‘Bukankah kita menikah karena kamu yang memintaku ke romoku dulu? Katamu kamu mencintaiku bagaimana pun keadaanku, dengan atau tanpa anak, kita sempat membahasnya dulu, kenapa setelah ada Ratih kamu seolah melupakanku?’Prapto menghela napas, ucapan Sumi masih terngiang hingga sekarang, padahal dia baru saja selesai mandi. Segera menyemprotkan minyak wangi ke surjan biru yang dikenakan, dan ke luar dari kamarnya, saat ini sudah waktunya makan siang. Ruang makan sudah lengkap, Prapto ke tempat biasa dan memberikan piringnya ke Sumi, segera menoleh ke Iis dan Ratih yang bersebelahan. “Aku akan pergi setelah ini, apa Fitri sudah berangkat?” tanyanya.“Baru saja, katanya ingin segera bertemu dengan biyungnya, ada apa, Kakang?” sahut Iis.Prapto tersenyum sambil menggeleng, menerima makanan dari Sumi, dan mulai melahapnya. Ruang makan kembali sepi, hanya denting sendok yang beradu dengan garpu, dan Prapto berdehem untuk memecah kecanggungan. “Aku sudah selesai, aku akan ke teras samping ru
“Ndoro Sumi, ada tamu, katanya mau melihat kebun kelapa yang dideres.” Kata pelayan pribadi Sumi.Sumi segera ke luar. Meski malas karena semua itu adalah pekerjaan Prapto, mau bagaimana lagi kalau orangnya tidak ada? Menyambut tamu itu dengan senyum, mempersilakan duduk dan menjamunya dengan baik. “Kakang Prapto tidak di rumah, aku bisa mengantarmu ke kebun, tapi aku tidak bisa lama, kebun itu juga dekat dari sini.” Ucap Sumi langsung ke inti.Tamu itu tersenyum, “Aden Prapto sudah bilang tadi, memang beliau akan mengantar ndoro Ratih pulang,”‘Deg.’ Sumi terkejut dengan kenyataan yang didengarnya. Amarahnya semakin nyata saat menyadari semua sudah terlambat. Prapto membohonginya kali ini dan itu hanya karena Ratih.“...jadi njenengan hanya perlu memberi tahuku di mana kebunnya, nanti langsung diurus orang kebun.” Kata tamu yang akan melihat gula aren dari keluarga Prapto ini.“Apa kamu dan kakang Prapto berteman?” tanya Sumi. Dia memang baru kali ini bertemu dengan pria di depannya.
Ratih membuat wedang jahe susu dan membawanya ke kamar. “Minum, Mas. Perjalanan sangat jauh, ini agar Mas tidurnya lebih nyenyak.” Ucapnya seraya duduk di depan meja rias. Kamar ini sangat dia rindukan, tidak menyangka kalau Prapto mengajaknya berkunjung pulang.Prapto yang membaca buku keuangan yang memang sengaja dibawa, segera menutupnya dan turun dari ranjang untuk meminum apa yang dibawa Ratih. Rasanya hangat di perut, tangan Ratih memang ajaib, seolah keluhan apa pun bisa sirna dalam sekejap.Ratih yang tengah melepas sanggul, kini menyisir rambutnya, “Maturnuwun karena Mas Prapto mengajakku pulang, aku yakin ini hanya beberapa hari saja, aku sangat berterima kasih." ucapnya sambil melihat pantulan Prapto di cermin.Prapto mengangguk, “Aku dengar bapakmu sakit, bagaimana pun juga aku menantunya, tak sampai hati aku tak mengabarimu, tapi kamu akan salah paham kalau aku hanya mengatakannya saja, jadi aku memilih untuk mengajakmu ke sini. Apa kamu suka?” tanya Prapto.Ratih selesai
Ibu Ratih baru saja berangkat jualan jamu. Bapak Ratih yang sudah sarapan dan mandi dijemur oleh Ratih, dan kini Prapto hanya duduk di teras melihat Ratih yang tengah telaten memijiti kaki bapaknya.“Iyaaa, aku ke sana dulu, Pak.” Ratih menaruh gelas besar berisi air putih di samping bapaknya, dan mendekat ke Prapto.Prapto mematikan cerutunya, “Aku tidak tahan, apa yang kamu bicarakan dengan ibumu tadi?” sudah dari tadi dan Prapto segera ingin mengetahuinya.Ratih menarik napas panjang dan dalam, “Aku tidak pernah berbohong seumur hidupku, Mas. Jamu yang tidak manjur itu juga bukan keinginanku, dan sekarang terserah Mas Prapto mau percaya atau tidak.” Ratih tak ingin menutupi semua dari Prapto.“Apa maksudmu?” tanya Prapto penuh heran.Ratih menarik napas panjang dan dalam, memang tidak mungkin menyembunyikan semua dari Prapto setelah ketahuan tadi pagi, “Jamu yang diberikan mbok Jum untukku, bukan jamu untuk keturunan yang bagus atau bahkan sejenisnya, tapi ini jamu agar kandungan k
Ratih tersenyum menyambut kepulangan ibunya. Segera membuatkan minuman hangat dan duduk di bawah kaki ibunya untuk memijit kaki ibunya, “Bu, Pak, Ratih bahagia di sana, Mas Prapto sangat sayang dengan Ratih, jadi Ratih mau Ibu dan Bapak sehat terus. Ratih akan sering ke sini, tapi Ratih tetap harus pulang besok pagi, Mas Prapto banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggal lama.”Prapto yang juga di ruangan itu, hanya melihat betapa berbaktinya Ratih pada orang tuanya, tapi semua yang dilakukan sudah terlambat. Prapto tak akan mencerai Ratih apa pun yang terjadi.Ratih menoleh ke bapaknya, anggukan itu sangat melegakan, dan dia pun kembali menoleh ke ibunya.“Hanya satu pesan Ibu, Nduk ayu. Jangan membangkang dengan ucapan suamimu, hati-hati, dan seringnya berkunjung. Dengan begitu Ibu dan Bapak jadi tenang.” Diusapnya kepala putrinya, dia kemudian menoleh ke Prapto, “Maturnuwun kalau Ratih diperlakukan dengan baik di sana.” Mengangguk, tak ada hal yang janggal dan itu seolah meyakinkan
Hari berganti, Prapto mengajak Ratih pulang setelah sarapan, “Apa kamu senang?” tanya Prapto. Dokar biru yang ditumpanginya sangat nyaman, sehingga saat kuda berlari cepat, tak ada guncangan yang mengganggunya.Ratih mengangguk, “Maturnuwun, Mas Prapto. Kupikir setelah Mas Prapto menikahiku, tak mungkin aku bertemu dengan orang tuaku lagi.”Prapto terkekeh, “Aku tak sejahat itu.”“Tapi kenapa Mas Prapto tidak pernah ke orang tua mbak Sumi, mbak Iis, juga mbak Fitri? Apa aku yang masih baru sampai tidak tahu agenda Mas Prapto?” tanya Ratih.Inilah yang disukai oleh Prapto, Ratih sangat lugu, masih murni sebagai seorang istri. Tak ada saingan yang terlihat kentara, seperti istri lainnya, dan karena itulah Prapto seolah memiliki teman. “Jujur saja, aku malas, Sumi orang tuanya sudah tiada, tinggal adiknya dan adiknya yang datang ke rumah, Iis tak pernah mau pulang ke rumah, katanya dia akan semakin repot kalau pulang, tuntutan orang tuanya sangat tinggi, dan aku paham dengan apa yang Iis
Mbok Jum kaget dengan teriakan itu, “Aku?” Tak mengerti kenapa Fitri yang baru datang begitu berani menentangnya padahal selama ini semua penghuni rumah ini tahu kalau dirinya adalah pengasuh Prapto dari kecil. Tak ada yang berani menentangnya meski tetap menjadi kepala pelayan saja di rumah besar ini.Fitri menyahut serbuk jamu di tangan Sumi dengan cepat dan melempar ke mbok Jum, tak peduli saat buntalan serbuk jamu itu mengenai wajah mbok Jum. “Kamu tahu itu apa, Mbok Jum? Kalau tidak tahu aku bisa memberitahumu.” Ucapnya penuh dengan penekanan.Sumi ikut berdiri, menahan tangan Fitri agar tak berseteru di kamarnya, “Istirahatlah, Fitri. Kamu baru datang, kamu lelah, biarkan aku yang menyelesaikan semuanya, percayalah padaku.”Fitri hanya melirik Sumi dari ekor mata. Ucapan itu ada benarnya, dia tak boleh gegabah untuk menangkap dalang semua perbuatan ini, jadi Fitri menepis tangan Sumi yang memegangi lengannya, “Aku ke kamar dulu, Mbak Sumi.” Hanya melewati mbok Jum begitu saja. D
“Kelinciku?!” Ratih kaget. Dilihatnya ke empat kelincinya kaku di kandang, dia segera membuka pintu kandang dengan kasar, masuk serta menggendongi semua kelincinya satu per satu, tak ada yang masih hidup atau bahkan bernapas lemas. “Kelinciku!!” teriaknya sambil menangis, meraung beberapa kali hingga tubuhnya semakin lemas dan bergetar hebat.“Ratih?!” Prapto mendekat, Ratih sudah terduduk di tanah, dia terus mendekat dan menyentuh pundak Ratih.“Kelinciku, Mas. Kelinciku mati semua, Mas. Kelinciku mati! Aku yakin mereka sangat sehat saat aku akan berangkat ke rumah ibu, tapi mereka sudah mati semua, Mas. Bagaimana bisa? Aku yakin mereka sehat, Mas. Aku yakin! Aku yakin, Mas” Ratih terus menangis, hatinya sangat sedih melihat kenyataan ini.Prapto yang tidak tega segera menarik Ratih ke pelukan. “Ssssttttt! Sudah, jangan menangis.” Diusapnya punggung Ratih. Gadis kecil yang diubahnya menjadi wanita ini, terlihat begitu menyedihkan saat seperti ini.“Mereka mati, Mas. Mereka mati.” Rat
Hampir tengah malam. Prapto masih duduk di ruang tengah. Dia baru saja ke luar dari kamar putranya, Ratih belum pulang, Prapto akan menunggu sampai istrinya itu tiba di rumah. Bukankah Ratih sudah berjanji tak akan menginap? Kini angannya jadi melayang... “Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau sampai istrimu tahu.” “Biar saja dia tahu. Bukankah kita sama-sama tahu kalau aku tak pernah menyukai istriku sepenuhnya? Pernikahan ini hasil perjodohan dan kedatanganmu di sini seolah memberiku puas akan dahaga.” “Jangan pernah mengatakan itu.” “Apa yang salah? Aku sudah pernah melakukannya, kau juga, apa salah kalau kita mencoba memuaskan hasrat kita selama ini?” “Aku tidak mau membuat dosa.” “Anggap saja ini hadiah yang bisa kuberikan. Aku janji hanya sekali. Tak ada esok hari. Hanya ini yang bisa kuberikan padamu, Jum.” Rayuan yang begitu memabukkan, mbok Jum muda pun terbuai, dia membiarkan setiap jengkal kulit disentuh oleh sang mantap, dan sungguh, kenikmatan itu tiada tara.
Mbok Jum terkekeh, “Semua orang memusuhiku.”“Tidak ada yang berlaku seperti itu, Mbok Jum. Semua karena perasaanmu saja karena yang sebenarnya terjadi adalah semua orang butuh waktu untuk menenangkan diri saat hatinya merasa tak baik.” Ratih baru saja selesai makan, dia berdiri karena ingin melakukan banyak hal untuk hari ini, “Jangan banyak memaksa. Setelah waktu yang dibutuhkan tercukupi, semua orang akan menyambutmu sehangat dulu.” Ratih tersenyum, menunduk hormat ke mbok Jum, dan beranjak dari ruang makan. Dia ke halaman, tahu kalau Prapto pasti sibuk, dia tak ingin putranya mengganggu pekerjaan Prapto. Tepat saat dokar berhenti di halaman, Ratih mendekati Prapto dan meminta putranya, tak menunggu siapa tamu itu, dia segera masuk kembali meski hanya bersembunyi di belakang pintu utama. Dokar yang datang adalah milik Prapto. Bisa dipastikan Siti yang ada di dalamnya.Prapto tetap duduk. Dia bahkan mulai meramu lintingan tembakau untuk dinikmati. Lek Tejo yang terus mendekat ke dok
“Ya?!” Prapto berteriak dari kamar mandi. Dia sedang membersihkan tubuhnya. Berharap dengan begitu lelah yang dia rasa akan hilang.Ratih menghela napas menyadari Prapto tak pergi jauh, “Aku membuatkanmu minuman, Mas.” Ratih mendekat, bahkan hampir menempelkan tubuhnya ke pintu kamar mandi.“Aku selesai sebentar lagi, Ratih. Letakkan saja di sana.” Prapto kembali melanjutkan mandinya saat Ratih tak lagi bertanya.Menuju ke almari, Ratih segera mencari surjan dan jarit yang pasti akan pas dikenakan oleh Prapto, tepat dengan suaminya yang baru saja ke luar dari kamar mandi. “Sarapan di dapur hampir siap, Mas.” Ratih mendekat untuk mengambil handuk basah. Menyampirkan agar tak membuat tempat lain menjadi lembab.Prapto mengangguk, “Kau tidak ke kamarmu sendiri? Kupikir anak kita akan mencarimu.” Prapto mulai membuat simpul untuk jarit yang dia kenakan.Ratih menggeleng, “Tidak, Mas. Aku sedang mengandung. Sebisa mungkin aku tak menyusui putra kita. Mas, mau kusiapkan makan di kamar atau
Sudah senja, mbok Jum heran karena pintunya diketuk dari luar, tak pernah ada tamu di jam seperti ini. Dia tetap melangkah ke luar, tersenyum saat melihat siapa yang mengejutkan dirinya, “Apa yang membawamu ke sini, Tejo?” Mbok Jum membuka pintu rumahnya sangat lebar, tapi lek Tejo malah memilih duduk di teras, mbok Jum juga tak mau memaksa lek Tejo untuk masuk.“Siapkan barangmu. Prapto ingin kamu menginap di sana untuk beberapa hari.” Lek Tejo tak menoleh, dia memilih menatap rimbunnya pohon yang mulai gelap, biar cahaya lampu minyak tak mampu membuat halaman luas ini menjadi terang.Mbok Jum terkekeh, “Ada apa? Prapto sudah menemukan Siti?”Barulah lek Tejo menoleh, menatap mbok Jum tajam, gigi menguning hasil dari kinang itu membuatnya jijik. “Baru kali ini kau berani mengatakan nama putri yang kau sembunyikan, kenapa? Kau takut aku memberi tahu Prapto dan membunuh putrimu?” Lek Tejo tak menyangka kalau mbok Jum tetap saja menjadi wanita yang licik.“Apa Prapto sudah berhasil memb
Pekerja pria itu tersenyum getir, “Memang sangat menyakitkan, Aden Prapto.”Tanpa banyak bicara, Prapto memukuli pekerja itu hingga babak belur, dia melakukannya hingga puas. Setelah pria dengan tubuh lunglai seperti seonggok baju kotor, Prapto melepas dengan setengah melempar begitu saja, tak peduli jika napas pekerja itu sebentar lagi akan melayang. “Kau tak menghalangiku?” Prapto terkekeh, “Bukankah dia kekasihmu?” Siti masih menangis sambil duduk di tanah dan Prapto tak juga merasa kasihan.Siti menggeleng, “Aku hanya ingin hidup, bukan berarti aku kekasihnya.”“Hahahaha.” Prapto berjalan mendekati Siti, “Kau pikir setelah menemukanmu aku akan melepaskanmu begitu saja?” Menggeleng sambil mencebikkan bibirnya, “Katakan, sebelum kematianmu datang, apa kau masih ingin bertemu dengan ibumu?” Prapto berjongkok tepat di depan Siti.“Apa yang membuatmu sebenci itu denganku?” Siti seperti menantang, tapi bukan itu yang dia luapkan, hanya penasaran kenapa Prapto tak pernah memberinya kesem
Prapto menghela napas panjang dan dalam, “Di mana tempatnya?” Tadi matahari belum muncul ke permukaan dan kini kepalanya malah pusing karena cukup terik. Prapto terus berjalan menyusuri sungai seperti yang diperintahkan oleh lek Tejo, meski tak menemukan apa pun, sudah kepalang basah. Dia tak ingin kembali dengan tangan kosong.Kakinya yang terlalu lelah, Prapto memilih untuk istirahat, duduk di batu besar, dan minum air sungai. “Di mana tempatnya? Kakiku mau copot.” Prapto menyandarkan punggung, hampir merebah untuk menghilangkan penat sambil menikmati semilir angin. Cukup menyegarkan hingga dirinya hampir saja tertidur. Untung tak sampai karena dia bangun saat mencium harum masakan rumah.Prapto membuka mata, menyapu seluruh sisi untuk mencari apa yang bisa dijadikan pertanda, hingga di kejauhan dia melihat asap. “Apa itu?” Prapto berdiri, “Tak ada pemukiman di sini, sepertinya memang itu.” Terkekeh, Prapto sedikit banyak mengenal daerah yang dia tapaki. Ini adalah tanah kelahiranny
Entah ini ketepatan yang bagaimana, baru saja Prapto turun dan pas sekali di acara ketemu kemanten, jadilah dia ikut mengiring meski bukan sanak kadang mempelai wanita. Seluruh prosesi yang biasa setiap orang hafal, Prapto melihatnya juga, dia pernah melewati yang seperti itu dengan ke tiga istrinya, tapi tidak dengan Ratih. Prapto menoleh ke Ratih, entah seperti apa perasaan istrinya melihat semua ini. Ternyata istri Bima sangat cantik, Ratih menoleh ke Prapto, bertemu tatap dengan pandangan sedih, Ratih malah tersenyum sambil mengusap lengan Prapto, “Ada apa, Mas?” “Pernikahan kita tak seramai ini. Ibu dan bapakmu menangis, kamu juga menangis, saat itu kita menikah dengan diri dipenuhi amarah, Ratih.” Penyesalan selalu datang belakangan. Andai Prapto tahu Ratih adalah satu-satunya wanita yang bisa memberinya anak, dia tak akan sejahat dulu, dan semua sudah terlambat untuk diulang. Ratih tersenyum lagi, “Tidak penting, Mas. Asal Mas tetap sebaik ini, aku tetap menerima semua dengan
Prapto tertawa terbahak-bahak, dua wajah di depannya sangat tegang, “Mbok Minah, aku ingin kau menikah dengan lek Tejo.”“Aden?!” Lek Tejo tak bisa berkata-kata selain menegur Prapto.Minah malah lidahnya jadi kelu. Dia memang suka dengan lek Tejo, pria dewasa itu begitu baik, tapi dirinya ini? Ah! Sangat tidak pantas menjadi salah satu bagian dari juragan tanah seperti aden Prapto.Ratih malah lega, dia pikir Prapto terus membuat onar, ternyata dirinya salah. Ratih jadi berani ke luar, tersenyum ke tamunya, dan duduk di samping suaminya. “Ini jembelm siapa?” Ratih baru tahu ada makanan ini di meja.“Buatan saya, Ndoro Ratih.” Minah yakin makanan seperti itu akan membuat semua orang sakit perut.Ratih mengambilnya, mencicipinya, dan mengangguk ketika menemukan rasa yang enak sekali. “Mas Prapto benar, Mbok Minah menikah saja dengan Lek Tejo. Aku yakin, hubungan yang niatnya baik, pasti akan menjadi berkah.” Ratih mengambil jemblem itu lagi.Lek Tejo menghela napas, “Kalau ...kamu mau,
Prapto baru saja sampai rumah. Tak ada yang menyambutnya. “Ke mana Ratih?” Hanya pelayan yang mendekat dengan membawakan kopi.Pelayan itu meletakkan kopi yang dipegangnya, “Di kamar, Aden Prapto. Aden tole tadi menangis, mungkin sekarang sedang tidur. Njenengan mau makan dulu?”Prapto menggeleng, “Nanti saja. Pergilah.” Prapto menyandarkan punggung, setelah beberapa saat membiarkan otot agak lemas, Prapto menikmati kopi yang manisnya pas. Baru saja ingin bersantai, tangisan putranya membuat mengerut keheranan, “Katanya tidur, kenapa nangis?” Prapto berdiri. Dia segera mendatangi putranya, siapa tahu Ratih membutuhkan bantuannya untuk menenangkan si tole.Prapto heran, tak ada Ratih di sana, hanya putranya yang digendong oleh pelayan pribadi Ratih, “Kau sendiri?”“Aden Prapto? Kapan Aden Prapto datang?” Pelayan itu terus menimang balita, hingga saat Prapto meminta, dengan hati-hati memberikannya.Prapto mengerutkan kening, “Pertanyaanmu aneh. Di mana Ratih?”“Ndoro Ratih sedang buang