalu menarik perhatian, ada beberapa pelayan di depan kamarnya, Ratih menyerahkan putranya agar dijaga dengan baik tanpa mendengar kepiluan Prapto dan dirinya. Pintu kamar itu terbuka dengan mudah, Ratih segera masuk, dan bingung saat tak menemukan apa pun. “Ini ....” bingung harus bertanya ke Prapto atau
Lek Tejo baru saja menerima pembayaran sapi. Mendekat ke Prapto yang diam dari tadi dan mengambil duduk di sebelah juragannya, “Apa yang membuat Aden Prapto diam terus dari tadi?” Prapto menggeleng, “Aku tidak menyangka kalau Sumi tahu tentang Siti. Kalau Sumi masih hidup, entah apa yang akan terjadi, sepertinya masih banyak lagi yang dia tahui.” “Pertanyaannya bukan itu, Aden Prapto.” Melihat Prapto menoleh padanya, lek Tejo menghela napas panjang, “Apa itu memang anak, Aden?” Prapto menggeleng cepat, “Tidak mungkin. Aku sudah memberinya ramuan khusus. Kau ingat dengan Iis, Fitri, atau bahkan Sumi, mereka tidak hamil selama menikah denganku. Keguguran, lahir prematur, aku memberi Siti ramuan yang sama, aku yakin Siti tak hamil. Lagi pula aku hanya bermain sekali dengannya, kubuang di luar, di wajahnya.” “Bagaimana kalau sebagian kecil lagi ke luar di dalam? Siti sedang masa subur dan dia sengaja menyiapkan semua?” Lek Tejo sangat tahu dengan kemungkinan itu. “Itu tidak penting. S
Prapto membuka mata. Dilihatnya Ratih tersenyum sambil mengusap pipinya, “A—aku ketiduran. Di mana putraku?” Prapto mengucek mata, cukup pedas meski hanya tidur sebentar, ditambah dengan sentuhan Ratih, Prapto agak canggung, tak tahu harus bertanya dari mana mengenai Siti. “Mas, pasti lelah. Aku yakin itu. Putra kita sudah besar, Mas. Apa tak ingin membuatkannya adik?” Ratih membuat teh lebih dulu sebelum membangunkan Prapto dan sekarang dia sedang mengambilnya dari nampan di meja. Prapto tersenyum, “Apa yang menurutmu bagus. Kita akan melakukannya, Ratih.” Ini cukup mengancam, tapi Prapto malah bimbang, Ratih cepat berubah. Ratih tersenyum lebar. Tangannya melepas kancing kebaya, membuat balutan kain bermotif bunga itu lolos ke lantai, membuang juga stagen, dan jarit yang membelit. Ratih telanjang. Dia menaiki Prapto, merapikan rambut Prapto, dan memulai lebih dulu. Melumat bibir itu, membusungkan dada agar menyentuh dada Prapto. Cukup lama, bahkan Prapto tak ingat kapan terakhir
Ruang makan hanya penuh dengan decap. Tak ada yang berani menyuarakan pendapat, bahkan Ratih atau mbok Jum, lek Tejo juga sama diamnya. “Kau jadi ke pasar?” Prapto menoleh ke Ratih. “Iya, Mas. Meski kita tidak ke sana, lebih baik pemberian itu yang terbaik.” Ratih tersenyum. Setidaknya dengan senyumnya, Prapto bisa lebih tenang meski mbok Jum terus menunggu waktu yang tepat untuk mengintimidasi. “Aku akan mengantarmu.” Prapto kembali melahap makanannya. Mbok Jum terkekeh, “Aku ke sini untuk menemuimu, kalau kau pergi dengan Ndoro Ratih, apa yang harus kulakukan di rumah besar ini?” Prapto terkekeh, “Kau bisa pulang, menungguku juga akan membuang waktumu, lagi pula aku tak yakin kamu mau.” Mbok Jum semakin melebarkan senyumnya, “Kalau kamu memaksa, aku akan menunggu, aku rindu dengan kamarku, apa sudah ada yang menempati?” Lebih memilih menoleh ke Ratih, yakin wanita miskin itu tetap menaruh hormat padanya. Ratih menggeleng, “Kamar itu kosong, Mbok Jum. Meski begitu masih terawat,
Prapto terkejut saat Ratih memeluk perutnya. Punggung yang semakin hangat oleh pelukan Ratih, Prapto memilih untuk mengusap tangan Ratih, “Kau pasti lelah. Putra kita sangat aktif. Aku juga tidak bisa terus membantumu menjaganya.” Ratih mengangguk, “Mas, apa yang Mas pikirkan?” Saat Ratih membuka pintu kamar, Prapto merenung di depan jendela, membuatnya iba. “Aku memikirkanmu.” Prapto mengurai tangan Ratih, berbalik untuk mencakup wajah Ratih dengan ke dua tangannya, “Bagaimana bisa aku menemukan wanita sebaik dirimu di usia tuaku ini?” Ratih malah tertawa, “Kamu belum tua, Mas. Kamu pantas menjadi kakak tertua andai ibuku punya banyak anak. Kamu belum setua itu. Aku bahagia ada di sisimu saat ini.” “Terima kasih.” Prapto memeluk Ratih, “Terima kasih sudah menerimaku yang banyak kurangnya ini.” Prapto semakin mengeratkan pelukan, “Andai aku memberimu kesempatan untuk bertanya dan aku akan menjawabnya dengan jujur, pertanyaan apa yang akan kau ajukan?” Prapto melepas pelukan, dia me
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang